Sungguh aku tak menyangka kalau Mas Bara akan memintaku untuk menemaninya mengunjungi makam bapak.
“Sebentar lagi kita akan pergi meninggalkan desa ini, jadi kita harus berpamitan dulu pada bapak kamu,” ucap Mas Bara tanpa aku harus bertanya terlebih dahulu tentang alasannya yang mendadak mengajakku untuk menziarahi makam bapak.
Dengan keterbatasan pengetahuan agamanya, Mas Bara hanya memimpin bacaan Al Fatihah untuk berkirim doa pada bapakku.
Setelah itu aku mulai memperhatikan tatapan Mas Bara yang terlihat penuh makna ke arah kuburan bapak. Aku tak bisa memastikan apapun, tak tahu apa yang sedang dipikirkan oleh Mas Bara saat ini. Sepanjang yang aku tahu antara Mas Bara dan bapak tak terlalu kenal dengan begitu akrab sebelumnya.
Meski aku melihat mereka pernah saling bertegur sapa, itu hanya sambil lalu, bahkan mereka tak pernah aku dapati saling mengobrol bersama. Terlebih sebelumnya
Mas Bara segera membawa aku ke dalam dekapannya ketika kami baru saja selesai memacu hasrat bersama, yang sudah untuk yang ke sekian kali. Aku merasa terlalu lelah sekarang hingga menjadi cepat terlelap, menjadi terasa semakin nyaman ketika menyandarkan diri di atas dada bidang suamiku sendiri sembari menghirup aroma khas tubuhnya perpaduan feromon asli dirinya dengan harum citrus yang selalu menyegarkan. “Aku menyayangimu Rin,” gumamam itu terdengar samar di telingaku, diantara pikiranku yang sudah mulai jatuh dalam ketidaksadaran. Entah sampai berapa lama aku terlelap, nyatanya ketika terbangun aku sudah tak mendapati suamiku berada di sisiku. Aku kembali sendiri terbaring di atas ranjang dengan memendam rasa penasaran atas keberadaan Mas Bara saat ini. Perlahan aku mengangkat punggungku segera menyadari keadaanku yang masih sepenuhnya polos yang langsung menghantarkan ingatanku pada apa yang sudah kami lakukan bersama tadi malam. Apa yang terjadi semalam terlalu luar biasa untu
Aku memilih untuk mengitari sekeliling pantai Saba terlebih dahulu daripada mengikuti tawaran Rina yang lain saat dia berniat untuk mengantarkan aku ke Ubud melihat pentas seni yang kemudian dilanjutkan berbelanja di salah satu pasar rakyat.Aku berjalan sendirian dengan kaki telanjangku langsung menapak di atas pasir Pantai Saba yang berwarna hitam.Vila yang kami tempati sekarang berada dekat dengan wilayah pantai yang pemandangannya terlihat sangat eksotik di mataku.Hembusan angin pantai aku biarkan membelai dengan lugas pada wajah dan hijabku yang sekarang mulai ikut berterbangan mengikuti arah pergerakan angin, seakan mempermainkan seluruh diriku seperti juga hatiku saat ini yang menjadi terombang-ambing dalam segala keadaan yang saat ini masih sulit untuk aku mengerti.Setelah beberapa lama berpikir, aku merasa berhak untuk mengetahui segala hal tentang suamiku, tentang Mas Bara yang ternyata
“Kenapa kamu tak berterus terang sedari awal padaku, Mas?” sergahku yang semakin tak bisa menahan diri lagi.Nyatanya Mas Bara masih bisa begitu tenang saat menghadapi kekesalanku.Wajahnya tetap menampakkan gurat kelembutan yang benar-benar membuat dadaku terasa sangat membuncah.“Katakan padaku siapa kamu sebenarnya Mas?” desakku lagi menjadi kian terbawa emosi bahkan aku mulai memukuli dada bidangnya yang hanya dia biarkan saja tanpa berusaha mencegahku.Mas Bara seakan ingin memberikan aku kesempatan untuk meluapkan segala emosiku.“Kenapa kamu membohongi aku?!”Aku semakin kesal saat Mas Bara masih saja menguarkan ketenangannya. Pukulanku pada dadanya menjadi semakin intens yang membuatnya akhirnya harus menahan kedua tanganku.Aku menjadi memberontak kian keras. Aku semakin tak bisa menahan kegera
Jelas aku mendengar Mas Bara menyebut nama ‘Lina’ sembari terus berlalu pergi hanya demi bisa menerima panggilan itu secara lebih pribadi.Aku yakin aku tidak salah dengar, bukan Rina tapi Lina karena saat ini asisten pribadi yang ditunjuk Mas Bara untuk melayani semua keperluan itu bahkan masih berdiri tak jauh dari meja makan tempat aku menghabiskan sarapanku saat ini.Aku tak bisa menutupi gelisahku, dengan hati memendam rasa ingin tahu tentang siapa wanita bernama Lina itu juga apa hubungan wanita itu dengan suamiku.Tapi sebelum aku terseret kian jauh dengan berbagai prasangka, beberapa jeda berikutnya Mas Bara kembali muncul dengan gurat wajah yang menampakkan kegeraman. Meski hanya sekilas terlihat karena segera berganti dengan senyuman lebar saat memandangku, aku malah semakin tak bisa menghempaskan rasa penasaranku.Ingin aku bertanya, tapi aku menahan diri, karena aku tak mau me
Rina menjadi sangat serba salah saat memandangku.“Aku belum genap 18 tahun Mbak Rina, kemarin pas aku nikah sama Mas Bara aku masih 17 tahun, baru lulus SMA, kedengarannya aku menjadi sangat tua gitu kalau Mbak Rina manggil aku Nyonya Muda. Lagipula aku ini cuma orang desa Mbak Rina, aku bukan orang kaya juga, dan keluargaku juga keturunan ningrat, rasanya semua itu berlebihan Mbak.”Aku mulai mengutarakan semua yang mengganjal di hati pada asisten pribadiku itu.“Tapi Tuan Richard akan menegurku kalau aku memanggil Nyonya Muda dengan sebutan yang lain, maaf aku tidak bisa melakukannya.”“Tapi sekarang kan nggak ada Mas Bara di sini. Cuma ada Mbak Rina sama sopir dan dua orang pengawal saja. Padahal aku pengen kita bisa berteman karena aku di sini nggak punya teman. Mbak Rina mau kan jadi temanku?”Aku mulai menawarkan pada sosok yang selalu t
Mendengar panggilan Rina yang kembali sangat formal padaku aku menjadi sangat ganjil. Terlebih Rina dan kedua orang pengawalku bergegas menggiringku untuk segera masuk ke dalam mobil yang dengan segera sudah disiapkan di depan pelataran tempat perbelanjaan itu, yang membuat aku menjadi bertanya-tanya.“Kenapa tergesa-gesa seperti ini Mbak Rina?” tanyaku masih saja merasa janggal dengan sikap semua orang sekarang.“Tidak apa-apa Nyonya Muda.”“Kamu kok manggil aku gitu lagi sih Mbak?”“Maaf, karena sebentar lagi kita akan bertemu dengan Tuan Richard jadi aku harus kembali menjaga sikapku, maafkan aku Nyonya Muda.”Aku langsung mendesah kecewa, lalu lebih memilih diam karena nyatanya suasana sekarang menjadi sangat membuatku tak nyaman karena semua tampak tegang seperti sedang ingin menghindari sesuatu yang sama sekali tak aku ketahui
“Apa telah terjadi sesuatu Mas?”Aku semakin tak bisa menutupi kegusaranku terlebih saat aku melihat ekspresi wajah Mas Bara yang semakin serius.“Kamu harus ke Surabaya hari ini,” tegas Mas Bara sembari memberi aku isyarat untuk duduk di sisinya dengan tepukan pelan pada sisi sofa yang masih lapang.Meski aku terperangah kaget tapi menuruti saja apa yang dikehendaki suamiku untuk duduk di sisinya.“Apa Mas juga akan pergi sama aku?”Aku tak bisa lagi menahan rasa ingin tahuku.“Tidak, tapi Rina, Damian dan Dony yang akan mendampingi kamu. Hamdan juga sudah mengatur segala urusan kamu di Surabaya.”Aku langsung mengernyit jengah ketika mendengar ucapan Mas Bara.“Jadi aku akan pergi sendiri?”&ldq
Aku memandang nanar pada awan yang berarak yang tampak sangat jelas terlihat dari balik jendela pesawat yang aku tumpangi. Ini adalah pengalaman keduaku menaiki burung besi yang sekarang sedang membelah langit Bali. Berbeda dengan kemarin saat aku menaikinya bersama Mas Bara, hari ini hatiku dipenuhi dengan kegusaran juga kesedihan yang tak bisa aku tampik. Tak ada bahagia yang meraja karena saat ini kami bahkan terpisah jarak dan waktu. Mas Bara dengan begitu lugas meminta aku untuk pergi, tanpa dirinya. Tapi selalu saja aku tak memiliki daya untuk bisa tetap tinggal bersamanya. Belum lagi dengan segala misteri Mas Bara yang semakin membekapku dengan banyak tanya. Semakin aku tahu semakin aku tak bisa memahami. Bahkan fakta tentang suamiku yang ternyata seorang Tuan Muda dari keluarga Taipan kaya raya, benar-benar tak bisa aku telaah dengan nalar. Semua keistime
“Diam, atau aku akan menembakmu seperti yang sudah aku lakukan pada Richard!” Aku terperangah saat mendengar pengakuan lelaki berwajah oriental itu. Pengakuannya jelas sangat mengagetkan aku. “Jadi kamu yang sudah menembak suamiku?!” sergahku tandas. Raymond malah tersenyum sarkas menanggapi. “Dia sendiri yang sudah memaksaku melakukan semua ini karena dia terlalu serakah,” tukas Raymond sengit. “Kamu gila!” Aku kembali memakinya dengan suara yang semakin kuat. “Tolong, tolong ....” Aku mulai berteriak ketika Raymond semakin kewalahan dan tak mampu lagi menutup mulutku. Pergerakan di pintu itu semakin intens bersamaan aku mendengar suara gebrakan yang sangat kuat beberapa kali. Raymond yang sedang menggila ini sudah menutup pintu dari dalam hingga sulit untuk dibuka. Pastinya orang-orang di luar ruangan sedang berusaha untuk mendobrak pintu itu. Sementara aku sendiri masih berjuang untuk membebaskan diri dari sergapan Raymond. Tapi beberapa detik kemudian kami malah dikejut
Aku menjadi terlalu kaget mendapati kedatangan Raymond yang sangat tak terduga.Tapi aku malah tak kuasa untuk menghalaunya yang membuat sosok itu terus mendekat dengan penuh rasa percaya diri.“Aku tak menyangka kalau dia mampu bertahan sampai sejauh ini setelah apa yang sudah dia alami,” ungkap lelaki itu sembari mengarahkan pandangannya pada Mas Bara yang sekarang hanya bisa terbaring tanpa kesadaran di atas brankar.Gelisah mulai menerjangku ketika aku mulai melihat tatapan adik dari suamiku yang kini malah memindaiku dengan sangat intens.Aku segera bangkit dan memasang sikap waspada.Setelah kemarin aku melihat sikap Raymond yang tampak berbeda begitu rapuh dan sedih tapi sekarang dia kembali menjadi sosoknya yang dulu, yang terasa licik menakutkan.“Bagaimana kamu bisa masuk ke dalam ruangan ini?”Selama ini mami melarang orang lain masuk menemui Mas Bara. Tak sembarangan orang boleh menemani Mas Bara. Hanya aku, oma dan mami yang memiliki akses untuk bisa memasuki ruangan. Kar
“Sekarang katakan saja apa kamu yang sudah membuat Richard seperti ini?” Abe malah melontarkan tuduhannya dengan terlalu lugas.Aku tak pernah menyangka jika sahabat terdekat suamiku itu akan mengungkapkan tuduhannya dengan sangat lugas pada Lina yang sebelumnya sempat kami bicarakan dan kami curigai.Lina membeliakkan mata, mengunggah kekagetannya yang terlalu ketara.Sejenak aku tak bisa mengartikan tentang ekspresi kekagetannya yang seperti itu.“Apa kamu yang sudah menembak Richard?”Abe kian menegaskan tuduhannya.Lina malah menanggapi dengan tenang hingga kemudian malah mencebik sarkas.“Jadi kalian sekarang mencurigaiku?”Aku dan Abe tak menjawab meski masih saja memberikan tatapan yang sangat lugas pada wanita yang sering mengunggah ekspresi sinisnya itu.“Aku merasa tak perlu untuk memberikan penjelasan apapun pada kalian,” pungkas wanita itu sembari langsung bangkit dari duduknya.Tapi sebelum melangkah wanita itu melemparkan pandangannya pada Abe yang sedang mengikuti perg
“Apa yang sedang kalian bicarakan?” Segera aku menoleh ke ambang pintu dan menjadi sangat kaget ketika melihat sosok yang sedang kami bicarakan telah berdiri di sana dengan memberikan tatapan yang terlalu tajam.Sempat aku merasa kalau dia sempat mendengar pembicaraanku bersama Abe tadi, yang kemudian menelusupkan rasa gelisah di dalam dada.“Kalian berdua terlihat terlalu dekat, dan aku yakin jika Richard melihat kedekatan kalian, dia tidak akan bisa menerima ini,” sindir wanita berbaju merah itu sangat sarkas.Dengan tatapan yang sama tajamnya aku mulai menentang sorot matanya. Enggan menampakkan ketundukan atas sikapnya yang selalu saja mengintimidasi.Sejak dulu Lina selalu mengunggah keangkuhannya terutama di hadapanku yang pastinya dia anggap sebagai saingan terbesarnya karena nyatanya memang hanya aku yang bisa mendapatkan hati Mas Bara sepenuhnya, sesuatu yang kini membawa kesadaranku kembali atas apa yang sudah aku dapatkan selama ini. Nyatanya memang tak ada yang paling ber
“Katakan padaku apa yang kamu ketahui tentang suamiku?”Aku segera mencecarnya dengan tak sabar, karena saat ini sekecil apapun informasi yang beredar sangat aku butuhkan karena aku benar-benar ingin menguak tabir misteri tentang penembakan suamiku yang sampai saat ini belum juga terungkap.Abe tampak memindaiku lebih lekat dan aku dengan tegas menentangnya tanpa keraguan.Lelaki bermata tajam itu kemudian menarik nafasnya sejenak sembari menautkan kedua tangannya di depan wajahnya yang lumayan good looking itu.“Sebenarnya sehari sebelum hari naas itu, aku dan Richard sempat bertemu di ruangan ini. Kami membicarakan banyak hal, terutama tentang dirimu dan segala penyesalannya.”Abe sengaja menghentikan kalimatnya kian intens memindaiku seakan ingin menebak apa yang ada di dalam pikiranku saat ini.Tapi aku memutuskan untuk membisu menunggunya melan
Sudah nyaris sebulan Mas Bara terbaring koma. Selama itu aku bertahan untuk tetap mendampingi walau keadaanku masih sering diserang mual dan rasa tak nyaman di perut.Tak ada alasan bagiku untuk menyerah karena saat ini prioritas utamaku tetap Mas Bara yang selalu aku yakini tetap bisa mendengar setiap kata yang aku ucapkan di telinganya.Bahkan setiap kali aku datang aku selalu membacakan ayat-ayat Ilahi, sebelum aku mulai mengajaknya mengobrol.“Mas, hari ini aku bawakan lavender, aromanya harum sekali. Kamu bisa menciumnya kan Mas?” tanyaku sembari mendekatkan bunga yang aku bawa di hidungnya.Aku selalu yakin jika Mas Bara selalu bisa merasakan apapun yang aku lakukan walau dia tak memberikan respon apapun. Bahkan tidak dengan kedipan mata, karena mata itu selalu terkatup rapat.Saat melihatnya tetap diam dan beku, hati ini mulai dirasuki kesedihan yang kian pekat
Rasa tidak nyaman kian menyerangku membuat sekujur tubuhku seakan melemah. Tapi saat ini aku memaksa untuk tetap tegar demi aku bisa memastikan bagaimana keadaan Mas Bara. Gelisah yang menyergapku memaksaku untuk bertahan dan tetap kuat meski sejak tadi rasa mual semakin menekan di dalam perutku.Bahkan ketika aku sampai di Jakarta, beberapa kali aku sudah memuntahkan isi perutku saat berada di dalam pesawat.Oma dan mami sempat menganggap apa yang aku rasakan hanya sekedar mabuk kendaraan.Tapi sesuatu di dalam diriku semakin tak bisa menampik praduga ini. Dengan pengalaman yang sempat aku dapatkan ketika mengandung Raka dan Raya, aku mulai bisa menegaskan pada diriku sendiri jika sekarang aku memang sedang berbadan dua.K
“Sesuatu telah terjadi pada Richard!”Ketika oma memekikkan nama suamiku segera aku mendekat dengan hati yang sudah diselimuti kabut kecemasan.“Ada apa dengan Mas Bara, Oma?” tanyaku menjadi kian khawatir.Sementara mami malah menatapku dengan gamang dan mulai menghampiriku untuk bisa memelukku dengan lembut.“Kita harus kembali ke Jakarta hari ini juga Rin.”Mami berucap dengan sangat sungguh-sungguh.Hatiku menjadi kian kuat memendam praduga yang buruk. Aku merasa sangat yakin jika sesuatu telah terjadi pada suamiku saat ini.“Katakan padaku, apa yang sudah terjadi Mi?” desakku semakin gelisah.“Richard membutuhkan kamu,” balas mami masih dengan mengunggah gurat kecemasan di wajahnya.Aku mengernyit penuh kecemasan.
Setiap orang bisa menganyam harapan tapi Tuhan yang akan menentukan segalanya. Walau berbagai macam cara telah diusahakan nyatanya, kehendak Tuhan yang tetap berlaku. Takdir telah menggariskan bahwa saat ini adalah perpisahan kami.Hatiku terus memendam rasa kehilangan yang bahkan membuatku terus menangis kala melepas jenazah ibu di pemakaman. Kini jasad yang sosok yang sangat aku sayangi itu telah berbaring di sisi makam bapak. Mereka akhirnya bersama lagi yang membuatku menghadirkan kembali segala kenangan kebersamaan keluarga kami dulu di permukaan ingatan.Tangisku semakin kuat nyaris menyedot segala ketegaran meski oma dan mami mendampingi untuk menguatkan. Sampai akhirnya semua saudaraku ikut mendekat dan kami mulai saling berangkulan berusaha untuk saling menularkan ketegaran.Bahkan Laras telah kembali dari Australia mengejar penerbangan pertama demi bisa ikut mengantarkan ibu menuju peristira