Saat melihat teman-teman kuliahku mendekat, aku langsung mengulas senyuman lebar pada mereka.
“Oh jadi kamu beli baju di pasar juga?” Giska langsung menimpali saat melihat aku menenteng belanjaan yang cukup banyak.
Sebenarnya aku takut jika mereka berpikiran aku memiliki banyak uang, yang malah membuat mereka akan curiga.
“Iya, aku mengantar kakakku belanja,” ucapku beralasan sembari memberi isyarat pada Rina dengan kerlingan mata tipis agar dia mengikuti skenario yang aku cipta.
“Pasti selama ini kamu ikut di rumah kakak kamu ini ya Rin,” sahut Dania yang ternyata juga ikut berbelanja bersama dengan lainnya.
“Kalau tahu gini, tadi kami sekalian ngajak kamu Rin,” ucap Neneng yang ikut menanggapi.
Setelah itu Giska malah mendekatiku sembari melirik ke arah dua orang bodyguardku.
“Lalu s
“Kamu mau langsung pulang?”Pak Ragil malah balik bertanya saat aku bertanya tujuannya memanggilku.“Iya, Pak,” jawabku singkat.“Apa kamu bisa meluangkan waktu kamu sebentar?”Pria berkaca mata itu terlihat sangat serius saat bertanya padaku.“Apa ada yang ingin Bapak bicarakan?”“Iya, apa kita bisa mencari tempat yang lebih nyaman dan kita bisa ngobrol sebentar saja?”Aku terdiam menatapnya ragu.“Bagaimana kalau kita ke cafe dekat kampus situ?”Pria berambut lurus itu malah menawarkan dengan sangat antusias.Aku masih saja gamang. Tapi saat melihat wajahnya yang begitu serius aku merasa tak memiliki alasan untuk menolaknya.Akhirnya aku mengiyakan permintaannya dan dalam waktu singk
Aku tak bisa menahan rasa takjubku saat menyaksikan kemegahan Mall terbesar di kota ini. Ada begitu banyak gerai yang terlihat tampak sangat mewah dengan barang-barang pajangannya yang juga terlihat luar biasa.Ekspresiku yang terlalu lugas seperti ini malah memancing senyuman lebar dari Giska, teman kuliahku yang memang mengajakku mendatangi tempat ini setelah kami sudah tak ada lagi jam kuliah untuk hari ini.“Aduh Rindu, biasa aja kali, nggak usah terlalu katrok, nanti kamu jadi pusat perhatian lho, diomongin orang juga, nanti mereka akan bilang iihh cantik-cantik tapi kok katrok.”Giska begitu sengit mengomentari sikapku saat aku baru menginjakkan kaki di dalam mall yang lantai dan dindingnya tampak mengkilat dan berkilauan ini.“Tapi emang Rindu baru pertama kali lihat mall, Gis,” sahut Neneng yang memang sempat aku beritahu tentang aku yang belum pernah men
“Kamu nggak salah Gis, kamu ngajak kita makan di restoran mahal kayak gini?” tanya Neneng setengah tidak percaya ketika Giska mengajak kami memasuki sebuah restoran bertema western di salah satu sudut mall.Aku juga menjadi sedikit ragu. Aku takut kalau kami hanya akan memberatkan Giska bila mentraktir kami di tempat semacam ini.Tapi nyatanya wanita muda yang selalu tampil trendy dengan gayanya yang selalu up to date itu terlihat sangat percaya diri.Hingga kami sampai di dalam restoran dan dikagetkan dengan keberadaan seorang lelaki dewasa, yang aku perkirakan berusia 30 an ke atas, yang sekilas gayanya mengingatkan aku pada Mas Bara, karena segala outfit mewah yang menempel di sekujur tubuhnya itu.Pria itu tampak menyapa Giska ramah, yang membuat temanku yang tidak berhijab itu langsung menyongsong mendekat dengan antusias.“Mas Randy, udah lama nunggunya?” tanya Giska yang aku rasakan nadanya terkesan manja.Aku
“Apa kabar Rindu?”Sapaan Mas Bara segera menyadarkan aku hingga aku ikut duduk bersimpuh di dekatnya.Mas Bara mengulas senyumku ketika aku sudah berada di sampingnya.Sementara aku hanya bisa termangu gugup bahkan menjadi sangat rikuh untuk membalas tatapannya yang begitu lugas memindai seluruh diriku.Barangkali karena kerinduanku yang terlalu membuncah juga karena lama kami tidak berjumpa secara langsung membuat rasa canggungku mengemuka saat kami bersua kembali.Dengan penuh kelembutan Mas Bara kemudian meraih daguku dan menggerakkan wajahku yang tertunduk agar terarah padanya yang masih saja memandangiku dengan tatapannya yang terlihat penuh damba.“Kamu masih saja pemalu seperti sebelumnya Rin,” gumam Mas Bara dengan suaranya yang berat yang terdengar meresahkan hati.Tanpa sadar aku menyunggingkan senyumku
Semalaman Mas Bara mempertahankan aku untuk tetap berada di dalam dekapannya.Setelah momen percintaan kami yang begitu penuh hasrat sekarang kami hanya saling memandang dalam diam.Beberapa kali suamiku mengusap rambutku dan merapikannya ke belakang saat beberapa helai rambutku jatuh menutupi wajah.Aku masih terdiam dengan pikiran yang terus mengembara. Banyak pertanyaan berkelindan di dalam hati. Akankah momen manis seperti ini dapat selalu kami rasakan. Namun setelah apa yang terjadi sebelumnya hatiku malah di landa rasa pesimis.Statusku yang masih seorang istri siri juga segala hal yang masih sulit aku cerna tentang apa yang terjadi beberapa waktu terakhir ini, membuatku berkesimpulan jika suamiku masih menyimpan banyak rahasia, yang malah membersitkan rasa takut.“Apa yang kamu pikirkan?”Mas Bara melontarkan tanya ketika aku hanya diam den
Aku sangat bahagia melihat tingkah polos dari anak-anak jalanan yang sedang aku ajar sekarang. Walau begitu mereka terlihat sangat antusias saat menerima pengajaran dariku.Mereka menirukan dengan semangat saat aku menyebut satu persatu nama huruf hijaiyah yang sebelumnya sudah aku tulis di papan tulis.Meski sudah hampir satu jam belajar mereka masih saja tak kehilangan minat untuk belajar. Hingga akhirnya waktu kami untuk belajar dan mengajar telah usai yang membuat aku mengakhiri sesi pertemuan kami hari ini.“Ya sudah adik-adik, untuk hari ini kakak rasa sudah cukup besok kita akan belajar mengaji lagi terus disambung pelajaran berhitung ya.”“Baik Kak!” seru mereka berbarengan sembari diselingi gurau dan tawa yang terlihat sangat gembira.Aku mengulas senyuman bahagia saat melihat keceriaan mereka.Tak lama kemudian ketika aku mas
“Meminta apa ya Pak?”Pak Ragil bertanya dengan penuh rasa ingin tahu.Lelaki yang tampak bersahaja itu kemudian tersenyum simpul.“Kalian tetap bisa aktif dengan kegiatan sosial di daerah itu, teruskan program kalian mengajar di sana berkesinambungan walau aku tahu sebenarnya apa yang kalian lakukan di sana adalah sebenarnya untuk menjalankan kegiatan kampus.”Pria berusia paruh baya itu kemudian melirik ke arah Pak Ragil.“Tapi aku yakin kalau Mas Ragil ini selalu memiliki komitmen untuk melakukan kegiatan yang bernilai sosial tinggi seperti ini. Karena aku tahu bagaimana sepak terjang Mas Ragil sejak dulu, terlebih sekarang Mas Ragil sudah mempunyai pasangan yang juga memiliki concern yang sama dengan visi Mas Ragil.”Aku tergeragap saat Pak Dahlan mulai mengalihkan perhatiannya padaku.
{“Assalamualaikum Mas,”} sapaku cepat ketika aku mulai menerima panggilan dari Mas Bara.Mas Bara menjawab salamku dengan nadanya yang terdengar dingin.Hatiku menjadi sesak dibekap gelisah. Aku benar-benar takut kalau Mas Bara akan marah dan mulai menginterogerasiku.{“Kamu baru pulang?”}{“I-ya Mas,”} jawabku agak terbata.{“Apa ada kegiatan di kampus?”}{“Iya tapi sebenarnya kegiatannya bukan dilaksanakan di kampus tapi di sebuah pemukiman kumuh yang dekat jembatan layang. Sebelumnya aku sudah memberitahu Mas Bara soal kegiatan UKMku ini, kok.”}{“Apa kamu besok juga akan pulang malam?”}{“Kemungkinan tidak Mas, soalnya tadi kami melakukan pembicaraan dengan seorang donatur yang akan membantu untuk pembangunan masjid yang kami rencanakan
“Diam, atau aku akan menembakmu seperti yang sudah aku lakukan pada Richard!” Aku terperangah saat mendengar pengakuan lelaki berwajah oriental itu. Pengakuannya jelas sangat mengagetkan aku. “Jadi kamu yang sudah menembak suamiku?!” sergahku tandas. Raymond malah tersenyum sarkas menanggapi. “Dia sendiri yang sudah memaksaku melakukan semua ini karena dia terlalu serakah,” tukas Raymond sengit. “Kamu gila!” Aku kembali memakinya dengan suara yang semakin kuat. “Tolong, tolong ....” Aku mulai berteriak ketika Raymond semakin kewalahan dan tak mampu lagi menutup mulutku. Pergerakan di pintu itu semakin intens bersamaan aku mendengar suara gebrakan yang sangat kuat beberapa kali. Raymond yang sedang menggila ini sudah menutup pintu dari dalam hingga sulit untuk dibuka. Pastinya orang-orang di luar ruangan sedang berusaha untuk mendobrak pintu itu. Sementara aku sendiri masih berjuang untuk membebaskan diri dari sergapan Raymond. Tapi beberapa detik kemudian kami malah dikejut
Aku menjadi terlalu kaget mendapati kedatangan Raymond yang sangat tak terduga.Tapi aku malah tak kuasa untuk menghalaunya yang membuat sosok itu terus mendekat dengan penuh rasa percaya diri.“Aku tak menyangka kalau dia mampu bertahan sampai sejauh ini setelah apa yang sudah dia alami,” ungkap lelaki itu sembari mengarahkan pandangannya pada Mas Bara yang sekarang hanya bisa terbaring tanpa kesadaran di atas brankar.Gelisah mulai menerjangku ketika aku mulai melihat tatapan adik dari suamiku yang kini malah memindaiku dengan sangat intens.Aku segera bangkit dan memasang sikap waspada.Setelah kemarin aku melihat sikap Raymond yang tampak berbeda begitu rapuh dan sedih tapi sekarang dia kembali menjadi sosoknya yang dulu, yang terasa licik menakutkan.“Bagaimana kamu bisa masuk ke dalam ruangan ini?”Selama ini mami melarang orang lain masuk menemui Mas Bara. Tak sembarangan orang boleh menemani Mas Bara. Hanya aku, oma dan mami yang memiliki akses untuk bisa memasuki ruangan. Kar
“Sekarang katakan saja apa kamu yang sudah membuat Richard seperti ini?” Abe malah melontarkan tuduhannya dengan terlalu lugas.Aku tak pernah menyangka jika sahabat terdekat suamiku itu akan mengungkapkan tuduhannya dengan sangat lugas pada Lina yang sebelumnya sempat kami bicarakan dan kami curigai.Lina membeliakkan mata, mengunggah kekagetannya yang terlalu ketara.Sejenak aku tak bisa mengartikan tentang ekspresi kekagetannya yang seperti itu.“Apa kamu yang sudah menembak Richard?”Abe kian menegaskan tuduhannya.Lina malah menanggapi dengan tenang hingga kemudian malah mencebik sarkas.“Jadi kalian sekarang mencurigaiku?”Aku dan Abe tak menjawab meski masih saja memberikan tatapan yang sangat lugas pada wanita yang sering mengunggah ekspresi sinisnya itu.“Aku merasa tak perlu untuk memberikan penjelasan apapun pada kalian,” pungkas wanita itu sembari langsung bangkit dari duduknya.Tapi sebelum melangkah wanita itu melemparkan pandangannya pada Abe yang sedang mengikuti perg
“Apa yang sedang kalian bicarakan?” Segera aku menoleh ke ambang pintu dan menjadi sangat kaget ketika melihat sosok yang sedang kami bicarakan telah berdiri di sana dengan memberikan tatapan yang terlalu tajam.Sempat aku merasa kalau dia sempat mendengar pembicaraanku bersama Abe tadi, yang kemudian menelusupkan rasa gelisah di dalam dada.“Kalian berdua terlihat terlalu dekat, dan aku yakin jika Richard melihat kedekatan kalian, dia tidak akan bisa menerima ini,” sindir wanita berbaju merah itu sangat sarkas.Dengan tatapan yang sama tajamnya aku mulai menentang sorot matanya. Enggan menampakkan ketundukan atas sikapnya yang selalu saja mengintimidasi.Sejak dulu Lina selalu mengunggah keangkuhannya terutama di hadapanku yang pastinya dia anggap sebagai saingan terbesarnya karena nyatanya memang hanya aku yang bisa mendapatkan hati Mas Bara sepenuhnya, sesuatu yang kini membawa kesadaranku kembali atas apa yang sudah aku dapatkan selama ini. Nyatanya memang tak ada yang paling ber
“Katakan padaku apa yang kamu ketahui tentang suamiku?”Aku segera mencecarnya dengan tak sabar, karena saat ini sekecil apapun informasi yang beredar sangat aku butuhkan karena aku benar-benar ingin menguak tabir misteri tentang penembakan suamiku yang sampai saat ini belum juga terungkap.Abe tampak memindaiku lebih lekat dan aku dengan tegas menentangnya tanpa keraguan.Lelaki bermata tajam itu kemudian menarik nafasnya sejenak sembari menautkan kedua tangannya di depan wajahnya yang lumayan good looking itu.“Sebenarnya sehari sebelum hari naas itu, aku dan Richard sempat bertemu di ruangan ini. Kami membicarakan banyak hal, terutama tentang dirimu dan segala penyesalannya.”Abe sengaja menghentikan kalimatnya kian intens memindaiku seakan ingin menebak apa yang ada di dalam pikiranku saat ini.Tapi aku memutuskan untuk membisu menunggunya melan
Sudah nyaris sebulan Mas Bara terbaring koma. Selama itu aku bertahan untuk tetap mendampingi walau keadaanku masih sering diserang mual dan rasa tak nyaman di perut.Tak ada alasan bagiku untuk menyerah karena saat ini prioritas utamaku tetap Mas Bara yang selalu aku yakini tetap bisa mendengar setiap kata yang aku ucapkan di telinganya.Bahkan setiap kali aku datang aku selalu membacakan ayat-ayat Ilahi, sebelum aku mulai mengajaknya mengobrol.“Mas, hari ini aku bawakan lavender, aromanya harum sekali. Kamu bisa menciumnya kan Mas?” tanyaku sembari mendekatkan bunga yang aku bawa di hidungnya.Aku selalu yakin jika Mas Bara selalu bisa merasakan apapun yang aku lakukan walau dia tak memberikan respon apapun. Bahkan tidak dengan kedipan mata, karena mata itu selalu terkatup rapat.Saat melihatnya tetap diam dan beku, hati ini mulai dirasuki kesedihan yang kian pekat
Rasa tidak nyaman kian menyerangku membuat sekujur tubuhku seakan melemah. Tapi saat ini aku memaksa untuk tetap tegar demi aku bisa memastikan bagaimana keadaan Mas Bara. Gelisah yang menyergapku memaksaku untuk bertahan dan tetap kuat meski sejak tadi rasa mual semakin menekan di dalam perutku.Bahkan ketika aku sampai di Jakarta, beberapa kali aku sudah memuntahkan isi perutku saat berada di dalam pesawat.Oma dan mami sempat menganggap apa yang aku rasakan hanya sekedar mabuk kendaraan.Tapi sesuatu di dalam diriku semakin tak bisa menampik praduga ini. Dengan pengalaman yang sempat aku dapatkan ketika mengandung Raka dan Raya, aku mulai bisa menegaskan pada diriku sendiri jika sekarang aku memang sedang berbadan dua.K
“Sesuatu telah terjadi pada Richard!”Ketika oma memekikkan nama suamiku segera aku mendekat dengan hati yang sudah diselimuti kabut kecemasan.“Ada apa dengan Mas Bara, Oma?” tanyaku menjadi kian khawatir.Sementara mami malah menatapku dengan gamang dan mulai menghampiriku untuk bisa memelukku dengan lembut.“Kita harus kembali ke Jakarta hari ini juga Rin.”Mami berucap dengan sangat sungguh-sungguh.Hatiku menjadi kian kuat memendam praduga yang buruk. Aku merasa sangat yakin jika sesuatu telah terjadi pada suamiku saat ini.“Katakan padaku, apa yang sudah terjadi Mi?” desakku semakin gelisah.“Richard membutuhkan kamu,” balas mami masih dengan mengunggah gurat kecemasan di wajahnya.Aku mengernyit penuh kecemasan.
Setiap orang bisa menganyam harapan tapi Tuhan yang akan menentukan segalanya. Walau berbagai macam cara telah diusahakan nyatanya, kehendak Tuhan yang tetap berlaku. Takdir telah menggariskan bahwa saat ini adalah perpisahan kami.Hatiku terus memendam rasa kehilangan yang bahkan membuatku terus menangis kala melepas jenazah ibu di pemakaman. Kini jasad yang sosok yang sangat aku sayangi itu telah berbaring di sisi makam bapak. Mereka akhirnya bersama lagi yang membuatku menghadirkan kembali segala kenangan kebersamaan keluarga kami dulu di permukaan ingatan.Tangisku semakin kuat nyaris menyedot segala ketegaran meski oma dan mami mendampingi untuk menguatkan. Sampai akhirnya semua saudaraku ikut mendekat dan kami mulai saling berangkulan berusaha untuk saling menularkan ketegaran.Bahkan Laras telah kembali dari Australia mengejar penerbangan pertama demi bisa ikut mengantarkan ibu menuju peristira