Aku benar-benar tak bisa menahan diriku untuk menuruti kata hati yang selama ini aku pendam. Setelah bergelut dengan pikiranku sendiri juga berbagai pertimbangan hingga beberapa waktu akhirnya kakiku menginjak lagi kota yang penuh kenangan ini.
Bukan hanya itu kini aku bahkan telah masuk ke dalam rumah dari seseorang yang selama ini sempat aku benci yang kini kemudian malah menumbuhkan rindu di kalbu. Berkat informasi dari Hamdan, yang tak lain adalah asisten Richard, akhirnya aku mendapatkan alamat rumah yang memiliki kesan asri dengan halamannya yang luas penuh tanaman.
Saat menunggu di gazebo di salah satu sudut halaman depan yang luas, di mana aku juga mendengar suara gemuruh lantunan ayat suci yang dibaca berbarengan dari anak-anak yang belajar mengaji di sebuah pendopo luas yang letaknya tak jauh dari gazebo tempat aku duduk menanti sekarang.
Detik yang bergulir kian menyeretku dalam kegugupan. Telah
“Kalau boleh aku tahu bagaimana dengan kehidupan kamu yang sekarang?”Aku menegaskan pertanyaanku. Tapi Dahlan hanya memandangku dengan kegamangannya.Aku mendesah panjang mengangkat dadaku yang saat ini terasa sesak oleh himpitan kenangan masa lalu kami yang di akhir hanya berisi kepahitan.Dahlan tampak enggan menjawabku.Aku mengangkat sudut bibirku membentuk lengkungan getir yang pastinya dapat juga ia saksikan.“Sepertinya kamu memiliki kehidupan yang sangat sempurna. Kamu telah menemukan sosok istimewa yang bisa mengimbangi kamu. Aku lihat wanita itu juga sangat bahagia berumah tangga dengan kamu.”“Aku telah menerima berkat dari Allah dan aku sangat mensyukurinya.”Dahlan menggumamkan kata-katanya dengan keyakinannya.Aku mendengus tipis.&l
Aku masih bertahan di kota ini karena masih banyak hal yang ingin aku kenang, meski hatiku akan kembali merasakan perih. Meski kenangan seindah apapun sekarang rasanya menjadi sangat pedih saat aku mengingatnya kembali. Semua karena kisah indah itu memang telah berakhir dan kami telah mengambil jalan yang berbeda.Aku memutuskan untuk mengunjungi sudut-sudut kota ini yang dulu pernah aku jelajah bersamanya. Di sebuah taman di dekat balai kota yang menjadi tempat awal kami bertemu, aku memutuskan untuk berhenti lama. Berdiri terpaku di tempat yang telah jauh berubah daripada dulu. Aku terdiam memejamkan mata seakan ingin menyedot segala kenangan yang dulu pernah aku jejakkan di tempat ini.Dia terlihat begitu sempurna saat itu, menyedot seluruh fokus diriku. Aku yang seorang ekstrovert sejak saat itu berusaha untuk menarik perhatiannya, hingga kemudian aku tahu dia adalah sosok kakak tingkatku yang menjadi primadona kampus.
Aku melihat ketegangan di wajah sekretaris Rommy saat melihat kedatanganku.Wanita muda itu terlihat gelisah, ketika dia tak mampu menghentikan langkahku.Aku semakin yakin jika di dalam ruangan kerjanya Rommy sedang melakukan kegilaannya lagi. Hatiku yang telah lama mati, menjadi sangat tak peduli dengan apapun yang dilakukan oleh lelaki yang masih berstatus sebagai suamiku itu. Telah cukup lama pernikahan ini hanya sekedar formalitas dan aku bertekad untuk segera mengakhiri. Aku merasa sudah waktunya aku untuk menjalani hidup sesuai dengan kehendakku tanpa lagi tunduk pada setiap hal yang selama ini sudah didiktekan mama padaku, dengan alasan nama besar keluarga Huang yang sudah seharusnya aku jaga.Tanpa mempedulikan kecemasan sekretaris Rommy, dengan sangat tegas aku melangkah dan membuka ruangan kerja di depanku setelah memberikan ketukan singkat.Seperti dugaan di dalam sana aku menyaksikan pem
RINDU POVSudah dua hari ini aku merasakan mual yang menjengkelkan. Padahal pada bulan-bulan awal kehamilan aku tak merasakan hal seperti itu. Tapi nyatanya saat tiga bulan aku merasakan sick morning syndrome yang menguras energi.Rasanya sangat menyakitkan tapi aku selalu bisa menahannya semua karena perhatian yang begitu besar yang diberikan Mas Bara padaku.Mas Bara telah banyak berubah. Bukan lagi sosok suami yang dingin dan acuh tak acuh tapi semenjak aku hamil sikapnya malah berubah manis yang selalu penuh perhatian.Tentu saja aku menyukai perubahan ini. Pastinya aku akan memanfaatkan kehamilanku ini dengan baik sebagai pelampiasan kekesalanku karena Mas Bara tak juga mengabulkan keinginan terbesarku untuk bisa mengunjungi makam bapak.“Rin, kamu masih merasa mual?” tanya Mas Bara yang lebih memilih mendekati dan membantuku saat aku mulai memuntahkan kembali is
Keesokan harinya seperti yang telah direncanakan Mas Bara memutuskan untuk libur dari kantor berniat mengantarku memeriksa kandungan di rumah sakit.“Ini benar-benar luar biasa, memang benar tebakan Bapak, kalau kalian akan memiliki sepasang bayi kembar yang lucu,” ucap dokter wanita yang memeriksaku.Mas Bara mengembangkan senyumnya dengan sempurna.Mas Bara kian erat menggenggam tanganku sembari memandang penuh takjud pada layar USG di depan kami.“Ibu dan Bapak akan memiliki anak lelaki dan perempuan, dan mereka berdua terlihat sehat. Jadi tolong untuk tetap diperhatikan asupan gizinya.”“Iya, aku akan selalu memperhatikan gizi istriku. Untunglah sekarang ini istriku sudah tak mengalami mual dan muntah yang parah, jadi dia mulai bisa makan dengan porsi lebih banyak.” Mas Bara menjawab dengan antusias.“Apa susu ham
“Mas, kamu mau kan mendatangkan keluargku ke Jakarta?” Aku bertanya kian mendesak. Sejenak Mas Bara menelisikku dengan tatapannya yang lekat. Tapi kemudian senyumnya dengan cepat terkembang sempurna. “Tanpa kamu minta pun aku pasti akan mendatangkan mereka kemari. Kamu nggak usah khawatir ibu dan semua saudaramu pasti akan hadir pada acara tujuh bulanan kandungan kamu.” “Termasuk juga Mas Rahmat ikut diundang kan Mas?” Aku sangat berharap kehamilanku ini dapat membuat hati suamiku luluh hingga Mas Bara bersedia untuk memaafkan kesalahan kakak keduaku yang dulu pernah sangat mengecewakannya. “Dia kan selama ini selalu jahat sama kamu, kenapa kamu masih perhatian saja sama orang tak tahu malu itu?” Sudah bisa aku duga kalau tidak mudah bagi Mas Bara untuk melupakan rasa sakit hatinya, dimana dulu memang Mas Rahmat sering
Aku terperangah kaget saat melihat perubahan drastis dari sosok anggun yang selama ini aku kenal."Mami?!" seruku tertahan saat mendapati mami mertuaku muncul dengan memakai pakaian syar'i lengkap dengan hijab panjang menjuntai menutup dada.Mami Sally malah mengulas senyuman saat melihat kekagetanku."Nggak usah terlalu kaget seperti itu," ucap mami tenang.Aku semakin tak dapat menahan senyum bahagiaku saat melihat perubahan mami mertuaku."Ke mana saja Mami selama ini?" tanyaku penasaran, karena sudah sekian lama aku tak pernah lagi bertemu dengan mami di rumah besar ini."Kamu merindukan aku?" Mami bertanya dengan sangat santai.Aku masih mempertahankan senyumku dan tanpa sadar mengangguk pelan.Mami kemudian malah terkekeh lirih."Aku juga merindukan kamu, Rindu," ucap mami kian terdengar riang."Kamu tak ingin memelukku?"Tanpa menunggu lama aku langsung menghambur ke dalam pelukan mami mertuaku.Tapi kemudian tubuh kami tak
"Pasti karena lelaki itu alasan utama kamu untuk bercerai denganku," tegas Rommy Huang masih dengan tatapannya yang sangat tajam.Oma mulai terseret dengan perdebatan mereka."Apa kamu telah yakin dengan keputusan kamu untuk bercerai Sally?" Oma kemudian bertanya lugas dengan mengunggah gurat kekhawatiran."Sudah tak ada alasan bagiku untuk bertahan dengan lelaki brengsek ini," tegas mami.Aura geram segera terlihat di wajah Rommy Huang."Apa kamu pikir aku akan melepaskan kamu dengan mudah?""Kamu memang selalu brengsek sejak dulu Rom," balas mami tak mau kalah."Cukup, kalau kalian masih menghormatiku jangan pernah membicarakan tentang perceraian. Biarkan aku menikmati makan malamku."Setelah itu oma mulai melirikku."Makan yang banyak Rin, jangan memikirkan apapun,."Aku menjawabnya dengan sebuah anggukan tipis. Bersamaan dengan itu Mas Bara kemudian menambahkan seiris ayam ke dalam piringku.Aku benar-benar tak bisa menolak."
“Diam, atau aku akan menembakmu seperti yang sudah aku lakukan pada Richard!” Aku terperangah saat mendengar pengakuan lelaki berwajah oriental itu. Pengakuannya jelas sangat mengagetkan aku. “Jadi kamu yang sudah menembak suamiku?!” sergahku tandas. Raymond malah tersenyum sarkas menanggapi. “Dia sendiri yang sudah memaksaku melakukan semua ini karena dia terlalu serakah,” tukas Raymond sengit. “Kamu gila!” Aku kembali memakinya dengan suara yang semakin kuat. “Tolong, tolong ....” Aku mulai berteriak ketika Raymond semakin kewalahan dan tak mampu lagi menutup mulutku. Pergerakan di pintu itu semakin intens bersamaan aku mendengar suara gebrakan yang sangat kuat beberapa kali. Raymond yang sedang menggila ini sudah menutup pintu dari dalam hingga sulit untuk dibuka. Pastinya orang-orang di luar ruangan sedang berusaha untuk mendobrak pintu itu. Sementara aku sendiri masih berjuang untuk membebaskan diri dari sergapan Raymond. Tapi beberapa detik kemudian kami malah dikejut
Aku menjadi terlalu kaget mendapati kedatangan Raymond yang sangat tak terduga.Tapi aku malah tak kuasa untuk menghalaunya yang membuat sosok itu terus mendekat dengan penuh rasa percaya diri.“Aku tak menyangka kalau dia mampu bertahan sampai sejauh ini setelah apa yang sudah dia alami,” ungkap lelaki itu sembari mengarahkan pandangannya pada Mas Bara yang sekarang hanya bisa terbaring tanpa kesadaran di atas brankar.Gelisah mulai menerjangku ketika aku mulai melihat tatapan adik dari suamiku yang kini malah memindaiku dengan sangat intens.Aku segera bangkit dan memasang sikap waspada.Setelah kemarin aku melihat sikap Raymond yang tampak berbeda begitu rapuh dan sedih tapi sekarang dia kembali menjadi sosoknya yang dulu, yang terasa licik menakutkan.“Bagaimana kamu bisa masuk ke dalam ruangan ini?”Selama ini mami melarang orang lain masuk menemui Mas Bara. Tak sembarangan orang boleh menemani Mas Bara. Hanya aku, oma dan mami yang memiliki akses untuk bisa memasuki ruangan. Kar
“Sekarang katakan saja apa kamu yang sudah membuat Richard seperti ini?” Abe malah melontarkan tuduhannya dengan terlalu lugas.Aku tak pernah menyangka jika sahabat terdekat suamiku itu akan mengungkapkan tuduhannya dengan sangat lugas pada Lina yang sebelumnya sempat kami bicarakan dan kami curigai.Lina membeliakkan mata, mengunggah kekagetannya yang terlalu ketara.Sejenak aku tak bisa mengartikan tentang ekspresi kekagetannya yang seperti itu.“Apa kamu yang sudah menembak Richard?”Abe kian menegaskan tuduhannya.Lina malah menanggapi dengan tenang hingga kemudian malah mencebik sarkas.“Jadi kalian sekarang mencurigaiku?”Aku dan Abe tak menjawab meski masih saja memberikan tatapan yang sangat lugas pada wanita yang sering mengunggah ekspresi sinisnya itu.“Aku merasa tak perlu untuk memberikan penjelasan apapun pada kalian,” pungkas wanita itu sembari langsung bangkit dari duduknya.Tapi sebelum melangkah wanita itu melemparkan pandangannya pada Abe yang sedang mengikuti perg
“Apa yang sedang kalian bicarakan?” Segera aku menoleh ke ambang pintu dan menjadi sangat kaget ketika melihat sosok yang sedang kami bicarakan telah berdiri di sana dengan memberikan tatapan yang terlalu tajam.Sempat aku merasa kalau dia sempat mendengar pembicaraanku bersama Abe tadi, yang kemudian menelusupkan rasa gelisah di dalam dada.“Kalian berdua terlihat terlalu dekat, dan aku yakin jika Richard melihat kedekatan kalian, dia tidak akan bisa menerima ini,” sindir wanita berbaju merah itu sangat sarkas.Dengan tatapan yang sama tajamnya aku mulai menentang sorot matanya. Enggan menampakkan ketundukan atas sikapnya yang selalu saja mengintimidasi.Sejak dulu Lina selalu mengunggah keangkuhannya terutama di hadapanku yang pastinya dia anggap sebagai saingan terbesarnya karena nyatanya memang hanya aku yang bisa mendapatkan hati Mas Bara sepenuhnya, sesuatu yang kini membawa kesadaranku kembali atas apa yang sudah aku dapatkan selama ini. Nyatanya memang tak ada yang paling ber
“Katakan padaku apa yang kamu ketahui tentang suamiku?”Aku segera mencecarnya dengan tak sabar, karena saat ini sekecil apapun informasi yang beredar sangat aku butuhkan karena aku benar-benar ingin menguak tabir misteri tentang penembakan suamiku yang sampai saat ini belum juga terungkap.Abe tampak memindaiku lebih lekat dan aku dengan tegas menentangnya tanpa keraguan.Lelaki bermata tajam itu kemudian menarik nafasnya sejenak sembari menautkan kedua tangannya di depan wajahnya yang lumayan good looking itu.“Sebenarnya sehari sebelum hari naas itu, aku dan Richard sempat bertemu di ruangan ini. Kami membicarakan banyak hal, terutama tentang dirimu dan segala penyesalannya.”Abe sengaja menghentikan kalimatnya kian intens memindaiku seakan ingin menebak apa yang ada di dalam pikiranku saat ini.Tapi aku memutuskan untuk membisu menunggunya melan
Sudah nyaris sebulan Mas Bara terbaring koma. Selama itu aku bertahan untuk tetap mendampingi walau keadaanku masih sering diserang mual dan rasa tak nyaman di perut.Tak ada alasan bagiku untuk menyerah karena saat ini prioritas utamaku tetap Mas Bara yang selalu aku yakini tetap bisa mendengar setiap kata yang aku ucapkan di telinganya.Bahkan setiap kali aku datang aku selalu membacakan ayat-ayat Ilahi, sebelum aku mulai mengajaknya mengobrol.“Mas, hari ini aku bawakan lavender, aromanya harum sekali. Kamu bisa menciumnya kan Mas?” tanyaku sembari mendekatkan bunga yang aku bawa di hidungnya.Aku selalu yakin jika Mas Bara selalu bisa merasakan apapun yang aku lakukan walau dia tak memberikan respon apapun. Bahkan tidak dengan kedipan mata, karena mata itu selalu terkatup rapat.Saat melihatnya tetap diam dan beku, hati ini mulai dirasuki kesedihan yang kian pekat
Rasa tidak nyaman kian menyerangku membuat sekujur tubuhku seakan melemah. Tapi saat ini aku memaksa untuk tetap tegar demi aku bisa memastikan bagaimana keadaan Mas Bara. Gelisah yang menyergapku memaksaku untuk bertahan dan tetap kuat meski sejak tadi rasa mual semakin menekan di dalam perutku.Bahkan ketika aku sampai di Jakarta, beberapa kali aku sudah memuntahkan isi perutku saat berada di dalam pesawat.Oma dan mami sempat menganggap apa yang aku rasakan hanya sekedar mabuk kendaraan.Tapi sesuatu di dalam diriku semakin tak bisa menampik praduga ini. Dengan pengalaman yang sempat aku dapatkan ketika mengandung Raka dan Raya, aku mulai bisa menegaskan pada diriku sendiri jika sekarang aku memang sedang berbadan dua.K
“Sesuatu telah terjadi pada Richard!”Ketika oma memekikkan nama suamiku segera aku mendekat dengan hati yang sudah diselimuti kabut kecemasan.“Ada apa dengan Mas Bara, Oma?” tanyaku menjadi kian khawatir.Sementara mami malah menatapku dengan gamang dan mulai menghampiriku untuk bisa memelukku dengan lembut.“Kita harus kembali ke Jakarta hari ini juga Rin.”Mami berucap dengan sangat sungguh-sungguh.Hatiku menjadi kian kuat memendam praduga yang buruk. Aku merasa sangat yakin jika sesuatu telah terjadi pada suamiku saat ini.“Katakan padaku, apa yang sudah terjadi Mi?” desakku semakin gelisah.“Richard membutuhkan kamu,” balas mami masih dengan mengunggah gurat kecemasan di wajahnya.Aku mengernyit penuh kecemasan.
Setiap orang bisa menganyam harapan tapi Tuhan yang akan menentukan segalanya. Walau berbagai macam cara telah diusahakan nyatanya, kehendak Tuhan yang tetap berlaku. Takdir telah menggariskan bahwa saat ini adalah perpisahan kami.Hatiku terus memendam rasa kehilangan yang bahkan membuatku terus menangis kala melepas jenazah ibu di pemakaman. Kini jasad yang sosok yang sangat aku sayangi itu telah berbaring di sisi makam bapak. Mereka akhirnya bersama lagi yang membuatku menghadirkan kembali segala kenangan kebersamaan keluarga kami dulu di permukaan ingatan.Tangisku semakin kuat nyaris menyedot segala ketegaran meski oma dan mami mendampingi untuk menguatkan. Sampai akhirnya semua saudaraku ikut mendekat dan kami mulai saling berangkulan berusaha untuk saling menularkan ketegaran.Bahkan Laras telah kembali dari Australia mengejar penerbangan pertama demi bisa ikut mengantarkan ibu menuju peristira