“Kamu bertanya apa aku sekarang mempercayaimu sekarang ini?”
Mami kembali bertanya.
Aku menjawabnya dengan sebuah anggukan pelan.
Mami kemudian malah mencebik tipis.
“Apa selama ini aku pernah meragukan kamu?”
Aku terdiam sejenak.
Mami malah mendesah lirih.
“Satu-satunya kesalahanku adalah hanyalah mengabaikan kamu.”
“Dan Mami melakukannya karena Mami ingin melampiaskan segala kekecewaan padaku.”
“Bila melihatmu aku selalu teringat pada Dahlan yang sudah mengingkari janjinya.”
“Nyatanya Papa tak pernah mengingkari janji tapi seseorang sudah membuatnya tak bisa datang untuk menepati janji.”
Aku menegaskan kata-kataku.
“Apa kamu mencurigai Rommy Huang?” tanya Mami kemu
Aku melangkah dengan yakin ke dalam ruangan paling luas di lantai teratas ini.Dengan kinerja yang ditunjukkannya selama ini, rasanya sangat berlebihan kalau Raymond mendapatkan fasilitas yang tidak main-main meski adik tiriku itu hanya memimpin di kantor cabang.“Kita harus bicara!” tegasku yakin yang membuat pria yang dua tahun lebih muda dariku itu terperangah menatapku. Jelas tak menduga dengan kedatanganku yang sangat mendadak di kantornya ini.“Angin apa yang membawamu datang Kakak ... Tiri,” tukasnya dengan tatapan dingin.Aku mencibir sikapnya yang apriori.“Jangan berlagak di hadapanku karena aku bisa membuatmu kehilangan semuanya, jika aku mau.”Raymond langsung membanting kertas yang semula dia baca lalu menyergapku dengan tatapan nyalang.“Jangan pernah mengancamku, Richard.”
Aku sangat puas setelah melihat persiapan dari pihak hotel yang sudah mulai mengosongkan area hall yang nantinya akan kami jadikan tempat resepsi.Mereka juga menjelaskan detail persiapannya pada kami, tentang dekorasi dan termasuk koordinasi dengan pihak catering yang akan menyajikan hidangan untuk pesta kami.Semua ini sangat membahagiakan untukku. Bahkan tak pernah aku terlalu melihat diri untuk hal yang terlalu detail seperti ini. Tapi dengan Rindu segalanya akan menjadi pengecualian untukku. Nyatanya aku memang sangat bahagia melakukan semua itu terlebih setiap kali aku melihat wajah Rindu yang berseri juga ucapan terima kasihnya yang selalu terlontar karena dia menganggap semua persiapan ini terlalu spektakuler untuknya.“Mas, ini rasanya terlalu berlebihan,” ucap Rindu masih merasa rikuh padaku meski aku sudah dua tahun sebagai suaminya.“Tidak ada yang berlebihan sayang, kam
“Apa kamu bahagia sayang?” tanyaku pada Rindu yang sedang terpukau menatap awan yang berarak lewat kaca jendela pesawat ketika kami dalam perjalanan menuju Paris.Setelah sekian tahun akhirnya aku bisa mewujudkan janjiku padanya untuk mendatangi negara yang pernah aku tinggali selama hampir empat tahun saat aku masih menjadi seorang mahasiswa.Rindu mengalihkan pandangannya padaku lalu tersenyum. Senyumannya selalu saja meresahkan hatiku yang membuat tanganku tergoda untuk membelai wajahnya.“Ternyata Paris itu sangat jauh ya Mas,” gumam Rindu.“Iya, memang jauh, bertahanlah sebentar, mungkin satu jam lagi kita akan sampai di Bandara Charles de Gaulle.”Aku semakin lekat memandangnya.“Apa kamu letih sayang?” tanyaku untuk memastikan karena melihat wajahnya yang agak muram.Rindu menipiskan
RINDU POVAku masih saja semua yang aku alami saat ini bagai sebuah mimpi yang terlalu indah. Tak pernah aku bayangkan kalau akhirnya aku menginjakkan kaki di Perancis, menghabiskan masa bulan madu dengan mengunjungi banyak tempat menarik yang sebelumnya hanya bisa aku lihat di media sosial.Mas Bara memperlakukan aku bagai ratu, selalu menuruti apapun yang aku minta. Kesabarannya juga sebuah hal yang tak terduga lainnya bila mengingat selama ini sikapnya yang cenderung otoriter dan mendominasi.Sepertinya kepuasannya di ranjang yang membuat suamiku mendadak menjadi sangat penurut. Walau selama di Paris aku selalu saja menuruti destinasi yang sudah ditentukan oleh Mas Bara.Setelah mengunjungi Muse de Louvre, seusai sebelumnya kami sempat mampir di Versailles, bahkan juga Eiffel yang jelas tak akan aku lewatkan begitu saja, akhirnya kami singgah di sebuah restoran mewah yang juga menyajikan menu maka
“Baiklah Mi, sekarang ceritakan padaku apa yang sebenarnya terjadi?” Mas Bara bertanya dengan penuh rasa ingin tahu menyiratkan sebuah kekhawatiran juga.Aku semakin menelisik wajah wanita anggun di depanku yang biasanya terlihat penuh rasa percaya diri sekarang berubah muram dan sedih.Mami Sally membalas tatapan Mas Bara dengan sorot matanya yang sayu.“Aku ingin bercerai dengan Rommy Huang,” tegas Mami Sally tanpa keraguan yang membuat aku dan Mas Bara terperangah kaget.Sontak aku dan Mas Bara menatap lugas ke arah wanita yang sepasang mata indahnya tampak sembab itu.“Apa Mami yakin?” tanya Mas Bara masih dengan aura kekagetannya.“Aku merasa sudah tak ada gunanya bertahan, aku tidak membutuhkan semua harta dan kehormatan keluarga Huang. Lagipula sekarang sudah ada kamu yang bisa menangani semuanya.”
Entah sudah berapa toko yang kami datangi. Mami Sally benar-benar melakukan apa yang sudah dikatakannya semalam. Jika dia akan mencarikan outfit terbaik dengan kemewahan yang tak diragukan lagi.Mas Bara juga ikut mendampingi dan seringkali juga mereka terlibat perdebatan saat menentukan outfit yang dipilihkan untukku.Melihat semua itu pusing yang aku rasakan kian mendera. Juga rasa tak nyaman di perutku yang sejak tadi pagi melilit rasanya semakin membuatku tersiksa.Tapi sampai beberapa lama aku harus menahannya.“Mam, apa nanti Rindu tidak terlalu mencolok pakai gaun seperti ini?”Mas Bara menunjukkan keberatannya.“Kamu tahu apa sih Richard? Ini gaun yang paling cocok aku rasa buat Rindu, warnanya pastel jadi nggak mungkin kalau terlihat mencolok.”“Tapi potongannya Mi?”&ldquo
Wajah Mas Bara langsung pucat saat mendengar permintaanku. Sikap hangatnya langsung menguap berganti dengan kewaspadaan dan ketegasan yang sering dia sajikan selama ini padaku.Aku sudah menduga Mas Bara akan sulit akan mengabulkan apa yang paling aku inginkan sekarang ini.“Ganti permintaan kamu dengan yang lainnya,” tukas Mas Bara tegas.Sementara Mami terlihat memandang pada Mas Bara dengan tatapan yang sedikit ingin tahu. Aku yakin Mami juga tidak tahu alasan dari Mas Bara tak mengabulkan keinginanku itu.“Tapi aku benar-benar ingin berziarah di makam Bapak Mas, dan itu nggak bisa digantikan dengan apapun.”“Sudah aku katakan, aku tak bisa mengijinkan kamu untuk kembali ke desa itu lagi,” tegas Mas Bara dengan sikapnya yang semakin dingin.“Tapi kenapa Mas?” Aku memprotes dengan jengah.
“Apa kamu pura-pura tidak mendengar apa yang aku ucapkan tadi Richard?” sergah Lina sembari melirikku dengan sarkas.Aku yang masih berada di samping Mas Bara berusaha mengabaikan tatapannya yang selalu merendahkan aku itu.Sementara Mas Bara kian lugas menentang tatapannya dengan ketegasan yang terunggah nyata.“Apa kamu lupa kalau papaku memiliki saham juga di Inti Semesta? Jadi aku memutuskan untuk terlibat juga dalam urusan perusahaan,” tegas Lina benar-benar tak mau kalah.“Apa maksudnya ini?!” sergah Mas Bara mulai terunggah emosinya.Menit berikutnya Rommy Huang muncul dari ruang tengah dengan diikuti Mami Sally yang tampaknya sudah menyelesaikan permasalahannya sempat terjadi di antara mereka sebelumnya.“Kamu tanyakan saja pada Papi kamu, dia yang akan menjelaskan semuanya sama kamu,” ucap
“Diam, atau aku akan menembakmu seperti yang sudah aku lakukan pada Richard!” Aku terperangah saat mendengar pengakuan lelaki berwajah oriental itu. Pengakuannya jelas sangat mengagetkan aku. “Jadi kamu yang sudah menembak suamiku?!” sergahku tandas. Raymond malah tersenyum sarkas menanggapi. “Dia sendiri yang sudah memaksaku melakukan semua ini karena dia terlalu serakah,” tukas Raymond sengit. “Kamu gila!” Aku kembali memakinya dengan suara yang semakin kuat. “Tolong, tolong ....” Aku mulai berteriak ketika Raymond semakin kewalahan dan tak mampu lagi menutup mulutku. Pergerakan di pintu itu semakin intens bersamaan aku mendengar suara gebrakan yang sangat kuat beberapa kali. Raymond yang sedang menggila ini sudah menutup pintu dari dalam hingga sulit untuk dibuka. Pastinya orang-orang di luar ruangan sedang berusaha untuk mendobrak pintu itu. Sementara aku sendiri masih berjuang untuk membebaskan diri dari sergapan Raymond. Tapi beberapa detik kemudian kami malah dikejut
Aku menjadi terlalu kaget mendapati kedatangan Raymond yang sangat tak terduga.Tapi aku malah tak kuasa untuk menghalaunya yang membuat sosok itu terus mendekat dengan penuh rasa percaya diri.“Aku tak menyangka kalau dia mampu bertahan sampai sejauh ini setelah apa yang sudah dia alami,” ungkap lelaki itu sembari mengarahkan pandangannya pada Mas Bara yang sekarang hanya bisa terbaring tanpa kesadaran di atas brankar.Gelisah mulai menerjangku ketika aku mulai melihat tatapan adik dari suamiku yang kini malah memindaiku dengan sangat intens.Aku segera bangkit dan memasang sikap waspada.Setelah kemarin aku melihat sikap Raymond yang tampak berbeda begitu rapuh dan sedih tapi sekarang dia kembali menjadi sosoknya yang dulu, yang terasa licik menakutkan.“Bagaimana kamu bisa masuk ke dalam ruangan ini?”Selama ini mami melarang orang lain masuk menemui Mas Bara. Tak sembarangan orang boleh menemani Mas Bara. Hanya aku, oma dan mami yang memiliki akses untuk bisa memasuki ruangan. Kar
“Sekarang katakan saja apa kamu yang sudah membuat Richard seperti ini?” Abe malah melontarkan tuduhannya dengan terlalu lugas.Aku tak pernah menyangka jika sahabat terdekat suamiku itu akan mengungkapkan tuduhannya dengan sangat lugas pada Lina yang sebelumnya sempat kami bicarakan dan kami curigai.Lina membeliakkan mata, mengunggah kekagetannya yang terlalu ketara.Sejenak aku tak bisa mengartikan tentang ekspresi kekagetannya yang seperti itu.“Apa kamu yang sudah menembak Richard?”Abe kian menegaskan tuduhannya.Lina malah menanggapi dengan tenang hingga kemudian malah mencebik sarkas.“Jadi kalian sekarang mencurigaiku?”Aku dan Abe tak menjawab meski masih saja memberikan tatapan yang sangat lugas pada wanita yang sering mengunggah ekspresi sinisnya itu.“Aku merasa tak perlu untuk memberikan penjelasan apapun pada kalian,” pungkas wanita itu sembari langsung bangkit dari duduknya.Tapi sebelum melangkah wanita itu melemparkan pandangannya pada Abe yang sedang mengikuti perg
“Apa yang sedang kalian bicarakan?” Segera aku menoleh ke ambang pintu dan menjadi sangat kaget ketika melihat sosok yang sedang kami bicarakan telah berdiri di sana dengan memberikan tatapan yang terlalu tajam.Sempat aku merasa kalau dia sempat mendengar pembicaraanku bersama Abe tadi, yang kemudian menelusupkan rasa gelisah di dalam dada.“Kalian berdua terlihat terlalu dekat, dan aku yakin jika Richard melihat kedekatan kalian, dia tidak akan bisa menerima ini,” sindir wanita berbaju merah itu sangat sarkas.Dengan tatapan yang sama tajamnya aku mulai menentang sorot matanya. Enggan menampakkan ketundukan atas sikapnya yang selalu saja mengintimidasi.Sejak dulu Lina selalu mengunggah keangkuhannya terutama di hadapanku yang pastinya dia anggap sebagai saingan terbesarnya karena nyatanya memang hanya aku yang bisa mendapatkan hati Mas Bara sepenuhnya, sesuatu yang kini membawa kesadaranku kembali atas apa yang sudah aku dapatkan selama ini. Nyatanya memang tak ada yang paling ber
“Katakan padaku apa yang kamu ketahui tentang suamiku?”Aku segera mencecarnya dengan tak sabar, karena saat ini sekecil apapun informasi yang beredar sangat aku butuhkan karena aku benar-benar ingin menguak tabir misteri tentang penembakan suamiku yang sampai saat ini belum juga terungkap.Abe tampak memindaiku lebih lekat dan aku dengan tegas menentangnya tanpa keraguan.Lelaki bermata tajam itu kemudian menarik nafasnya sejenak sembari menautkan kedua tangannya di depan wajahnya yang lumayan good looking itu.“Sebenarnya sehari sebelum hari naas itu, aku dan Richard sempat bertemu di ruangan ini. Kami membicarakan banyak hal, terutama tentang dirimu dan segala penyesalannya.”Abe sengaja menghentikan kalimatnya kian intens memindaiku seakan ingin menebak apa yang ada di dalam pikiranku saat ini.Tapi aku memutuskan untuk membisu menunggunya melan
Sudah nyaris sebulan Mas Bara terbaring koma. Selama itu aku bertahan untuk tetap mendampingi walau keadaanku masih sering diserang mual dan rasa tak nyaman di perut.Tak ada alasan bagiku untuk menyerah karena saat ini prioritas utamaku tetap Mas Bara yang selalu aku yakini tetap bisa mendengar setiap kata yang aku ucapkan di telinganya.Bahkan setiap kali aku datang aku selalu membacakan ayat-ayat Ilahi, sebelum aku mulai mengajaknya mengobrol.“Mas, hari ini aku bawakan lavender, aromanya harum sekali. Kamu bisa menciumnya kan Mas?” tanyaku sembari mendekatkan bunga yang aku bawa di hidungnya.Aku selalu yakin jika Mas Bara selalu bisa merasakan apapun yang aku lakukan walau dia tak memberikan respon apapun. Bahkan tidak dengan kedipan mata, karena mata itu selalu terkatup rapat.Saat melihatnya tetap diam dan beku, hati ini mulai dirasuki kesedihan yang kian pekat
Rasa tidak nyaman kian menyerangku membuat sekujur tubuhku seakan melemah. Tapi saat ini aku memaksa untuk tetap tegar demi aku bisa memastikan bagaimana keadaan Mas Bara. Gelisah yang menyergapku memaksaku untuk bertahan dan tetap kuat meski sejak tadi rasa mual semakin menekan di dalam perutku.Bahkan ketika aku sampai di Jakarta, beberapa kali aku sudah memuntahkan isi perutku saat berada di dalam pesawat.Oma dan mami sempat menganggap apa yang aku rasakan hanya sekedar mabuk kendaraan.Tapi sesuatu di dalam diriku semakin tak bisa menampik praduga ini. Dengan pengalaman yang sempat aku dapatkan ketika mengandung Raka dan Raya, aku mulai bisa menegaskan pada diriku sendiri jika sekarang aku memang sedang berbadan dua.K
“Sesuatu telah terjadi pada Richard!”Ketika oma memekikkan nama suamiku segera aku mendekat dengan hati yang sudah diselimuti kabut kecemasan.“Ada apa dengan Mas Bara, Oma?” tanyaku menjadi kian khawatir.Sementara mami malah menatapku dengan gamang dan mulai menghampiriku untuk bisa memelukku dengan lembut.“Kita harus kembali ke Jakarta hari ini juga Rin.”Mami berucap dengan sangat sungguh-sungguh.Hatiku menjadi kian kuat memendam praduga yang buruk. Aku merasa sangat yakin jika sesuatu telah terjadi pada suamiku saat ini.“Katakan padaku, apa yang sudah terjadi Mi?” desakku semakin gelisah.“Richard membutuhkan kamu,” balas mami masih dengan mengunggah gurat kecemasan di wajahnya.Aku mengernyit penuh kecemasan.
Setiap orang bisa menganyam harapan tapi Tuhan yang akan menentukan segalanya. Walau berbagai macam cara telah diusahakan nyatanya, kehendak Tuhan yang tetap berlaku. Takdir telah menggariskan bahwa saat ini adalah perpisahan kami.Hatiku terus memendam rasa kehilangan yang bahkan membuatku terus menangis kala melepas jenazah ibu di pemakaman. Kini jasad yang sosok yang sangat aku sayangi itu telah berbaring di sisi makam bapak. Mereka akhirnya bersama lagi yang membuatku menghadirkan kembali segala kenangan kebersamaan keluarga kami dulu di permukaan ingatan.Tangisku semakin kuat nyaris menyedot segala ketegaran meski oma dan mami mendampingi untuk menguatkan. Sampai akhirnya semua saudaraku ikut mendekat dan kami mulai saling berangkulan berusaha untuk saling menularkan ketegaran.Bahkan Laras telah kembali dari Australia mengejar penerbangan pertama demi bisa ikut mengantarkan ibu menuju peristira