Setelah selesai berpakaian dan berhias sekedarnya aku lalu melangkah turun untuk memastikan tentang tamu yang dikatakan Mas Bara sudah menungguku.
Aku langsung terperangah ketika sosok berkumis tebal itu sudah duduk di ruang tengah bersama dengan suamiku yang ternyata juga sudah berada di sana.
Aku menjadi terlalu bingung saat mendapati sosok antagonis di dalam hidupku itu berada di dalam rumah ini. Setelah apa yang sudah dilakukannya dengan mengungkapkan rahasia Mas Bara padaku, rasanya terlalu ganjil bagiku mendapati Karso malah mendatangi suamiku.
“Sayang, duduklah di dekatku,” ucap Mas Bara ketika aku sudah mulai berada di dekat mereka.
Aku masih saja menampilkan aura kekagetanku meski aku mulai duduk di samping Mas Bara yang kini bahkan sudah meraih tanganku.
“Kamu pasti kaget kan melihat Karso berada di sini?”
Masih
Ketika mendengar pertanyaanku yang terdengar sangat lugas dan mendesak, Karso mulai terlihat gamang. Lelaki berwajah sangar yang selama ini selalu menampakkan kegarangannya di hadapan kakak perempuanku itu, menampakkan sisi lain dirinya yang sangat jarang aku lihat.“Aku terpaksa mengungkapkan rahasia itu karena Nyonya Lina sudah menjebakku, dan dia mengancamku untuk berpihak padanya dengan memaksaku untuk menemui kamu dan mengatakan rahasia yang sudah aku janjikan untuk aku simpan kepada Pak Bara.”Karso terlihat jujur membuat pengakuan.Aku terpekur memandangnya berusaha untuk menelaah kata-katanya demi bisa menemukan kebenaran yang sedang ingin aku cari.“Tapi aku benar-benar ingin tahu kalau Pak Bara melakukan semua itu sesungguhnya demi kebaikan kamu.”Karso kembali menatapku lurus dan aku menentangnya dengan lebih lugas.“A
Kedua mata Mas Bara langsung menatap nyalang ketika melihat sosok Abe telah berdiri di hadapannya sembari menggandeng Nico yang sedang mengembangkan senyum lebarnya ke arahku.“Abe?!” sergah Mas Bara seakan tak percaya.Sementara Nico kemudian malah menghambur mendekat padaku.“Mama!” seru anak lelaki itu dengan sangat girang.Aku menyambut tubuh anakku ke dalam pelukanku untuk beberapa saat, meski sekarang tatapan Mas Bara menyergapku dengan sangat tajam. Jelas suamiku sama sekali tidak senang dengan kehadiran bapak dan anak yang sebenarnya adalah teman baiknya sendiri itu.“Apa yang kamu lakukan di sini?” tukas Mas Bara kemudian dengan tatapannya yang masih saja terunggah lugas.Abe malah mengedikkan bahu sembari tersenyum lebar.“Tentu saja kami sedang menikmati masa liburan kami di sini,&rdquo
“Rindu!” sergah Mas Bara dengan melontarkan kemarahannya yang begitu lugas.Aku sontak memalingkan pandangan ke arah suamiku sendiri yang langsung menyajikan gurat kecewanya saat aku sempat melirik pada Abe yang baru saja melakukan latihan di ruang olahraga ini.“Jaga mata kamu Rin,” sergah Mas Bara semakin tegas yang membuatku malah memejamkan mata dan menyesali lirikan singkatku pada lelaki lain yang memantik amarah suamiku.“Kalian nggak ikut olahraga dulu?”Abe tetap saja mendekat dan malah menawarkan kepada kami untuk ikut berolahraga.“Aku nggak ada waktu,” sergah Mas Bara kesal lalu segera menarik tanganku dan membawaku menjauh dari pria itu yang malah mengulas senyuman lebar, sama sekali tak menjadi tersinggung dengan sikap antipati Mas Bara yang malah dianggapnya lucu.Dengan sangat tegas Mas Bara lalu
“Telepon dari siapa Mas?”Nyatanya Mas Bara malah mengacuhkan aku lebih memilih menjauh untuk menjawab panggilan yang telah merusak suasana kebersamaan kami yang penuh bahagia ini.Aku tak mau mengusik suamiku yang memang seringkali menyembunyikan beberapa persoalan dariku, terutama soal pekerjaan yang pada dasarnya aku juga tak terlalu paham.Aku berpikir tak seharusnya untuk mencampuri urusan suamiku dan memutuskan untuk melanjutkan permainan bersama anak-anak, membuat bola-bola salju lalu saling melempar dan tertawa bersama.Sampai akhirnya Mas Bara menyelesaikan pembicaraannya bersama seseorang dari seberang sana yang aku tak tahu siapa itu, dan kembali bergabung bersama kami.Mas Bara tampak bersikap biasa tanpa mengulik sedikitpun dengan apa yang sudah dibicarakannya tadi. Aku menjadi enggan untuk bertanya lebih jauh karena aku tak mau menghancurkan
{“Hallo, Pak Bara?!”}{“Bagaimana Pak, apa Rindu dapat Pak Bara ijinkan untuk menengok ibu? Sekarang keadaan ibu kami semakin payah dia terus menanyakan Rindu.”}Saat mendengar suara kecemasan Mbak Murni aku menjadi terusik untuk bertanya.{“Kenapa dengan ibu, Mbak?”} tanyaku menjadi sangat khawatir.Nyatanya aku tak langsung mendapatkan jawaban. Aku bisa merasakan kalau Mbak Murni seperti terkejut saat mendengar suaraku yang pasti tidak diduganya.{“Mbak apa ibu sakit?!”}Aku semakin mendesak karena mendapati Mbak Murni yang terdengar enggan untuk berterus terang.b{“Iya Rin, Ibu memang sedang sakit dan dia terus menanyakan kamu, apa kamu bisa menjenguknya Rin?”}{“Apa Ibu sudah dibawa ke rumah sakit?”}{“Ibu memang sed
Mas Bara mendesah jengah ketika melihat sosok Abe yang sedang berjalan mendekat ke arah kami.“Kalian akan ke mana? Ini sudah sangat larut? Apa kalian tidak bersama anak-anak?” tanya pria yang selalu saja mengikuti acara liburan kami, sesuatu yang masih belum aku mengerti.Kini tatapan Mas Bara menjadi sangat tegas sembari tetap menggandeng tanganku.“Aku tidak punya waktu untuk menjawab pertanyaanmu, kami sedang terburu-buru,” tegas Mas Bara sembari kembali melanjutkan langkahnya yang membuatku harus mengikutinya.Nyatanya Abe memang tak mengikuti kami dan hanya memandang kepergianku bersama Mas Bara dari ambang pintu hingga kami masuk ke dalam mobil yang sudah menunggu.Sepanjang perjalanan Mas Bara diam membeku bahkan tampak tak tertarik sama sekali untuk membahas tentang Abe yang tadi sempat mengesalkan karena seperti selalu mengikuti ke manapun kami p
Baru juga satu jam aku menemani ibu, Mas Bara sudah memintaku untuk meninggalkan rumah sakit. Jelas aku menolak meski aku tegaskan penolakanku dengan nada yang tidak terlalu lugas.“Mas, aku ingin menggantikan Mbak Murni sebentar karena selama ini Mbak Murni sudah menemani ibu sekian lama.”Aku mengungkapkan alasanku.Sementara aku lihat saat ini Mbak Murni malah menjadi gelisah.“Rin, sebaiknya kamu beristirahat dulu, bukankah kamu baru saja menempuh perjalanan sangat jauh? Pasti kamu sangat letih,” ucap Mbak Murni sembari memandangku lurus.“Benar kata Mbakmu, kamu itu masih lelah jadi jangan memaksa berada di sini, aku tak mau kalau kamu sakit.”Ibu menyahut sembari meraih tanganku dengan lembut.“Kamu dengar kan kata mereka, jadi ayo kita pergi dulu, nanti setelah kamu beristirahat aku akan me
Aku masih saja menunggu berharap jika pembicaraan mereka nantinya akan mengungkap apa yang selama ini sudah mereka sembunyikan dariku.Dadaku sudah berdebar tak tenang, tapi aku tetap bertahan.“Walau dia sudah memberikan kita banyak uang, tapi tetap saja fakta itu tidak berubah bahwa nyatanya lelaki yang sudah menikahi adik kita Rindu adalah pembunuh bapak kita.”Kalimat yang baru saja diungkapkan oleh Mas Rahmat benar-benar mengagetkan aku hingga aku tak lagi bisa menahan diri untuk langsung masuk ke dalam ruang perawatan demi bisa mendapatkan segala penjelasan atas apa yang sudah aku dengar.“Apa yang kamu bilang Mas?!” sergahku mencecar ke arah saudara tertuaku yang sekarang terlihat sangat menyedihkan daripada yang aku ingat saat terakhir kali kami bertemu di desa tempat asal kami.Semua orang langsung terperangah memandang ke arahku den
“Diam, atau aku akan menembakmu seperti yang sudah aku lakukan pada Richard!” Aku terperangah saat mendengar pengakuan lelaki berwajah oriental itu. Pengakuannya jelas sangat mengagetkan aku. “Jadi kamu yang sudah menembak suamiku?!” sergahku tandas. Raymond malah tersenyum sarkas menanggapi. “Dia sendiri yang sudah memaksaku melakukan semua ini karena dia terlalu serakah,” tukas Raymond sengit. “Kamu gila!” Aku kembali memakinya dengan suara yang semakin kuat. “Tolong, tolong ....” Aku mulai berteriak ketika Raymond semakin kewalahan dan tak mampu lagi menutup mulutku. Pergerakan di pintu itu semakin intens bersamaan aku mendengar suara gebrakan yang sangat kuat beberapa kali. Raymond yang sedang menggila ini sudah menutup pintu dari dalam hingga sulit untuk dibuka. Pastinya orang-orang di luar ruangan sedang berusaha untuk mendobrak pintu itu. Sementara aku sendiri masih berjuang untuk membebaskan diri dari sergapan Raymond. Tapi beberapa detik kemudian kami malah dikejut
Aku menjadi terlalu kaget mendapati kedatangan Raymond yang sangat tak terduga.Tapi aku malah tak kuasa untuk menghalaunya yang membuat sosok itu terus mendekat dengan penuh rasa percaya diri.“Aku tak menyangka kalau dia mampu bertahan sampai sejauh ini setelah apa yang sudah dia alami,” ungkap lelaki itu sembari mengarahkan pandangannya pada Mas Bara yang sekarang hanya bisa terbaring tanpa kesadaran di atas brankar.Gelisah mulai menerjangku ketika aku mulai melihat tatapan adik dari suamiku yang kini malah memindaiku dengan sangat intens.Aku segera bangkit dan memasang sikap waspada.Setelah kemarin aku melihat sikap Raymond yang tampak berbeda begitu rapuh dan sedih tapi sekarang dia kembali menjadi sosoknya yang dulu, yang terasa licik menakutkan.“Bagaimana kamu bisa masuk ke dalam ruangan ini?”Selama ini mami melarang orang lain masuk menemui Mas Bara. Tak sembarangan orang boleh menemani Mas Bara. Hanya aku, oma dan mami yang memiliki akses untuk bisa memasuki ruangan. Kar
“Sekarang katakan saja apa kamu yang sudah membuat Richard seperti ini?” Abe malah melontarkan tuduhannya dengan terlalu lugas.Aku tak pernah menyangka jika sahabat terdekat suamiku itu akan mengungkapkan tuduhannya dengan sangat lugas pada Lina yang sebelumnya sempat kami bicarakan dan kami curigai.Lina membeliakkan mata, mengunggah kekagetannya yang terlalu ketara.Sejenak aku tak bisa mengartikan tentang ekspresi kekagetannya yang seperti itu.“Apa kamu yang sudah menembak Richard?”Abe kian menegaskan tuduhannya.Lina malah menanggapi dengan tenang hingga kemudian malah mencebik sarkas.“Jadi kalian sekarang mencurigaiku?”Aku dan Abe tak menjawab meski masih saja memberikan tatapan yang sangat lugas pada wanita yang sering mengunggah ekspresi sinisnya itu.“Aku merasa tak perlu untuk memberikan penjelasan apapun pada kalian,” pungkas wanita itu sembari langsung bangkit dari duduknya.Tapi sebelum melangkah wanita itu melemparkan pandangannya pada Abe yang sedang mengikuti perg
“Apa yang sedang kalian bicarakan?” Segera aku menoleh ke ambang pintu dan menjadi sangat kaget ketika melihat sosok yang sedang kami bicarakan telah berdiri di sana dengan memberikan tatapan yang terlalu tajam.Sempat aku merasa kalau dia sempat mendengar pembicaraanku bersama Abe tadi, yang kemudian menelusupkan rasa gelisah di dalam dada.“Kalian berdua terlihat terlalu dekat, dan aku yakin jika Richard melihat kedekatan kalian, dia tidak akan bisa menerima ini,” sindir wanita berbaju merah itu sangat sarkas.Dengan tatapan yang sama tajamnya aku mulai menentang sorot matanya. Enggan menampakkan ketundukan atas sikapnya yang selalu saja mengintimidasi.Sejak dulu Lina selalu mengunggah keangkuhannya terutama di hadapanku yang pastinya dia anggap sebagai saingan terbesarnya karena nyatanya memang hanya aku yang bisa mendapatkan hati Mas Bara sepenuhnya, sesuatu yang kini membawa kesadaranku kembali atas apa yang sudah aku dapatkan selama ini. Nyatanya memang tak ada yang paling ber
“Katakan padaku apa yang kamu ketahui tentang suamiku?”Aku segera mencecarnya dengan tak sabar, karena saat ini sekecil apapun informasi yang beredar sangat aku butuhkan karena aku benar-benar ingin menguak tabir misteri tentang penembakan suamiku yang sampai saat ini belum juga terungkap.Abe tampak memindaiku lebih lekat dan aku dengan tegas menentangnya tanpa keraguan.Lelaki bermata tajam itu kemudian menarik nafasnya sejenak sembari menautkan kedua tangannya di depan wajahnya yang lumayan good looking itu.“Sebenarnya sehari sebelum hari naas itu, aku dan Richard sempat bertemu di ruangan ini. Kami membicarakan banyak hal, terutama tentang dirimu dan segala penyesalannya.”Abe sengaja menghentikan kalimatnya kian intens memindaiku seakan ingin menebak apa yang ada di dalam pikiranku saat ini.Tapi aku memutuskan untuk membisu menunggunya melan
Sudah nyaris sebulan Mas Bara terbaring koma. Selama itu aku bertahan untuk tetap mendampingi walau keadaanku masih sering diserang mual dan rasa tak nyaman di perut.Tak ada alasan bagiku untuk menyerah karena saat ini prioritas utamaku tetap Mas Bara yang selalu aku yakini tetap bisa mendengar setiap kata yang aku ucapkan di telinganya.Bahkan setiap kali aku datang aku selalu membacakan ayat-ayat Ilahi, sebelum aku mulai mengajaknya mengobrol.“Mas, hari ini aku bawakan lavender, aromanya harum sekali. Kamu bisa menciumnya kan Mas?” tanyaku sembari mendekatkan bunga yang aku bawa di hidungnya.Aku selalu yakin jika Mas Bara selalu bisa merasakan apapun yang aku lakukan walau dia tak memberikan respon apapun. Bahkan tidak dengan kedipan mata, karena mata itu selalu terkatup rapat.Saat melihatnya tetap diam dan beku, hati ini mulai dirasuki kesedihan yang kian pekat
Rasa tidak nyaman kian menyerangku membuat sekujur tubuhku seakan melemah. Tapi saat ini aku memaksa untuk tetap tegar demi aku bisa memastikan bagaimana keadaan Mas Bara. Gelisah yang menyergapku memaksaku untuk bertahan dan tetap kuat meski sejak tadi rasa mual semakin menekan di dalam perutku.Bahkan ketika aku sampai di Jakarta, beberapa kali aku sudah memuntahkan isi perutku saat berada di dalam pesawat.Oma dan mami sempat menganggap apa yang aku rasakan hanya sekedar mabuk kendaraan.Tapi sesuatu di dalam diriku semakin tak bisa menampik praduga ini. Dengan pengalaman yang sempat aku dapatkan ketika mengandung Raka dan Raya, aku mulai bisa menegaskan pada diriku sendiri jika sekarang aku memang sedang berbadan dua.K
“Sesuatu telah terjadi pada Richard!”Ketika oma memekikkan nama suamiku segera aku mendekat dengan hati yang sudah diselimuti kabut kecemasan.“Ada apa dengan Mas Bara, Oma?” tanyaku menjadi kian khawatir.Sementara mami malah menatapku dengan gamang dan mulai menghampiriku untuk bisa memelukku dengan lembut.“Kita harus kembali ke Jakarta hari ini juga Rin.”Mami berucap dengan sangat sungguh-sungguh.Hatiku menjadi kian kuat memendam praduga yang buruk. Aku merasa sangat yakin jika sesuatu telah terjadi pada suamiku saat ini.“Katakan padaku, apa yang sudah terjadi Mi?” desakku semakin gelisah.“Richard membutuhkan kamu,” balas mami masih dengan mengunggah gurat kecemasan di wajahnya.Aku mengernyit penuh kecemasan.
Setiap orang bisa menganyam harapan tapi Tuhan yang akan menentukan segalanya. Walau berbagai macam cara telah diusahakan nyatanya, kehendak Tuhan yang tetap berlaku. Takdir telah menggariskan bahwa saat ini adalah perpisahan kami.Hatiku terus memendam rasa kehilangan yang bahkan membuatku terus menangis kala melepas jenazah ibu di pemakaman. Kini jasad yang sosok yang sangat aku sayangi itu telah berbaring di sisi makam bapak. Mereka akhirnya bersama lagi yang membuatku menghadirkan kembali segala kenangan kebersamaan keluarga kami dulu di permukaan ingatan.Tangisku semakin kuat nyaris menyedot segala ketegaran meski oma dan mami mendampingi untuk menguatkan. Sampai akhirnya semua saudaraku ikut mendekat dan kami mulai saling berangkulan berusaha untuk saling menularkan ketegaran.Bahkan Laras telah kembali dari Australia mengejar penerbangan pertama demi bisa ikut mengantarkan ibu menuju peristira