Baru juga satu jam aku menemani ibu, Mas Bara sudah memintaku untuk meninggalkan rumah sakit. Jelas aku menolak meski aku tegaskan penolakanku dengan nada yang tidak terlalu lugas.
“Mas, aku ingin menggantikan Mbak Murni sebentar karena selama ini Mbak Murni sudah menemani ibu sekian lama.”
Aku mengungkapkan alasanku.
Sementara aku lihat saat ini Mbak Murni malah menjadi gelisah.
“Rin, sebaiknya kamu beristirahat dulu, bukankah kamu baru saja menempuh perjalanan sangat jauh? Pasti kamu sangat letih,” ucap Mbak Murni sembari memandangku lurus.
“Benar kata Mbakmu, kamu itu masih lelah jadi jangan memaksa berada di sini, aku tak mau kalau kamu sakit.”
Ibu menyahut sembari meraih tanganku dengan lembut.
“Kamu dengar kan kata mereka, jadi ayo kita pergi dulu, nanti setelah kamu beristirahat aku akan me
Aku masih saja menunggu berharap jika pembicaraan mereka nantinya akan mengungkap apa yang selama ini sudah mereka sembunyikan dariku.Dadaku sudah berdebar tak tenang, tapi aku tetap bertahan.“Walau dia sudah memberikan kita banyak uang, tapi tetap saja fakta itu tidak berubah bahwa nyatanya lelaki yang sudah menikahi adik kita Rindu adalah pembunuh bapak kita.”Kalimat yang baru saja diungkapkan oleh Mas Rahmat benar-benar mengagetkan aku hingga aku tak lagi bisa menahan diri untuk langsung masuk ke dalam ruang perawatan demi bisa mendapatkan segala penjelasan atas apa yang sudah aku dengar.“Apa yang kamu bilang Mas?!” sergahku mencecar ke arah saudara tertuaku yang sekarang terlihat sangat menyedihkan daripada yang aku ingat saat terakhir kali kami bertemu di desa tempat asal kami.Semua orang langsung terperangah memandang ke arahku den
Aku sangat bersyukur ketika akhirnya operasi ibu bisa berjalan dengan lancar bahkan pemulihan ibu bisa berlangsung dengan sangat cepat.Selama beberapa hari ini Mas Bara memberikan aku kompensasi untuk membersamai ibu. Dia memberikan aku ijin untuk tetap tinggal di Surabaya sementara dia harus kembali ke Ibukota untuk menyelesaikan pekerjaannya yang sempat tertunda.Namun ketika Mas Bara telah mengetahui kabar tentang keadaan ibu yang sudah membaik, suamiku itu kemudian segera menjemput untuk memintaku kembali ke rumah kami.Aku masih bisa menahan segalanya bahkan menuruti keinginannya untuk kembali ke Jakarta. Lagi-lagi dia tetap tak mengijinkan aku untuk menemani ibu kembali ke kampung halamanku.Ibu pulang ke desa dengan diantar oleh Mbak Murni juga Mas Rahmat yang selama bertemu dengan Mas Bara selalu mendapatkan pengabaian dan tatapan tajam dari suamiku.Bahkan
Aku masih tak bisa menenangkan hati bahkan hingga keesokan harinya. Bahkan mungkin aku menjadi tak kuasa untuk menengok kedua anakku yang harusnya pagi ini harus aku persiapkan segala keperluan mereka sebelum berangkat ke sekolah.Aku masih bingung untuk menelaah apa yang telah aku ketahui saat ini.Aku hanya bisa termangu bahkan sampai beberapa lama, di atas balkon, memandang luruh ke arah kejauhan dengan pandangan kosong sementara pikiranku terlalu carut marut.Aku terlalu menaruh ekspektasi terlalu tinggi pada sosok lelaki yang menikahiku, menyandarkan terlalu banyak pada pundaknya hingga aku melupakan tentang sebuah kekuatan besar lainnya yang harusnya menjadi tempat aku memasrahkan segalanya.Beberapa kali aku menggumamkan istighfar diselingi helaan nafas panjang demi bisa menghilangkan rasa sesak di dada.Aku terus berpikir tentang langkah apa yang harus aku l
Setelah menimbang beberapa saat dan melewati perjalanan yang cukup panjang akhirnya aku menghentikan mobilku di sebuah penginapan kecil yang aku yakin akan sulit untuk dilacak oleh suamiku.Aku membayar dengan uang cash karena aku yakin penggunaan kartu apapun dari dompetku selalu bisa dengan mudah dilacak oleh suamiku.Bahkan sejak awal aku sudah meninggalkan gawai yang biasanya selalu aku pegang. Semua alat komunikasi yang dimiliki Raka dan Raya juga sudah aku lucuti.Aku memang berniat untuk benar-benar menjauh dan menghirup aura kebebasan dari sosok suami yang terlalu dominan dan otoriter.Semakin aku jauh aku malah semakin teringat dengan segala dominasi Mas Bara yang mencekikku dan membatasi setiap pergerakanku bahkan yang terakhir dia benar-benar tak memperbolehkan aku untuk keluar rumah sama sekali tanpa didampingi olehnya.Aku menganggap semua ini sudah sangat keterlalua
Aku terperangah ketika mendengar pertanyaan anakku.Aku menjadi tergeragap hingga sulit untuk memberikan jawaban atas pertanyaan Raka yang terlalu lugas itu.Aku mendesah panjang sebelum kemudian membalas tatapan Raka yang terunggah tajam padaku.“Bagaimana kamu bisa berpikir begitu?”“Tentu saja Ma, lagian kenapa kita pergi pas seharusnya aku dan Raya sekolah? Bukannya liburannya sudah selesai, dan kita waktu itu menghabiskannya di Amerika? Terus kenapa Mama tetap memaksa mengajak kami pergi?”Raka kembali mencecarku dengan pertanyaannya yang kritis. Kecerdasan Mas Bara benar-benar menurun pada anakku termasuk juga dengan sifat keras kepalanya.Aku mengedikkan bahu sesaat, lalu berusaha mengulas segaris senyuman wajar untuk putraku yang seperti memendam kecewa padaku.“Karena aku ingin mengajak
Aku mengernyit gelisah ketika mendengar kalimat ibu, seolah jika kedatangan kami bertiga sudah dia perkirakan.Aku menjadi ragu apa pada akhirnya ibu akan secepatnya mempertemukan kami semua dengan Mas Bara, sesuatu yang masih belum ingin aku lakukan.Aku tak langsung mendekat dan menghambur ke dalam pelukan ibuku. Padahal biasanya aku akan selalu mudah terbawa haru dengan setiap pertemuan kami yang memang tak bisa senantiasa tercipta.Setelah memberikan pelukan kepada anak-anakku ibu baru mengarahkan tatapannya yang lekat ke arahku.Senyumnya masih terurai meski tak selebar tadi.“Kamu tidak ingin memeluk Ibu, Rin?”Aku termangu sesaat meski kemudian aku tetap saja memeluk ibuku dengan sangat erat. Lega rasanya hatiku saat melihat ibu dalam keadaan sehat setelah beberapa waktu sebelumnya aku sempat melihat ibu dalam keadaan yang tak berdaya karen
Mbak Murni kemudian segera meminta pada Iqbal putra pertamanya untuk segera memanggil seorang dokter.“Bal, tolong panggilkan Bu Dokter Rahayu ke sini, cepetan ya Le!” seru Mbak Murni tegas.Tanpa banyak bertanya anak pertama dari Mbak Murni itu langsung berlari untuk memanggil dokter yang namanya seperti cukup familiar di telingaku.Setelah itu Mbak Murni membantuku untuk membawa Raya berbaring di kamar.Aku menjadi kian cemas saat mendapati demam anakku yang semakin meninggi.Melihat saudaranya sakit dan tidak berdaya, Raka juga menjadi sangat khawatir.Tapi kemudian putraku malah menatapku dengan sangat tajam.“Semua ini salah Mama, Raya sakit gara-gara Mama,” ucap Raka sengit terus saja menyalahkan aku.Aku terhenyak terus disudutkan oleh anakku.Aku tak b
“Assalamualaikum Rindu!”Aku sontak menoleh pada asal suara dan menjadi terperangah meski bibirku tetap memberikan jawaban atas salam yang sudah terlontar.“Wa’alaikumsalam, Mas Hilman?!”Aku perlahan mulai bangkit dari dudukku dan menghampiri teman lamaku yang sebelumnya kami sempat bertemu saat aku masih tinggal di Jakarta.Lelaki itu kulihat sekarang mengulas senyumnya dengan sangat lebar padaku.Wajahnya terlihat terlalu sumringah saat melihat diriku yang sedang mematung memandangnya.“Aku sudah mendengar keberadaan kamu di desa ini dari adikku Rahayu, rasanya ini sebuah keajaiban melihat kamu lagi di desa ini.”Mas Hilman dengan sangat lugas mengungkapkan kebahagiaannya.Aku menanggapi dengan datar segala antusiasnya.Aku tetap harus menjaga sik
“Diam, atau aku akan menembakmu seperti yang sudah aku lakukan pada Richard!” Aku terperangah saat mendengar pengakuan lelaki berwajah oriental itu. Pengakuannya jelas sangat mengagetkan aku. “Jadi kamu yang sudah menembak suamiku?!” sergahku tandas. Raymond malah tersenyum sarkas menanggapi. “Dia sendiri yang sudah memaksaku melakukan semua ini karena dia terlalu serakah,” tukas Raymond sengit. “Kamu gila!” Aku kembali memakinya dengan suara yang semakin kuat. “Tolong, tolong ....” Aku mulai berteriak ketika Raymond semakin kewalahan dan tak mampu lagi menutup mulutku. Pergerakan di pintu itu semakin intens bersamaan aku mendengar suara gebrakan yang sangat kuat beberapa kali. Raymond yang sedang menggila ini sudah menutup pintu dari dalam hingga sulit untuk dibuka. Pastinya orang-orang di luar ruangan sedang berusaha untuk mendobrak pintu itu. Sementara aku sendiri masih berjuang untuk membebaskan diri dari sergapan Raymond. Tapi beberapa detik kemudian kami malah dikejut
Aku menjadi terlalu kaget mendapati kedatangan Raymond yang sangat tak terduga.Tapi aku malah tak kuasa untuk menghalaunya yang membuat sosok itu terus mendekat dengan penuh rasa percaya diri.“Aku tak menyangka kalau dia mampu bertahan sampai sejauh ini setelah apa yang sudah dia alami,” ungkap lelaki itu sembari mengarahkan pandangannya pada Mas Bara yang sekarang hanya bisa terbaring tanpa kesadaran di atas brankar.Gelisah mulai menerjangku ketika aku mulai melihat tatapan adik dari suamiku yang kini malah memindaiku dengan sangat intens.Aku segera bangkit dan memasang sikap waspada.Setelah kemarin aku melihat sikap Raymond yang tampak berbeda begitu rapuh dan sedih tapi sekarang dia kembali menjadi sosoknya yang dulu, yang terasa licik menakutkan.“Bagaimana kamu bisa masuk ke dalam ruangan ini?”Selama ini mami melarang orang lain masuk menemui Mas Bara. Tak sembarangan orang boleh menemani Mas Bara. Hanya aku, oma dan mami yang memiliki akses untuk bisa memasuki ruangan. Kar
“Sekarang katakan saja apa kamu yang sudah membuat Richard seperti ini?” Abe malah melontarkan tuduhannya dengan terlalu lugas.Aku tak pernah menyangka jika sahabat terdekat suamiku itu akan mengungkapkan tuduhannya dengan sangat lugas pada Lina yang sebelumnya sempat kami bicarakan dan kami curigai.Lina membeliakkan mata, mengunggah kekagetannya yang terlalu ketara.Sejenak aku tak bisa mengartikan tentang ekspresi kekagetannya yang seperti itu.“Apa kamu yang sudah menembak Richard?”Abe kian menegaskan tuduhannya.Lina malah menanggapi dengan tenang hingga kemudian malah mencebik sarkas.“Jadi kalian sekarang mencurigaiku?”Aku dan Abe tak menjawab meski masih saja memberikan tatapan yang sangat lugas pada wanita yang sering mengunggah ekspresi sinisnya itu.“Aku merasa tak perlu untuk memberikan penjelasan apapun pada kalian,” pungkas wanita itu sembari langsung bangkit dari duduknya.Tapi sebelum melangkah wanita itu melemparkan pandangannya pada Abe yang sedang mengikuti perg
“Apa yang sedang kalian bicarakan?” Segera aku menoleh ke ambang pintu dan menjadi sangat kaget ketika melihat sosok yang sedang kami bicarakan telah berdiri di sana dengan memberikan tatapan yang terlalu tajam.Sempat aku merasa kalau dia sempat mendengar pembicaraanku bersama Abe tadi, yang kemudian menelusupkan rasa gelisah di dalam dada.“Kalian berdua terlihat terlalu dekat, dan aku yakin jika Richard melihat kedekatan kalian, dia tidak akan bisa menerima ini,” sindir wanita berbaju merah itu sangat sarkas.Dengan tatapan yang sama tajamnya aku mulai menentang sorot matanya. Enggan menampakkan ketundukan atas sikapnya yang selalu saja mengintimidasi.Sejak dulu Lina selalu mengunggah keangkuhannya terutama di hadapanku yang pastinya dia anggap sebagai saingan terbesarnya karena nyatanya memang hanya aku yang bisa mendapatkan hati Mas Bara sepenuhnya, sesuatu yang kini membawa kesadaranku kembali atas apa yang sudah aku dapatkan selama ini. Nyatanya memang tak ada yang paling ber
“Katakan padaku apa yang kamu ketahui tentang suamiku?”Aku segera mencecarnya dengan tak sabar, karena saat ini sekecil apapun informasi yang beredar sangat aku butuhkan karena aku benar-benar ingin menguak tabir misteri tentang penembakan suamiku yang sampai saat ini belum juga terungkap.Abe tampak memindaiku lebih lekat dan aku dengan tegas menentangnya tanpa keraguan.Lelaki bermata tajam itu kemudian menarik nafasnya sejenak sembari menautkan kedua tangannya di depan wajahnya yang lumayan good looking itu.“Sebenarnya sehari sebelum hari naas itu, aku dan Richard sempat bertemu di ruangan ini. Kami membicarakan banyak hal, terutama tentang dirimu dan segala penyesalannya.”Abe sengaja menghentikan kalimatnya kian intens memindaiku seakan ingin menebak apa yang ada di dalam pikiranku saat ini.Tapi aku memutuskan untuk membisu menunggunya melan
Sudah nyaris sebulan Mas Bara terbaring koma. Selama itu aku bertahan untuk tetap mendampingi walau keadaanku masih sering diserang mual dan rasa tak nyaman di perut.Tak ada alasan bagiku untuk menyerah karena saat ini prioritas utamaku tetap Mas Bara yang selalu aku yakini tetap bisa mendengar setiap kata yang aku ucapkan di telinganya.Bahkan setiap kali aku datang aku selalu membacakan ayat-ayat Ilahi, sebelum aku mulai mengajaknya mengobrol.“Mas, hari ini aku bawakan lavender, aromanya harum sekali. Kamu bisa menciumnya kan Mas?” tanyaku sembari mendekatkan bunga yang aku bawa di hidungnya.Aku selalu yakin jika Mas Bara selalu bisa merasakan apapun yang aku lakukan walau dia tak memberikan respon apapun. Bahkan tidak dengan kedipan mata, karena mata itu selalu terkatup rapat.Saat melihatnya tetap diam dan beku, hati ini mulai dirasuki kesedihan yang kian pekat
Rasa tidak nyaman kian menyerangku membuat sekujur tubuhku seakan melemah. Tapi saat ini aku memaksa untuk tetap tegar demi aku bisa memastikan bagaimana keadaan Mas Bara. Gelisah yang menyergapku memaksaku untuk bertahan dan tetap kuat meski sejak tadi rasa mual semakin menekan di dalam perutku.Bahkan ketika aku sampai di Jakarta, beberapa kali aku sudah memuntahkan isi perutku saat berada di dalam pesawat.Oma dan mami sempat menganggap apa yang aku rasakan hanya sekedar mabuk kendaraan.Tapi sesuatu di dalam diriku semakin tak bisa menampik praduga ini. Dengan pengalaman yang sempat aku dapatkan ketika mengandung Raka dan Raya, aku mulai bisa menegaskan pada diriku sendiri jika sekarang aku memang sedang berbadan dua.K
“Sesuatu telah terjadi pada Richard!”Ketika oma memekikkan nama suamiku segera aku mendekat dengan hati yang sudah diselimuti kabut kecemasan.“Ada apa dengan Mas Bara, Oma?” tanyaku menjadi kian khawatir.Sementara mami malah menatapku dengan gamang dan mulai menghampiriku untuk bisa memelukku dengan lembut.“Kita harus kembali ke Jakarta hari ini juga Rin.”Mami berucap dengan sangat sungguh-sungguh.Hatiku menjadi kian kuat memendam praduga yang buruk. Aku merasa sangat yakin jika sesuatu telah terjadi pada suamiku saat ini.“Katakan padaku, apa yang sudah terjadi Mi?” desakku semakin gelisah.“Richard membutuhkan kamu,” balas mami masih dengan mengunggah gurat kecemasan di wajahnya.Aku mengernyit penuh kecemasan.
Setiap orang bisa menganyam harapan tapi Tuhan yang akan menentukan segalanya. Walau berbagai macam cara telah diusahakan nyatanya, kehendak Tuhan yang tetap berlaku. Takdir telah menggariskan bahwa saat ini adalah perpisahan kami.Hatiku terus memendam rasa kehilangan yang bahkan membuatku terus menangis kala melepas jenazah ibu di pemakaman. Kini jasad yang sosok yang sangat aku sayangi itu telah berbaring di sisi makam bapak. Mereka akhirnya bersama lagi yang membuatku menghadirkan kembali segala kenangan kebersamaan keluarga kami dulu di permukaan ingatan.Tangisku semakin kuat nyaris menyedot segala ketegaran meski oma dan mami mendampingi untuk menguatkan. Sampai akhirnya semua saudaraku ikut mendekat dan kami mulai saling berangkulan berusaha untuk saling menularkan ketegaran.Bahkan Laras telah kembali dari Australia mengejar penerbangan pertama demi bisa ikut mengantarkan ibu menuju peristira