“Kau sudah bangun?” Itulah pertanyaan yang pertama kali aku dengar saat aku mulai membuka mata. “Apa yang terjadi denganku?” aku mencoba untuk bangun, namun sebuah tangan menghalangiku.“Kau masih lemah, tak perlu memaksakan diri, Angelina,” suara itu kembali terdengar memperingatiku.Setelah aku sadar sepenuhnya aku baru ingat jika aku sempat pingsan sebelum ada di sini, di kamarku sendiri.“Mr. Axel Campbell??” Aku menatapnya penuh tanya saat mengingat kembali jika pria itulah yang telah menolongku sesaat sebelum aku pingsan.“Katakan padaku, sejak kapan kau mendapatkan penyiksaan seperti ini, Angelina?” Tatapan Axel begitu menyelidik melihatku.“A-pa?? Apa maksudmu?” Aku bertanya spontan pura-pura bodoh.“Apa kau pikir aku tak tahu apa-apa? Dan jangan coba-coba menutupi perbuatan Henry padamu!” tukasnya membuatku semakin merasa terpojok.Berusaha menghindari tatapannya yang semakin mendominasi, membuatku memalingkan wajahku darinya, “Itu bukan urusanmu!” jawabku ketus.“Dengar, An
Bab 24Hari berikutnya setelah keadaanku sudah kembali fit, aku pun berangkat bekerja seperti biasa. Benyamin Larkin langsung memberikanku pekerjaan menumpuk, sepertinya aku akan lembur hari ini. “Kau sudah aku berikan kelonggaran dua hari izin tak bekerja, sekarang kau harus mengerjakan semua tugasmu ini!” perintahnya Benyamin Larkin, “Jangan karena kebetulan kau mengenal Axel Campbell atau memiliki hubungan dengan seseorang di Campbell Corporation, kau bisa seenaknya bekerja denganku! Itu tidak akan terjadi dalam kamusku, Angelina Louis,” sindir Benyamin Larkin padaku.Aku yang sedang tak ingin berdebat dengannya hanya bisa diam, dan lebih memilih untuk patuh. Hari itu pun aku berkutat dengan pekerjaanku, agar semua tugas yang diberikan Benyamin Larkin dapat aku selesaikan hari ini juga. Namun, di tengah-tengah pekerjaan itu aku merasa pusing kembali. Apakah ini karena pengaruh kehamilanku yang memang masih semester awal? Entahlah, aku tetap memaksakan diri untuk bekerja. “Kau tid
Dalam kepanikanku aku tetap berusaha keras membuka pintu, meskipun aku tahu itu hanyalah usaha yang sia-sia. “Tolong! Siapa pun buka pintunya! Selamatkan aku!” Aku berteriak keras meminta tolong seraya menggedor-gedor pintu mobil berharap ada yang mendengar teriakanku dari luar. “Astaga, Angelina. Kenapa kau sepanik itu? Lihatlah, aku tidak melakukan apa pun padamu? Lantas apa yang kau takutkan?” Masih bisa kulihat senyuman mesumnya di balik sikap Benyamin yang terlihat tenang. “Mr. Benyamin Larkin, apa yang Anda lakukan ini sama saja pemaksaan! Saya bisa menuntut Anda jika Anda bertindak di luar batas!” ancamku berani. “Oya?? Memang apa yang kau bisa lakukan padaku, Angelina? Apa kau pikir dengan kau mengenal orang penting di Campbell Corporation aku takut padamu?” Benyamin mendengus angkuh, “Bukankah kau sudah biasa tidur dengan pria untuk mendapatkan sesuatu yang kau inginkan? Jadi untuk apa kau bersikap jual mahal padaku?” ejeknya tak berakhlak. Seketika emosiku memuncak saat
Entah sudah berapa lama aku berjalan tanpa arah dan tujuan. Pandanganku kosong seakan kehilangan harapan. Tak aku rasakan hawa dingin menerpa tubuhku, hanya dengan mengenakan pakaian seadanya yang sudah tak layak, aku berjalan tertatih menyusuri jalanan gelap di malam buta yang sunyi. Tak aku rasakan rasa sakit dalam tubuhku saat ini. Seolah semua mati rasa, aku tak merasakan perasaan apa pun selain hanya kehampaan. Ya, hatiku hampa dan terasa kosong. Semua kejadian hari ini bagai mimpi terburukku. Semua begitu cepat dan belum bisa aku mengerti. Sampai sekarang aku masih berharap jika ini adalah mimpi dan aku akan terbangun kemudian tak akan mengingatnya lagi. Namun sayang, semua ini adalah nyata dan benar-benar terjadi. Penghinaan, pelecehan, fitnah dan caci maki baru saja aku alami. Angelina Louis, mungkinkah hidupmu memang sehina ini? Aku tersenyum getir dengan nasib buruk yang aku alami. Dengan keadaanku yang seperti ini, lantas untuk apa aku hidup lagi? Kini langkahku terhenti di
“Apa kau bilang, menikah?” Aku bertanya gugup tak percaya. “Ya, menikah. Kau dan aku akan menikah.” Axel berkata dengan penuh keyakinan. Mendengar ucapan Axel yang terlihat tanpa keraguan itu membuatku tertawa gugup, “Apa aku terlihat begitu menyedihkan hingga kau berkata demikian untuk menghiburku?” dalihku. “Aku serius mengatakannya, Angelina Louis. Aku ingin menikahimu. Dan aku melakukannya bukan karena rasa kasihan,” ucap Axel tanpa keraguan sedikit pun. “A-apa? Ta-pi bagaimana bisa? Kenapa kau ingin menikah denganku?” aku semakin merasa bingung “Karena kau sedang hamil, dan kau membutuhkanku, Angelina. Itu jika kau ingin lepas dari Henry Bastian Campbell untuk selamanya.” Aku membisu tak bisa menjawabnya, aku merasa jika semua ini masih terasa mimpi bagiku. “Tenanglah, kau tak perlu buru-buru menjawabnya. Waktu masih panjang, dan aku akan memberikan waktu untukmu berpikir,” ucap Axel seraya tersenyum. “Pulihkan dirimu dulu, Angelina. Setelah itu pikirkan baik-baik tawarank
Beberapa hari kemudian. Keadaanku sudah membaik dari sebelumnya, selama aku menjalani pemulihan selama itu pun Axel Campbell bersikap perhatian padaku. Selama ini aku tinggal di sebuah rumah yang entah tak aku ketahui di mana letaknya dengan jelas. Tidak mewah, namun dapat dikatakan sebagai sebuah hunian yang nyaman. Jujur aku merasa damai di tempat ini, bersama dengan seorang pelayan setengah baya yang merawatku. Sedangkan Axel sendiri, hanya beberapa kali datang berkunjung menemuiku. Aku bersyukur jika kehamilanku ini tidak membuatku repot. Perutku yang masih belum terlalu jelas terlihat, membuatku masih tak tampak sebagai wanita yang tengah hamil. Aku tersenyum pahit jika mengingatnya. Mengingat bagaimana nasib anakku nanti setelah ini, sedangkan ayahnya sendiri tak tahu jika kini aku sedang mengandung benihnya. Tidak, aku tak boleh menyerah begitu saja. Anak ini adalah milikku, bukan milik Henry Bastian Campbell yang telah membuangku seperti sampah, dan aku telah bertekad akan me
Bab 29 Dua minggu kemudian. Milan, Italy. “Anda tampak sempurna, Nona.” Seorang penata rias pengantin selesai meriasku di hari pernikahanku yang kedua kali dengan seorang dari keluarga Campbell, tepatnya putra tertua dari keluarga salah satu billioner dari New York, Axel Campbell. “Terima kasih,” jawabku dengan menatap pantulan diriku dalam cermin. Ini adalah pernikahanku yang kedua dan untuk kedua kalinya aku menikah dengan pria dari keluarga yang sama, yaitu Campbell. Aku tersenyum kecut menatap diriku, bukan sebuah senyuman kebahagiaan seperti calon pengantin lainnya. Sama seperti pernikahanku yang sebelumnya, semua ini bagiku tak ada bedanya. Tak ada rasa cinta ataupun perasaan bahagia layaknya wanita yang akan menikah pada umumnya. Hatiku masih saja terasa hampa. Apa seperti ini rasanya menikah yang tanpa didasari rasa cinta dan terjadi karena terpaksa? Dan mengapa selalu seperti ini nasib pernikahanku? Walaupun sebenarnya pernikahan ini tak aku inginkan, namun aku tak memil
Empat tahun kemudian Venesia, Italy. Di salah satu restoran terbaik di Venesia, aku tengah menemani putraku yang kini sudah tumbuh besar. Tak terasa waktu begitu cepat berlalu, empat tahun telah aku lewati sejak pernikahanku bersama dengan Axel Campbell. “Apa yang ingin kau makan, Andrew? Jika kau masih bingung, Mom bisa pilihkan menu makanan untukmu, Sayang.” Aku bertanya pada putraku yang terlihat sibuk memilih makanan yang diinginkannya malam itu. “Aku ingin makan daging, Mom,” pinta Andrew dengan memasang wajah yang tampak menggemaskan. Aku tersenyum seraya mengelus rambut hitamnya dan berkata, “Bagaimana kalau kau makan carne salada, Mom yakin kau akan menyukainya, Sayang,” tawarku seraya menunjuk gambar carne salada pada si kecil Andrew. Senyum merekah di bibir Andrew setelah melihat gambar pada buku menu yang aku tunjukan padanya. “Sepertinya itu enak, Mom,” ucapnya antusias. “Baiklah, Mom akan pilihkan menu ini untukmu, Sayang,” ucapku pada Andrew yang duduk di sebelahk
Siang itu aku dalam perjalanan menuju ke sekolah Andrew, setelah wali kelasnya, Mrs. Nancy Brown menghubungiku beberapa jam yang lalu dan memberitahuku jika Andrew terlibat masalah dengan sesama teman di sekolahnya. Apa yang terjadi di sekolah, aku belum terlalu jelas mengetahuinya, Hanya saja sebagai ibu, hal itu tetap saja membuatku sedikit merasa panik. Andrew adalah anak yang tak pernah membuat masalah, dia cenderung penurut dan bukanlah anak yang hiperaktif, lalu masalah apa yang ditimbulkan Andrew hingga ia bisa terlibat masalah dengan teman di sekolahnya. Tak ada penjelasan secara rinci, Mrs. Nancy Brown hanya memintaku untuk datang ke sekolah untuk bertemu dengan wali murid dari teman yang bermasalah dengan Andrew. Setelah sampai di sekolah Andrew, aku langsung berjalan menuju ke ruangan guru di sekolah dasar favorit tempat Andrew menempuh pendidikan di sini. Namun, belum sampai di tempat yang dituju di koridor sekolah aku berpapasan dengan seseorang, tepatnya seorang guru lak
Empat hari telah berlalu sejak aku mendapatkan kiriman buket bunga tanpa nama. Selama itu pun aku selalu mendapatkan buket bunga yang sama dengan tanpa nama. Entah siapa yang sengaja mengirimkannya padaku aku belum menemukan petunjuk apa pun. Hingga hari ketiga aku pernah memerintahkan Bob untuk menolak tak menerima dan mengembalikannya pada sang pengirim, akan tetapi sang kurir menolak keras dengan alasan buket bunga itu memang dipesan seseorang lewat on line. Tentu saja mengembalikannya hanyalah usaha yang sia-sia. Oleh sebab itulah mau tak mau aku harus menerima buket bunga tersebut, meskipun sebenarnya aku sudah mulai merasa semakin penasaran dengan siapa sebenarnya sang pengirim tanpa nama itu. Selama itu pun Axel tak terlihat lagi datang berkunjung. Dia seolah menghilang tanpa jejak. Aku sudah merasa tak heran karena sejak dulu itulah keahlian dari seorang Axel Campbell, yang selalu datang dan pergi dengan tiba-tiba. Saat itu aku sempat berpikir apa mungkin sang pengirim misteri
Mansion utama Campbell“Nyonya ada kiriman buket bunga dari seseorang.” Pelayan setia bernama Bob memberitahu ketika aku tengah mengawasi Damian dan Andrew berenang bersama di mansion. Aku mengerutkan alis menatap lekat buket bunga mawar merah cantik yang ada di tangan Bob. “Buket bunga? Dari siapa?” tanyaku penasaran. “Tidak ada nama pengirim, Nyonya tetapi ada pesan di buket bunga ini. Mungkin Anda bisa mengetahui jika sudah membacanya.” Bob menyerahkan buket berukuran cukup besar itu padaku, "Jika tidak ada yang diperlukan lagi, saya permisi, Nyonya.” Bob menunduk kemudian berlalu pergi sedangkan aku masih menatap penuh tanya buket bunga cantik yang kini berada di tanganku. Harus aku akui buket bunga ini begitu cantik. Entah kebetulan atau tidak sepertinya sang pengirim mengetahui jika memang aku sangat menyukai bunga mawar merah seperti ini. Tapi siapa yang mengirimnya? Apakah Axel, mungkinkah dia? Tetapi selama kami menikah dia jarang sekali bersikap romantis apalagi sampai men
“Mom!!!” Suara dari panggilan yang sangat aku kenal itu membuatku membuka mata. Benar saja, aku yang masih terbungkus selimut tebal dan baru saja terbangun sontak dibuat terkejut ketika dua putraku berhamburan masuk ke kamar lalu memelukku erat seolah sudah lama tak berjumpa. “Andrew! Damian!” Aku menyahut membalas pelukan mereka padaku masih dalam satu ranjang. “Kenapa Mom pulang lama sekali semalam? Aku semalam tidur bersama dengan Kak Andrew karena Mom tak ada. Mom tidak takut ‘kan tidur sendirian?” Damian kecil bertanya polos padaku. Deg! Saat itu juga aku baru mengingat jika semalam untuk pertama kalinya setelah ‘kematian’ Axel, kami berdua tidur bersama dalam satu ranjang dan menghabiskan malam bersama. Tubuhku terasa memanas jika mengingatnya. Bagaimana Axel menyentuhku semalam masih aku ingat dengan jelas, setiap sentuhannya padaku seakan adalah pengobat rindu setelah perpisahan kami yang cukup lama. Jujur aku masih belum siap sepenuhnya semalam tetapi aku tak bisa menol
“Bermimpilah terus Jeremy! Yang pasti ucapanmu tak akan mengubah apa pun di antara kita berdua!” tegasku cukup lantang. Pria berpomade itu tetap tersenyum penuh percaya diri. “Oya? Kita lihat saja nanti, sweety heart.” Kedua tangan Jeremy saling bertumpu pada meja, mengukir senyuman samar lalu melanjutkan kembali ucapannya. “Kau boleh menolakku sekarang, Angelina. Tapi aku pastikan kau akan kembali padaku. Karena sejak dulu di antara kita memang tak pernah ada kata perpisahan, itu yang pasti.” Kali ini aku terdiam, tak bereaksi menatap sosok pria di hadapanku yang begitu berbeda dari yang pernah aku kenal dulu, Jeremy Ollands. Aku memang sudah mengenal sosok Jeremy yang tak pantang menyerah, namun sekarang entah bagaimana setelah bertemu dengannya seperti ini sosok Jeremy kini berubah menjadi semakin berbeda. Seolah dia adalah pria yang begitu terobsesi denganku. Selama delapan tahun ini bukannya melupakanku seperti aku yang telah melupakannya, tetapi dia justru mengejarku hingga s
Malam berikutnya sesuai dengan apa yang Jeremy Ollands minta, aku pun akhirnya memutuskan untuk menemuinya di salah satu restoran besar yang ada di New York City, dengan hanya membawa serta supir pribadiku. Sedangkan Andrew dan Damian aman bersama dengan pelayan pribadi yang ada di mansion utama Campbell. Pria itu, Jeremy Ollands aku tak tahu apa yang sebenarnya dia inginkan, untuk itu aku harus tahu dengan terpaksa menemuinya seperti ini. Aku mengedarkan pandanganku ke deretan kursi restoran yang cukup banyak pengunjung, hingga akhirnya aku melihat sosok pria berjas navy duduk seorang diri menatapku dengan senyuman lebarnya. Pria itu tak banyak berubah setelah delapan tahun lamanya. Hanya saja kini aku lihat tubuhnya lebih berisi, tidak jangkung seperti dulu. Memasang ekspresi datar aku melangkah mendekatinya dengan menggunakan setelan celana berwarna putih berpotongan elegan. “Hallo, Angelina Louis. Oh, maaf maksudku Mrs. Campbell. Yeah, sepertinya aku belum terbiasa memanggil kek
Mansion utama CampbellAku tak bisa tidur malam ini, pikiranku melayang membayangkan pertemuanku dengan Axel siang tadi. Setelah menidurkan Andrew dan Damian beberapa jam yang lalu, kini aku masih duduk di balkon kamarku sendiri tanpa beranjak sedikit pun. Pikiranku gelisah, aku tak tahu apa yang harus aku lakukan? Harusnya aku senang Axel kembali ke padaku dalam keadaan baik-baik saja. Tetapi kenapa aku justru merasakan gelisah? Apakah ini hanya karena perasaan kecewa saja atau karena ada hal lain yang membuatku ragu aku bisa menerimanya sebagai suami seperti dulu? Bagaimana perjuangan dan pengorbanan Axel selama dalam kematiannya karena hanya ingin bertujuan melindungiku dan anak-anak, serta untuk mengungkap siapa pembunuh sebenarnya Sean Louis juga ibunya selama ini, yaitu yang tak lain adalah istri pertama dari Arthur Campbell. Namun, semuanya itu masih membuatku belum bisa menerima sepenuh hati Axel kembali seperti dulu.Ya, siang tadi Axel telah memberitahuku segalanya apa yang
“Axel?! Bagaimana bisa kau ada di sini?!” Aku terkejut bukan main saat mendapati pria yang masih menjadi suamiku itu kini sudah ada bersama satu mobil bersamaku. “Tidak penting bagaimana aku bisa ada di sini, karena sekarang yang terpenting kita harus bicara Angelina.” Axel menyahut datar dengan pandangan tetap ke depan kemudian mulai menyalakan mesin mobil. Sedangkan aku hanya bisa terpaku diam di tempat, cukup terkejut dengan situasi yang terjadi saat ini. Seperti orang bodoh aku hanya terdiam di kursi belakang mobil selama dalam perjalanan, dengan pandangan menerawang tanpa fokus yang jelas. Entah berapa lama kami berdua, yaitu aku dan Axel berada dalam satu mobil bersama dalam suasana yang diliputi keheningan. Sungguh situasi yang terlihat kaku. Hingga akhirnya Axel menghentikan mobil di suatu tempat yang jauh dari keramaian kota. Lebih tepatnya Axel menghentikan mobilnya di sebuah jalanan setapak yang seperti menuju ke arah jalanan perbukitan. “Kau membawaku ke mana, Axel? Ini
Netraku berkaca-kaca menatap Henry. Sorot mata biru tajamnya kini terlihat teduh menatapku. Lidahku terasa kelu, aku merasa ucapan Henry seakan seperti kalimat perpisahan yang membuat hatiku bergetar.“Kenapa kau bicara seperti itu, Henry? Aku benar-benar tak tahu apa maksudmu?” tanyaku dengan suara yang mungkin terdengar sedikit gemetar karena perasaan emosional.“Seperti yang kau tahu Axel sudah kembali, dia telah kembali untukmu, Angelina. Sekarang tugasku sudah selesai. Saat ini aku hanya mempersiapkan hatiku untuk itu, hal itulah yang sedang aku lakukan sekarang,” ujar Henry.Aku menatap dalam Henry, berharap menemukan jawaban di dalam sorot matanya tetapi yang aku lihat justru kehampaan. Hingga membuatku berpikir, sedalam itukah perasaan Henry padaku? Tetapi aku harus bagaimana, aku benar-benar merasakan delima. Bagaimanapun Axel masih menjadi suamiku, namun meskipun begitu aku tak bisa mengabaikan perasaan Henry begitu saja. Selama Axel tak ada, Henry lah yang selama ini menjaga