Vin tangkup wajah Lea dengan kedua tangannya, lalu didekatkan untuk dicumbu bibir mungil nan menggoda milik Lea.Ujung bibir Vin tertarik, ketika bisa rasakan bagaimana respon Lea pada aksi memulai membakar hasratnya ini, ternyata ditanggapi tak kalah agresifnya.Tidak seperti biasanya, Lea memang telah memejamkan kedua matanya, tapi kali ini ia juga ikut memberi percikan bara hasrat agar semakin tersulut untuk keduanya.Lea sambut pagutan Vin dengan menekankan bibirnya, kedua tangannya beralih ke pundak Vin, lalu beringsut mengalungkan keduanya dibelakang leher Vin."Saya benci anda!" ucap Lea lirih tapi bermuatan ujaran buruk.Vin jauhkan wajahnya, terkejut tiba-tiba."What?!" sahut Vin tajam. "Apa maksudmu?" Vin jeda terlebih dulu hasratnya, karena ucapan Lea barusan."Kenapa anda begitu jahat pada saya? Padahal saya nggak pernah jahat sama anda?" Momen intim ini, Lea manfaatkan untuk ungkapkan kekesalannya hampir seharian ini.Tangan Vin beralih pada rambut bagian depan Lea, yang
"Bisa jelaskan?" tanya Lea, sudah mengenakan midi dressnya, bersedekap bersandar dipintu kamar."Nggak bisa," jawab Vin santai. Bunyi denting alat makan jadi pengisi ruangan, setelah Vin mendapatkan pesanan makan siang mereka dari security khusus penjaga lift kondominiumnya."Tapi aku ingin tahu," rengek Lea, sudah mulai memasukkan peran dalam kehidupan Vin."Nggak semua kamu harus tahu...untuk saat ini." Vin masih menanggapi dengan santai. "Makanlah. Jangan bawel. Aku bisa menguncimu disini dan tanggalkan pakaianmu lagi, kalau banyak bicara!" ancaman manis Vin.Lea berjalan malas ke arah meja makan. Vin telah siapkan semuanya, seharusnya ia hanya tinggal makan, tapi ucapan Vin soal kematian ibunya masih saja bergentayangan di pikirannya."Spagetti bolognese milikmu." Vin arahkan piring berisi pesanan Lea dihadapannya."Apa bisa aku langsung hamil?"Vin mendengus cibiran."Pertanyaan konyol!" sahutnya, tanpa menatap Lea, dan memulai suapan pertamanya."Kapan deadline yang diberikan me
"Sebentar. Sekretaris Li telpon."Vin beringsut menjauhi Lea. Ekpresinya berubah dari yang sedikit-sedikit tèsenyum, jadi lebih serius."Iya, Sekretaris Li?...Sekarang?...Tidak bisakah anda handle sendiri?"Selain penasaran, Lea juga khawatir. Sudah mulai mengenal bagaimana Vin, membuatnya punya kecurigaan akan adanya masalah serius yang sedang terjadi.Vin beralih ke kamar pribadinya tanpa berbicara, Lea mengikuti, dan meninggalkan cucian piring yang sudah dia tumpuk tapi belum dikerjakan."Apa yang terjadi?" tanyanya. "Ada yang bisa aku lakukan?" Panggilan 'aku' dan 'kamu' akan keluar, ketika Lea ingin lebih tunjukkan kepedulian kalau mereka berdua adalah partner melebihi hanya sebagai atasan dan bawahan."Tidak ada."Jawaban singkat dan cenderung mengesampingkannya, tentu membuat Lea jadi semakin tergugah untuk mencari tahu."Apa ada hubungannya dengan masalah keuangan perusahaan?" tebak Lea.Vin sempat melirik pada Lea, tapi kemudian lebih memilih merapikan penampilannya. Wajah ta
"Kita sudah sampai."Vin arahkan kemudi mobil MPV-nya ke kiri, mencari area parkir depan restoran cepat saji sesuai kesepakatan.Belum sampai ditempat yang di tuju, di depan sana, Sekretaris Li dan juga Morgan terlihat berjalan cepat beradu berlawanan dengan laju mobil Vin untuk mendekat.Vin membuka kaca pintu bagian kemudinya, tepat Sekretaris Li telah berdiri menunggu."Sudah ketemuan?" tanya Vin setelahnya."Hanya asistennya. Kita diarahkan dia ke Puncak, buat bertemu...""Ayo, jalan!" sela Vin tak sabaran."Tuan muda. Biar saya saja yang kesana, anda kembali ke kota sama Nona. Berikan perintah by phone, saya pasti sudah paham.""Aku sudah sampai disini, apa yang dia kira, kalau aku kembali ke Jakarta, hah? Nggak! Aku akan temui dia langsung!" keras kepalanya Vin."Nona?"Vin menoleh pada Lea yang beraut antara bingung bercampur penasaran akut."Kali ini aku membutuhkannya lagi.""Tapi, Tuan muda. Nona tidak seharusnya dilibatkan."TInnn!!Suara klakson dari arah belakang mengaget
"Memangnya kenapa kalau wanita? Kamu nggak berani tendang?"Kali ini Vin tak bisa menahan tawa gelinya. Senyuman Vin adalah hal jarang-jarang terjadi, dan tak ia sadari, telah membuat goresan kecil dihati pada wanita dihadapan mereka."Silahkan Pak Vincenzo," juluran tangan dari salah satu pria penyambut mereka tertuju pada salah satu kursi makan didepan sang wanita."Vin," sapa wanita cantik berwajah tak kalah dinginnya dengan Vin, terutama ketika menangkap gerak Lea yang tersenyum, ketika Vin menarikkan kursi disampingnya, untuk jadi tempat duduk bersanding dengannya."Miranda. Kita bertemu lagi," balas Vin, baru setelah duduk dihadapan wanita berbola mata hitam nan berbinar tajam ini.Dalam kesempatan ini juga, Vin tidak berniat mengenalkan Lea pada Miranda, seperti pada Steven."Tak tahukah, kau Vin, aku sangat merindukanmu, tapi bagaimana denganmu, apa kamu juga merindukanku?"Pernyataan Miranda sontak membuat Lea berpikir, kalau kemungkinan wanita tersebut pernah atau minimal sem
"Aku sedang tidak bercanda, Lea."Sahutan tajam ini membuat bibir Lea terkatup kembali. Dokumen tadi sudah dia baca tanpa memberi prasangka apapun, hingga ucapan Vin barusan telah membuatnya jadi mengerti.Berbeda dengan Miranda, yang hampir saja berdiri untuk mendekati Lea dan menamparnya, tapi diurungkan dengan diganti dengan pertanyaan mencibir."Memangnya siapa dia? Apa dia artis atau anak dari pengusaha mana? Kenapa aku tidak pernah melihat dia di geng-geng sosialita yang ku ikuti? Selera macam apa ini, Vin?!"Pelayan laki-laki datang lagi, membawakan pesanan minuman Vin, sehingga suasana kaku terjeda sementara waktu."Pak Vin. Saya ingin ke kamar mandi. Boleh, kah?" Lea sudah tidak kuasa menghadapi saling adu argumentasi antara Vin dan Helena yang kental diselimuti persoalan pribadi diantara mereka sebelumnya.Setelah mendapat anggukan dari Vin, Lea segera meminta pelayan menunjukkan dimana letak kamar mandi khusus wanita berada.Hal pertama yang Lea lakukan adalah menghela napa
Setelah beberapa saat, Lea kembali didepan meja restoran hotel, namun kini bersama dengan Sekretaris Li.Lea menatap kertas-kertas dokumen dihadapannya kosong. Penjelasan-penjelasan yang diberikan Vin, setelah dia tanda tangani, hanya sebatas lewat saja di telinganya, karena tentu saja pikirannya sedang berada pada keadaan ibunya di berkilo-kilo meter dari tempatnya berada kini."Lea. Kamu kuberi amanat saham ini. Prosentase kepemilikan atas namamu hampir sama dengan milik Helena. Tapi bedanya, nanti kamu hanya bersifat sebagai pemegang saham pasif, dimana kamu tidak dibebankan untuk ikut mengatur perusahaan. Mengerti sampai disini?""Hah? Pasif?" Ekspresi pilon Lea keluar, seiring tak fokusnya mendapatkan sejenis kuliah dari Vin.Alis Vin hampir tertaut, siapa yang tak tersinggung, dimana sudah menjelaskan dengan antusias dan berapi-api, tapi ternyata ditanggapi Lea dengan ekspresi bingung."Kamu mendengarkan aku bicara, nggak sih?!" kecurigaan Vin dengan nada keras. Sikap Vin secar
"Aku tetap balik besok pagi, Dan. Hormati keputusanku."Dengusan kekecewaan terdengar dari suara Dani diujung telpon. Ini sudah jadi keputusan Lea, walau kecewa berat, Dani turuti permintaan Lea ini."Ok. Kalau itu maumu. Aku akan temani mamamu disini sampai kamu pulang.""Dan...terima kasih, tapi boleh aku tanya sesuatu padamu?""Katakan," sahut Dani malas. Awalnya Lea juga ragu untuk menanyakan, tapi sudah terlanjur meminta, akhirnya Lea lakukan."Darimana kamu tahu apartemen kami?"Terdengar Dani tertawa lirih, sebelum berujar."Kamu tak perlu tahu dari siapa, tapi yang pasti bukan itu yang harus kamu risaukan, tapi bagaimana aku masih peduli padamu, pada mamamu. Aku benar-benar nggak mau kamu terjebak sama drama-dramanya atasan sialan itu!"Lea tak berani berkomentar atau menyela, baginya ini adalah hak Dani untuk mengumpat tertuju pada Vin, karena naluri pria Dani sudah membaca soal kedekatan tak wajar antara dirinya dan Vin sejak diawal."Thanks ya Dan. Anggap aku berhutang pad
Pada hari jumat malam seminggu kemudian. Lea berada sendirian di dalam kondominium Vin tanpa pemiliknya. Vin harus terbang ke Italia tanpanya selasa lalu bersama dua teman prianya, karena ada keinginan dari salah satu calon investor untuk segera menandatangani perjanjian kerjasama, selain masa pengalihan dan pengucuran dana warisan dari Anthony juga sedang dalam proses, larena Vin telah selesaikan masalah dengan Helena sesuai amanat ayahnya tersebut, selain telah menikah dan akan memiliki anak. Lea meninggalkan kantor, dan menemui ibunya sebentar, sebelum akhirnya kini di depan deretan koper yang telah siap menemaninya menempuh perjalanan jauh. Morgan belum menjemput totak waktu yang di butuhkan lima belas menit untuk mengulur-ulur waktu sedikit, Lea membuka ponsel di bagian note dan memeriksa lagi. 1. Tiket pesawat ( Aku sudah melakukannya sekaligus mengkonfirmasinya. Dua kali ) 2. Memesan executive lounge bandara ( Juga sudah mengkonfirmasi dua kali ) 3. Berkemas ( Baru se
Pagi tidak lebih baik. Lea berguling turun dari ranjang pagi-pagi. Seminggu sudah telah berlalu dari kejadian yang penuh dramatis. Matahari bersinar melewati jarak antara dua gorden jendela kaca berukuran lumayan besar di kondominium milik Vin. Lea beralih ke dapur membuat susu coklat hangat. Vin masih tidur, dan kemungkinan tidak akan bangun untuk sejam dua jam ke depan. Lea melirik meja ruang tamu, botol kosong minuman kaleng beraneka macam masih di sana, sebagian adalah beralkohol. Dua teman pria kebangsaan Italia Vin semalam jadi penghisap hampir semuanya. Entah mereka berjalan kaki dari Italia ke Indonesia atau apa. yang pasti di atas meja ruang tamu sana benar-benar kacau dengan berbagai bekas makanan dan minuman berserakan. Mereka bertiga nampaknya sudah tak kuat bahkan untuk membuangnya ke dalam sampah karena sibuk bercanda berlanjut rasa kantuk di sertai setengah mabuk. Lea kemudian meringis membayangkan percakapan yang akan mereka lakukan. Secangkir susu coklat hanga
"Natalie?" Lea terkejut. Gadis muda berusia tak jauh dari dirinya itu tampak berpenampilan kusut tidak seperti biasanya, bahkan tidak ada pulasan kosmetik apapun sebagai make up semakin mempercantik diri. "Ngapain dia ke sini? Dia nggak lagi bangun tidur, kan?" pertanyaan canda Lea menatap bergantian antara Vin dan Natalie. Beberapa detik lalu Lea berada agak menjauh dari Vin untuk menghindari berinteraksi dengan Helena, tapi karena kehadiran tak terduga dari Natalie ini, membuatnya mendekati Vin dan berbicara berbisik untuk mencari tahu. Tatapan sembab dari bawah mata yang bengkak, membuat Vin spontan jadi bersikap awas. Di dorong Lea agar lebih mundur dan di posisikan tepat di belakang punggungnya, karena Vin menyadari tatapan Natalie menyorot di sekitar dia berdiri. "Tante Helena!" Mendengar nama ini di sebut dan di ketahui keberadaan posisinya, beberapa baris kerumunan tamu bergerak menyisir memberi jalan buat Natalie agar bisa melihat apa yang akan dia lakukan juga. "Na
"Kamu nggak apa-apa, kan Sayang?" Kedua mata Lea terbelalak. Di hadapannya adalah pria tampan mengenakan seragam bodyguard serba hitam berikut kacamata berwarna senada juga. Memang seperti orang lain, tapi sebagai istri yang selalu bersama dari pagi sampai malam, Lea yakin pria penyelamat di hadapannya ini adalah Vin. "Ka kamu ngapain dandan begini?" Lea masih sempatnya bertanya di saat suasana jadi riuh, bahkan terdengar teriakan-teriakan agar ruangan hall segera di amankan. Pria tersebut perlahan membawa Lea bangkit dengan di dudukkan, perut Lea di elus-elus. Kekhawatiran merambat pada bagian tubuh Lea dimana sempat di rasakannya ada gerakan. "Demi anak kita ini. Maaf kalau buatmu kaget, tapi berhasilkan. Dugaanmu benar, keamanan buatmu tidak cukup mengandalkan Morgan saja." "Pak Presdir .... Pak Presdir Vin .... anda tidak apa-apa?!" pekikan berganti terdengar dari pria lain. Dia adalah Sekretaris Li, yang berdiri tak jauh dari keduanya berada. Vin berganti ulurkaj t
Kasak-kusuk terjadi lebih ramai dari sebelumnya. Ucapan santai Lea jadi pemicu rasa ingin tahu dari tamu undangan yang merupakan para pemegang saham dari perusahaan-perusahaan dari pengelolaan keluarga Dharmawan. Helena kembali berdiri. Berbeda dari aksi sebelumnya, kali ini Helena tampak lebih kusut, wajahnya merah karena amarahnya lebih memuncak. "Ini acara pengambilan voting, bukannya cari panggung buat hal yang nggak ada bukti dan dasarnya apa kayak begini. Kamu jangan sok ya. Kamu itu orang baru. Nggak ngerti apa-apa!" Lea tak menggubris. Seperti apa yang di instruksikan oleh Vin, agar dirinya tetap tenang dalam menanggapi tiap kelakuan Helena, tidak mudah terprovokasi dengan setiap nada tinggi Helena yang berkesan memojokkan. "Slide-slide selanjutnya memang berkesan tidak ada hubungannya dengan acara ini, tapi di sini kami inginkan siapa saja jadi terbuka matanya, tentang siapa yang sebenarnya bersalah dan siapa yang sering di jadikan kambing hitam. Sekali lagi ini semua
Di sebuah hall terletak di dalam hotel bintang lima, tamu undangan sudah mulai memadati tempat acara. Perhelatan yang sebenarnya akan di laksanakan bulan depan itu, nyatanya di majukan secara mendadak dengan alasan karena keperluan mendesak. Acara awal protokoler tengah di laksanakan. Seirang wanita jadi pusat perhatian di saat sesi sambutan sedang di jadikan awal dari pembicaraan mengenai Vin, sang presdir utama. "Kubu pertama yaitu mosi tidak percaya dan minta agar jabatan presdir di copot untuk di berikan pada saya, sudah dapat banyak dukungan meskipun perolehan suara belum di laksanakan, jadi saya harapkan rekan sekalian bisa menentukan pilihan sesuai dengan logika. Perusahaan ini butuh orang-orang berpengaruh kuat. Bukannya hanya mengandalkan cara kepemimpinan yang katanya revolusioner tapi ternyata bangak pihak yang tidak senang." Helena ungkapkan sesuatu dengan kesan menyindir lawan pemilihannya, yaitu Vin. Tepuk tangan bergema setelahnya, bahkan ada yang dengan berdiri,
Sampai semalaman Lea berusaha mengorek apa rencana yang sedang Vin simpan, tetap saja Lea tak mendapatkan jawaban. Walaupun sudah melayani bercinta dengan gegap gempita, berharap Vin akan lengah lalu bercerita, namun tetap saja tak temukan hasil. Vin masih saja bungkam. Di waktu weekend, Lea membantu Vin untuk keberangkatan ke Italia. Sampai itupun, Vin belumjuga berikan jawaban akan rencananya. Vin selalu menggadang-gadang kalau yang mengetahu isi rencananya itu hanya otaknya saja. Leapun akhirnya menyerah, sudah tak bertanya lagi bila sudah tahu akan jawabannya apa. "Lama banget ke Italianya?" protesan Lea setelah selesai membantu Vin menyiapkan packing segala keperluan di dalam satu koper besar dengan sistem penutup memakai kode tertentu. "Kan ada Mama. Kamu ada temennya. Bukannya kemarin-kemarin ribut minta di temeni Mamamu?" pengingat Vin dan di jawab anggukan oleh Lea. "Tapikan tetep aja beda kalau nggak ada kamu," sedihnya Lea. Di letakkan sebuah buku bertuliskan logo d
"Aku bertemu sama pengacaraku." Morgan sudah mengatakannya, tapi bila alasannya itu keluar dari mulut Vin sendiri, maka jadi perbedaan tersendiri bagi seorang wanita termasuk Lea. "Beneran ketemu pengacara? Kamu nggak sedang main samdiwara sama Morgan, kan? Takutnya sudah kasih perintah biar bilang sama akunya temui pengacara, tapi ternyata temui wanita lain," omel Lea seperti telah mendapat peringatan secara naluri. "Hmm ... menemui pengacaraku dan juga seorang wanita." Lea menoleh dan menatap Vin sambil melotot. Rasanya akan sulit bagi Vin, bila naluri kuat Lea seperti yang di miliki para wanita pada umumnya untuk di jadikan awal dari sebuah kebohongan. "Tuh kan sama cewek, sudah ku duga!" bentak Lea. "Siapa dia? Awas kalau memang sama cewek bilangnya ke aku cuma temen atau kolega bisnis, tapi diem-diem main api di belakang. Sudah biasa itu kayak di medsos-medsos!" tak terimanya Lea. Vin semakin tertawa kencang. Tak menyangka kalau lea cemburu lebih galak daripada singa
"Hai Sayang." Sapaan dari Vin yang segera di tanggapi Lea dengan pelukan. "Kamu kemana saja? Nggak tahu apa, aku khawatir banget!" omelan Lea setelah melepaskan rengkuhan hangat namun singkatnya. "Banyak orang mencarimu, habis kamu nggak aktifin ponselmu," imbuh Lea mencari tahu. "Aku sedang jalan-jalan," jawab Vin santai. Bersama kawalan dari Morgan dan beberapa pengawal anak buah Morgan, Vin membawa Lea ke ruangan pertemuan utama gedung dengan merubah ekspresinya jadi dingin dan kaku, berbeda jauh saat bertemu Lea tadi. Tatapan Vin lurus ke depan, selain belum ada yang berani menyapa atau mengajaknya bicara, Vin juga nggak berminat di ajak bicara sampai ada yang memulai. Ini adalah bentuk aksi kekecewaan Vin ketika loyalitas bawahannya telah membuatnya jadi turunkan rasa kepercayaannya. Setelah Vin duduk di kursi utama ruanga pertemuan, dalam beberapa menit suasana hening, dengan sikap tenang, Vin menunggu dengan sabar tiap orang di ruangan tersebut mencari tempat duduk, k