"Nggak mau! Nggak mau!"Sambil berteriak histeris, Lea berlari ke arah kamarnya lagi, tanpa koper yang segera dilemparkan begitu saja. Meskipun Vin pernah menidurinya dan beberapa kali dicumbu, tapi Lea masih saja kikuk bila harus berhadapan dengannya dalam kondisi setengah telanjang begini.Di area meja makan, Vin tak bisa menahan ketawa, meski sudah coba disembunyikan dengan menunduk ke arah piring, berniat mengambil satu suapan, namun terpaksa dibatalkan."Maaf, Pak. Begitulah Lea. Kadang masih kayak anak kecil. Saya juga heran, anak itu kapan dewasanya, mungkin karena anak tunggal, jadi manja," ujar Sarah meminta maklum untuk putrinya."Tak apa, tapi jadi rame kalau ada Lea," jujur Vin, meletakkan sendok dan garpu, karena tak kuasa menahan tawanya. "Memangnya kalau dikantor bagaimana, Pak? Apa masih suka bawel sama membantah?" Sarah jadi penasaran dengan keluhan yang pernah sempat Vin ucapkan.Vin gelengkan kepala, seraya tersenyum memberi jawaban pembelaan, "Sudah tidak lagi, mu
Namun, baru saja Lea akan mendatangi Vin, pintu serambi tempatnya berada terbuka, Lea segera0 mundur, lalu berikan sapaan hormat."Sekretaris Li. Selamat pagi," sambut Lea pada pria bermata eksotis dan merupakan salah satu orang yang paling berpengaruh di kerajaan bisnis keluarga Dharmawan."Pagi," balas Sekretaris Li. Berbeda dengan orang berposisi tertinggi di perusahaan, tangan kanannya ini cenderung kebalikan dari Vin. Sekretaris Li lebih hangat, meskipun mempunyai kesan lebih pendiam dan misterius.Kesempatan bagi Lea untuk mengikuti Sekretaris Li masuk ke dalam, dan berusaha mencari perhatian Vin. "Bisa saya buatkan sesuatu? Kopi? Teh?" penawaran Lea pada sang sekretaris mendiang Presdir Anthony."Well, boleh kalau itu kopi pahit.""Baik, Sekretaris Li...lalu anda, Pak?" Lea beralih pada Vin.Vin berikan gelengan, tapi kata itu tertuju pada Sekretaris Li."Mana dokumen yang ku minta?" pintanya dingin, bahkan tak sedikitpun menoleh pada Lea.Merasa dianggurin, Leapun berpamitan
Setelah dari pantry, tantangan Lea sebelum kembali ke ruangannya adalah melewati kumpulan meja para pegawai di area tengah, yang hampir kesemuanya adalah wanita."Itu Lea?" ujar salah seorang diantaranya, secara terang-terangan, bahkan terdengar oleh Lea sendiri. "Wih, pasti tiap malam servis pak presdir itu, jadi langsung kinclong begitu," cibirnya, sengaja membuat kuping Lea panas, sekaligus pemantik."Ya kali, mana mungkin bisa beli, kalau gaji pertama naik jabatan saja baru minggu depan. Ya, nggak guys?" timpal yang lain, menambah tersulutnya bara api."Betul!" jawaban hampir serentak, membuat langkah Lea sempat gontai.Kalaupun ada prasangka, dia mendapatkan semua ini karena dugaan pernah tidur dengan Vin, memang itu benar adanya, Lea tak bisa kesampingkan itu, bahkan untuk berbalik dan menyangkal, Leapun tak sanggup.Yang Lea bisa lakukan saat ini, hanya bisa bersikap acuh,, untuk terima kenyataan, dan berharap bisa hadapi ke depannya.Lea sengaja membuka pintu ruangan serambi
Waktu jam makan siang menjelang, Lea segera berdiri setelah Bin terlihat keluar dari ruangan hanya berbatas kaca besar."Selamat makan siang, Pak," ucap Lea, ketika Vin menutup pintu kaca, tanpa menatapnya."Hmm."Lea kembali duduk. Pintu keluar belum dibuka Vin, tapi dari jawabannya, sudah membuat Lea memutuskan tak menunggu atasannya ini sampai meninggalkan ruangan.Vin berdehem sekali, tapi lumayan kencang."Iya, Pak?" reaksi Lea. "Apa ada yang tertinggal?" tanyanya datar."Sejak kapan aku mau ketemu klien, asistenku ga ikut?"Lea gelagapan, diraih dua tas wajib dibawanya, sebelum akhirnya berdiri, sebelum Vin ngomel lebih panjang, jadi dia memilih pergi tanpa persiapan.Selama berjalan didepan banyak orang, Lea memilih disamping belakang, daripada bersanding seperti biasanya.Uring-uringan?Tentu saja. Gelagat ala wanita, bila diperlakukan tak sesuai harapan, padahal sudah berusaha keras membuat suasan lebih baik, justru ditanggapi Vin dingin, membuat Lea masih tak mampu menutup
Vin tangkup wajah Lea dengan kedua tangannya, lalu didekatkan untuk dicumbu bibir mungil nan menggoda milik Lea.Ujung bibir Vin tertarik, ketika bisa rasakan bagaimana respon Lea pada aksi memulai membakar hasratnya ini, ternyata ditanggapi tak kalah agresifnya.Tidak seperti biasanya, Lea memang telah memejamkan kedua matanya, tapi kali ini ia juga ikut memberi percikan bara hasrat agar semakin tersulut untuk keduanya.Lea sambut pagutan Vin dengan menekankan bibirnya, kedua tangannya beralih ke pundak Vin, lalu beringsut mengalungkan keduanya dibelakang leher Vin."Saya benci anda!" ucap Lea lirih tapi bermuatan ujaran buruk.Vin jauhkan wajahnya, terkejut tiba-tiba."What?!" sahut Vin tajam. "Apa maksudmu?" Vin jeda terlebih dulu hasratnya, karena ucapan Lea barusan."Kenapa anda begitu jahat pada saya? Padahal saya nggak pernah jahat sama anda?" Momen intim ini, Lea manfaatkan untuk ungkapkan kekesalannya hampir seharian ini.Tangan Vin beralih pada rambut bagian depan Lea, yang
"Bisa jelaskan?" tanya Lea, sudah mengenakan midi dressnya, bersedekap bersandar dipintu kamar."Nggak bisa," jawab Vin santai. Bunyi denting alat makan jadi pengisi ruangan, setelah Vin mendapatkan pesanan makan siang mereka dari security khusus penjaga lift kondominiumnya."Tapi aku ingin tahu," rengek Lea, sudah mulai memasukkan peran dalam kehidupan Vin."Nggak semua kamu harus tahu...untuk saat ini." Vin masih menanggapi dengan santai. "Makanlah. Jangan bawel. Aku bisa menguncimu disini dan tanggalkan pakaianmu lagi, kalau banyak bicara!" ancaman manis Vin.Lea berjalan malas ke arah meja makan. Vin telah siapkan semuanya, seharusnya ia hanya tinggal makan, tapi ucapan Vin soal kematian ibunya masih saja bergentayangan di pikirannya."Spagetti bolognese milikmu." Vin arahkan piring berisi pesanan Lea dihadapannya."Apa bisa aku langsung hamil?"Vin mendengus cibiran."Pertanyaan konyol!" sahutnya, tanpa menatap Lea, dan memulai suapan pertamanya."Kapan deadline yang diberikan me
"Sebentar. Sekretaris Li telpon."Vin beringsut menjauhi Lea. Ekpresinya berubah dari yang sedikit-sedikit tèsenyum, jadi lebih serius."Iya, Sekretaris Li?...Sekarang?...Tidak bisakah anda handle sendiri?"Selain penasaran, Lea juga khawatir. Sudah mulai mengenal bagaimana Vin, membuatnya punya kecurigaan akan adanya masalah serius yang sedang terjadi.Vin beralih ke kamar pribadinya tanpa berbicara, Lea mengikuti, dan meninggalkan cucian piring yang sudah dia tumpuk tapi belum dikerjakan."Apa yang terjadi?" tanyanya. "Ada yang bisa aku lakukan?" Panggilan 'aku' dan 'kamu' akan keluar, ketika Lea ingin lebih tunjukkan kepedulian kalau mereka berdua adalah partner melebihi hanya sebagai atasan dan bawahan."Tidak ada."Jawaban singkat dan cenderung mengesampingkannya, tentu membuat Lea jadi semakin tergugah untuk mencari tahu."Apa ada hubungannya dengan masalah keuangan perusahaan?" tebak Lea.Vin sempat melirik pada Lea, tapi kemudian lebih memilih merapikan penampilannya. Wajah ta
"Kita sudah sampai."Vin arahkan kemudi mobil MPV-nya ke kiri, mencari area parkir depan restoran cepat saji sesuai kesepakatan.Belum sampai ditempat yang di tuju, di depan sana, Sekretaris Li dan juga Morgan terlihat berjalan cepat beradu berlawanan dengan laju mobil Vin untuk mendekat.Vin membuka kaca pintu bagian kemudinya, tepat Sekretaris Li telah berdiri menunggu."Sudah ketemuan?" tanya Vin setelahnya."Hanya asistennya. Kita diarahkan dia ke Puncak, buat bertemu...""Ayo, jalan!" sela Vin tak sabaran."Tuan muda. Biar saya saja yang kesana, anda kembali ke kota sama Nona. Berikan perintah by phone, saya pasti sudah paham.""Aku sudah sampai disini, apa yang dia kira, kalau aku kembali ke Jakarta, hah? Nggak! Aku akan temui dia langsung!" keras kepalanya Vin."Nona?"Vin menoleh pada Lea yang beraut antara bingung bercampur penasaran akut."Kali ini aku membutuhkannya lagi.""Tapi, Tuan muda. Nona tidak seharusnya dilibatkan."TInnn!!Suara klakson dari arah belakang mengaget