"Aku mau ke pantry." Lea berusaha menghindari berbicara dengan Dani."Apa kamu terpaksa melakukannya sebagai pelampiasan kekecewaanmu padaku?" tanya Dani tiba-tiba."Aku nggak tahu maksudmu!" jawab Lea ketus, melengos, menarik paksa pegangan Dani pada lengannya."Lea. Aku tahu kamu masih mencintaiku. Iya, kan?"Lea balikkan badan, tak terima akan pertanyaan Dani barusan."Aku sakit hati!" jawab Lea singkat, lalu cepat-cepat menjauhi Dani."Lalu kenapa kamu masih simpan foto kita berdua? Mang Ujang tadi pindahin meja lamamu, terus temuin foto itu di laci. Lea...aku bisa jelaskan, dan lupakan semua, untuk hubungan baru kita."Telinga Lea memanas. Tentu tak bisa terima dengan ucapan enteng Dani ini.Kembali bersama? Bagi Lea tak akan segampang itu."Dani. Foto itu memang aku tinggalkan disana, rencana mau kubuang setelah pulang dari Italia. Mana ku tahu kalau akhirnya sama Pak Vin dipindah ke ruangan yang sekarang, jadi jangan berprasangka yang tidak-tidak. Kita sudah tak ada hubungan.
Saat jam makan siang, Lea menatap kursi kosong atasan yang berpamitan keluar untuk pertemuan pribadi dengan seseorang."Enak aja nyuruh-nyuruh orang nginep. Lha gue harus bilang apa ke mama?" gerutunya.Lea garuk-garuk kepala cari alasan. Males banget kalau di paksa bohong, tentu akan menambah beban pikiran wanita satu-satunya yang ingin dia jaga.Baru saja Lea berniat ke pantry, menaruh kembali gelas dan piring kecil bekas untuk Vin, tapi pintu ruangan dibuka Winda dengan ekspresi tegang."Lea. Lo tahu nggak gosip terbaru?!" ujar Winda dengan napas terengah-engah."Emang gue bakal berani buka-buka chat group? Kan lo tahu, sejak naik jabatan itu, kayaknya gue bener-bener di jadiin obyek gosipan empuk terus," sahut Lea mengasihani dirinya sendiri.Winda berdiri menempel pinggir meja menghadap Lea, sebuah cerita baru siap dia sulut menjadi kobaran api."Tapi lo tetep harus beranikan diri, seperti sekarang ini!""Maksud, lo?" "Gosipan sudah mulai melandai, karena Dani tiba-tiba jadi pa
Ting!!Pintu lift terbuka, tapi Lea justru menahan Winda."Kita lewat tangga saja, yuk. Itung-itung olahraga," ajak Lea memaksa. Genggamannya baru dilepas, saat Natalie dan Sofie memasuki lift dan pintunya tertutup."Aduh, kenapa harus lewat tangga, kan capek Lea!" protes Winda, menuruti kemauan Kea dengan terpaksa. "Lagian, gue penasaran sama ekspresi mereka berdua waktu lo prang tadi.""Prank? Siapa yang mau ngejebak lo? Gue emang serius, kok!" tak terimanya Lea.Winda tertawa kencang, sampai hampir terpereset karena tak perhatikan langkah di anak tangga."Tuh kan, gue bener. Lo nggak usah takut. Sudah pinter bikin orang kaget. Gue salut sama lo, sekalinya keluar tapi sudah jadi berani., sampai-sampai buat mereka melongo, lho!"Bibir Lea berkerut, tersinggung berat karena Winda masih meremehkannya."Siapa bilang gue sengaja bikin kaget orang!" gereget Lea. "Gue emang dapet voucher diskon, sekaligus kartu member khusus dari Giovanni Versace kok!'Lea berhenti, membuka tas untuk menga
"Kamu harus jadi sekutu kami.""Sekutu?" kebiasaan Lea mengulang kalimat lawan bicaranya."Iya." Natalie mengitari meja, sehingga kini berada dihadapan Lea. "Bisa dibilang, semacam kerjasama saling menguntungkan, gitu.""Aku tidak mau!"Seketika itu juga Natalie berikan picingan penuh kebencian. Dari awalnya sudah tak suka, maka sekali saja Lea buat bantahan, maka semakin besar lagi ketidaksukaan Natalie pada Lea."Kamu bahkan belum tahu apa maksudnya tanteku, sudah bilang nggak mau, ih rugi banget deh!" pekik Natalie menutupi rasa malu, karena sudah di tolak mentah-mentah oleh lea."Karena pasti banyak merugikanku.""Ok." Natalie letakkan kedua tangannya di atas meja, menopang tubuhnya yang lebih dimajukan, sehingga bagian belahan dadanya terlihat dari dalaman tank top yang dia kenakan. "Tapi kamu harus siap-siap ya, kalau misalkan terus-terusan melawan kami, rahasia ini bisa kami jadikan boomerang buat membunuhmu balik!" ancam Natalie tak main-main."Aku tidak takut!" balas Lea set
"VIN!"Lea mendelik, namun sudah berusaha melepaskan diri dari pelukan Vin, masih tetap terhalang oleh rangkuman tangannya.Vin sendiri, tak terlalu menggubris kedatangan seorang wanita yang kini sudah mendekat."Vin. How dare you!" teriakan histeris dari wanita tersebut.Lea bergegas pindah ke samping, dari Vin yang terlihat mencoba mengusap bibir, menghilangkan jejak lipstick dari bibir Lea."Who is she?!" Lea terperangah. Mungkin saja, wanita di hadapannya ini adalah modelan sama dari wanita-wanita pemuja atasannya selama ini, tapi yang berbeda dsri lainnya adalah, wajahnya juga setengah bule seperti Vin, dan juga seorang artis!"Dia...dia, kan...Wilona...artis sinetron itu," tunjuk Lea takjub."Yes, aku Wilona, dan kamu siapa?!" tanggapan tak ramah dari gadis berpostur tinggi semampai, tapi lebih cenderung kurus ini."Dia Lea," serobot Vin mendahului Lea. "Asistenku," imbuh Vin enteng memulai perkenalan."Why are you kissed her?!" "Well..." Lea jadi ketarik ikutan ngomong engli
"Foto apa maksudnya?" Lea masih berupaya bersikap biasa, meski didalam, deg-degkannya luar biasa."Foto Presdir Vin mengenakan pakaian kemeja serba putih, dan kamu memakai gaun seperti gadis pedesaan Eropa.""La la lalu?" Lea mulai tergagap, refleks dari ketakutannya sendiri."Di foto itu terlihat Presdir Vin sedang membungkuk, menandatangani suatu dokumen diatas meja, dan di hadapan seseorang.""Aku?""Kamu hanya terlihat berdiri sendiri.""Mana fotonya? Apa kamu masih menyimpannya?" harap-harap cemas Lea, karena Winda juga hanya bercerita, bukan dengan menunjukkan keberadaan SS foto tersebut."Aku dibilangin Sofie, dia dikirimin seseorang tapi itu foto berwaktu, jadi setelah dibuka akan terhapus sendiri.""Terus, apa hubungannya sama maksudmu melindungiku dari manager Sofie?" Hal yang paling buat Lea penasaran."Sofie punya spekulasi kalau kamu dijadikan wanita...ehm, tahu lha, seperti yang pernah kamu cerita soal temanmu yang jadi resepsionis di apartemen khusus ekspatriat itu.""
Hal lain yang membuat puluhan pasang mata ini beralih pada pasangan yang baru keluar dari ruang meeting ini adalah tampilan Lea tanpa kacamatanya. Waktu menjelang jam pulang kantor, mungkin make up yang menghiasi wajah Lea memudar, tapi garis-garis kecantikan alaminya jadi lebih terlihat jelas ."Aku...mau pulang," tanggap Lea sekenanya, lalu berjalan cepat menyisir kumpulan orang di hadapannya dengan menunduk. "Permisi, Pak" ucap Lea saat melewati Vin yang tak lepaskan lirikan pada tiap gerak Lea."Ujang!" panggil Vin lantang. "Antarkan tamuku sampai ke mobilnya," perintahnya sebelum berikan senyuman pada Wilona, lalu berbalik setelah kepala OB itu berlari terkesiap di belakang Wilona dengan ekspresi riang."Siap, Boss!" Sedangkan di dalam ruangan asisten presdir, Lea masih gugup gemetaran, karena telah jadi pusat perhatian."Aduhh, kenapa Dani lebay gitu, sih?! Kan gue jadi malu!" sesalnya, kenapa ngeladenin Dani. Lea kembali panik, saat tak mendapati kacamatanya dimanapun, bahk
"Aku sih, yes."Winda menepuk pundak Lea lumayan keras, berharap teman dekatnya itu memberi jawaban yang sama."Lupakan kesalahan Dani, Lea. Mulai lagi dari awal, iya nggak, Dan?""Yes. Aku akui kesalahanku, dan juga alasanku melakukannya, jadi ku harap banget Lea bersedia menerimaku lagi."Winda dorong-dorong lembut lengan Lea, agar segera beri jawaban."Ayo bilang iya, apa susahnya, sih?!' kesalnya Winda akan ekspresi jutek Lea."Nggak sekarang, gue lebih mikirin mamaku. Minggu depan ada rencana operasi, jadi akhir minggu ini gue harus tungguin mama mulai opname di rumah sakit," curhat Lea, mengungkapkan salah satu alasan penyebab kemurungannya."Aku temani kamu jaga mamamu nanti, kita bisa gantian," usul Dani, tentu saja ada udang di balik batu, demi bisa selalu dekat dengan Lea, sekaligus mencari perhatian ibunya."Asyiikk. Senengnya kalau lihat sepasang kekasih, akhirnya akur lagi. Hilangin aja deh, drama-drama sama orang-orang nggak penting di hidup kalian. Gue siap jadi penduku
Pada hari jumat malam seminggu kemudian. Lea berada sendirian di dalam kondominium Vin tanpa pemiliknya. Vin harus terbang ke Italia tanpanya selasa lalu bersama dua teman prianya, karena ada keinginan dari salah satu calon investor untuk segera menandatangani perjanjian kerjasama, selain masa pengalihan dan pengucuran dana warisan dari Anthony juga sedang dalam proses, larena Vin telah selesaikan masalah dengan Helena sesuai amanat ayahnya tersebut, selain telah menikah dan akan memiliki anak. Lea meninggalkan kantor, dan menemui ibunya sebentar, sebelum akhirnya kini di depan deretan koper yang telah siap menemaninya menempuh perjalanan jauh. Morgan belum menjemput totak waktu yang di butuhkan lima belas menit untuk mengulur-ulur waktu sedikit, Lea membuka ponsel di bagian note dan memeriksa lagi. 1. Tiket pesawat ( Aku sudah melakukannya sekaligus mengkonfirmasinya. Dua kali ) 2. Memesan executive lounge bandara ( Juga sudah mengkonfirmasi dua kali ) 3. Berkemas ( Baru se
Pagi tidak lebih baik. Lea berguling turun dari ranjang pagi-pagi. Seminggu sudah telah berlalu dari kejadian yang penuh dramatis. Matahari bersinar melewati jarak antara dua gorden jendela kaca berukuran lumayan besar di kondominium milik Vin. Lea beralih ke dapur membuat susu coklat hangat. Vin masih tidur, dan kemungkinan tidak akan bangun untuk sejam dua jam ke depan. Lea melirik meja ruang tamu, botol kosong minuman kaleng beraneka macam masih di sana, sebagian adalah beralkohol. Dua teman pria kebangsaan Italia Vin semalam jadi penghisap hampir semuanya. Entah mereka berjalan kaki dari Italia ke Indonesia atau apa. yang pasti di atas meja ruang tamu sana benar-benar kacau dengan berbagai bekas makanan dan minuman berserakan. Mereka bertiga nampaknya sudah tak kuat bahkan untuk membuangnya ke dalam sampah karena sibuk bercanda berlanjut rasa kantuk di sertai setengah mabuk. Lea kemudian meringis membayangkan percakapan yang akan mereka lakukan. Secangkir susu coklat hanga
"Natalie?" Lea terkejut. Gadis muda berusia tak jauh dari dirinya itu tampak berpenampilan kusut tidak seperti biasanya, bahkan tidak ada pulasan kosmetik apapun sebagai make up semakin mempercantik diri. "Ngapain dia ke sini? Dia nggak lagi bangun tidur, kan?" pertanyaan canda Lea menatap bergantian antara Vin dan Natalie. Beberapa detik lalu Lea berada agak menjauh dari Vin untuk menghindari berinteraksi dengan Helena, tapi karena kehadiran tak terduga dari Natalie ini, membuatnya mendekati Vin dan berbicara berbisik untuk mencari tahu. Tatapan sembab dari bawah mata yang bengkak, membuat Vin spontan jadi bersikap awas. Di dorong Lea agar lebih mundur dan di posisikan tepat di belakang punggungnya, karena Vin menyadari tatapan Natalie menyorot di sekitar dia berdiri. "Tante Helena!" Mendengar nama ini di sebut dan di ketahui keberadaan posisinya, beberapa baris kerumunan tamu bergerak menyisir memberi jalan buat Natalie agar bisa melihat apa yang akan dia lakukan juga. "Na
"Kamu nggak apa-apa, kan Sayang?" Kedua mata Lea terbelalak. Di hadapannya adalah pria tampan mengenakan seragam bodyguard serba hitam berikut kacamata berwarna senada juga. Memang seperti orang lain, tapi sebagai istri yang selalu bersama dari pagi sampai malam, Lea yakin pria penyelamat di hadapannya ini adalah Vin. "Ka kamu ngapain dandan begini?" Lea masih sempatnya bertanya di saat suasana jadi riuh, bahkan terdengar teriakan-teriakan agar ruangan hall segera di amankan. Pria tersebut perlahan membawa Lea bangkit dengan di dudukkan, perut Lea di elus-elus. Kekhawatiran merambat pada bagian tubuh Lea dimana sempat di rasakannya ada gerakan. "Demi anak kita ini. Maaf kalau buatmu kaget, tapi berhasilkan. Dugaanmu benar, keamanan buatmu tidak cukup mengandalkan Morgan saja." "Pak Presdir .... Pak Presdir Vin .... anda tidak apa-apa?!" pekikan berganti terdengar dari pria lain. Dia adalah Sekretaris Li, yang berdiri tak jauh dari keduanya berada. Vin berganti ulurkaj t
Kasak-kusuk terjadi lebih ramai dari sebelumnya. Ucapan santai Lea jadi pemicu rasa ingin tahu dari tamu undangan yang merupakan para pemegang saham dari perusahaan-perusahaan dari pengelolaan keluarga Dharmawan. Helena kembali berdiri. Berbeda dari aksi sebelumnya, kali ini Helena tampak lebih kusut, wajahnya merah karena amarahnya lebih memuncak. "Ini acara pengambilan voting, bukannya cari panggung buat hal yang nggak ada bukti dan dasarnya apa kayak begini. Kamu jangan sok ya. Kamu itu orang baru. Nggak ngerti apa-apa!" Lea tak menggubris. Seperti apa yang di instruksikan oleh Vin, agar dirinya tetap tenang dalam menanggapi tiap kelakuan Helena, tidak mudah terprovokasi dengan setiap nada tinggi Helena yang berkesan memojokkan. "Slide-slide selanjutnya memang berkesan tidak ada hubungannya dengan acara ini, tapi di sini kami inginkan siapa saja jadi terbuka matanya, tentang siapa yang sebenarnya bersalah dan siapa yang sering di jadikan kambing hitam. Sekali lagi ini semua
Di sebuah hall terletak di dalam hotel bintang lima, tamu undangan sudah mulai memadati tempat acara. Perhelatan yang sebenarnya akan di laksanakan bulan depan itu, nyatanya di majukan secara mendadak dengan alasan karena keperluan mendesak. Acara awal protokoler tengah di laksanakan. Seirang wanita jadi pusat perhatian di saat sesi sambutan sedang di jadikan awal dari pembicaraan mengenai Vin, sang presdir utama. "Kubu pertama yaitu mosi tidak percaya dan minta agar jabatan presdir di copot untuk di berikan pada saya, sudah dapat banyak dukungan meskipun perolehan suara belum di laksanakan, jadi saya harapkan rekan sekalian bisa menentukan pilihan sesuai dengan logika. Perusahaan ini butuh orang-orang berpengaruh kuat. Bukannya hanya mengandalkan cara kepemimpinan yang katanya revolusioner tapi ternyata bangak pihak yang tidak senang." Helena ungkapkan sesuatu dengan kesan menyindir lawan pemilihannya, yaitu Vin. Tepuk tangan bergema setelahnya, bahkan ada yang dengan berdiri,
Sampai semalaman Lea berusaha mengorek apa rencana yang sedang Vin simpan, tetap saja Lea tak mendapatkan jawaban. Walaupun sudah melayani bercinta dengan gegap gempita, berharap Vin akan lengah lalu bercerita, namun tetap saja tak temukan hasil. Vin masih saja bungkam. Di waktu weekend, Lea membantu Vin untuk keberangkatan ke Italia. Sampai itupun, Vin belumjuga berikan jawaban akan rencananya. Vin selalu menggadang-gadang kalau yang mengetahu isi rencananya itu hanya otaknya saja. Leapun akhirnya menyerah, sudah tak bertanya lagi bila sudah tahu akan jawabannya apa. "Lama banget ke Italianya?" protesan Lea setelah selesai membantu Vin menyiapkan packing segala keperluan di dalam satu koper besar dengan sistem penutup memakai kode tertentu. "Kan ada Mama. Kamu ada temennya. Bukannya kemarin-kemarin ribut minta di temeni Mamamu?" pengingat Vin dan di jawab anggukan oleh Lea. "Tapikan tetep aja beda kalau nggak ada kamu," sedihnya Lea. Di letakkan sebuah buku bertuliskan logo d
"Aku bertemu sama pengacaraku." Morgan sudah mengatakannya, tapi bila alasannya itu keluar dari mulut Vin sendiri, maka jadi perbedaan tersendiri bagi seorang wanita termasuk Lea. "Beneran ketemu pengacara? Kamu nggak sedang main samdiwara sama Morgan, kan? Takutnya sudah kasih perintah biar bilang sama akunya temui pengacara, tapi ternyata temui wanita lain," omel Lea seperti telah mendapat peringatan secara naluri. "Hmm ... menemui pengacaraku dan juga seorang wanita." Lea menoleh dan menatap Vin sambil melotot. Rasanya akan sulit bagi Vin, bila naluri kuat Lea seperti yang di miliki para wanita pada umumnya untuk di jadikan awal dari sebuah kebohongan. "Tuh kan sama cewek, sudah ku duga!" bentak Lea. "Siapa dia? Awas kalau memang sama cewek bilangnya ke aku cuma temen atau kolega bisnis, tapi diem-diem main api di belakang. Sudah biasa itu kayak di medsos-medsos!" tak terimanya Lea. Vin semakin tertawa kencang. Tak menyangka kalau lea cemburu lebih galak daripada singa
"Hai Sayang." Sapaan dari Vin yang segera di tanggapi Lea dengan pelukan. "Kamu kemana saja? Nggak tahu apa, aku khawatir banget!" omelan Lea setelah melepaskan rengkuhan hangat namun singkatnya. "Banyak orang mencarimu, habis kamu nggak aktifin ponselmu," imbuh Lea mencari tahu. "Aku sedang jalan-jalan," jawab Vin santai. Bersama kawalan dari Morgan dan beberapa pengawal anak buah Morgan, Vin membawa Lea ke ruangan pertemuan utama gedung dengan merubah ekspresinya jadi dingin dan kaku, berbeda jauh saat bertemu Lea tadi. Tatapan Vin lurus ke depan, selain belum ada yang berani menyapa atau mengajaknya bicara, Vin juga nggak berminat di ajak bicara sampai ada yang memulai. Ini adalah bentuk aksi kekecewaan Vin ketika loyalitas bawahannya telah membuatnya jadi turunkan rasa kepercayaannya. Setelah Vin duduk di kursi utama ruanga pertemuan, dalam beberapa menit suasana hening, dengan sikap tenang, Vin menunggu dengan sabar tiap orang di ruangan tersebut mencari tempat duduk, k