“Apa telah terjadi sesuatu Mas?”
Aku semakin tak bisa menutupi kegusaranku terlebih saat aku melihat ekspresi wajah Mas Bara yang semakin serius.
“Kamu harus ke Surabaya hari ini,” tegas Mas Bara sembari memberi aku isyarat untuk duduk di sisinya dengan tepukan pelan pada sisi sofa yang masih lapang.
Meski aku terperangah kaget tapi menuruti saja apa yang dikehendaki suamiku untuk duduk di sisinya.
“Apa Mas juga akan pergi sama aku?”
Aku tak bisa lagi menahan rasa ingin tahuku.
“Tidak, tapi Rina, Damian dan Dony yang akan mendampingi kamu. Hamdan juga sudah mengatur segala urusan kamu di Surabaya.”
Aku langsung mengernyit jengah ketika mendengar ucapan Mas Bara.
“Jadi aku akan pergi sendiri?”
&ldq
Aku memandang nanar pada awan yang berarak yang tampak sangat jelas terlihat dari balik jendela pesawat yang aku tumpangi. Ini adalah pengalaman keduaku menaiki burung besi yang sekarang sedang membelah langit Bali. Berbeda dengan kemarin saat aku menaikinya bersama Mas Bara, hari ini hatiku dipenuhi dengan kegusaran juga kesedihan yang tak bisa aku tampik. Tak ada bahagia yang meraja karena saat ini kami bahkan terpisah jarak dan waktu. Mas Bara dengan begitu lugas meminta aku untuk pergi, tanpa dirinya. Tapi selalu saja aku tak memiliki daya untuk bisa tetap tinggal bersamanya. Belum lagi dengan segala misteri Mas Bara yang semakin membekapku dengan banyak tanya. Semakin aku tahu semakin aku tak bisa memahami. Bahkan fakta tentang suamiku yang ternyata seorang Tuan Muda dari keluarga Taipan kaya raya, benar-benar tak bisa aku telaah dengan nalar. Semua keistime
Seorang wanita yang aku taksir usianya sebaya dengan Rina, langsung menyambutku ketika kami mulai memasuki ke dalam rumah besar itu, bersama dengan sekumpulan pelayan yang semua memberikan penghormatan padaku dengan sangat keterlaluan.Jelas aku merasa semua ini begitu berlebihan. Bahkan sampai sekarang aku merasa tetap seorang gadis desa dengan pengetahuan yang serba terbatas. Kehidupan seperti ini terlalu jauh dari ekspektasi yang malah membawaku ke dalam kebingungan yang akut.“Selamat datang Nyonya Muda,” ucap wanita itu.Aku membalasnya dengan segaris senyuman canggung.Tapi sikapnya selalu terlihat formal yang membuatku malah tak nyaman.“Mari aku tunjukkan kamar utamanya,” ucap wanita itu lagi mulai menawarkan bantuan padaku.Aku menoleh sejenak pada Rina tapi wanita berpenampilan modis itu malah menganggukkan kepalanya.
“Lain kali hati-hati Mbak.”Suara seorang pria langsung menyadarkan aku yang tengah fokus memungut berkas-berkasku yang tercecer.Aku mulai melirik kepada lelaki berkaca mata di dekatku yang ternyata juga sedang melakukan hal yang sama.Pria berpenampilan rapi itu pada akhirnya menyerahkan kertas-kertas itu padaku.Sejenak aku merasa dia memindaiku sembari menyunggingkan senyumnya.“Terima kasih,” ucapku sembari menerima berkas-berkas itu dengan cepat.Aku hanya sekilas memandangnya tapi kemudian memilih segera pergi karena merasa Rina dan lainnya sudah menungguku terlalu lama, terlebih gawai di dalam tasku sudah mulai berdering.Aku harus mempercepat langkahku mengabaikan tatapan pria berpenampilan rapi itu yang sekarang bahkan aku rasa seakan sedang mengikutiku dengan tatapannya.Sesampainya
Kini aku baru paham ketika Dania menyebut tentang pemandangan paling indah. Ternyata dia adalah dosen pria berkaca mata yang memiliki garis wajah yang menegaskan sebuah ketampanan khas juga kesan intelek yang lugas karena kacamata yang dipakainya.Aku menelisik sosok yang sudah mulai menghadapkan seluruh dirinya ke arah kami para mahasiswanya yang sudah mulai mengambil tempat duduk masing-masing.Sejenak aku merasa tidak asing dengan sosok itu, meski aku tak bisa mengingat dengan pasti siapa sosok yang sekarang aku rasa seperti sedang memindai ke arahku yang membuatku sedikit gugup dan langsung memalingkan muka.“Selamat pagi semua, perkenalkan aku Ragil Mahesa aku dosen untuk mata kuliah Psikologi Pendidikan, aku harap kita bisa selalu melakukan timbal balik yang baik selama proses pembelajaran di kelas. Jadi aku tidak suka dengan mahasiswa yang tidak memberikan atensi ....”Pria berkuli
Sontak aku menoleh dan langsung tersenyum ketika melihat sosok Giska berlari menyongsongku.“Kamu belum ke kantin?” tanya wanita muda yang selalu tampil modis dan gaya itu.“Aku ada urusan sebentar tadi,” ucapku tanpa merasa harus perlu berterus terang tentang pertemuanku dengan Pak Ragil untuk mengembalikan gelang berharga pemberian Mas Bara.“Ya udah ayo kita bareng ke sana, nyusul teman-teman yang lain.”“Kamu sendiri kenapa belum ke sana?” tanyaku sedikit basa-basi.“Aku juga ada urusan bentar tadi,” ucap Giska sembari mengerlingkan sebelah matanya. Sikapnya terasa agak ganjil untukku tapi aku enggan untuk mencecarnya karena aku sendiri juga tidak suka jika ada orang lain yang terlalu mencampuri urusanku.Tak lama berselang kami akhirnya sampai di kantin dan segera bergabung bersama dengan teman-
Saat melihat teman-teman kuliahku mendekat, aku langsung mengulas senyuman lebar pada mereka.“Oh jadi kamu beli baju di pasar juga?” Giska langsung menimpali saat melihat aku menenteng belanjaan yang cukup banyak.Sebenarnya aku takut jika mereka berpikiran aku memiliki banyak uang, yang malah membuat mereka akan curiga.“Iya, aku mengantar kakakku belanja,” ucapku beralasan sembari memberi isyarat pada Rina dengan kerlingan mata tipis agar dia mengikuti skenario yang aku cipta.“Pasti selama ini kamu ikut di rumah kakak kamu ini ya Rin,” sahut Dania yang ternyata juga ikut berbelanja bersama dengan lainnya.“Kalau tahu gini, tadi kami sekalian ngajak kamu Rin,” ucap Neneng yang ikut menanggapi.Setelah itu Giska malah mendekatiku sembari melirik ke arah dua orang bodyguardku.“Lalu s
“Kamu mau langsung pulang?”Pak Ragil malah balik bertanya saat aku bertanya tujuannya memanggilku.“Iya, Pak,” jawabku singkat.“Apa kamu bisa meluangkan waktu kamu sebentar?”Pria berkaca mata itu terlihat sangat serius saat bertanya padaku.“Apa ada yang ingin Bapak bicarakan?”“Iya, apa kita bisa mencari tempat yang lebih nyaman dan kita bisa ngobrol sebentar saja?”Aku terdiam menatapnya ragu.“Bagaimana kalau kita ke cafe dekat kampus situ?”Pria berambut lurus itu malah menawarkan dengan sangat antusias.Aku masih saja gamang. Tapi saat melihat wajahnya yang begitu serius aku merasa tak memiliki alasan untuk menolaknya.Akhirnya aku mengiyakan permintaannya dan dalam waktu singk
Aku tak bisa menahan rasa takjubku saat menyaksikan kemegahan Mall terbesar di kota ini. Ada begitu banyak gerai yang terlihat tampak sangat mewah dengan barang-barang pajangannya yang juga terlihat luar biasa.Ekspresiku yang terlalu lugas seperti ini malah memancing senyuman lebar dari Giska, teman kuliahku yang memang mengajakku mendatangi tempat ini setelah kami sudah tak ada lagi jam kuliah untuk hari ini.“Aduh Rindu, biasa aja kali, nggak usah terlalu katrok, nanti kamu jadi pusat perhatian lho, diomongin orang juga, nanti mereka akan bilang iihh cantik-cantik tapi kok katrok.”Giska begitu sengit mengomentari sikapku saat aku baru menginjakkan kaki di dalam mall yang lantai dan dindingnya tampak mengkilat dan berkilauan ini.“Tapi emang Rindu baru pertama kali lihat mall, Gis,” sahut Neneng yang memang sempat aku beritahu tentang aku yang belum pernah men
“Diam, atau aku akan menembakmu seperti yang sudah aku lakukan pada Richard!” Aku terperangah saat mendengar pengakuan lelaki berwajah oriental itu. Pengakuannya jelas sangat mengagetkan aku. “Jadi kamu yang sudah menembak suamiku?!” sergahku tandas. Raymond malah tersenyum sarkas menanggapi. “Dia sendiri yang sudah memaksaku melakukan semua ini karena dia terlalu serakah,” tukas Raymond sengit. “Kamu gila!” Aku kembali memakinya dengan suara yang semakin kuat. “Tolong, tolong ....” Aku mulai berteriak ketika Raymond semakin kewalahan dan tak mampu lagi menutup mulutku. Pergerakan di pintu itu semakin intens bersamaan aku mendengar suara gebrakan yang sangat kuat beberapa kali. Raymond yang sedang menggila ini sudah menutup pintu dari dalam hingga sulit untuk dibuka. Pastinya orang-orang di luar ruangan sedang berusaha untuk mendobrak pintu itu. Sementara aku sendiri masih berjuang untuk membebaskan diri dari sergapan Raymond. Tapi beberapa detik kemudian kami malah dikejut
Aku menjadi terlalu kaget mendapati kedatangan Raymond yang sangat tak terduga.Tapi aku malah tak kuasa untuk menghalaunya yang membuat sosok itu terus mendekat dengan penuh rasa percaya diri.“Aku tak menyangka kalau dia mampu bertahan sampai sejauh ini setelah apa yang sudah dia alami,” ungkap lelaki itu sembari mengarahkan pandangannya pada Mas Bara yang sekarang hanya bisa terbaring tanpa kesadaran di atas brankar.Gelisah mulai menerjangku ketika aku mulai melihat tatapan adik dari suamiku yang kini malah memindaiku dengan sangat intens.Aku segera bangkit dan memasang sikap waspada.Setelah kemarin aku melihat sikap Raymond yang tampak berbeda begitu rapuh dan sedih tapi sekarang dia kembali menjadi sosoknya yang dulu, yang terasa licik menakutkan.“Bagaimana kamu bisa masuk ke dalam ruangan ini?”Selama ini mami melarang orang lain masuk menemui Mas Bara. Tak sembarangan orang boleh menemani Mas Bara. Hanya aku, oma dan mami yang memiliki akses untuk bisa memasuki ruangan. Kar
“Sekarang katakan saja apa kamu yang sudah membuat Richard seperti ini?” Abe malah melontarkan tuduhannya dengan terlalu lugas.Aku tak pernah menyangka jika sahabat terdekat suamiku itu akan mengungkapkan tuduhannya dengan sangat lugas pada Lina yang sebelumnya sempat kami bicarakan dan kami curigai.Lina membeliakkan mata, mengunggah kekagetannya yang terlalu ketara.Sejenak aku tak bisa mengartikan tentang ekspresi kekagetannya yang seperti itu.“Apa kamu yang sudah menembak Richard?”Abe kian menegaskan tuduhannya.Lina malah menanggapi dengan tenang hingga kemudian malah mencebik sarkas.“Jadi kalian sekarang mencurigaiku?”Aku dan Abe tak menjawab meski masih saja memberikan tatapan yang sangat lugas pada wanita yang sering mengunggah ekspresi sinisnya itu.“Aku merasa tak perlu untuk memberikan penjelasan apapun pada kalian,” pungkas wanita itu sembari langsung bangkit dari duduknya.Tapi sebelum melangkah wanita itu melemparkan pandangannya pada Abe yang sedang mengikuti perg
“Apa yang sedang kalian bicarakan?” Segera aku menoleh ke ambang pintu dan menjadi sangat kaget ketika melihat sosok yang sedang kami bicarakan telah berdiri di sana dengan memberikan tatapan yang terlalu tajam.Sempat aku merasa kalau dia sempat mendengar pembicaraanku bersama Abe tadi, yang kemudian menelusupkan rasa gelisah di dalam dada.“Kalian berdua terlihat terlalu dekat, dan aku yakin jika Richard melihat kedekatan kalian, dia tidak akan bisa menerima ini,” sindir wanita berbaju merah itu sangat sarkas.Dengan tatapan yang sama tajamnya aku mulai menentang sorot matanya. Enggan menampakkan ketundukan atas sikapnya yang selalu saja mengintimidasi.Sejak dulu Lina selalu mengunggah keangkuhannya terutama di hadapanku yang pastinya dia anggap sebagai saingan terbesarnya karena nyatanya memang hanya aku yang bisa mendapatkan hati Mas Bara sepenuhnya, sesuatu yang kini membawa kesadaranku kembali atas apa yang sudah aku dapatkan selama ini. Nyatanya memang tak ada yang paling ber
“Katakan padaku apa yang kamu ketahui tentang suamiku?”Aku segera mencecarnya dengan tak sabar, karena saat ini sekecil apapun informasi yang beredar sangat aku butuhkan karena aku benar-benar ingin menguak tabir misteri tentang penembakan suamiku yang sampai saat ini belum juga terungkap.Abe tampak memindaiku lebih lekat dan aku dengan tegas menentangnya tanpa keraguan.Lelaki bermata tajam itu kemudian menarik nafasnya sejenak sembari menautkan kedua tangannya di depan wajahnya yang lumayan good looking itu.“Sebenarnya sehari sebelum hari naas itu, aku dan Richard sempat bertemu di ruangan ini. Kami membicarakan banyak hal, terutama tentang dirimu dan segala penyesalannya.”Abe sengaja menghentikan kalimatnya kian intens memindaiku seakan ingin menebak apa yang ada di dalam pikiranku saat ini.Tapi aku memutuskan untuk membisu menunggunya melan
Sudah nyaris sebulan Mas Bara terbaring koma. Selama itu aku bertahan untuk tetap mendampingi walau keadaanku masih sering diserang mual dan rasa tak nyaman di perut.Tak ada alasan bagiku untuk menyerah karena saat ini prioritas utamaku tetap Mas Bara yang selalu aku yakini tetap bisa mendengar setiap kata yang aku ucapkan di telinganya.Bahkan setiap kali aku datang aku selalu membacakan ayat-ayat Ilahi, sebelum aku mulai mengajaknya mengobrol.“Mas, hari ini aku bawakan lavender, aromanya harum sekali. Kamu bisa menciumnya kan Mas?” tanyaku sembari mendekatkan bunga yang aku bawa di hidungnya.Aku selalu yakin jika Mas Bara selalu bisa merasakan apapun yang aku lakukan walau dia tak memberikan respon apapun. Bahkan tidak dengan kedipan mata, karena mata itu selalu terkatup rapat.Saat melihatnya tetap diam dan beku, hati ini mulai dirasuki kesedihan yang kian pekat
Rasa tidak nyaman kian menyerangku membuat sekujur tubuhku seakan melemah. Tapi saat ini aku memaksa untuk tetap tegar demi aku bisa memastikan bagaimana keadaan Mas Bara. Gelisah yang menyergapku memaksaku untuk bertahan dan tetap kuat meski sejak tadi rasa mual semakin menekan di dalam perutku.Bahkan ketika aku sampai di Jakarta, beberapa kali aku sudah memuntahkan isi perutku saat berada di dalam pesawat.Oma dan mami sempat menganggap apa yang aku rasakan hanya sekedar mabuk kendaraan.Tapi sesuatu di dalam diriku semakin tak bisa menampik praduga ini. Dengan pengalaman yang sempat aku dapatkan ketika mengandung Raka dan Raya, aku mulai bisa menegaskan pada diriku sendiri jika sekarang aku memang sedang berbadan dua.K
“Sesuatu telah terjadi pada Richard!”Ketika oma memekikkan nama suamiku segera aku mendekat dengan hati yang sudah diselimuti kabut kecemasan.“Ada apa dengan Mas Bara, Oma?” tanyaku menjadi kian khawatir.Sementara mami malah menatapku dengan gamang dan mulai menghampiriku untuk bisa memelukku dengan lembut.“Kita harus kembali ke Jakarta hari ini juga Rin.”Mami berucap dengan sangat sungguh-sungguh.Hatiku menjadi kian kuat memendam praduga yang buruk. Aku merasa sangat yakin jika sesuatu telah terjadi pada suamiku saat ini.“Katakan padaku, apa yang sudah terjadi Mi?” desakku semakin gelisah.“Richard membutuhkan kamu,” balas mami masih dengan mengunggah gurat kecemasan di wajahnya.Aku mengernyit penuh kecemasan.
Setiap orang bisa menganyam harapan tapi Tuhan yang akan menentukan segalanya. Walau berbagai macam cara telah diusahakan nyatanya, kehendak Tuhan yang tetap berlaku. Takdir telah menggariskan bahwa saat ini adalah perpisahan kami.Hatiku terus memendam rasa kehilangan yang bahkan membuatku terus menangis kala melepas jenazah ibu di pemakaman. Kini jasad yang sosok yang sangat aku sayangi itu telah berbaring di sisi makam bapak. Mereka akhirnya bersama lagi yang membuatku menghadirkan kembali segala kenangan kebersamaan keluarga kami dulu di permukaan ingatan.Tangisku semakin kuat nyaris menyedot segala ketegaran meski oma dan mami mendampingi untuk menguatkan. Sampai akhirnya semua saudaraku ikut mendekat dan kami mulai saling berangkulan berusaha untuk saling menularkan ketegaran.Bahkan Laras telah kembali dari Australia mengejar penerbangan pertama demi bisa ikut mengantarkan ibu menuju peristira