Setelah selesai makan, Dani masih tampakkan ekspresi kaku. Bila dulu saat masih berpacaran, situasi seperti ini, Lea akan jadi pihak yang di tuntut untuk peka, tapi setelah perasaan cinta itu mulai pudar larena kecewa, tentu akan membuat Lea sulit melakukannya."Dan, jangan marah dong. Kita masih bisa jadi teman. Aku butuh kamu, dan kamu juga bisa andalkan aku," ucap Lea, agar Dani mau mengerti.Dani berikan helm pada Lea, setelah membayar uang parkir pada penjaga dan berbasa- basi sebentar.Dahulu, area wisata kuliner pinggir jalan itu adalah tempat dimana keduanya mencari makan malam, sembari berbagi cerita. Tempat yang sama, namun waktu dan masalah berbeda, jadikan keduanya harus berdamai dengan keadaan."Aku kecewa sama kamu." Dani masih saja memperpanjang bahasan. "Tega banget sama aku. Itu semua karena posisiku jauh lebih rendah dari Presdir V--""Dan!" selaan bernada bentakan Lea. "Aku tidak mencintai Pak Vin. Dia kuanggap atasan saja.""Benarkah? Tapi ok. Bagiku, itu sudah j
"Kok anda disini, sih?"Satu alis Vin terangkat, heran."Memangnya kenapa kalau aku kesini? Nggak boleh? Pertanyaan yang aneh." Meskipun isi pertanyaannya berkesan respon tersinggung dan amarah Vin, tapi nadanya lembut, bukan seperti Vin biasanya.Lea sadar, keberadaan ibunyalah yang membuat Vin mendadak jadi kalem begini."Soalnya...tadi itu...saya lihat ada tamu mau ke kondominium bapak." Lea ungkapkan setengah terpaksa, karena sudah terlanjur dapat omelan, meski sedikit malu. Vin sempat pernah menggodanya, saat mereka berdua membahas soal Aida."Oh, Aida." Jawaban singkat dan tenang dari Vin, justru membuat Lea terkejut."Iya, gadis yang bernama Aida itu yang saya lihat.""Pak Vin. Mari kalau mau nambah lagi makannya. Lea ternyata sudah makan. Masih banyak, kok." Sarah menyela pembicaraan dari bibir sekaligus bahasa batin antara Vin dan Lea.Lea segera mengarah pada meja makan depan dapur, lalu ke meja ruanh tamu. "Pak Vin habis makan?" tanya Lea dengan polosnya."Memang nggak b
Siapa yang nggak akan kaget, bila mendengar kata 'penyakit mental' dimana sebagian orang awam akan mengira sebagai sebutan 'gila.'"Kok bisa?!" pekik Lea."Ya bisa! Kamu gimana nanyanya. Lha kamu sendiri, kenapa bisa begitu? Punya penyakit plonga-plongo, hah hih huh, apa-apa nggak langsung ngerti kalau belum diterangin, itu gimana kamu jelasinnya, hah?!" semprot Vin, kembali pada sifat aslinya.Lea sampai mundurkan kepala, karena sahutan keras Vin ini. Satu hal yang akhirnya Lea sadari, Vin jadi terbuka seperti ini, hanya dilakukan didepannya, kala berduaan saja. Vin justru akan alami kecemasan, atau ketidakberdayaan komunikasi bila itu berhadapan dengan wanita-wanita agresif dan terobsesi padanya.Apa ini yang dinamakan sebagai bentuk kenyamanan? Entahlah, Lea belum kepikiran sampai kesana. Tapi paling tidak, kalau memang benar, Lea jadi tersanjung, karena gadis polos nan biasa seperti dirinya ini, bisa mengalahkan para wanita dengan label 'high class.'Memang ada benarnya, kadangk
Aku nggak salah dengar, kan? batin Lea. Suami kontraknya ini mengharapkan bayi darinya?"Anda sakit mental, cuma karena pengen punya anak?" pertanyaan polos Lea dikala kalut, antara terkejut dan takut gagal memahami maksud Vin. "Memang ada ya, sakit psikologis begituan?" imbuhnya.Vin hela napas kesal, ditatap tajam Lea dengan tinggi badan hanya sebatas dadanya ini."Lea. Bisa nggak sih, setelan otakmu ini di upgrade?" gerutunya. "Tidak tahukah kamu, bagaimana bingungnya aku, mencari cara dan waktu tepat buat tanyakan ini padamu? Sampai Aida harus jauh-jauh terbang dari Italia ke Indonesia, cuma ingin bantu aku bisa katakan ini padamu!" tambah Vin lantang. Keseriusannya, seperti hanya ditanggapi Lea dengan tanggapan pikiran pendek saja. "Ma ma maaf.""Bisa nggak sih, kamu itu lebih berpikir dewasa? Jangan jadi gadis lagi, jadilah wanita dewasa!" sembur Vin geregetan. Sikap arogannya secara spontan keluar.Untuk beberapa detik, suasana hening, baik Lea maupun Vin belum keluarkan ucapan
Setelah mendekati lantai trmpat unitnya berada, Lea bergegas berdiri, mengusap air mata dari balik kacamata, terpaksa dengan ujung lengan kemeja dalaman blazernya.Lea berikan senyuman pada seorang office girl yang berpapasan dengannya, sebagai pemanasan menutup tangisan sebelum bertemu ibunya.Tidak seperti sebelumnya, Lea tak terlalu antusias ketika menekan bel unit apartemen yang sekarang jadi tempat tinggalnya.Setelah Sarah membukakan pintu, Lea langsung ngelonyor berniat ke kamar barunya."Aku ngantuk, Ma," ucapnya menutupi, tapi upayanya tidak berhasil, karena Sarah menahan lengannya."Sebentar saja, Sayang. Mama pengen bicara sama kamu dulu."Lea menoleh malas, kedua matanya di tutup separuh untuk menguatkan dramanya. "Mau obrolin apa, Ma? Sudah malam nih, besok harus⁰ kerja. Hari jumat, biasanya banyak kerjaan, soalnya mau libur," alasan Lea."Eh, Mama pengen tanya-tanya soal Pak Vin."Lea lepaskan genggaman Sarah, perlahan lalu ditepuk-tepuk punggung tangan ibunya."Nggak
"Nggak mau! Nggak mau!"Sambil berteriak histeris, Lea berlari ke arah kamarnya lagi, tanpa koper yang segera dilemparkan begitu saja. Meskipun Vin pernah menidurinya dan beberapa kali dicumbu, tapi Lea masih saja kikuk bila harus berhadapan dengannya dalam kondisi setengah telanjang begini.Di area meja makan, Vin tak bisa menahan ketawa, meski sudah coba disembunyikan dengan menunduk ke arah piring, berniat mengambil satu suapan, namun terpaksa dibatalkan."Maaf, Pak. Begitulah Lea. Kadang masih kayak anak kecil. Saya juga heran, anak itu kapan dewasanya, mungkin karena anak tunggal, jadi manja," ujar Sarah meminta maklum untuk putrinya."Tak apa, tapi jadi rame kalau ada Lea," jujur Vin, meletakkan sendok dan garpu, karena tak kuasa menahan tawanya. "Memangnya kalau dikantor bagaimana, Pak? Apa masih suka bawel sama membantah?" Sarah jadi penasaran dengan keluhan yang pernah sempat Vin ucapkan.Vin gelengkan kepala, seraya tersenyum memberi jawaban pembelaan, "Sudah tidak lagi, mu
Namun, baru saja Lea akan mendatangi Vin, pintu serambi tempatnya berada terbuka, Lea segera0 mundur, lalu berikan sapaan hormat."Sekretaris Li. Selamat pagi," sambut Lea pada pria bermata eksotis dan merupakan salah satu orang yang paling berpengaruh di kerajaan bisnis keluarga Dharmawan."Pagi," balas Sekretaris Li. Berbeda dengan orang berposisi tertinggi di perusahaan, tangan kanannya ini cenderung kebalikan dari Vin. Sekretaris Li lebih hangat, meskipun mempunyai kesan lebih pendiam dan misterius.Kesempatan bagi Lea untuk mengikuti Sekretaris Li masuk ke dalam, dan berusaha mencari perhatian Vin. "Bisa saya buatkan sesuatu? Kopi? Teh?" penawaran Lea pada sang sekretaris mendiang Presdir Anthony."Well, boleh kalau itu kopi pahit.""Baik, Sekretaris Li...lalu anda, Pak?" Lea beralih pada Vin.Vin berikan gelengan, tapi kata itu tertuju pada Sekretaris Li."Mana dokumen yang ku minta?" pintanya dingin, bahkan tak sedikitpun menoleh pada Lea.Merasa dianggurin, Leapun berpamitan
Setelah dari pantry, tantangan Lea sebelum kembali ke ruangannya adalah melewati kumpulan meja para pegawai di area tengah, yang hampir kesemuanya adalah wanita."Itu Lea?" ujar salah seorang diantaranya, secara terang-terangan, bahkan terdengar oleh Lea sendiri. "Wih, pasti tiap malam servis pak presdir itu, jadi langsung kinclong begitu," cibirnya, sengaja membuat kuping Lea panas, sekaligus pemantik."Ya kali, mana mungkin bisa beli, kalau gaji pertama naik jabatan saja baru minggu depan. Ya, nggak guys?" timpal yang lain, menambah tersulutnya bara api."Betul!" jawaban hampir serentak, membuat langkah Lea sempat gontai.Kalaupun ada prasangka, dia mendapatkan semua ini karena dugaan pernah tidur dengan Vin, memang itu benar adanya, Lea tak bisa kesampingkan itu, bahkan untuk berbalik dan menyangkal, Leapun tak sanggup.Yang Lea bisa lakukan saat ini, hanya bisa bersikap acuh,, untuk terima kenyataan, dan berharap bisa hadapi ke depannya.Lea sengaja membuka pintu ruangan serambi
Pada hari jumat malam seminggu kemudian. Lea berada sendirian di dalam kondominium Vin tanpa pemiliknya. Vin harus terbang ke Italia tanpanya selasa lalu bersama dua teman prianya, karena ada keinginan dari salah satu calon investor untuk segera menandatangani perjanjian kerjasama, selain masa pengalihan dan pengucuran dana warisan dari Anthony juga sedang dalam proses, larena Vin telah selesaikan masalah dengan Helena sesuai amanat ayahnya tersebut, selain telah menikah dan akan memiliki anak. Lea meninggalkan kantor, dan menemui ibunya sebentar, sebelum akhirnya kini di depan deretan koper yang telah siap menemaninya menempuh perjalanan jauh. Morgan belum menjemput totak waktu yang di butuhkan lima belas menit untuk mengulur-ulur waktu sedikit, Lea membuka ponsel di bagian note dan memeriksa lagi. 1. Tiket pesawat ( Aku sudah melakukannya sekaligus mengkonfirmasinya. Dua kali ) 2. Memesan executive lounge bandara ( Juga sudah mengkonfirmasi dua kali ) 3. Berkemas ( Baru se
Pagi tidak lebih baik. Lea berguling turun dari ranjang pagi-pagi. Seminggu sudah telah berlalu dari kejadian yang penuh dramatis. Matahari bersinar melewati jarak antara dua gorden jendela kaca berukuran lumayan besar di kondominium milik Vin. Lea beralih ke dapur membuat susu coklat hangat. Vin masih tidur, dan kemungkinan tidak akan bangun untuk sejam dua jam ke depan. Lea melirik meja ruang tamu, botol kosong minuman kaleng beraneka macam masih di sana, sebagian adalah beralkohol. Dua teman pria kebangsaan Italia Vin semalam jadi penghisap hampir semuanya. Entah mereka berjalan kaki dari Italia ke Indonesia atau apa. yang pasti di atas meja ruang tamu sana benar-benar kacau dengan berbagai bekas makanan dan minuman berserakan. Mereka bertiga nampaknya sudah tak kuat bahkan untuk membuangnya ke dalam sampah karena sibuk bercanda berlanjut rasa kantuk di sertai setengah mabuk. Lea kemudian meringis membayangkan percakapan yang akan mereka lakukan. Secangkir susu coklat hanga
"Natalie?" Lea terkejut. Gadis muda berusia tak jauh dari dirinya itu tampak berpenampilan kusut tidak seperti biasanya, bahkan tidak ada pulasan kosmetik apapun sebagai make up semakin mempercantik diri. "Ngapain dia ke sini? Dia nggak lagi bangun tidur, kan?" pertanyaan canda Lea menatap bergantian antara Vin dan Natalie. Beberapa detik lalu Lea berada agak menjauh dari Vin untuk menghindari berinteraksi dengan Helena, tapi karena kehadiran tak terduga dari Natalie ini, membuatnya mendekati Vin dan berbicara berbisik untuk mencari tahu. Tatapan sembab dari bawah mata yang bengkak, membuat Vin spontan jadi bersikap awas. Di dorong Lea agar lebih mundur dan di posisikan tepat di belakang punggungnya, karena Vin menyadari tatapan Natalie menyorot di sekitar dia berdiri. "Tante Helena!" Mendengar nama ini di sebut dan di ketahui keberadaan posisinya, beberapa baris kerumunan tamu bergerak menyisir memberi jalan buat Natalie agar bisa melihat apa yang akan dia lakukan juga. "Na
"Kamu nggak apa-apa, kan Sayang?" Kedua mata Lea terbelalak. Di hadapannya adalah pria tampan mengenakan seragam bodyguard serba hitam berikut kacamata berwarna senada juga. Memang seperti orang lain, tapi sebagai istri yang selalu bersama dari pagi sampai malam, Lea yakin pria penyelamat di hadapannya ini adalah Vin. "Ka kamu ngapain dandan begini?" Lea masih sempatnya bertanya di saat suasana jadi riuh, bahkan terdengar teriakan-teriakan agar ruangan hall segera di amankan. Pria tersebut perlahan membawa Lea bangkit dengan di dudukkan, perut Lea di elus-elus. Kekhawatiran merambat pada bagian tubuh Lea dimana sempat di rasakannya ada gerakan. "Demi anak kita ini. Maaf kalau buatmu kaget, tapi berhasilkan. Dugaanmu benar, keamanan buatmu tidak cukup mengandalkan Morgan saja." "Pak Presdir .... Pak Presdir Vin .... anda tidak apa-apa?!" pekikan berganti terdengar dari pria lain. Dia adalah Sekretaris Li, yang berdiri tak jauh dari keduanya berada. Vin berganti ulurkaj t
Kasak-kusuk terjadi lebih ramai dari sebelumnya. Ucapan santai Lea jadi pemicu rasa ingin tahu dari tamu undangan yang merupakan para pemegang saham dari perusahaan-perusahaan dari pengelolaan keluarga Dharmawan. Helena kembali berdiri. Berbeda dari aksi sebelumnya, kali ini Helena tampak lebih kusut, wajahnya merah karena amarahnya lebih memuncak. "Ini acara pengambilan voting, bukannya cari panggung buat hal yang nggak ada bukti dan dasarnya apa kayak begini. Kamu jangan sok ya. Kamu itu orang baru. Nggak ngerti apa-apa!" Lea tak menggubris. Seperti apa yang di instruksikan oleh Vin, agar dirinya tetap tenang dalam menanggapi tiap kelakuan Helena, tidak mudah terprovokasi dengan setiap nada tinggi Helena yang berkesan memojokkan. "Slide-slide selanjutnya memang berkesan tidak ada hubungannya dengan acara ini, tapi di sini kami inginkan siapa saja jadi terbuka matanya, tentang siapa yang sebenarnya bersalah dan siapa yang sering di jadikan kambing hitam. Sekali lagi ini semua
Di sebuah hall terletak di dalam hotel bintang lima, tamu undangan sudah mulai memadati tempat acara. Perhelatan yang sebenarnya akan di laksanakan bulan depan itu, nyatanya di majukan secara mendadak dengan alasan karena keperluan mendesak. Acara awal protokoler tengah di laksanakan. Seirang wanita jadi pusat perhatian di saat sesi sambutan sedang di jadikan awal dari pembicaraan mengenai Vin, sang presdir utama. "Kubu pertama yaitu mosi tidak percaya dan minta agar jabatan presdir di copot untuk di berikan pada saya, sudah dapat banyak dukungan meskipun perolehan suara belum di laksanakan, jadi saya harapkan rekan sekalian bisa menentukan pilihan sesuai dengan logika. Perusahaan ini butuh orang-orang berpengaruh kuat. Bukannya hanya mengandalkan cara kepemimpinan yang katanya revolusioner tapi ternyata bangak pihak yang tidak senang." Helena ungkapkan sesuatu dengan kesan menyindir lawan pemilihannya, yaitu Vin. Tepuk tangan bergema setelahnya, bahkan ada yang dengan berdiri,
Sampai semalaman Lea berusaha mengorek apa rencana yang sedang Vin simpan, tetap saja Lea tak mendapatkan jawaban. Walaupun sudah melayani bercinta dengan gegap gempita, berharap Vin akan lengah lalu bercerita, namun tetap saja tak temukan hasil. Vin masih saja bungkam. Di waktu weekend, Lea membantu Vin untuk keberangkatan ke Italia. Sampai itupun, Vin belumjuga berikan jawaban akan rencananya. Vin selalu menggadang-gadang kalau yang mengetahu isi rencananya itu hanya otaknya saja. Leapun akhirnya menyerah, sudah tak bertanya lagi bila sudah tahu akan jawabannya apa. "Lama banget ke Italianya?" protesan Lea setelah selesai membantu Vin menyiapkan packing segala keperluan di dalam satu koper besar dengan sistem penutup memakai kode tertentu. "Kan ada Mama. Kamu ada temennya. Bukannya kemarin-kemarin ribut minta di temeni Mamamu?" pengingat Vin dan di jawab anggukan oleh Lea. "Tapikan tetep aja beda kalau nggak ada kamu," sedihnya Lea. Di letakkan sebuah buku bertuliskan logo d
"Aku bertemu sama pengacaraku." Morgan sudah mengatakannya, tapi bila alasannya itu keluar dari mulut Vin sendiri, maka jadi perbedaan tersendiri bagi seorang wanita termasuk Lea. "Beneran ketemu pengacara? Kamu nggak sedang main samdiwara sama Morgan, kan? Takutnya sudah kasih perintah biar bilang sama akunya temui pengacara, tapi ternyata temui wanita lain," omel Lea seperti telah mendapat peringatan secara naluri. "Hmm ... menemui pengacaraku dan juga seorang wanita." Lea menoleh dan menatap Vin sambil melotot. Rasanya akan sulit bagi Vin, bila naluri kuat Lea seperti yang di miliki para wanita pada umumnya untuk di jadikan awal dari sebuah kebohongan. "Tuh kan sama cewek, sudah ku duga!" bentak Lea. "Siapa dia? Awas kalau memang sama cewek bilangnya ke aku cuma temen atau kolega bisnis, tapi diem-diem main api di belakang. Sudah biasa itu kayak di medsos-medsos!" tak terimanya Lea. Vin semakin tertawa kencang. Tak menyangka kalau lea cemburu lebih galak daripada singa
"Hai Sayang." Sapaan dari Vin yang segera di tanggapi Lea dengan pelukan. "Kamu kemana saja? Nggak tahu apa, aku khawatir banget!" omelan Lea setelah melepaskan rengkuhan hangat namun singkatnya. "Banyak orang mencarimu, habis kamu nggak aktifin ponselmu," imbuh Lea mencari tahu. "Aku sedang jalan-jalan," jawab Vin santai. Bersama kawalan dari Morgan dan beberapa pengawal anak buah Morgan, Vin membawa Lea ke ruangan pertemuan utama gedung dengan merubah ekspresinya jadi dingin dan kaku, berbeda jauh saat bertemu Lea tadi. Tatapan Vin lurus ke depan, selain belum ada yang berani menyapa atau mengajaknya bicara, Vin juga nggak berminat di ajak bicara sampai ada yang memulai. Ini adalah bentuk aksi kekecewaan Vin ketika loyalitas bawahannya telah membuatnya jadi turunkan rasa kepercayaannya. Setelah Vin duduk di kursi utama ruanga pertemuan, dalam beberapa menit suasana hening, dengan sikap tenang, Vin menunggu dengan sabar tiap orang di ruangan tersebut mencari tempat duduk, k