"Aku tetap balik besok pagi, Dan. Hormati keputusanku."Dengusan kekecewaan terdengar dari suara Dani diujung telpon. Ini sudah jadi keputusan Lea, walau kecewa berat, Dani turuti permintaan Lea ini."Ok. Kalau itu maumu. Aku akan temani mamamu disini sampai kamu pulang.""Dan...terima kasih, tapi boleh aku tanya sesuatu padamu?""Katakan," sahut Dani malas. Awalnya Lea juga ragu untuk menanyakan, tapi sudah terlanjur meminta, akhirnya Lea lakukan."Darimana kamu tahu apartemen kami?"Terdengar Dani tertawa lirih, sebelum berujar."Kamu tak perlu tahu dari siapa, tapi yang pasti bukan itu yang harus kamu risaukan, tapi bagaimana aku masih peduli padamu, pada mamamu. Aku benar-benar nggak mau kamu terjebak sama drama-dramanya atasan sialan itu!"Lea tak berani berkomentar atau menyela, baginya ini adalah hak Dani untuk mengumpat tertuju pada Vin, karena naluri pria Dani sudah membaca soal kedekatan tak wajar antara dirinya dan Vin sejak diawal."Thanks ya Dan. Anggap aku berhutang pad
Lea spontan menyentuh wajahnya. Aida benar, dirinya mirip dengan mendiang ibu Vin, Letizia.Lea jadi berspekulasi tentang ucapan Sekretaris Li waktu itu, kalau sebelum-sebelumnya, Vin sudah banyak mengetahui tentang dirinya. Tapi sejak kapan? Lea menerawang menyelidik. Kira-kira kapan secara tak sengaja dia dan Vin bertemu, sampai pada keputusan Vin mengangkatnya jadi asisten pribadi."Apa lihat foto CV ku, ya? Tapi perasaan, aku pas foto nggak pake kacamata," gumam Lea, tapi buru-buru mengetikkan suatu pertanyaan pada Aida.'Pak Vin pernah bilang, kalau dia adalah pembunuh ibunya. Apa yang sebenarnya terjadi?'Belum juga mendapatkan balasan Aida, suara ketukan di pintu mengagetkan Lea."Lea? Apa kamu sudah tidur?""Ehm..." Lea menatap ponselnya, balasan dari Aida yang lebih menarik perhatiannya, dibandingkan menanggapi pertanyaan Vin.'Apa Vin benar-benar mengatakannya padamu?'Lea putuskan untuk tak menjawab, tapi segera naik ke tempat tidur, lalu beringsut masuk ke dalam selimut.
Pagi hari setelah sarapan, Lea segera berujar tentang apa yang sudah mereka bicarakan sehari sebelumnya."Apa semua sudah beres? Apa yang harus kita lakukan pagi ini? Dokumen-dokumen itu sudah aku tanda tangani, lalu apa lagi tugasku?" rentetan pertanyaan Lea, sudah tak sabar menanti jawaban..Vin melirik ke arah Sekretaris Li dan Morgan yang berada di meja sebelah. Suasana sarapan minggu pagi di salah satu hotel ternama di kawasan Puncak, Bogor ini tampak ramai dengan hawa sejuk sekaligus hangat menggoda kulit, tapi Vin lebih tertarik pada dua orang kepercayaannya ini."Ternyata rencana Miranda mengajak ke sini tidak ada kerugiannya sama sekali. Mereka berdua bisa berlibur sementara waktu, dan semalam aku juga dapat kesenangan.""Aku sedang bicara serius, kenapa kamu justru ke hal lain?" Lea cemberut, selalu saja Vin seperti ini, pikirnya.Vin tersenyum cerah seterang matahari pagi ini. Kunyahannya berlanjut saat suapan satu sendok nasi goreng itu sudah memasuki mulutnya."Hari ini a
Vin berlari, memaksa melewati kerumunan yang kemudian beralih pada area dimana Lea dan penjual strawberry tadi berada."Minggir! Biarkan saya lewat!" pintaan tajam Vin, dengan kedua tangan berusaha mendorong pelan orang di samping kanan kirinya agar mendapatkan jalan, hingga sampai di depan Lea dengan ekspresi sangat tegang."Lea. Kamu tak apa-apa?" Rasa khawatir tak dapat Vin sembunyikan, segera ia jadikan tubuhnya sebagai tameng bagi diri Lea yang setengah terbangun dengan raut ketakutan."A a apa, itu tadi?" tanyanya sampai tergagap tercengang. Tubuhnya bergetar, teriakan Vin saja sudah buatnya begidik, apalagi seperti letusan tengah terjadi di area belakang tempatnya berdiri tadi.Kegaduhan segera terjadi, satu toples kaca berukuran besar berisi manisan buah pecah, sehingga tadi menjadi satu rangkaian bunyi-bunyian yang seketika membuat panik orang-orang di sekitar kios tempat display toples itu berada."Tembakan tembakan!" teriak seorang pria pencetus keramaian selanjutnya, di t
"Mama!" panggil Lea setelah membuka kamar perawatan sang ibunda, Sarah.Lea segera menghambur, memeluk ibunya dengan erat."Maafin Lea, Ma. Jam segini baru kesini," ucapnya kemudian penuh sesal."Tak apa. Ini diluar rencana. Kalau harus kesini hari ini, benernya juga masih biaa mama tahan sakitnya, tapi nggak tahu ya, lihat ada Dani datang, mama jadi kecetus ide datang kemarin. Pas banget dia ke rumah, jadi mama bisa minta tolong sama dia.""Makasih ya, Dan." Lea beralih pada pria muda yang duduk di hadapannya, dan terlihat kusut, setelah mendapat penjelasan langsung dari Sarah. "Aku nggak tahu harus balas apa sama kamu." Hati terdalam Lea menyertai ucapannya barusan."It's okay. Mamamu sudah kuanggap kayak mamaku juga. Aku selalu berharap mamamu bisa jadi pengganti mamaku yang sudah nggak ada.""Duh, hati mama langsung ser gitu kalau Dani sudah ngomong begini. Kan mama jadi tersanjung, kalau bisa punya anak laki sebaik kamu, Dan."Lea tersenyum getir, harapan Sarah adalah tujuannya d
"Bagaimana aku bisa banyak tahu, itukan yang mau kamu tanyain?" Lea semakin salah tingkah. Dani bahkan terlebih dulu mendahului pikirannya."Kapan kamu akan sadar, dengan siapa kamu berhubungan, Lea? Kapan?!"Hujaman pertanyaan dari Dani, tentu tertuju pada Vin dan kemungkinan Dani juga tahu dari orang di sekitarnya."Apa Natalie yang cerita ke kamu? Atau siapa?" selidik Lea, sudah tak bisa sembunyikan keinginantahuannya, meski Dani bisa saja akan mengambil kesimpulan, kalau apa yang dia ketahui benar adanya."Iya, tentu saja dia. Dan aku sungguh nggak menyangka, kalau apa yang pernah Sofie katakan itu memang kamu. Fotomu memakai gaun putih, yang hanya ditunjukkan Natalie ke Sofie itu kamu lagi pake baju pengantin.""Tapi Dan...""Sudah jangan pungkiri lagi, please. Aku muak!" protes Dani. "Aku bukan anak kecil yang gampang di bohongin, Lea. Terus kamu harap, aku diam aja gitu, tahu kamu sedang terlibat drama yang aku nggak ngerti, kenapa kamu sampai mau saja di bodohi presdir nggak t
Dibagian lain, Lea kembali ke kamar Sarah, setelah sempat menemui dokter untuk pengenalan diri, sekaligus menanyakan tentang keadaan ibunya."Mama!" panggilnya dengan napas terengah-engah, setelah sempat berlari dari ruang tunggu VIP ke meja utama perawat penjaga lorong bagian kamar perawatan untuk ibunya."Apa, Sayang? Kamu kok kayak habis dikejar-kejar anjing, memang habis darimana?" Sarah terkekeh melihat kelakuan putri satu-satunya ini."Pak Vin tadi bilang ada visite dokter, langsung aja aku ke orangnya." Lea jeda ucapan untuk mengatur napas dengan membungkuk dan memegang kedua lututnya."Lha terus kenapa pake lari-larian segala? Ya ampun Lea, kamu itu sudah gede lho, nak. Sudah bikin repot dua cowok. Mama jadi suka nggak enak sama dua-duanya. Kamu ini jadi suka yang mana? Jangan mainin hati pria, bahaya!"Lea tegakkan badan lagi, berganti jadi langkah mendekat pada Sarah."Maksud mama, Dani sama Pak Vin?""Lha iya, masa Pak satpam!""Kok mama tahu? Pasti Pak Vin sama mama habis
"Kalau ketahuan Pak Vin, nanti aku yang tanggung jawab kok, mas. Percaya deh sama aku, mas."Lea masih memaksakan diri agar Robbi bisa menjadi orang kepercayaannya, meskipun tidak sepenuhnya diandalkan."Baiklah, kalau sekedar info, bagaimanapun juga, kapasitas saya hanya bawahan dari Presdir Vin."Lea biaa tersenyum lega, paling tidak akan memiliki sedikit akses untuk mengetahui beberapa hal dari yang Vin lakukan, tapi tak ia ketahui. Tidak selalu orang polos, juga harus tampak bodoh, tapi bisa manfaatkan kepolosan ini untuk jadi kamuflase menilai dan dapatkan banyak informasi.Lea baru melanjutkan percakapan, setelah masuk ke dalam mobil yang beberapa kali sebelumnya selalu jadi alat transportasinya, bila tidak bersama dengan Vin dalam satu mobil. "Mas Robbi tahu, dimana Pak Vin sekarang?" Lea masih saja menanyakan hal yang sama."Dari laporan tim sih, ke daerah Kemang, sebelum beliau minta balik ke rumahnya.""Oh, terus Mas Robbi sudah kerja jadi anak buahnya Pak Morgan dari kapa
Pada hari jumat malam seminggu kemudian. Lea berada sendirian di dalam kondominium Vin tanpa pemiliknya. Vin harus terbang ke Italia tanpanya selasa lalu bersama dua teman prianya, karena ada keinginan dari salah satu calon investor untuk segera menandatangani perjanjian kerjasama, selain masa pengalihan dan pengucuran dana warisan dari Anthony juga sedang dalam proses, larena Vin telah selesaikan masalah dengan Helena sesuai amanat ayahnya tersebut, selain telah menikah dan akan memiliki anak. Lea meninggalkan kantor, dan menemui ibunya sebentar, sebelum akhirnya kini di depan deretan koper yang telah siap menemaninya menempuh perjalanan jauh. Morgan belum menjemput totak waktu yang di butuhkan lima belas menit untuk mengulur-ulur waktu sedikit, Lea membuka ponsel di bagian note dan memeriksa lagi. 1. Tiket pesawat ( Aku sudah melakukannya sekaligus mengkonfirmasinya. Dua kali ) 2. Memesan executive lounge bandara ( Juga sudah mengkonfirmasi dua kali ) 3. Berkemas ( Baru se
Pagi tidak lebih baik. Lea berguling turun dari ranjang pagi-pagi. Seminggu sudah telah berlalu dari kejadian yang penuh dramatis. Matahari bersinar melewati jarak antara dua gorden jendela kaca berukuran lumayan besar di kondominium milik Vin. Lea beralih ke dapur membuat susu coklat hangat. Vin masih tidur, dan kemungkinan tidak akan bangun untuk sejam dua jam ke depan. Lea melirik meja ruang tamu, botol kosong minuman kaleng beraneka macam masih di sana, sebagian adalah beralkohol. Dua teman pria kebangsaan Italia Vin semalam jadi penghisap hampir semuanya. Entah mereka berjalan kaki dari Italia ke Indonesia atau apa. yang pasti di atas meja ruang tamu sana benar-benar kacau dengan berbagai bekas makanan dan minuman berserakan. Mereka bertiga nampaknya sudah tak kuat bahkan untuk membuangnya ke dalam sampah karena sibuk bercanda berlanjut rasa kantuk di sertai setengah mabuk. Lea kemudian meringis membayangkan percakapan yang akan mereka lakukan. Secangkir susu coklat hanga
"Natalie?" Lea terkejut. Gadis muda berusia tak jauh dari dirinya itu tampak berpenampilan kusut tidak seperti biasanya, bahkan tidak ada pulasan kosmetik apapun sebagai make up semakin mempercantik diri. "Ngapain dia ke sini? Dia nggak lagi bangun tidur, kan?" pertanyaan canda Lea menatap bergantian antara Vin dan Natalie. Beberapa detik lalu Lea berada agak menjauh dari Vin untuk menghindari berinteraksi dengan Helena, tapi karena kehadiran tak terduga dari Natalie ini, membuatnya mendekati Vin dan berbicara berbisik untuk mencari tahu. Tatapan sembab dari bawah mata yang bengkak, membuat Vin spontan jadi bersikap awas. Di dorong Lea agar lebih mundur dan di posisikan tepat di belakang punggungnya, karena Vin menyadari tatapan Natalie menyorot di sekitar dia berdiri. "Tante Helena!" Mendengar nama ini di sebut dan di ketahui keberadaan posisinya, beberapa baris kerumunan tamu bergerak menyisir memberi jalan buat Natalie agar bisa melihat apa yang akan dia lakukan juga. "Na
"Kamu nggak apa-apa, kan Sayang?" Kedua mata Lea terbelalak. Di hadapannya adalah pria tampan mengenakan seragam bodyguard serba hitam berikut kacamata berwarna senada juga. Memang seperti orang lain, tapi sebagai istri yang selalu bersama dari pagi sampai malam, Lea yakin pria penyelamat di hadapannya ini adalah Vin. "Ka kamu ngapain dandan begini?" Lea masih sempatnya bertanya di saat suasana jadi riuh, bahkan terdengar teriakan-teriakan agar ruangan hall segera di amankan. Pria tersebut perlahan membawa Lea bangkit dengan di dudukkan, perut Lea di elus-elus. Kekhawatiran merambat pada bagian tubuh Lea dimana sempat di rasakannya ada gerakan. "Demi anak kita ini. Maaf kalau buatmu kaget, tapi berhasilkan. Dugaanmu benar, keamanan buatmu tidak cukup mengandalkan Morgan saja." "Pak Presdir .... Pak Presdir Vin .... anda tidak apa-apa?!" pekikan berganti terdengar dari pria lain. Dia adalah Sekretaris Li, yang berdiri tak jauh dari keduanya berada. Vin berganti ulurkaj t
Kasak-kusuk terjadi lebih ramai dari sebelumnya. Ucapan santai Lea jadi pemicu rasa ingin tahu dari tamu undangan yang merupakan para pemegang saham dari perusahaan-perusahaan dari pengelolaan keluarga Dharmawan. Helena kembali berdiri. Berbeda dari aksi sebelumnya, kali ini Helena tampak lebih kusut, wajahnya merah karena amarahnya lebih memuncak. "Ini acara pengambilan voting, bukannya cari panggung buat hal yang nggak ada bukti dan dasarnya apa kayak begini. Kamu jangan sok ya. Kamu itu orang baru. Nggak ngerti apa-apa!" Lea tak menggubris. Seperti apa yang di instruksikan oleh Vin, agar dirinya tetap tenang dalam menanggapi tiap kelakuan Helena, tidak mudah terprovokasi dengan setiap nada tinggi Helena yang berkesan memojokkan. "Slide-slide selanjutnya memang berkesan tidak ada hubungannya dengan acara ini, tapi di sini kami inginkan siapa saja jadi terbuka matanya, tentang siapa yang sebenarnya bersalah dan siapa yang sering di jadikan kambing hitam. Sekali lagi ini semua
Di sebuah hall terletak di dalam hotel bintang lima, tamu undangan sudah mulai memadati tempat acara. Perhelatan yang sebenarnya akan di laksanakan bulan depan itu, nyatanya di majukan secara mendadak dengan alasan karena keperluan mendesak. Acara awal protokoler tengah di laksanakan. Seirang wanita jadi pusat perhatian di saat sesi sambutan sedang di jadikan awal dari pembicaraan mengenai Vin, sang presdir utama. "Kubu pertama yaitu mosi tidak percaya dan minta agar jabatan presdir di copot untuk di berikan pada saya, sudah dapat banyak dukungan meskipun perolehan suara belum di laksanakan, jadi saya harapkan rekan sekalian bisa menentukan pilihan sesuai dengan logika. Perusahaan ini butuh orang-orang berpengaruh kuat. Bukannya hanya mengandalkan cara kepemimpinan yang katanya revolusioner tapi ternyata bangak pihak yang tidak senang." Helena ungkapkan sesuatu dengan kesan menyindir lawan pemilihannya, yaitu Vin. Tepuk tangan bergema setelahnya, bahkan ada yang dengan berdiri,
Sampai semalaman Lea berusaha mengorek apa rencana yang sedang Vin simpan, tetap saja Lea tak mendapatkan jawaban. Walaupun sudah melayani bercinta dengan gegap gempita, berharap Vin akan lengah lalu bercerita, namun tetap saja tak temukan hasil. Vin masih saja bungkam. Di waktu weekend, Lea membantu Vin untuk keberangkatan ke Italia. Sampai itupun, Vin belumjuga berikan jawaban akan rencananya. Vin selalu menggadang-gadang kalau yang mengetahu isi rencananya itu hanya otaknya saja. Leapun akhirnya menyerah, sudah tak bertanya lagi bila sudah tahu akan jawabannya apa. "Lama banget ke Italianya?" protesan Lea setelah selesai membantu Vin menyiapkan packing segala keperluan di dalam satu koper besar dengan sistem penutup memakai kode tertentu. "Kan ada Mama. Kamu ada temennya. Bukannya kemarin-kemarin ribut minta di temeni Mamamu?" pengingat Vin dan di jawab anggukan oleh Lea. "Tapikan tetep aja beda kalau nggak ada kamu," sedihnya Lea. Di letakkan sebuah buku bertuliskan logo d
"Aku bertemu sama pengacaraku." Morgan sudah mengatakannya, tapi bila alasannya itu keluar dari mulut Vin sendiri, maka jadi perbedaan tersendiri bagi seorang wanita termasuk Lea. "Beneran ketemu pengacara? Kamu nggak sedang main samdiwara sama Morgan, kan? Takutnya sudah kasih perintah biar bilang sama akunya temui pengacara, tapi ternyata temui wanita lain," omel Lea seperti telah mendapat peringatan secara naluri. "Hmm ... menemui pengacaraku dan juga seorang wanita." Lea menoleh dan menatap Vin sambil melotot. Rasanya akan sulit bagi Vin, bila naluri kuat Lea seperti yang di miliki para wanita pada umumnya untuk di jadikan awal dari sebuah kebohongan. "Tuh kan sama cewek, sudah ku duga!" bentak Lea. "Siapa dia? Awas kalau memang sama cewek bilangnya ke aku cuma temen atau kolega bisnis, tapi diem-diem main api di belakang. Sudah biasa itu kayak di medsos-medsos!" tak terimanya Lea. Vin semakin tertawa kencang. Tak menyangka kalau lea cemburu lebih galak daripada singa
"Hai Sayang." Sapaan dari Vin yang segera di tanggapi Lea dengan pelukan. "Kamu kemana saja? Nggak tahu apa, aku khawatir banget!" omelan Lea setelah melepaskan rengkuhan hangat namun singkatnya. "Banyak orang mencarimu, habis kamu nggak aktifin ponselmu," imbuh Lea mencari tahu. "Aku sedang jalan-jalan," jawab Vin santai. Bersama kawalan dari Morgan dan beberapa pengawal anak buah Morgan, Vin membawa Lea ke ruangan pertemuan utama gedung dengan merubah ekspresinya jadi dingin dan kaku, berbeda jauh saat bertemu Lea tadi. Tatapan Vin lurus ke depan, selain belum ada yang berani menyapa atau mengajaknya bicara, Vin juga nggak berminat di ajak bicara sampai ada yang memulai. Ini adalah bentuk aksi kekecewaan Vin ketika loyalitas bawahannya telah membuatnya jadi turunkan rasa kepercayaannya. Setelah Vin duduk di kursi utama ruanga pertemuan, dalam beberapa menit suasana hening, dengan sikap tenang, Vin menunggu dengan sabar tiap orang di ruangan tersebut mencari tempat duduk, k