Setelah kembali di ruangan dan selesaikan makan siangnya, Lea mendapatkan tamu tak terduga. Seorang wanita cantik berprofesi sebagai artis itu ingin berbicara dengan dalih mencari kepastian secara baik-baik."Apa beneran gosip itu?" tanya Wilona, salah satu wanita pengharap hati Vin. "Katanya, lo tipe cewek introvert yang cuma mau banyak bicara sama teman dekatmu, tapi gue harap, lo jujur sama gue."Cantik, menarik, profesi artis yang mentereng, dari cara bicaranya mudah bergaul dan cerdas. Bagi Lea, Wilona tidak ada minusnya, jadi dia coba cari tahu, kenapa Vin tidak menyukainya. "Iya," jawab Lea singkat saja. "Jadi bener, Vin sama kamu sudah...sudah...""Sudah menikah? Iya, benar."Wilona mendengus tak percaya. Coba berpaling dari Lea, tapi untuk beberapa detik, melakukan hal sama dengan Lea, yaitu sama-sama menilai lawan bicaranya."Bagaimana mungkin?" berkesan keceplosan, tapi Wilona mengutarakan memang datang dari hati."Ku kira kamu akan paham. Sebagai pemain film, harusnya t
"Pak Vin?"Setelah hampir satu minggu, nama itu hanyalah sebuah nama, Lea ikut terperanjat kaget, saat ibunya mengisyaratkan adanya kehadiran, dibalik penyebutan namanya."Selamat malam, Nyonya. Maaf, saya baru menjenguk anda."Lea hampir terjatuh, kalau saja tidak segera berpegangan saat wajah tampan Vin memang telah hadir didalam kamar perawatan ibunya."Pak Vin?" ulang Lea menirukan ucapan ibunya dengan polosnya.Vin tersenyum setelah mendapati ekspresi kaget dari Lea."Apa perlu kenalan lagi?" candanya. "Atau aku berubah jadi lebih tampan, setelah lama nggak ketemu?" imbuhnya sumringah, jauh dari setelan pabriknya yang dingin."Apa sih?!" gumaman kesal Lea, lalu membuang muka.Kesel?Tentu saja. Sudah beberapa hari tak memberi kabar, sekalinya datang, Vin justru beri kejutan berupa candaan narcis."Bagaimana keadaan anda?" Vin melewati Lea, untuk berikan salam berupa pelukan sebentar, sebelum memberikan sebuah buket bunga dan tentu saja, makanan lagi."Baik. Saya merasa sangat sp
"Ada apa denganmu?"Lea terkejut. Bukan hanya soal pertanyaannya, tapi juga siapa yang menanyakannya."Apa maksud anda?" pertanyaan Vin dijawab pertanyaan Lea."Karena itu aku bertanya padamu.""Anda ngomong apa, sih? Saya benar-benar nggak ngerti." Lea terlihat frustasi sendiri. Apapun itu, bila ada hubungannya dengan Vin, rasanya jadi sesuatu yang menjengkelkan untuk Lea."Ya sudahlah, lupakan." Jalan akhir Vin agar tidak saling berargumen berkepanjangan."ih, nggak ngerti deh!" Lea raih tas kerjanya, beserta barang-barang lain menjadi satu rangkaian dijinjingan tangan kanannya. "Aku pulang dulu ya, Ma. Hari ini capek banget. Ngantuk," pamitnya.Lea kecup kening Sarah, bersamaan kalimat-kalimat doa terbaik untuk kesembuhan ibunya ini."Lho, kamu kan belum cerita soal pernikahanmu sama Pak Vin?" "Semua itu atas kendali Pak Vin, jadi Mama tanyain saja sama beliaunya. Lea pulang dulu ya." Lea lambaikan tangan hanya pada ibunya. Sikap ketusnya ini sengaja di tunjukkan pada Vin, sekali
"Aku ingin tidur sama kamu."Vin mengulang permintaannya lagi, dikiranya Lea tak terlalu jelas mendengar ucapannya tersebut."Iya, sudah tahu. Maksudmu mau tidur sama aku, itu maunya gimana? Kan kamu bilang ini asetmu, jadi ya tidur aja dimana yang kamu mau, sofa juga kosong, atau kasur dikamar mama, juga nggak masalah, kan ukurannya lebih gede daripada sini." Panjang lebarLea jelaskan."Tapi aku maunya disini."Orang ini sebenarnya maunya apa sih? batin Lea, mencoba meraba-raba tiap ucapan Vin yang terduga menuju pada satu maksud tertentu."Maksudnya tidur berdua?" tebak Lea, disambut anggukan Vin. Lea bisa rasakan, seorang searogan Vin mendadak berubah jadi kekanakan, hanya karena urusan 'mau.'Lea hela napas, diturunkan ujung selimut sebatas kaki, sehingga bagian dada sampai ke pundaknya jadi terekspos lagi."Tapi nggak segampang itu, kan?""Maksudnya?" Vin mulai beranikan diri mendekati sang singa betina. Vin berganti bersandar lebih santai, dengan kedua kaki disilangkan, dan ked
Semesta seolah berpihak pada keduanya. Dari dalam kamar berukuran tak terlalu besar ini, terdengar suara hujan, sehingga menambah sendunya suasana dimana gairah mulai membuncah.Seperti layaknya, Vin menjadikan dirinya komandan penuntun tiap gerakan untuk tujuan klimaks bersama, tapi kali ini kembali berbeda.Vin bisa rasakan, perlakuan yang dia arahkan pada dua aset kembar Lea ini, dibalas wanita pengisi hatinya ini dengan memainkan senjatanya dibawah sana.Vin tersenyum. Siapa yang nggak akan merasa tersanjung, bila partner bercintanya terlihat juga sangat menginginkannya.Vin sudah tak lagi melihat Lea sebagai gadis polos yang malu-malu ketika mulai menyentuhnya. Lea telah jadi wanita dewasa, sudah tahu apa yang dia mau.Dengan jantung berdebar dan akal sehat yang lenyap, Vinpun tenggelam dalam provokasi dari desahan Lea. Lumatannya semakin diperdalam, ketika percikan gairah itu menjadi kobaran tak terbendung.Masih dalam pagutan bersama, Vin mendorong tubuh Lea agar merebah. Sudah
"Lea...ibumu telpon."Lea buka mata malas, tapi refleks menerima ponsel yang di berikan Vin. Nama Sarah tertulis dilayar, tapi Vin tak berniat mengangkatkannya untuk Lea, meski sudah tahu status mereka."Iya, Ma?" Ditegakkan punggungnya yang kaku-kaku selepas bercinta, bersandar pada bantal yang sengaja ditata Vin berposisi berdiri. "Ada apa? Kenapa telpon pagi-pagi?" rentetan pertanyaan Lea yang seketika akan panik bila ibunya menelpon diwaktu-waktu tak lumrah."Pagi? Lea? Ini jam berapa?!" pekik Sarah diujung telpon, sampai membuat Lea harus menjauhkan ponsel tersebut dari telinganya."Sejak kapan jam 10 kamu bilang pagi?!" omel Sarah. "Cuci muka dulu sana. Kalau memang baru bangun tidur, terus makan baru ke rumah sakit. Kata dokter, kalau hasil lab bagus semua, besok mama boleh pulang. Pantesan, ditungguin sampai dokternya visite, nggak nongol-nongol. Mama mau tanya soal pernikahanmu, tapi mama mau, bicaranya langsung.""Iya, siap laksakan, Bu Komandan. Saya makan dulu, baru mandi,
Setelah sampai dirumah sakit, Lea beralih jadi yang terinterogasi. Namun berbeda dengan Vin yang akan dengan tanggap menjawab tiap pertanyaan darinya, Lea justru tak banyak berikan jawaban yang panjang."Pak Vin bilang, kalian sudah menikah sejak di Italia itu? Kenapa nggak bilang Mama?!"Lea tundukkan wajah, ketika nada suara Sarah geregetan rasanya pengen menerkam kapan saja."Nggak tahu tuh, Pak Vin. Maunya dia," jawab Lea dengan kalimat berkesan 'aman' untuk dirinya. "Memangnya Pak Vin cerita kayak gimana soal itu?" selidik Lea."Katanya, dia memang sudah sering perhatiin kamu, tapi kamunya sok jual mahal, kayak nggak butuh, padahal sekalinya dia lamar, kamunya langsung mau. Menurut Pak Vin, kamu sebenarnya juga suka sama beliau, sampai beberapa kali kepergok memandang Pak Vin, makanya terus beliau berani lamar pas ajak kamu temui klien di Italia."Kedua bola mata Lea serentak mendelik, tak terima akan cerita ulang Vin dari ibunya ini."Dia ngomong begitu ke Mama?!" tanyanya lanta
Seketika, makanan yang ada diatas piring jadi tidak senikmat sebelumnya. Hanya Sarah saja yang tersenyum, karena jadi satu-satunya orang yang tidak tahu siapa dan bagaimana seorang Helena."Silahkan Nyonya. Anda bisa makan sekarang." Sarah berdiri, lalu membantu menyiapkan peralatan makan, dan menu yang ada di atas meja, selayaknya kebiasaan orang kelas menengah ke bawah seperti dirinya, ketika ada tamu datang ke rumah disaat jam makan."Terima kasih," ucap Helena dengan ekspresi dingin, tanpa sedikitpun bergerak menyambut keramahan yang ditunjukkan Sarah. Bagi Helena, ibu dari Lea tersebut, tak ubahnya bertingkah seperti dan akan jadu asisten rumah tangga rumah saja.Lea sendiri, hanya membantu mengambilkan sesuatu kalau ibunya memerintahnya saja. Hal itupun dilakukan Lea, hanya karena merasa kasihan dengan Sarah."Silahkan, Nyonya. Anda keluarga Pak Vin, kan?" tanya Sarah masih ramah, tak menyadari kalau niatan baik untuk lebih dekat dengan sang tuan rumah, sebenarnya ditanggapi Vi
Pada hari jumat malam seminggu kemudian. Lea berada sendirian di dalam kondominium Vin tanpa pemiliknya. Vin harus terbang ke Italia tanpanya selasa lalu bersama dua teman prianya, karena ada keinginan dari salah satu calon investor untuk segera menandatangani perjanjian kerjasama, selain masa pengalihan dan pengucuran dana warisan dari Anthony juga sedang dalam proses, larena Vin telah selesaikan masalah dengan Helena sesuai amanat ayahnya tersebut, selain telah menikah dan akan memiliki anak. Lea meninggalkan kantor, dan menemui ibunya sebentar, sebelum akhirnya kini di depan deretan koper yang telah siap menemaninya menempuh perjalanan jauh. Morgan belum menjemput totak waktu yang di butuhkan lima belas menit untuk mengulur-ulur waktu sedikit, Lea membuka ponsel di bagian note dan memeriksa lagi. 1. Tiket pesawat ( Aku sudah melakukannya sekaligus mengkonfirmasinya. Dua kali ) 2. Memesan executive lounge bandara ( Juga sudah mengkonfirmasi dua kali ) 3. Berkemas ( Baru se
Pagi tidak lebih baik. Lea berguling turun dari ranjang pagi-pagi. Seminggu sudah telah berlalu dari kejadian yang penuh dramatis. Matahari bersinar melewati jarak antara dua gorden jendela kaca berukuran lumayan besar di kondominium milik Vin. Lea beralih ke dapur membuat susu coklat hangat. Vin masih tidur, dan kemungkinan tidak akan bangun untuk sejam dua jam ke depan. Lea melirik meja ruang tamu, botol kosong minuman kaleng beraneka macam masih di sana, sebagian adalah beralkohol. Dua teman pria kebangsaan Italia Vin semalam jadi penghisap hampir semuanya. Entah mereka berjalan kaki dari Italia ke Indonesia atau apa. yang pasti di atas meja ruang tamu sana benar-benar kacau dengan berbagai bekas makanan dan minuman berserakan. Mereka bertiga nampaknya sudah tak kuat bahkan untuk membuangnya ke dalam sampah karena sibuk bercanda berlanjut rasa kantuk di sertai setengah mabuk. Lea kemudian meringis membayangkan percakapan yang akan mereka lakukan. Secangkir susu coklat hanga
"Natalie?" Lea terkejut. Gadis muda berusia tak jauh dari dirinya itu tampak berpenampilan kusut tidak seperti biasanya, bahkan tidak ada pulasan kosmetik apapun sebagai make up semakin mempercantik diri. "Ngapain dia ke sini? Dia nggak lagi bangun tidur, kan?" pertanyaan canda Lea menatap bergantian antara Vin dan Natalie. Beberapa detik lalu Lea berada agak menjauh dari Vin untuk menghindari berinteraksi dengan Helena, tapi karena kehadiran tak terduga dari Natalie ini, membuatnya mendekati Vin dan berbicara berbisik untuk mencari tahu. Tatapan sembab dari bawah mata yang bengkak, membuat Vin spontan jadi bersikap awas. Di dorong Lea agar lebih mundur dan di posisikan tepat di belakang punggungnya, karena Vin menyadari tatapan Natalie menyorot di sekitar dia berdiri. "Tante Helena!" Mendengar nama ini di sebut dan di ketahui keberadaan posisinya, beberapa baris kerumunan tamu bergerak menyisir memberi jalan buat Natalie agar bisa melihat apa yang akan dia lakukan juga. "Na
"Kamu nggak apa-apa, kan Sayang?" Kedua mata Lea terbelalak. Di hadapannya adalah pria tampan mengenakan seragam bodyguard serba hitam berikut kacamata berwarna senada juga. Memang seperti orang lain, tapi sebagai istri yang selalu bersama dari pagi sampai malam, Lea yakin pria penyelamat di hadapannya ini adalah Vin. "Ka kamu ngapain dandan begini?" Lea masih sempatnya bertanya di saat suasana jadi riuh, bahkan terdengar teriakan-teriakan agar ruangan hall segera di amankan. Pria tersebut perlahan membawa Lea bangkit dengan di dudukkan, perut Lea di elus-elus. Kekhawatiran merambat pada bagian tubuh Lea dimana sempat di rasakannya ada gerakan. "Demi anak kita ini. Maaf kalau buatmu kaget, tapi berhasilkan. Dugaanmu benar, keamanan buatmu tidak cukup mengandalkan Morgan saja." "Pak Presdir .... Pak Presdir Vin .... anda tidak apa-apa?!" pekikan berganti terdengar dari pria lain. Dia adalah Sekretaris Li, yang berdiri tak jauh dari keduanya berada. Vin berganti ulurkaj t
Kasak-kusuk terjadi lebih ramai dari sebelumnya. Ucapan santai Lea jadi pemicu rasa ingin tahu dari tamu undangan yang merupakan para pemegang saham dari perusahaan-perusahaan dari pengelolaan keluarga Dharmawan. Helena kembali berdiri. Berbeda dari aksi sebelumnya, kali ini Helena tampak lebih kusut, wajahnya merah karena amarahnya lebih memuncak. "Ini acara pengambilan voting, bukannya cari panggung buat hal yang nggak ada bukti dan dasarnya apa kayak begini. Kamu jangan sok ya. Kamu itu orang baru. Nggak ngerti apa-apa!" Lea tak menggubris. Seperti apa yang di instruksikan oleh Vin, agar dirinya tetap tenang dalam menanggapi tiap kelakuan Helena, tidak mudah terprovokasi dengan setiap nada tinggi Helena yang berkesan memojokkan. "Slide-slide selanjutnya memang berkesan tidak ada hubungannya dengan acara ini, tapi di sini kami inginkan siapa saja jadi terbuka matanya, tentang siapa yang sebenarnya bersalah dan siapa yang sering di jadikan kambing hitam. Sekali lagi ini semua
Di sebuah hall terletak di dalam hotel bintang lima, tamu undangan sudah mulai memadati tempat acara. Perhelatan yang sebenarnya akan di laksanakan bulan depan itu, nyatanya di majukan secara mendadak dengan alasan karena keperluan mendesak. Acara awal protokoler tengah di laksanakan. Seirang wanita jadi pusat perhatian di saat sesi sambutan sedang di jadikan awal dari pembicaraan mengenai Vin, sang presdir utama. "Kubu pertama yaitu mosi tidak percaya dan minta agar jabatan presdir di copot untuk di berikan pada saya, sudah dapat banyak dukungan meskipun perolehan suara belum di laksanakan, jadi saya harapkan rekan sekalian bisa menentukan pilihan sesuai dengan logika. Perusahaan ini butuh orang-orang berpengaruh kuat. Bukannya hanya mengandalkan cara kepemimpinan yang katanya revolusioner tapi ternyata bangak pihak yang tidak senang." Helena ungkapkan sesuatu dengan kesan menyindir lawan pemilihannya, yaitu Vin. Tepuk tangan bergema setelahnya, bahkan ada yang dengan berdiri,
Sampai semalaman Lea berusaha mengorek apa rencana yang sedang Vin simpan, tetap saja Lea tak mendapatkan jawaban. Walaupun sudah melayani bercinta dengan gegap gempita, berharap Vin akan lengah lalu bercerita, namun tetap saja tak temukan hasil. Vin masih saja bungkam. Di waktu weekend, Lea membantu Vin untuk keberangkatan ke Italia. Sampai itupun, Vin belumjuga berikan jawaban akan rencananya. Vin selalu menggadang-gadang kalau yang mengetahu isi rencananya itu hanya otaknya saja. Leapun akhirnya menyerah, sudah tak bertanya lagi bila sudah tahu akan jawabannya apa. "Lama banget ke Italianya?" protesan Lea setelah selesai membantu Vin menyiapkan packing segala keperluan di dalam satu koper besar dengan sistem penutup memakai kode tertentu. "Kan ada Mama. Kamu ada temennya. Bukannya kemarin-kemarin ribut minta di temeni Mamamu?" pengingat Vin dan di jawab anggukan oleh Lea. "Tapikan tetep aja beda kalau nggak ada kamu," sedihnya Lea. Di letakkan sebuah buku bertuliskan logo d
"Aku bertemu sama pengacaraku." Morgan sudah mengatakannya, tapi bila alasannya itu keluar dari mulut Vin sendiri, maka jadi perbedaan tersendiri bagi seorang wanita termasuk Lea. "Beneran ketemu pengacara? Kamu nggak sedang main samdiwara sama Morgan, kan? Takutnya sudah kasih perintah biar bilang sama akunya temui pengacara, tapi ternyata temui wanita lain," omel Lea seperti telah mendapat peringatan secara naluri. "Hmm ... menemui pengacaraku dan juga seorang wanita." Lea menoleh dan menatap Vin sambil melotot. Rasanya akan sulit bagi Vin, bila naluri kuat Lea seperti yang di miliki para wanita pada umumnya untuk di jadikan awal dari sebuah kebohongan. "Tuh kan sama cewek, sudah ku duga!" bentak Lea. "Siapa dia? Awas kalau memang sama cewek bilangnya ke aku cuma temen atau kolega bisnis, tapi diem-diem main api di belakang. Sudah biasa itu kayak di medsos-medsos!" tak terimanya Lea. Vin semakin tertawa kencang. Tak menyangka kalau lea cemburu lebih galak daripada singa
"Hai Sayang." Sapaan dari Vin yang segera di tanggapi Lea dengan pelukan. "Kamu kemana saja? Nggak tahu apa, aku khawatir banget!" omelan Lea setelah melepaskan rengkuhan hangat namun singkatnya. "Banyak orang mencarimu, habis kamu nggak aktifin ponselmu," imbuh Lea mencari tahu. "Aku sedang jalan-jalan," jawab Vin santai. Bersama kawalan dari Morgan dan beberapa pengawal anak buah Morgan, Vin membawa Lea ke ruangan pertemuan utama gedung dengan merubah ekspresinya jadi dingin dan kaku, berbeda jauh saat bertemu Lea tadi. Tatapan Vin lurus ke depan, selain belum ada yang berani menyapa atau mengajaknya bicara, Vin juga nggak berminat di ajak bicara sampai ada yang memulai. Ini adalah bentuk aksi kekecewaan Vin ketika loyalitas bawahannya telah membuatnya jadi turunkan rasa kepercayaannya. Setelah Vin duduk di kursi utama ruanga pertemuan, dalam beberapa menit suasana hening, dengan sikap tenang, Vin menunggu dengan sabar tiap orang di ruangan tersebut mencari tempat duduk, k