"Foto apa maksudnya?" Lea masih berupaya bersikap biasa, meski didalam, deg-degkannya luar biasa."Foto Presdir Vin mengenakan pakaian kemeja serba putih, dan kamu memakai gaun seperti gadis pedesaan Eropa.""La la lalu?" Lea mulai tergagap, refleks dari ketakutannya sendiri."Di foto itu terlihat Presdir Vin sedang membungkuk, menandatangani suatu dokumen diatas meja, dan di hadapan seseorang.""Aku?""Kamu hanya terlihat berdiri sendiri.""Mana fotonya? Apa kamu masih menyimpannya?" harap-harap cemas Lea, karena Winda juga hanya bercerita, bukan dengan menunjukkan keberadaan SS foto tersebut."Aku dibilangin Sofie, dia dikirimin seseorang tapi itu foto berwaktu, jadi setelah dibuka akan terhapus sendiri.""Terus, apa hubungannya sama maksudmu melindungiku dari manager Sofie?" Hal yang paling buat Lea penasaran."Sofie punya spekulasi kalau kamu dijadikan wanita...ehm, tahu lha, seperti yang pernah kamu cerita soal temanmu yang jadi resepsionis di apartemen khusus ekspatriat itu.""
Hal lain yang membuat puluhan pasang mata ini beralih pada pasangan yang baru keluar dari ruang meeting ini adalah tampilan Lea tanpa kacamatanya. Waktu menjelang jam pulang kantor, mungkin make up yang menghiasi wajah Lea memudar, tapi garis-garis kecantikan alaminya jadi lebih terlihat jelas ."Aku...mau pulang," tanggap Lea sekenanya, lalu berjalan cepat menyisir kumpulan orang di hadapannya dengan menunduk. "Permisi, Pak" ucap Lea saat melewati Vin yang tak lepaskan lirikan pada tiap gerak Lea."Ujang!" panggil Vin lantang. "Antarkan tamuku sampai ke mobilnya," perintahnya sebelum berikan senyuman pada Wilona, lalu berbalik setelah kepala OB itu berlari terkesiap di belakang Wilona dengan ekspresi riang."Siap, Boss!" Sedangkan di dalam ruangan asisten presdir, Lea masih gugup gemetaran, karena telah jadi pusat perhatian."Aduhh, kenapa Dani lebay gitu, sih?! Kan gue jadi malu!" sesalnya, kenapa ngeladenin Dani. Lea kembali panik, saat tak mendapati kacamatanya dimanapun, bahk
"Aku sih, yes."Winda menepuk pundak Lea lumayan keras, berharap teman dekatnya itu memberi jawaban yang sama."Lupakan kesalahan Dani, Lea. Mulai lagi dari awal, iya nggak, Dan?""Yes. Aku akui kesalahanku, dan juga alasanku melakukannya, jadi ku harap banget Lea bersedia menerimaku lagi."Winda dorong-dorong lembut lengan Lea, agar segera beri jawaban."Ayo bilang iya, apa susahnya, sih?!' kesalnya Winda akan ekspresi jutek Lea."Nggak sekarang, gue lebih mikirin mamaku. Minggu depan ada rencana operasi, jadi akhir minggu ini gue harus tungguin mama mulai opname di rumah sakit," curhat Lea, mengungkapkan salah satu alasan penyebab kemurungannya."Aku temani kamu jaga mamamu nanti, kita bisa gantian," usul Dani, tentu saja ada udang di balik batu, demi bisa selalu dekat dengan Lea, sekaligus mencari perhatian ibunya."Asyiikk. Senengnya kalau lihat sepasang kekasih, akhirnya akur lagi. Hilangin aja deh, drama-drama sama orang-orang nggak penting di hidup kalian. Gue siap jadi penduku
"Aku nguping."Jawaban serampangan Lea, dalam hati merutuki diri, karena akhir-akhir ini membuat kebohongan jadi suatu kebiasaan."Nggak sengaja denger Pak Vin ngomong, tapi nggak tahu siapa gadis satu-satunya diq tiduric tambahnya nyengir."Masa, sih? Aku kok nggak percaya. Pria sekelas dan seplayboy dia, masa nggak suka celap-celup sana-sini.""Aku kenyang." Lea menaruh sendok makan disisi piring. Kehadiran dan pembicaraan soal Vin, membuatnya jadi tak selera makan."Kan baru makan separuh?" Dani hanya bisa pasrah saat Lea menggeser piring ke samping piringnya. "Tuh kan, aku jadi tempat sampah, kan," gerutunya.Lea tertawa, diambil gelas minumannya seraya berkata, "Kan memang seperti ini biasanya, katamu biar membentuk otot-ototmu habis ngegym," alasan Lea sembari memperhatikan lengan Dani yang memang rajin merawat tubuh. Dani adalah tipe wanita metroseksual tulen."Kan demi kamu, cantik."Lea segera meneguk minumannya. Pujian Dani tak serta-merta membuatnya senang. Sudah terlanjur
Lea hanya bisa menatap baju yang sudah buatnya jatuh cinta pertama kali itu dengan pasrah, sampai suara bernada dingin dari pria paling dikenalnya itu terdengar."Nyonya. Anda tidak bisa melakukannya!" protes Vin lantang, tapi masih berusaha sopan. "Baju itu sudah dipilih orang lain!" imbuhnya.Wanita cantik nan berpenampilan kaya itu terpaku sesaat saat Vin yang bicara.Siapa yang tak akan terkesima, dengan wajah tampan Vin, beserta mata berwarna hazel nan teduhnya ini, terutama para kaum hawa."Hai, anak muda. Kamu gentleman sekali, membela orang lain, tapi sayang, tidak tepat sasaran. Tidak bisakah kamu lihat dia?" Wanita itu masih saja berusaha menjatuhkan Lea, seolah tak terima kalau harus bersaing dengan gadis berpenampilan biasa seperti Lea ini. "Dia hanya--""Bagaimanapun, dia yang pertama memilih baju itu," sela Vin. "Berikan padanya," perintah Vin kemudian. Tak ada balasan senyuman, meski sang wanita jelas-jelas terlihat mengagumi Vin beserta penampilannya."Eh, mbak. Kamu
Beberapa menit didalam mobil MPV mewah milik Vin, Lea beranikan diri bertanya, karena rasanya canggung banget ketika suasana sepi dengan atasan sendiri."Ehm, maaf Pak. Mau tanya?" ujar Lea setengah mati takutnya, sampai diremas-remas tali tas yang ada diatas pangkuannya."Hmm?"Lea teguk saliva kasar, tanggapan secuil Vin buatnya makin deg-degkan. Sudah ada bayangan akan jawaban Vin, tapi Lea merasa perlu untuk tahu, sebab berkenaan dengan pekerjaannya juga."Kliennya mana, Pak?" tanya Lea lirih."Sudah pulang!"Lea beranikan menoleh. Mobil mewah, gerak laju tanpa suara, justru buat suasana didalam hanya berduaan begini, jadi berkali lipat bikin deg-degkan."Kalau boleh tahu, pulang kemana ya, Pak? Ke negaranya?" tanya Lea kikuk."Kepo amat, sih!""Oh, maaf kalau begitu. Saya hanya mengira, ada yang perlu saya kerjakan untuk klien anda atau tidak.""Bukan untuk klien, tapi untukku!""Untuk...anda?""Iya!""Baik." Lea jadi illfil, karena tiap jawaban Vin ngegas terus, sehingga dia re
Dalam kuncian tubuh Vin, Lea bisa rasakan deru napas yang sama seperti malam pertama kali mereka bercinta.Bau wangi parfum dan mint dari tiap ucapan Vin, membuat Lea seakan semakin terbuai, terlebih saat Vin lebih mendekatkan wajah tampannya disertai tatapan berkobar sekaligus teduh, Leapun tak bisa lagi mengontrol diri.Sedekap tangan yang sedianya dia gunakan agar berjarak dengan Vin, akhirnya dilepaskan. Lea berniat meraih kaos model polo yang Vin kenakan, tapi ternyata perkiraannya salah."Ganti bajumu dengan ini." Vin sodorkan sebuah kaos oblong warna putih, bertuliskan 'Italy dan celana gym pendek untuk Lea.Lea kerjapkan kedua matanya, berusaha menyadarkan diri dari awang yang terlalu tingginya."Hah?" jawabnya spontan."Hah huh hah aja bisanya!" geram Vin. "Kamarmu ada disebelahku, ganti bajunya disana," perintahnya kemudian, setelah berikan kaos yang sejatinya dia sembunyikan di belakang tangan.Vin berbalik setelah berikan kaos di toko souvenir di bandara saat akan pulang
Vin naikkan dagu Lea, karena merasa telah mendapatkan ijin dari Lea, Vinpun ingin membuat posisi yang lebih nyaman untuk mereka berdua. Vin mendorong tubuh Lea perlahan agar bisa berposisi terbaring di bawah kungkungan tubuhnya, sehingga kini, Lea tertindih tubuh atletis Vin.."Aku...nggak sanggup....menahan."Ungkapan lirih Vin ini semakin membuat Lea terbuai. Hilang sudah teori-teori pertahanan ala wanita teguh iman yang baru terucap beberapa menit berselang.Persetan. Lea tak bisa pungkiri, memang sulit menolak sentuhan Vin. Mereka berdua juga telah menikah, pikir Lea.Tatapan sayu Vin bersambut anggukan Lea, sebagai balasan persetujuan akan apa yang Vin katakan, juga yang akan dia lakukan padanya.Vin cium kening Lea untuk pertama kali, lalu turun ke kedua matanya, sehingga keduanya kini sengaja Le pejamkan. Ciuman Vin berlanjut pada bibir mungil nan penuh Lea. Tidak lagi satu kecupan lembut di awal seperti sebelum-sebelumnya, namun Vin berikan sentuhan lebih membara. Posisi be
Pada hari jumat malam seminggu kemudian. Lea berada sendirian di dalam kondominium Vin tanpa pemiliknya. Vin harus terbang ke Italia tanpanya selasa lalu bersama dua teman prianya, karena ada keinginan dari salah satu calon investor untuk segera menandatangani perjanjian kerjasama, selain masa pengalihan dan pengucuran dana warisan dari Anthony juga sedang dalam proses, larena Vin telah selesaikan masalah dengan Helena sesuai amanat ayahnya tersebut, selain telah menikah dan akan memiliki anak. Lea meninggalkan kantor, dan menemui ibunya sebentar, sebelum akhirnya kini di depan deretan koper yang telah siap menemaninya menempuh perjalanan jauh. Morgan belum menjemput totak waktu yang di butuhkan lima belas menit untuk mengulur-ulur waktu sedikit, Lea membuka ponsel di bagian note dan memeriksa lagi. 1. Tiket pesawat ( Aku sudah melakukannya sekaligus mengkonfirmasinya. Dua kali ) 2. Memesan executive lounge bandara ( Juga sudah mengkonfirmasi dua kali ) 3. Berkemas ( Baru se
Pagi tidak lebih baik. Lea berguling turun dari ranjang pagi-pagi. Seminggu sudah telah berlalu dari kejadian yang penuh dramatis. Matahari bersinar melewati jarak antara dua gorden jendela kaca berukuran lumayan besar di kondominium milik Vin. Lea beralih ke dapur membuat susu coklat hangat. Vin masih tidur, dan kemungkinan tidak akan bangun untuk sejam dua jam ke depan. Lea melirik meja ruang tamu, botol kosong minuman kaleng beraneka macam masih di sana, sebagian adalah beralkohol. Dua teman pria kebangsaan Italia Vin semalam jadi penghisap hampir semuanya. Entah mereka berjalan kaki dari Italia ke Indonesia atau apa. yang pasti di atas meja ruang tamu sana benar-benar kacau dengan berbagai bekas makanan dan minuman berserakan. Mereka bertiga nampaknya sudah tak kuat bahkan untuk membuangnya ke dalam sampah karena sibuk bercanda berlanjut rasa kantuk di sertai setengah mabuk. Lea kemudian meringis membayangkan percakapan yang akan mereka lakukan. Secangkir susu coklat hanga
"Natalie?" Lea terkejut. Gadis muda berusia tak jauh dari dirinya itu tampak berpenampilan kusut tidak seperti biasanya, bahkan tidak ada pulasan kosmetik apapun sebagai make up semakin mempercantik diri. "Ngapain dia ke sini? Dia nggak lagi bangun tidur, kan?" pertanyaan canda Lea menatap bergantian antara Vin dan Natalie. Beberapa detik lalu Lea berada agak menjauh dari Vin untuk menghindari berinteraksi dengan Helena, tapi karena kehadiran tak terduga dari Natalie ini, membuatnya mendekati Vin dan berbicara berbisik untuk mencari tahu. Tatapan sembab dari bawah mata yang bengkak, membuat Vin spontan jadi bersikap awas. Di dorong Lea agar lebih mundur dan di posisikan tepat di belakang punggungnya, karena Vin menyadari tatapan Natalie menyorot di sekitar dia berdiri. "Tante Helena!" Mendengar nama ini di sebut dan di ketahui keberadaan posisinya, beberapa baris kerumunan tamu bergerak menyisir memberi jalan buat Natalie agar bisa melihat apa yang akan dia lakukan juga. "Na
"Kamu nggak apa-apa, kan Sayang?" Kedua mata Lea terbelalak. Di hadapannya adalah pria tampan mengenakan seragam bodyguard serba hitam berikut kacamata berwarna senada juga. Memang seperti orang lain, tapi sebagai istri yang selalu bersama dari pagi sampai malam, Lea yakin pria penyelamat di hadapannya ini adalah Vin. "Ka kamu ngapain dandan begini?" Lea masih sempatnya bertanya di saat suasana jadi riuh, bahkan terdengar teriakan-teriakan agar ruangan hall segera di amankan. Pria tersebut perlahan membawa Lea bangkit dengan di dudukkan, perut Lea di elus-elus. Kekhawatiran merambat pada bagian tubuh Lea dimana sempat di rasakannya ada gerakan. "Demi anak kita ini. Maaf kalau buatmu kaget, tapi berhasilkan. Dugaanmu benar, keamanan buatmu tidak cukup mengandalkan Morgan saja." "Pak Presdir .... Pak Presdir Vin .... anda tidak apa-apa?!" pekikan berganti terdengar dari pria lain. Dia adalah Sekretaris Li, yang berdiri tak jauh dari keduanya berada. Vin berganti ulurkaj t
Kasak-kusuk terjadi lebih ramai dari sebelumnya. Ucapan santai Lea jadi pemicu rasa ingin tahu dari tamu undangan yang merupakan para pemegang saham dari perusahaan-perusahaan dari pengelolaan keluarga Dharmawan. Helena kembali berdiri. Berbeda dari aksi sebelumnya, kali ini Helena tampak lebih kusut, wajahnya merah karena amarahnya lebih memuncak. "Ini acara pengambilan voting, bukannya cari panggung buat hal yang nggak ada bukti dan dasarnya apa kayak begini. Kamu jangan sok ya. Kamu itu orang baru. Nggak ngerti apa-apa!" Lea tak menggubris. Seperti apa yang di instruksikan oleh Vin, agar dirinya tetap tenang dalam menanggapi tiap kelakuan Helena, tidak mudah terprovokasi dengan setiap nada tinggi Helena yang berkesan memojokkan. "Slide-slide selanjutnya memang berkesan tidak ada hubungannya dengan acara ini, tapi di sini kami inginkan siapa saja jadi terbuka matanya, tentang siapa yang sebenarnya bersalah dan siapa yang sering di jadikan kambing hitam. Sekali lagi ini semua
Di sebuah hall terletak di dalam hotel bintang lima, tamu undangan sudah mulai memadati tempat acara. Perhelatan yang sebenarnya akan di laksanakan bulan depan itu, nyatanya di majukan secara mendadak dengan alasan karena keperluan mendesak. Acara awal protokoler tengah di laksanakan. Seirang wanita jadi pusat perhatian di saat sesi sambutan sedang di jadikan awal dari pembicaraan mengenai Vin, sang presdir utama. "Kubu pertama yaitu mosi tidak percaya dan minta agar jabatan presdir di copot untuk di berikan pada saya, sudah dapat banyak dukungan meskipun perolehan suara belum di laksanakan, jadi saya harapkan rekan sekalian bisa menentukan pilihan sesuai dengan logika. Perusahaan ini butuh orang-orang berpengaruh kuat. Bukannya hanya mengandalkan cara kepemimpinan yang katanya revolusioner tapi ternyata bangak pihak yang tidak senang." Helena ungkapkan sesuatu dengan kesan menyindir lawan pemilihannya, yaitu Vin. Tepuk tangan bergema setelahnya, bahkan ada yang dengan berdiri,
Sampai semalaman Lea berusaha mengorek apa rencana yang sedang Vin simpan, tetap saja Lea tak mendapatkan jawaban. Walaupun sudah melayani bercinta dengan gegap gempita, berharap Vin akan lengah lalu bercerita, namun tetap saja tak temukan hasil. Vin masih saja bungkam. Di waktu weekend, Lea membantu Vin untuk keberangkatan ke Italia. Sampai itupun, Vin belumjuga berikan jawaban akan rencananya. Vin selalu menggadang-gadang kalau yang mengetahu isi rencananya itu hanya otaknya saja. Leapun akhirnya menyerah, sudah tak bertanya lagi bila sudah tahu akan jawabannya apa. "Lama banget ke Italianya?" protesan Lea setelah selesai membantu Vin menyiapkan packing segala keperluan di dalam satu koper besar dengan sistem penutup memakai kode tertentu. "Kan ada Mama. Kamu ada temennya. Bukannya kemarin-kemarin ribut minta di temeni Mamamu?" pengingat Vin dan di jawab anggukan oleh Lea. "Tapikan tetep aja beda kalau nggak ada kamu," sedihnya Lea. Di letakkan sebuah buku bertuliskan logo d
"Aku bertemu sama pengacaraku." Morgan sudah mengatakannya, tapi bila alasannya itu keluar dari mulut Vin sendiri, maka jadi perbedaan tersendiri bagi seorang wanita termasuk Lea. "Beneran ketemu pengacara? Kamu nggak sedang main samdiwara sama Morgan, kan? Takutnya sudah kasih perintah biar bilang sama akunya temui pengacara, tapi ternyata temui wanita lain," omel Lea seperti telah mendapat peringatan secara naluri. "Hmm ... menemui pengacaraku dan juga seorang wanita." Lea menoleh dan menatap Vin sambil melotot. Rasanya akan sulit bagi Vin, bila naluri kuat Lea seperti yang di miliki para wanita pada umumnya untuk di jadikan awal dari sebuah kebohongan. "Tuh kan sama cewek, sudah ku duga!" bentak Lea. "Siapa dia? Awas kalau memang sama cewek bilangnya ke aku cuma temen atau kolega bisnis, tapi diem-diem main api di belakang. Sudah biasa itu kayak di medsos-medsos!" tak terimanya Lea. Vin semakin tertawa kencang. Tak menyangka kalau lea cemburu lebih galak daripada singa
"Hai Sayang." Sapaan dari Vin yang segera di tanggapi Lea dengan pelukan. "Kamu kemana saja? Nggak tahu apa, aku khawatir banget!" omelan Lea setelah melepaskan rengkuhan hangat namun singkatnya. "Banyak orang mencarimu, habis kamu nggak aktifin ponselmu," imbuh Lea mencari tahu. "Aku sedang jalan-jalan," jawab Vin santai. Bersama kawalan dari Morgan dan beberapa pengawal anak buah Morgan, Vin membawa Lea ke ruangan pertemuan utama gedung dengan merubah ekspresinya jadi dingin dan kaku, berbeda jauh saat bertemu Lea tadi. Tatapan Vin lurus ke depan, selain belum ada yang berani menyapa atau mengajaknya bicara, Vin juga nggak berminat di ajak bicara sampai ada yang memulai. Ini adalah bentuk aksi kekecewaan Vin ketika loyalitas bawahannya telah membuatnya jadi turunkan rasa kepercayaannya. Setelah Vin duduk di kursi utama ruanga pertemuan, dalam beberapa menit suasana hening, dengan sikap tenang, Vin menunggu dengan sabar tiap orang di ruangan tersebut mencari tempat duduk, k