Aku mendekati Mas Bara ketika akhirnya Mas Rahmat meninggalkan rumah ini. Sepertinya kakak pertamaku itu benar-benar akan membuktikan ucapan kata-kata Mas Bara tentang istrinya. Walau aku masih belum tahu apalagi yang sedang dibuat oleh Yuni yang sepertinya memang selalu melakukan hal yang gila.
“Mas, katakan padaku sebenarnya apa yang sudah kamu ketahui?” desakku menjadi sangat ingin tahu.
Selalu saja Mas Bara mengetahui banyak hal, dan aku menjadi terlalu penasaran sekarang.
“Sebentar lagi kamu pasti akan mengetahuinya,” jawab Mas Bara yang tampak enggan untuk berterus terang.
“Kalau begitu aku akan mencaritahu sendiri, karena aku juga mengkhawatirkan Mas Rahmat, aku tak mau dia bertindak bodoh,” tegasku sembari membalikkan badan berniat untuk melangkah pergi.
Tapi dengan cepat Mas Bara langsung mencekal lenganku menahanku untuk
“Aku mohon Mas, berilah aku kesempatan.”Yuni kembali memohon dengan merendahkan dirinya di depan Mas Rahmat yang kini mulai melirik ke arahnya.Sekilas aku melihat ada sorot kecewa di matanya, yang segera membuatku bisa meraba apa yang akan dikatakan oleh Mas Rahmat setelah ini.Yuni membalas tatapan Mas Rahmat yang menjadi kian tegas dan lugas dengan sorot penuh harap.“Yun, mulai hari ini kamu bukan istriku lagi, aku menceraikan kamu Yuni Lukita,” tegas Mas Rahmat terdengar sangat yakin.Kalimat yang terlontar dari bibirnya segera mengagetkan semua orang terutama Yuni yang sekarang bahkan mulai menyembah di kaki Mas Rahmat dengan menghadirkan tangisnya.“Mas, kamu jangan main-main, kamu sedang emosi, cabut kembali kata-kata kamu.”Yuni terlihat masih menampik, enggan untuk menerima apa yang sudah dip
Pagi-pagi sekali aku berniat untuk pergi ke rumah ibu, karena aku ingin mencari sayuran segar di toko milik Mbak Murni.Melihatku sudah rapi, Mas Bara langsung mendekati meski dia baru saja keluar dari kamar mandi.“Kamu mau ke mana Rin?” tanya Mas Bara penuh selidik.Aku hanya memandang lurus ke arah lelaki yang kini bercambang yang sekarang seingatku sedikit lebih kurus daripada sebelumnya tapi otot-otot di lengannya menjadi semakin terlihat liat dan kekar. Akhir-akhir ini aku memang sering melihatnya berolahraga. Bahkan tadi selepas subuh aku mendapati Mas Bara melakukan push up di dekat jendela kamar yang sudah dibiarkan terbuka.Aku mulai bisa menduga jika Mas Bara melakukan latihan yang sangat keras untuk melampiaskan gairahnya yang tak tersalurkan beberapa waktu ini.Nyaris dia tak pernah memaksaku untuk melayaninya. Dia selalu menunjukkan pengertiannya ketika
“Apa benar yang sudah dikatakan mereka, Rin?”Mas Bara kini mulai mendesakku.Aku bergeming memilih diam untuk beberapa saat.Nyatanya dengan cepat Mas Bara bisa mengendalikan dirinya. Alih-alih dia menumpahkan amarahnya Mas Bara kemudian menyunggingkan senyuman.“Mulai sekarang tak ada lagi yang bisa mendekati Rindu dengan leluasa, karena aku akan selalu mendampingi istriku.”Walau dengan menyuguhkan senyumnya Mas Bara ikut mengunggah ketegasannya.Bahkan sekarang dia malah memeluk pinggangku dengan posesif.“Ayo sayang kita kembali berjalan anak-anak sudah menunggu kita di depan.”Setelah mengulas senyumnya ketika akan undur diri, Mas Bara kemudian mengajakku melanjutkan langkah kami yang tertunda.Aku menjadi sedikit kurang nyaman ketika merasakan dekapan Mas
Tanpa menunggu lama Mas Bara langsung mengajakku ke kamar belakang untuk memastikan penyebab teriakan ibu.Sesampainya di sana kami melihat darah berceceran di kamar yang ternyata merupakan darah dari Mas Rahmat yang sedang mencoba melakukan bunuh diri dengan mengiris nadi tangannya.“Rindu, Masmu Rin, tolong dia Rin,” jerit ibu histeris sembari terus memeluk Mas Rahmat yang tubuhnya sudah tampak melemah.Mas Bara segera bertindak cepat menghubungi anak buahnya untuk menyiapkan mobil, baru setelah itu dia juga menelpon Rahayu, satu-satunya dokter di desa ini untuk memberikan pertolongan pertama sebelum dirujuk ke rumah sakit di kota.Untunglah saat ini Rahayu kebetulan sedang berbelanja di tokonya Mbak Murni jadi dia bisa segera memberikan pertolongan dengan peralatan seadanya.Baru setelah itu Mas Bara segera membawa kakak pertamaku itu ke rumah sakit.
“Bagaimana kalau aku yang mengambilkan mangga itu buat kalian?”Sontak aku menoleh pada sosok yang sekarang bahkan sedang melemparkan senyuman pada kami.“Mas Hilman!” sebutku dengan sedikit kaget.“Ayo Om, tolong ambilkan mangganya,” sahut Raka cepat tanpa segan.Rupanya Raka juga sudah tergiur dengan buah yang memiliki rasa asam dan manis itu.Raya juga ikut menanggapi dengan meloncat-loncat antusias.Tentu saja tanpa menunggu persetujuanku Mas Hilman segera memanjat pohon yang lumayan tinggi itu. Kami semua menanti di bawah untuk menangkap mangga-mangga yang akan Mas Hilman lemparkan.Setelah aku rasa semua ini cukup aku segera meminta kepada teman lamaku itu untuk segera turun. Bagaimanapun aku tak mau terjadi sesuatu kepada Mas Hilman walau aku tahu dia cukup mahir memanjat.&n
Aku langsung menahan tanganku ketika aku mendengar larangan dari suara yang sangat aku kenal. Segera aku menoleh dengan membawa keresahan yang menjadi tak bisa aku cegah untuk hadir.Saat ketika akhirnya tatapanku beradu dengan Mas Bara yang sekarang sudah berjalan mendekat, aku hanya bisa memandangnya nanar.“Sudah aku katakan pada kamu berulangkali untuk tidak mengganggu istriku, tapi kamu terlalu keras kepala!” sergah Mas Bara yang menjadi terang-terangan menunjukkan kebenciannya pada Mas Hilman yang memang sejak dulu selalu saja dia cemburui.Ketika kemudian aku melihat Mas Bara mulai menarik baju Mas Hilman dari depan dan bersiap untuk memberikan tinjunya, aku langsung menghadang di tengah-tengah mereka untuk menghentikan tindakan bodoh suamiku.“Mas, hentikan!”Saat mendapati aku menghalangi Mas Bara menjadi kian kecewa.“M
“Benar Rin bapak kamu sendiri yang sudah menyerahkan kamu sama aku,” tegas Mas Bara dengan penuh kesungguhan yang membuatku sulit untuk meragukan perkataannya itu.Dengan tatapan luruh aku terus memindai sosok tegap itu yang kini sudah mulai mendekat lalu duduk kembali di sisiku.Aku mulai mengangkat wajahku dengan sempurna untuk bisa menentang sorot matanya.“Saat kamu menjalani operasi akibat patah tulang tangan, aku sempat mendampingi bapak kamu dan meminta maaf atas apa yang sudah aku lakukan. Tapi nyatanya semua berada di luar kendaliku dan aku sama sekali tak pernah berniat untuk mencelakai bapak kamu.”Aku tak bisa menerima begitu saja pembelaan Mas Bara pada dirinya sendiri. Aku bahkan menganggap dia sedang mencari pembenaran dan tak mau terus menerus disalahkan seolah apa yang terjadi saat itu adalah sudah digariskan.Padahal seingatku aku melihat mobil yang melaju dari turunan di belakang kami berjalan dengan terla
Sudah tiga hari semenjak kembalinya Mas Bara ke Jakarta, aku masih saja tak bisa membuang gelisahku.Nyatanya hatiku menjadi semakin tak tenang, semakin kerap dihinggapi bayangan wajah Mas Bara yang tampak begitu gusar ketika memilih untuk pergi.Aku bisa merasakan kalau bukan seperti ini yang dikehendaki oleh lelaki yang masih berstatus sebagai suamiku itu.Mas Bara tetap menginginkan aku kembali bersamanya, tapi dia malah tak memaksaku seperti yang dulu dia lakukan. Mas Bara telah banyak berubah dan seperti ingin aku melihat semua itu.Tapi sebagian hatiku tetap belum bisa mudah untuk memberikan dia kesempatan karena kesalahan itu seakan tak termaafkan. Apa yang sudah Mas Bara lakukan pada bapak terlalu sulit untuk dilupakan karena dia menjadi penyebab lelaki yang merupakan cinta pertamaku itu meregang nyawa.“Rin, sampai kapan kamu akan terus berdiam diri s
“Diam, atau aku akan menembakmu seperti yang sudah aku lakukan pada Richard!” Aku terperangah saat mendengar pengakuan lelaki berwajah oriental itu. Pengakuannya jelas sangat mengagetkan aku. “Jadi kamu yang sudah menembak suamiku?!” sergahku tandas. Raymond malah tersenyum sarkas menanggapi. “Dia sendiri yang sudah memaksaku melakukan semua ini karena dia terlalu serakah,” tukas Raymond sengit. “Kamu gila!” Aku kembali memakinya dengan suara yang semakin kuat. “Tolong, tolong ....” Aku mulai berteriak ketika Raymond semakin kewalahan dan tak mampu lagi menutup mulutku. Pergerakan di pintu itu semakin intens bersamaan aku mendengar suara gebrakan yang sangat kuat beberapa kali. Raymond yang sedang menggila ini sudah menutup pintu dari dalam hingga sulit untuk dibuka. Pastinya orang-orang di luar ruangan sedang berusaha untuk mendobrak pintu itu. Sementara aku sendiri masih berjuang untuk membebaskan diri dari sergapan Raymond. Tapi beberapa detik kemudian kami malah dikejut
Aku menjadi terlalu kaget mendapati kedatangan Raymond yang sangat tak terduga.Tapi aku malah tak kuasa untuk menghalaunya yang membuat sosok itu terus mendekat dengan penuh rasa percaya diri.“Aku tak menyangka kalau dia mampu bertahan sampai sejauh ini setelah apa yang sudah dia alami,” ungkap lelaki itu sembari mengarahkan pandangannya pada Mas Bara yang sekarang hanya bisa terbaring tanpa kesadaran di atas brankar.Gelisah mulai menerjangku ketika aku mulai melihat tatapan adik dari suamiku yang kini malah memindaiku dengan sangat intens.Aku segera bangkit dan memasang sikap waspada.Setelah kemarin aku melihat sikap Raymond yang tampak berbeda begitu rapuh dan sedih tapi sekarang dia kembali menjadi sosoknya yang dulu, yang terasa licik menakutkan.“Bagaimana kamu bisa masuk ke dalam ruangan ini?”Selama ini mami melarang orang lain masuk menemui Mas Bara. Tak sembarangan orang boleh menemani Mas Bara. Hanya aku, oma dan mami yang memiliki akses untuk bisa memasuki ruangan. Kar
“Sekarang katakan saja apa kamu yang sudah membuat Richard seperti ini?” Abe malah melontarkan tuduhannya dengan terlalu lugas.Aku tak pernah menyangka jika sahabat terdekat suamiku itu akan mengungkapkan tuduhannya dengan sangat lugas pada Lina yang sebelumnya sempat kami bicarakan dan kami curigai.Lina membeliakkan mata, mengunggah kekagetannya yang terlalu ketara.Sejenak aku tak bisa mengartikan tentang ekspresi kekagetannya yang seperti itu.“Apa kamu yang sudah menembak Richard?”Abe kian menegaskan tuduhannya.Lina malah menanggapi dengan tenang hingga kemudian malah mencebik sarkas.“Jadi kalian sekarang mencurigaiku?”Aku dan Abe tak menjawab meski masih saja memberikan tatapan yang sangat lugas pada wanita yang sering mengunggah ekspresi sinisnya itu.“Aku merasa tak perlu untuk memberikan penjelasan apapun pada kalian,” pungkas wanita itu sembari langsung bangkit dari duduknya.Tapi sebelum melangkah wanita itu melemparkan pandangannya pada Abe yang sedang mengikuti perg
“Apa yang sedang kalian bicarakan?” Segera aku menoleh ke ambang pintu dan menjadi sangat kaget ketika melihat sosok yang sedang kami bicarakan telah berdiri di sana dengan memberikan tatapan yang terlalu tajam.Sempat aku merasa kalau dia sempat mendengar pembicaraanku bersama Abe tadi, yang kemudian menelusupkan rasa gelisah di dalam dada.“Kalian berdua terlihat terlalu dekat, dan aku yakin jika Richard melihat kedekatan kalian, dia tidak akan bisa menerima ini,” sindir wanita berbaju merah itu sangat sarkas.Dengan tatapan yang sama tajamnya aku mulai menentang sorot matanya. Enggan menampakkan ketundukan atas sikapnya yang selalu saja mengintimidasi.Sejak dulu Lina selalu mengunggah keangkuhannya terutama di hadapanku yang pastinya dia anggap sebagai saingan terbesarnya karena nyatanya memang hanya aku yang bisa mendapatkan hati Mas Bara sepenuhnya, sesuatu yang kini membawa kesadaranku kembali atas apa yang sudah aku dapatkan selama ini. Nyatanya memang tak ada yang paling ber
“Katakan padaku apa yang kamu ketahui tentang suamiku?”Aku segera mencecarnya dengan tak sabar, karena saat ini sekecil apapun informasi yang beredar sangat aku butuhkan karena aku benar-benar ingin menguak tabir misteri tentang penembakan suamiku yang sampai saat ini belum juga terungkap.Abe tampak memindaiku lebih lekat dan aku dengan tegas menentangnya tanpa keraguan.Lelaki bermata tajam itu kemudian menarik nafasnya sejenak sembari menautkan kedua tangannya di depan wajahnya yang lumayan good looking itu.“Sebenarnya sehari sebelum hari naas itu, aku dan Richard sempat bertemu di ruangan ini. Kami membicarakan banyak hal, terutama tentang dirimu dan segala penyesalannya.”Abe sengaja menghentikan kalimatnya kian intens memindaiku seakan ingin menebak apa yang ada di dalam pikiranku saat ini.Tapi aku memutuskan untuk membisu menunggunya melan
Sudah nyaris sebulan Mas Bara terbaring koma. Selama itu aku bertahan untuk tetap mendampingi walau keadaanku masih sering diserang mual dan rasa tak nyaman di perut.Tak ada alasan bagiku untuk menyerah karena saat ini prioritas utamaku tetap Mas Bara yang selalu aku yakini tetap bisa mendengar setiap kata yang aku ucapkan di telinganya.Bahkan setiap kali aku datang aku selalu membacakan ayat-ayat Ilahi, sebelum aku mulai mengajaknya mengobrol.“Mas, hari ini aku bawakan lavender, aromanya harum sekali. Kamu bisa menciumnya kan Mas?” tanyaku sembari mendekatkan bunga yang aku bawa di hidungnya.Aku selalu yakin jika Mas Bara selalu bisa merasakan apapun yang aku lakukan walau dia tak memberikan respon apapun. Bahkan tidak dengan kedipan mata, karena mata itu selalu terkatup rapat.Saat melihatnya tetap diam dan beku, hati ini mulai dirasuki kesedihan yang kian pekat
Rasa tidak nyaman kian menyerangku membuat sekujur tubuhku seakan melemah. Tapi saat ini aku memaksa untuk tetap tegar demi aku bisa memastikan bagaimana keadaan Mas Bara. Gelisah yang menyergapku memaksaku untuk bertahan dan tetap kuat meski sejak tadi rasa mual semakin menekan di dalam perutku.Bahkan ketika aku sampai di Jakarta, beberapa kali aku sudah memuntahkan isi perutku saat berada di dalam pesawat.Oma dan mami sempat menganggap apa yang aku rasakan hanya sekedar mabuk kendaraan.Tapi sesuatu di dalam diriku semakin tak bisa menampik praduga ini. Dengan pengalaman yang sempat aku dapatkan ketika mengandung Raka dan Raya, aku mulai bisa menegaskan pada diriku sendiri jika sekarang aku memang sedang berbadan dua.K
“Sesuatu telah terjadi pada Richard!”Ketika oma memekikkan nama suamiku segera aku mendekat dengan hati yang sudah diselimuti kabut kecemasan.“Ada apa dengan Mas Bara, Oma?” tanyaku menjadi kian khawatir.Sementara mami malah menatapku dengan gamang dan mulai menghampiriku untuk bisa memelukku dengan lembut.“Kita harus kembali ke Jakarta hari ini juga Rin.”Mami berucap dengan sangat sungguh-sungguh.Hatiku menjadi kian kuat memendam praduga yang buruk. Aku merasa sangat yakin jika sesuatu telah terjadi pada suamiku saat ini.“Katakan padaku, apa yang sudah terjadi Mi?” desakku semakin gelisah.“Richard membutuhkan kamu,” balas mami masih dengan mengunggah gurat kecemasan di wajahnya.Aku mengernyit penuh kecemasan.
Setiap orang bisa menganyam harapan tapi Tuhan yang akan menentukan segalanya. Walau berbagai macam cara telah diusahakan nyatanya, kehendak Tuhan yang tetap berlaku. Takdir telah menggariskan bahwa saat ini adalah perpisahan kami.Hatiku terus memendam rasa kehilangan yang bahkan membuatku terus menangis kala melepas jenazah ibu di pemakaman. Kini jasad yang sosok yang sangat aku sayangi itu telah berbaring di sisi makam bapak. Mereka akhirnya bersama lagi yang membuatku menghadirkan kembali segala kenangan kebersamaan keluarga kami dulu di permukaan ingatan.Tangisku semakin kuat nyaris menyedot segala ketegaran meski oma dan mami mendampingi untuk menguatkan. Sampai akhirnya semua saudaraku ikut mendekat dan kami mulai saling berangkulan berusaha untuk saling menularkan ketegaran.Bahkan Laras telah kembali dari Australia mengejar penerbangan pertama demi bisa ikut mengantarkan ibu menuju peristira