Melirik sekilas jam yang menempel di dinding kantor. Rupanya jam kantor telah berakhir.
Tak lama, tatapanku beralih ke suara yang berasal dari arah pintu. Rupanya Alina yang mengetuk."Ya, masuklah.""Tuan belum pulang?" tanyanya sembari meletakkan sebuah kotak makanan."Ya, sebentar lagi," jawabku sambil meregangkan tubuh. "Ini apa?" tanyaku melihat sesuatu yang ditaruh di atas meja."Makanan Tuan. Saya lihat, Anda hanya makan siang sedikit tadi.""Hem? Kamu melihatnya?""Ahm, ya kebetulan saya tadi juga makan siang di sana. Hanya saja tidak berani mengganggu." Perempuan itu bicara dengan sopan."Ouh." Aku manggut-manggut. "Oya, soal surat yang kamu serahkan." Kuambil surat milik Alina yang sudah kusimpan dalam laci dan menaruhnya di atas meja."Ya Tuan?" Dia tampak heran."Maaf, aku mencintai istriku. Kamu tau kan aku sudah beristri.""Istri yang mana Tuan?" Alina tampaknya sangat penasaran, dari dua alisnya yang terangkat saat menatapku."Hah?" Ah ya, aku baru sadar, bahwa istriku ada dua. Yumna dan Bianca."Eum, tentu saja kamu tau." Aku enggan menyebut nama salah satu dari mereka. Meski kentara bahwa yang kucintai adalah Bianca."Apa Tuan ...." Ucapan Alina yang kecewa tergantung, saat seseorang datang tergesa di depan pintu.Kami berdua pun menoleh ke asal suara. Dan Pak Jim sudah berdiri di sana."Ada apa?" tanyaku pada pria yang tampak khawatir itu."Eum. Kalau begitu saya permisi." Alina berpamitan. "Oya, ini laporan selama saya menemani Nyonya Bianca." Alina berpamitan sekalian meletakan sebuah map berisi laporannya mengawal Yumna selama ini seminggu terakhir.Yumna meminta izin meneruskan kuliah, dan kini sudah kembali terdaftar sebagai mahasiswi tarbiyah di tempatnya dulu sempat terminal, ambil cuti atau malah berniat berhenti karena tak ada biaya. Bagiku itu tak masalah, asal dia bisa profesional mengerjakan tugasnya sebagai Nyonya Devian di sisiku.Begitu Alina keluar, Pak Jim berjalan mendekat padaku. Benar-benar dekat, sampai aku harus menahan napas saat mencium bau keringat bercampur parfum yang dia gunakan."Ada apa? Kenapa Bapak terlihat takut begitu?""Bukan takut Tuan. Tapi ... Em, itu. Soal ibunya Nyonya Bianca.""Ada apa dengan ibunya?""Saya mendapat laporan, bahwa seorang perawat menemukan ampul obat bius di kamarnya. Tapi pihak rumah sakit menutupi sembari menyelidikinya.""Apa? Bagaimana bisa?" Tentu aku sangat terkejut."Saya tidak tahu, hanya saja orang suruhan saya melaporkan hal itu.""Apa Yumna sudah melihat ibunya?"Pak Jim menggeleng. "Bukankah Tuan melarangnya, dan belum memberi izin sampai sekarang." Pria itu mengucap lesu seolah sangat kasihan pada kondisi ibu dan anak itu."Ah, ya sudah. Tolong rapikan ini." Aku menunjuk berkas di meja yang masih berantakan."Apa harus saya Tuan?" Pak Jim memasang tampang melas. Yah, dia pasti lelah karena seharian ini banyak tugas yang kulimpahkan padanya."Lalu siapa? Saya?" Mataku melebar. "Yah, itung-itung olahraga." Aku tersenyum tipis sambil menepuk pundaknya.Kudengar pria itu mengeluh pelan. "Nasib, jadi orang yang dipercaya, malah capek!"Lagi, aku hanya bisa menanggapinya dengan senyum selagi tangan bergerak memakai jas yang berada di atas kursi._______________Kuputuskan segera pergi memeriksa ibu Yumna di rumah sakit. Aku sangat khawatir. Yah, bukan karena perhatian pada gadis sombong itu, tapi khawatir pada posisiku sendiri. Karena kalau ibunya mati tak ada alasan untuk Yumna bertahan di sisiku.Tapi apa iya begitu? Ah, entahlah. Rasanya tak ada alasan untuk seorang Devian perhatian pada perempuan sombong sepertinya.Di dalam mobil kubuka map yang tadi Alina serahkan padaku. Di sana ada banyak foto-foto yang menunjukkan aktifitas Yumna selama berada di kampus. Dari saat dia duduk sendiri di taman, melapor bagian admin, belajar di kelas dan bicara di depan semua teman-temannya, juga saat dia makan. Semuanya tampak menarik, Yumna gadis dengan penampilan biasa, tapi kenapa bisa menghipnotis orang lain untuk berlama-lama memandangnya.Ada apa denganku? Apa aku baru saja memuji kecantikannya? Bullshit!Di foto terakhir, Yumna tengah serius membaca buku di perpustakaan. Namun, di foto lain dengan gambar yang nyaris sama, gadis itu tengah memerhatikan sosok seorang pria yang duduk tak jauh darinya. Lelaki yang tampak rapi, tenang dan ... tampan. Hei, siapa pria itu? Kenapa tatapan Yumna seperti itu? Apa dia menyukainya?Refleks tangan kananku memegang dada kiri, ada yang teremas sakit di sini.________Aku kira Yumna sejak awal sudah menyukai dan mengharapkanku. Sebab kalau dipikir, pernikahan ganda dalam agamanya, maksudku agamaku juga, adalah pernikahan halal, sah-sah saja. Jadi tak masalah dia menjadi yang kedua dan mencintai suaminya dengan sepenuh hati seperti di cerita-cerita viral, bagaimana pernikahan poligami perempuan-perempuan berhijab syari.Kukira Yumna hanya jaim, dan merasa sombong saja. Ck aku terlalu percaya diri.Apa mereka hanya pura-pura? Dan aslinya seperti Yumna? Ah, kenapa aku jadi kesal? Merasa terlalu percaya diri. Lagipula mana mungkin, dia tertarik pada pria kasar sepertiku? Jelas saja mahasiswa di dalam foto ini adalah tipenya.Sebentar, sebentar!Ada apa denganmu Dev? Kamu cemburu?Oh tidak! Itu tidak mungkin!Pasti karena aku merasa kesal karena kegantenganku tidak bisa mempengaruhi hatinya, bukan karena aku diam-diam tanpa sadar menaruh hati padanya. Ya, pasti karena itu.Karena itu juga aku suka sekali melihat wajah jengkelnya ketika aku menciumnya. Hahaha. Aku menikmati itu."Hahaha."Tawaku rupanya membuat pergerakan orang yang sedang menyetir mobil. Pria itu menatapku dari kaca spion. Duh, apa aku disangka psikopat olehnya.Kuhentikan tawa dan tersenyum manis pada sopir tersebut. Karenanya dia jadi manggut-manggut tak enak."Pak, agak cepat, ya. Saya sudah penasaran sama keadaan ibunya Yumna.""Baik, Tuan.""Oya, tolong jangan kasih tau dia kalau saya ke rumah sakit, jangan juga ngobrol dengan pelayan. Aku lihat dia akrab dengan pelayan-pelayan.""Baik, Tuan. Em, maaf tapi kalau boleh tau maksud Tuan saya tidak boleh bicara pada siapa? Nyonya Bianca?""Bukan Nyonya Yumna.""Hem?" Sopir itu tampak bingung. Menggaruk kepala yang tak gatal."Eum. Maksudku, iya. Nyonya Yumna." Heuh. Untuk sesat aku lupa, meminta semua orang memanggil Yumna sebagai Nyonya Bianca."Ya, Tuan. Baik. Maafkan saya.""Kenapa Bapak minta maaf di saat tidak melakukan kesalahan?" Aku mendecih. Menyandar punggung ke kursi dan menatap ke luar jendela, sambil merapikan foto-foto dan laporan yang kudapat dari Alina mengenai Yumna.Mobil akhirnya telah sampai ke rumah sakit. Begitu memasuki lobi, aku langsung mencari lift yang langsung membawaku ke ruangan VVIP.Di depan kamar ibu Yumna, aku bertemu dengan penjaganya. Seorang perempuan, seusia Yumna. Dialah yang Yumna pilih untuk merawat ibunya di rumah sakit.Aku bicara padanya sebentar, dan menekankan untuk tidak mengatakan apapun pada Yumna mengenai keadaan ibunya."Kamu tau sesuatu?""Maksud Tuan?" Gadis bernama Nadia itu tampak bingung."Sebab pingsannya ibu Yumna?""Karena syok, Tuan. Saya tidak tahu kenapa tetangga Yumna. Em, maksud saya Nyonya Yumna bicara tidak-tidak." Dia tampak khawatir.Oh, berarti dia tak tahu isu ampul bius. Tapi baguslah. Dengan begitu, Nadia tak akan bicara pada Yumna dan membuatnya khawatir hingga tidak fokus menjalankan tugasnya sebagai Nyonya Bianca.Aku pun masuk ke dalam, melihat keadaan ibu mertuaku itu. Sekilas tak ada masalah pada kondisinya, dia sedang tertidur pulas. Entah, karena efek koma dari pingsannya atau obat bius yang bekerja dalam tubuhnya.Tapi, kadar obat bius apa yang bertahan begitu lama? Bukankah itu bahaya untuk organ dalamnya? Aku tak boleh tinggal diam untuk hal ini.Selesai melihat kondisi ibu Yumna aku kembali memperingatkan Nadia agar tak bicara apa pun pada Yumna, bahwa CEO Angkasa Group mengunjungi ibunya._______________Sampai di rumah, hari sudah malam. Aku tak melihat Yumna berkeliaran di dalam rumah. Saat kutanyakan pada kepala pelayan, wanita paruh baya itu bilang, tadinya Yumna memang menungguku."Sepertinya Nyonya Bianca ingin bicara sesuatu yang sangat penting, Tuan.""Ingin bicara?"Pelayan itu mengangguk."Beliau sampai mondar-mandir lama di depan kamarnya. Tapi mungkin sekarang sudah tidur."Kuperhatikan angka di jam dinding. Benar saja sudah jam sebelas malam. Dia pasti kelelahan menungguku."Ya, sudah. Bibi istirahat saja. Besok juga dia pasti bicara.""Baik. Terimakasih, Tuan." Wanita tua itu akhirnya berlalu dari hadapan.Aku pun melangkah ke kamar melewati pintu Yumna yang tertutup rapat. Apa perlu aku mengetuk dan menenangkannya. Dia pasti ingin bicara soal ibunya.Ah, aa peduliku? Biar saja Yumna tidur. Dia tak boleh kelelahan, ada banyak pertemuan yang menunggunya._____________Sebelum sarapan Yumna memintaku bicara berdua. Tanpa banyak bicara, aku pun mengikuti langkahnya ke kamar. Dia pasti sudah penasaran apa yang terjadi dengan ibunya.Setelah pintu tertutup, Yumna melayangkan tangan ke wajahku. Apa ini? Dia menamparku lagi. Apa dia tahu tentang ibunya yang dibius? Dan menyalahkanku, karena berpikir itu perbuatan kotorku agar aku bisa menahan Yumna di sisiku?BersambungSebelum ke Bandara, aku mengatakan pada pelayan agar memindahkan semua barang Yuma ke kamarku. Entah, bagaimana reaksinya nanti. Aku tak peduli!Di sini aku suaminya dan dia istriku, jadi apapun itu, Yumna harus menurut.Dua puluh menit menunggu, aku mulai gelisah. Kedudukan sebagai orang nomor satu di perusahaan tidak memberi ruang untuk berleha-leha, atau membuang waktu. Sederet kegiatan sudah menunggu untuk dipenuhi di daftar skedulku.Aku berusaha duduk santai di kursi tunggu Bandara, sambil membuka-buka ponsel. Menunggu kedatangan orang tua. Di internet, aku mencari tahu bagaimana Yumna selama ini hidup dari akun-akun media sosialnya.Entah, sikapnya membuatku penasaran. Jangan salah, ini bukan penasaran karena jatuh cinta padanya. Mana mungkin seorang Devian jatuh cinta pada gadis yang sok alim, dengan pakaian tertutupnya. Sama sekali tak cantik. Yah, walau kadang tampak cantik juga sih.Dan hal yang membuatku tak bisa jatuh cinta pada Yumna karena keduanya sangat berbeda. Bianc
Untuk mempertahankan harga diri, akhirnya Yumna menarik kain penutup yang terbalut rapi pada kepalanya. Persis di hadapanku. Apa ini? Dia sengaja menggoda?***Kelakuan gadis itu sungguh di luar ekspektasi, ia bisa merasa sesenang sekarang setelah mengerjaiku. Namun, aku tak boleh lupa diri dan kembali fokus pada tujuan awal. Membuat Mama bisa menerima Yumna sebagai Bianca untuk sementara waktu. Sabar Dev, sabar. Hadapi Yumna dengan kepala dingin. Coba berdamai dengannya agar bisa mengatur rencana secara matang. Yah, kami adalah tim sekarang. Apa jadinya kalau karena kekesalanku padanya, terbawa perasaan dan menjadikan semua berantakan. Perlahan tanpa komando dariku, perempuan yang masih mengenakan gamis rapi sepulang dari kampus itu mendekat pada Mama."Assalamualaikum, Ma," ucapnya sembari meraih tangan Nyonya besar yang ekspresinya terlihat dingin, untuk mencium punggungnya disusul Papa yang berdiri di sampingnya. Papa tersenyum, beliau ini memang lebih kalem ketimbang Mama."
Kami saling tatap untuk beberapa saat. Gadis itu menatapku dalam, seolah keinginannya untuk tahu tentangku sangat besar. Di saat yang sama otakku berputar mencari cara agar Yumna tak menanyakan ini.Hingga kutemukan jawaban untuk mengalihkan perhatiannya."Hemh. Kamu terlalu banyak nonton drama, Nona!" Aku menyeringai. Melakukannya seolah pertanyaan konyolnya itu membuatku geli. "Apa pertanyaan itu muncul karena aku tak tertarik padamu?" Yes! Kata-kata ini sangat keren. Selain bisa menutup mulutnya, sekaligus aku bisa menyerang pribadi wanita tersebut."Apa!?" Yumna seolah terkejut. Meski pun itu benar, pasti akan sulit mengakuinya."Oh, bukannya saya kecewa, itu bukan masalah buat saya, Tuan. Lagi pula saya tidak menginginkan itu. Yah, sebenarnya banyak pria normal di luar sana yang mati-matian mengejar saya. Dan normalnya, seorang pria kalau sudah pernah begituan, dia tidak mungkin berpuasa terus-terusan." Dia jadi bicara melebar ke mana-mana."Ck. Kamu ngomong apa, sih?" Kusibak s
Ampuni hamba Tuhan. Setelah menyentuh sekretarisku, Alina, hamba janji akan bertobat. _______Ponselku bergetar saat di mobil. Dari Alina.[Apa sudah Tuan terima? Saya jadi tak sabar menunggu pekerjaan hari ini selesai Tuan.]"Hem, apa maksud Alina?" Aneh sekali gadis itu. Apa dia sedang membicarakan liburan di Bali? Hemm, jadi malam ini aku harus pamit kerja lembur? Heh. Tapi apa maksud sekretarisku, tentang aku sudah menerima apa belum? Apa dia mengirim sesuatu?Aku pun berniat menanyakan untuk memperjelas maksud Alina? Namun, panggilan dari nomor lain membuatku urung melakukannya."Yumna?" Ish, apa yang ia perlukan sekarang? Pasti tentang ibunya."Hallo?" sapaku."Hallo, Tuan. Saya sedang berada di minimarket mencari sayuran. Saya hanya ingin bertanya masakan yang Nyonya Adiwijaya suka?"Dugaanku salah. Kenapa dia terdengar ceria? Dia juga perhatian pada orangtuaku.Aku segera menggeleng. Tak boleh lengah oleh sikapnya yang baik di depan, tapi menusuk di belakangku seperti tadi
Tanganku refleks terkepal, di atas meja ruang kerja keluarga Adiwijaya. Kesal. Tak menyangka jika Alina kecolongan untuk hal yang harusnya menjadi rahasia antara dirinya dan aku saja. Perselingkuhan adalah hal yang menjijikkan untuk Mama. Melihat bagaimana dia bertindak tegas untuk hal-hal semacam itu sejak lama. Wanita itu seperti memiliki trauma.Ah, ini sangat memalukan."Kamu sangat ceroboh Nona Alina. Bagaimana bisa kamu mengirim tiket ke rumah? Padahal kamu tau orang tuaku tiba kemarin," omelku dengan gaya elegan, bagaimana seorang bos bicara pada bawahannya. Perasaan dan debar-debar sebab ingin mereguk sebuah kenikmatan darinya hilang dalam sekejap. Kini hanya menyisakan sebuah kekesalan.Ah, ini bukan salah Alina sebenarnya. Tapi Yumna, yang berpura-pura jadi Devian dan meminta Alina mengirim benda laknat yang membuat gaduh itu ke rumah."Sa-saya minta maaf, Tu-tu-an. Tapi Nyonya Yumna ...." Suara di ujung telepon bergetar. Jelas saja. Tak usah dia beritahu bahwa itu kelaku
What! Ke Bali dengan Yumna?Duh, kenapa semua jadi serba kebetulan gini? Atau memang Yumna mengaturnya? Ah, tidak mungkin. Dia bahkan mencintai pria lain dan terkejut begitu."Bukannya Devian sudah memberitahumu? Dia yang bilang waktu aku memergoki tiket bulan madu kalian tadi." Mama berucap.Lho, lho. Kok jadi aku? Gimana, sih? Aku cuma iseng bilang itu tiket bulan madu ke Bali. Tapi tak bilang mau bulan madu dengan Yumna. Dalam waktu dekat pula. Lagian mana bisa aku beralibi sepintar perempuan itu?"Ohya, Mas Devian sudah bilang di telepon tadi. Tapi saya tidak begitu jelas. Hehe." Yumna menyahut. Aku tentu saja melotot padanya. Apa iya aku mengatakan itu? Aku hanya memintanya pulang. Atau aku yang tak sadar mengatakan itu.Duh, jadi sebenarnya Yumna yang pikun atau aku yang terlalu banyak pikiran sampai tak sadar mengucapkan sesuatu yang penting?Mama mertuanya itu tersenyum, terlihat lebih tulus dari sebelumnya. Sepertinya Yumna benar-benar berhasil merebut hati Mama. "Kaku sekali
Skip buat -16 (Tulisan Saru) "Siapa?" tanya Raga penasaran. Aku tersenyum pada pria itu sekilas lalu kembali melihat pesan Alina."Menurutmu?""Kalau wajah lo kebelet pipis gitu, biasanya dari Bianca.""Njir! Kebelet pipis?" Kugeleng-gelengkan kepala, mendengar umpatan sahabatku tersebut. Sungguh ceplas-ceplos, yang meski ada benarnya. Hal itu tak patut diucapkan pada CEO tampan dan berwibawa sepertiku."Ini ... sekretaris gue yang cantik. Yah, lo tau lah. Dia sedang ngehibur gue.""Hemh. Tapi sejak kapan lo perlu dihibur?""Sejak gue sadar, ingin dicintai.""Ck. Memangnya lo pria kesepian? Lo udah punya dua istri, Bro!" Raga menyulut rokok dan menghisapnya. Hal yang ia lakukan saat santai begini. Karena di kantor jarang sekali pria itu bisa melakukan kegemarannya tersebut, mungkin saat di luar seperti inilah kesempatan Raga memuaskan hobbynya itu."Gue cuma pria menyedihkan, mencintai Bianca dan doi memilih pergi. Menikah lagi dengan perempuan bernama Yumna, dan gadis itu terlihat
"Yumna, katakan padaku bagaimana caramu membuatkan banyak anak untuk orangtuaku?""Apa?" Yumna terkejut. Tanpa babibu aku bertanya hal aneh yang aku sendiri bahkan tidak menganggapnya serius.Yumna tertegun beberapa saat. Tampaknya ia gugup, sampai bingung memilih kata-kata. Sebagai orang dewasa tentu saja aku tahu bagaimana cara manusia berkembang biak dan proses terbentuknya seorang anak. Hanya saja sekarang aku merasa perlu bersikap bodoh, dan menggodanya.Mengingat dia mengatakan padaku tadi pagi, bahwa Devian seorang pria yang tak normal. Heh! Yumna tak tahu sedang berhadapan dengan siapa?Apa perlu aku membuktikan padanya sekarang?Aku senang memanfaatkan sebuah kejadian. Sejak kejadian di mobil tadi membuatnya kembali canggung di depanku."Em, em, e ... i-itu, Tuan ...." Bibir mungil Yumna tergagap. Ucapannya belum selesai, karena ponselku tiba-tiba saja bergetar.Argh! Sial! Mengganggu saja!Di saat yang sama, wanita yang mengenakan kerudung sedada itu mendesah, ia selamat dar
"Mas, gimana menurut kamu sekarang?" tanya Sisil sembari meletakkan cangkir di atas meja, dekat laptop yang digunakan suaminya untuk kerja. "Hem?" Keanu yang kurang jelas mendongak. Melepaskan tatapan dari layar dan kemudian fokus pada wanita cantik yang hanya mengenakan dress tipis dengan rambut diikat tinggi. "Ya, Sayang. Kamu membahas tentang siapa?" Pria yang profesinya sebagai pengacara itu ingin memperjelas maksud pertanyaan istrinya. "Itu si Laura. Hidupnya kan ngenes, lebih ngenes dari janda yang gada suami." Sisil mengatakan secara detail. Dia sendiri meski merasa benci pada masa lalu Laura yang jahat, ada anak kecil yang tak bersalah hadir di tengah wanita jahat itu dan mantan suami Lisa -kakaknya. "Hem, apa kamu belum puas melihat penderitaannya?" tanya Keanu. Sisil menggeleng. "Lalu?""Aku kasihan pada anaknya, Mas. Apa kita ambil jadi anak angkat aja, ya? Atau kita kirim ke panti biar diasuh orang," celetuk Sisil ketika terpikir untuk menolong anak tidak bersalah i
"Jadi kita harus bagaimana, Mas?" Laura tampak bingung.Bagas mendesah panjang. Dia memikirkan cara bagaimana membalas dendam ada orang-orang yang telah membuatnya terpuruk seperti sekarang."Sudahlah, kita pikirkan nanti, Ra. Mas mau mandi dulu, gerah!" ucap Bagas bangkit. Lelaki itu sudah berjalan mencapai tangga, tapi membalik tubuh karena ada sesuatu yang perlu dia katakan."Ohya, cepat berkemas. Kita harus segera pergi dari sini!" seru Bagas, yang kemudian terus berjalan tanpa menunggu persetujuan sang istri. "Aku perlu menghubungi kolega yang masih punya hutang pribadi padaku, yah cukuplah buat nyewa sebuah rumah minimalis."Laura mendecak sebal. Ia sangat kesal pada Lisa. Wanita itu harus dilaporkan karena kasus penipuan."Tapi bagaimana caranya? Kami bahkan tak punya uang untuk menyewa pengacara." Perempuan yang tengah hamil muda itu mendesah lelah. Dengan langkah gontai bergerak mengikuti Bagas di lantai dua.Bagas yang akan masuk kamar mandi, tiba-tiba harus menghentikan la
Lisa mendesah. "Aku bisa mengurus Kamila sendiri. Toh, selama ini akulah yang mengurusnya, apalagi sejak kamu bertemu mantanmu itu, Mas. Kita cerai saja. Ini sudah keputusan terakhirku." Lisa mengucap tenang. Namun, juga mantap. Seketika wajah Bagas pias. Tak menyangka pada akhirnya Lisa yang lebih dulu menggungat cerai. Habis sudah. Tak ada lagu harapan untuk tetap hidup mewah di keluarga Handoko. Entah, bagaimana reaksi Laura nanti saat tahu, suaminya sekarang hanyalah seorang gembel yang tak memiliki apa-apa."Tap, tapi. Apa kamu sudah memikirkannya baik-baik, Lis? Lihatlah betapa menderitanya aku tanpa kamu selama ini. Mas minta maaf." Bagas menghiba. Berharap Lisa luluh atas permintaan maafnya."Maafku sudah habis, Mas. Aku terus memaafkanmu, tapi kamu tetap memilih mantanmu itu. Mas tak menoleh sedikit pun padaku dan Kamila, yang jelas-jelas telah membersamaimu sejak lama.""Mas, khilaf, Lis.""Khilaf yang terulang-ulang." Lisa bicara dengan tegas. Tak sia-sia dia terus melatih
Mbak Wati berlari dari arah dapur, ketika mendengar suara ribut-ribut di kamar Kamila."Ada apa?" tanya seorang pelayan kepada rekannya ketika Wati bergegas dari dapur tempat mereka bekerja."Biasalah. Orang kaya memang selalu begitu," cibir pelayan lain di sampingnya. Seorang perempuan yang semalam telah berhasil memberi obat tidur dalam minuman wanita bercadar di kamar Kamila.Perempuan itu tersenyum. Dia berpikir bahwa keributan pagi ini adalah imbas dari keberhasilan pekerjaannya semalam."Berhenti bergosip! Kalian makan dan digaji oleh orang yang kalian bicarakan keburukannya," tegur kepala pelayan yang tak suka mereka bicara tanpa adab."Not attitude!" dengkusnya sebelum akhirnya melangkah menyusul Wati untuk melihat apa yang terjadi.Mbak Wati yang melihat Bagas dan Sisil sibuk memanggil seseorang, segera mengambil Kamila yang tampak bingung. Untuk kemudian dibawa ke kamarnya dan diurus seperti biasa. Wanita itu tahu diri, hingga tak berani bertanya apapun mengenai keributan in
Lisa memegangi kepala yang berdenyut, saat membuka matanya dengan susah payah. Begitu mengerjap, cahaya menembus celah jendela. Wanita itu terhenyak, pagi telah tiba sebelum ia sempat menunaikan sholat subuh. "Apa yang terjadi? Kenapa aku bisa kesiangan?"Wanita itu bangkit dengan tergesa. Berdiri di depan cermin untuk melepas topeng yang Sisil berikan semalam. "Aku bahkan tak sempat melepas benda ini sebelum tidur. Ini sangat aneh." Lisa meneleng sejenak mengingat-ingat kejadian ganjil semalam. Merasa sudah kehilangan banyak waktu, akhirnya ia bergerak ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan bersiap sholat."Li, Lisa ...." Mata Bagas hampir saja lepas melihat sosok wanita di hadapannya. Sementara wanita yang baru selesai mandi dan merasakan situasi yang tak baik telah menimpa, buru-buru menarik tubuhnya kembali ke kamar mandi, menghindari tatapan pria itu. "Ya Tuhan bagaimana ini?" Lisa menggumam bingung."Apa yang sedang terjadi? Kenapa kepalaku terasa berat?" Lisa berta
"Apa ini, Sil?!" teriak Bagas dengan amarah yang meletup-letup. Baru saja dia berprasangka baik tentang Sisil tapi ternyata dalam sekejap dia menikamnya dengan cara lain.Sisil memutar mata malas. "Udah deh, Mas. Gak usah berisik! Katanya mau lapor Pak RT. Panggil warga buat gerebek aku? Silakan! Sana!""Kamu nantangin aku, Sil! Oke! Kamu akan habis karena berbuat mesum padahal sudah punya suami!" Suara bariton itu menggema, sampai membangunkan pelayan yang tidur di kamar pembantu, terbangun. Namun, seperti biasa, mereka tak berani keluar dan melihat apa yang terjadi di ruang-ruang utama. Hanya kepala pelayan yang berani mengintip dari kejauhan. Takut jika ada perampok dan sejenisnya dan perlu untuk memanggil polisi.Bagas bergegas, dia ingin membuktikan bahwa ucapannya bisa menghancurkan Sisil."Tunggu! Satu langkah kamu keluar dari pintu, aku akan menceraikanmu. Dan menghancurkan hidupmu Mas Bagas! Mau jadi gembel?!" Sisil tersenyum sinis. Namun, rupanya ... sang nyonya dan tuannya
Bagas memasuki kamar yang terbuka. Pria itu melihat dengan heran. Bukannya tadi Sisil sudah naik ke atas. Tetapi, kenapa sekarang tidak ada? "Sudahlah. Aku lelah terus memikirkan wanita gila itu. Aku ingin beristirahat," gumamnya. Setidaknya di samping cilaka bertubi-tubi, ada kabar membahagiakan untuknya. Laura yang tak lagi salah paham dan juga sebentar lagi dia akan tahu bahwa Lisa masih hidup.Langkah lebarnya memasuki kamar, dengan malas mendorong pintu. Begitu melihat kasur, langkahnya semakin cepat. Tak sabar merebahkan diri di sana."Ahhh. Lega sekali! Sepertinya aku akan tidur nyenyak malam ini. Tak perlu waktu lama, Bagas terlelap dan sempat mendengkur. Bahkan dia tak sadar ketika Sisil melihatnya di pintu, lalu kembali.Tak lama suara ponsel mengagetkannya.Dengan kondisi masih mengantuk, Bagas meraba-raba ponsel di nakas. Begitu dapat, ia segera meraihnya."Ya?" sapanya pada orang di ujung telepon."Tuan, saya sudah mengirimkan foto dari pacar saya.""Benarkah? Foto wani
"Mas, gimana?" tanya Laura tak sabar."Udah kamu tenang aja, ya. Besok aku akan cari waktu untuk pulang," bujuk Bagas yang kasihan melihat Laura. Tak pernah bertemu. Padahal dia sedang hamil. Meski Laura punya andil besar atas kekacauan sekarang, tetap saja Bagas tak bisa melepaskan tanggung jawabnya. Dia juga ikut andil, perselingkuhan yang menyebabkan banyak perselisihan tak akan terjadi jika Bagas menutup celah tersebut."Iya, itu harus, Mas. Kamu kan tau aku sedang hamil.""Ya, Sayang. Iya." Kini Bagas melunak. Tak ingin semua sisi menjadi sumber kesumpekan baginya. Terlebih Laura. Hanya dia wanita yang kini mencintai dan mendukungnya."Soal Lisa?" tanya Laura lagi. "Kamu tunggu kabar besok, oke? Aku sudah menyiapkan seseorang untuk memhuka kedoknya."Bagas mencoba menenangkan istrinya. Dia sangat yakin rencananya akan berhasil kali ini._____________Di tempat lain, Bibi yang akan masuk, urung ketika melihat majikannya tengah berbincang di telepon. Dia diam-diam mendengar pembi
"Mas, tadi aku gak sengaja lihat riwayat panggilan di ponsel Bibi. Banyak sekali panggilan dari Sisil dan Lisa. Ini aneh kan Mas. Apa Bibi itu sebenarnya suruhan Sisil untuk mengerjai kita?""Apa? Kamu serius? Gak salah baca?!" Ini sangat aneh menurut Bagas. Kenapa mereka berhubungan?Sementara Lisa yang mendengar percakapan mereka menutup mulut, terkejut. Secepat inikah rencananya dan Sisil terbongkar?Dia yang terkejut berbalik arah dan pergi meninggalkan tempatnya. Namun, nahas. Gamisnya nyangkut, hingga menimbulkan suara ketika ia bergerak.Bagas sontak menoleh, mencari asal suara. Dia pun bangkit, bergerak mendekat dan meninggalkan panggilan dengan Laura. Saat berdiri persis di depan pintu, Lisa sudah berjalan menjauh. "Tunggu!" serunya, hingga membuat Lisa menghentikan langkah.Pria itu pun berjalan semakin mendekat. Penasaran. Apa yang dilakukan baby sitter itu? Perempuan berhijab yang Sisil pekerjakan dan dicurigai Bagas sebagai Lisa. Dia pasti sudah mendengar obrolannya deng