Tanganku refleks terkepal, di atas meja ruang kerja keluarga Adiwijaya. Kesal. Tak menyangka jika Alina kecolongan untuk hal yang harusnya menjadi rahasia antara dirinya dan aku saja. Perselingkuhan adalah hal yang menjijikkan untuk Mama. Melihat bagaimana dia bertindak tegas untuk hal-hal semacam itu sejak lama. Wanita itu seperti memiliki trauma.Ah, ini sangat memalukan."Kamu sangat ceroboh Nona Alina. Bagaimana bisa kamu mengirim tiket ke rumah? Padahal kamu tau orang tuaku tiba kemarin," omelku dengan gaya elegan, bagaimana seorang bos bicara pada bawahannya. Perasaan dan debar-debar sebab ingin mereguk sebuah kenikmatan darinya hilang dalam sekejap. Kini hanya menyisakan sebuah kekesalan.Ah, ini bukan salah Alina sebenarnya. Tapi Yumna, yang berpura-pura jadi Devian dan meminta Alina mengirim benda laknat yang membuat gaduh itu ke rumah."Sa-saya minta maaf, Tu-tu-an. Tapi Nyonya Yumna ...." Suara di ujung telepon bergetar. Jelas saja. Tak usah dia beritahu bahwa itu kelaku
What! Ke Bali dengan Yumna?Duh, kenapa semua jadi serba kebetulan gini? Atau memang Yumna mengaturnya? Ah, tidak mungkin. Dia bahkan mencintai pria lain dan terkejut begitu."Bukannya Devian sudah memberitahumu? Dia yang bilang waktu aku memergoki tiket bulan madu kalian tadi." Mama berucap.Lho, lho. Kok jadi aku? Gimana, sih? Aku cuma iseng bilang itu tiket bulan madu ke Bali. Tapi tak bilang mau bulan madu dengan Yumna. Dalam waktu dekat pula. Lagian mana bisa aku beralibi sepintar perempuan itu?"Ohya, Mas Devian sudah bilang di telepon tadi. Tapi saya tidak begitu jelas. Hehe." Yumna menyahut. Aku tentu saja melotot padanya. Apa iya aku mengatakan itu? Aku hanya memintanya pulang. Atau aku yang tak sadar mengatakan itu.Duh, jadi sebenarnya Yumna yang pikun atau aku yang terlalu banyak pikiran sampai tak sadar mengucapkan sesuatu yang penting?Mama mertuanya itu tersenyum, terlihat lebih tulus dari sebelumnya. Sepertinya Yumna benar-benar berhasil merebut hati Mama. "Kaku sekali
Skip buat -16 (Tulisan Saru) "Siapa?" tanya Raga penasaran. Aku tersenyum pada pria itu sekilas lalu kembali melihat pesan Alina."Menurutmu?""Kalau wajah lo kebelet pipis gitu, biasanya dari Bianca.""Njir! Kebelet pipis?" Kugeleng-gelengkan kepala, mendengar umpatan sahabatku tersebut. Sungguh ceplas-ceplos, yang meski ada benarnya. Hal itu tak patut diucapkan pada CEO tampan dan berwibawa sepertiku."Ini ... sekretaris gue yang cantik. Yah, lo tau lah. Dia sedang ngehibur gue.""Hemh. Tapi sejak kapan lo perlu dihibur?""Sejak gue sadar, ingin dicintai.""Ck. Memangnya lo pria kesepian? Lo udah punya dua istri, Bro!" Raga menyulut rokok dan menghisapnya. Hal yang ia lakukan saat santai begini. Karena di kantor jarang sekali pria itu bisa melakukan kegemarannya tersebut, mungkin saat di luar seperti inilah kesempatan Raga memuaskan hobbynya itu."Gue cuma pria menyedihkan, mencintai Bianca dan doi memilih pergi. Menikah lagi dengan perempuan bernama Yumna, dan gadis itu terlihat
"Yumna, katakan padaku bagaimana caramu membuatkan banyak anak untuk orangtuaku?""Apa?" Yumna terkejut. Tanpa babibu aku bertanya hal aneh yang aku sendiri bahkan tidak menganggapnya serius.Yumna tertegun beberapa saat. Tampaknya ia gugup, sampai bingung memilih kata-kata. Sebagai orang dewasa tentu saja aku tahu bagaimana cara manusia berkembang biak dan proses terbentuknya seorang anak. Hanya saja sekarang aku merasa perlu bersikap bodoh, dan menggodanya.Mengingat dia mengatakan padaku tadi pagi, bahwa Devian seorang pria yang tak normal. Heh! Yumna tak tahu sedang berhadapan dengan siapa?Apa perlu aku membuktikan padanya sekarang?Aku senang memanfaatkan sebuah kejadian. Sejak kejadian di mobil tadi membuatnya kembali canggung di depanku."Em, em, e ... i-itu, Tuan ...." Bibir mungil Yumna tergagap. Ucapannya belum selesai, karena ponselku tiba-tiba saja bergetar.Argh! Sial! Mengganggu saja!Di saat yang sama, wanita yang mengenakan kerudung sedada itu mendesah, ia selamat dar
Apa yang Yumna lakukan? Kenapa dia mengikutiku? Kudorong tubuh Alina agar ada jeda lebih di antara kami. Yumna pasti salah paham sekarang.Baru akan menjauh, menyusul Yumna, suara tamparan keras terdengar dari arah Alina.Melihat pegawaiku ditampar, aku menoleh melihat siapa pelakunya. "Ma, ada apa?!" tanyaku heran. "Dasar jalang tidak tau malu! Beraninya kamu menggoda suami orang dengan bermesraan di tempat seperti ini!" maki Nyonya Adiwijaya mengacung-acungkan telunjuk pada sekretaris CEO yang meringis menahan sakit dan tampak malu.Semua di luar ekspektasi, mungkin niat Alina sejak awal ingin membuat Yumna marah, cemburu. Tapi upayanya justru kepergok Mama dan menimbulkan masalah lebih baginya. Bukan hanya hati, kini jasadnya merasai sakit karena tamparan keras itu. "Kamu!" Pandangan Nyonya besar beralih padaku. "Bagaimana bisa kamu berciuman dengan pegawaimu?! Di depan istrimu!" Wanita yang tengah dikuasai amarah itu mengarahkan telunjuk ke arah kamar di mana Yumna berada, hin
Obrolan Alina dan Bianca berlanjut dengan chat. Tak cukup hanya bicara. Karena yang mereka obrolkan bukanlah hal kecil. Sesampainya di kamar, Alina tidak membuang kesempatan menumpahkan kekesalan pada partnernya itu. Mengingat istri Devian tersebut jarang menyalakan ponsel. Maka, ketika ponsel wanita itu menyala seperti sekarang, Alina harus benar-benar memanfaatkannya.[Jujur saja! Kamu pasti sudah tidur dengan Devian bukan?!!! 😠] Alina mengirim pesan. Ia sangat marah. Merasa dibohongi oleh Bianca. Jika memang keduanya belum pernah tidur bersama, harusnya Devian bisa menerimanya.Tak lama, Bianca membalasnya pesan yang menurutnya aneh dari Alina.[Ayolah, emot apa itu? 🙄Itu tidak mungkin. Kamu tau siapa aku. Sudah 10 tahun kita bersama.]Alina mengirim chat balasan kembali.[Lalu kenapa dia tidur dengan Yumna dan mengabaikanku?][Sudahlah! Tenangkan dirimu. Aku akan mematikan ponsel sekarang.] Bianca yang nyatanya lebih bersikap dewasa, memilih mengakhiri percakapan mereka. Tidak
Kunaikkan sebelah bibir. Menatap pantulan bayangan pria tampan dalam cermin hotel yang besar. Bayanganku sendiri. Lalu mencuri pandang beberapa kali pada Yumna. Tampaknya dia tengah pura-pura tak melihat. Malu barangkali, membayangkan apa yang terjadi sebelumnya di kamar mandi.Di sini, aku sengaja memasang dasi dengan sangat lama, Yumna yang berada di depan cermin riasnya menyisir rambutnya yang mulai mengering. Berharap wanita itu menoleh dan memberiku perhatian. Entah kenapa aku jadi ingin dimanja begini. Ck."Huft. Pasti akan menyenangkan jika ada istri yang memasangkan dasi," racauku sambil meniup berat. Harusnya dia peka. Karena tak ada respon darinya, aku yang aslinya tak suka merepotkan orang lain dalam hal kecil, kali ini terpaksa menyindirnya.Saat melirik dari ekor mata, pergerakan tangan Yumna melambat, menoleh pada suaminya ini. Tampaknya dia paham, nyatanya perempuan yang tak lagi segan melepas kerudung di hadapanku itu, segera menyelesaikan kesibukannya lalu meletakkan
Alina melempar gelas berisi air putih yang telah diteguk lebih setengah dari isinya. Hingga terdengar suara gelas pecah setelah berbenturan dengan lantai. Kemarahan perempuan berparas ayu itu kian menjadi karena rencananya lagi-lagi gagal. "Brengsek! Katanya profesional, tapi nyatanya gak becus! Kenapa pembunuh amatir minta bayaran puluhan juta jika akhirnya gagal begini." Alina mondar-mandir, menggigit kukunya karena bingung, ia tak berhenti memaki orang suruhannya sedari tadi. Kekesalannya bertambah kali lipat saat Bianca beberapa kali gagal dihubungi. Ia tahu, kali ini gilirannya akan mendapatkan makian dari teman dekatnya itu. "Ayo Alina, kamu gadis cerdas. Kamu harus segera keluar dari masalah ini." Kini dua tangannya memegangi kepala. Merasa frustasi, ia menyambar jaket cardingan dan menanggalkan rok mininya berganti celana jeans panjang. Mengenakan masker, pergi menuju suatu tempat. ***"Hem, sedang apa mereka?" Nyonya Adiwijaya melihat kerumunan banyak orang dan kedatanga
"Mas, gimana menurut kamu sekarang?" tanya Sisil sembari meletakkan cangkir di atas meja, dekat laptop yang digunakan suaminya untuk kerja. "Hem?" Keanu yang kurang jelas mendongak. Melepaskan tatapan dari layar dan kemudian fokus pada wanita cantik yang hanya mengenakan dress tipis dengan rambut diikat tinggi. "Ya, Sayang. Kamu membahas tentang siapa?" Pria yang profesinya sebagai pengacara itu ingin memperjelas maksud pertanyaan istrinya. "Itu si Laura. Hidupnya kan ngenes, lebih ngenes dari janda yang gada suami." Sisil mengatakan secara detail. Dia sendiri meski merasa benci pada masa lalu Laura yang jahat, ada anak kecil yang tak bersalah hadir di tengah wanita jahat itu dan mantan suami Lisa -kakaknya. "Hem, apa kamu belum puas melihat penderitaannya?" tanya Keanu. Sisil menggeleng. "Lalu?""Aku kasihan pada anaknya, Mas. Apa kita ambil jadi anak angkat aja, ya? Atau kita kirim ke panti biar diasuh orang," celetuk Sisil ketika terpikir untuk menolong anak tidak bersalah i
"Jadi kita harus bagaimana, Mas?" Laura tampak bingung.Bagas mendesah panjang. Dia memikirkan cara bagaimana membalas dendam ada orang-orang yang telah membuatnya terpuruk seperti sekarang."Sudahlah, kita pikirkan nanti, Ra. Mas mau mandi dulu, gerah!" ucap Bagas bangkit. Lelaki itu sudah berjalan mencapai tangga, tapi membalik tubuh karena ada sesuatu yang perlu dia katakan."Ohya, cepat berkemas. Kita harus segera pergi dari sini!" seru Bagas, yang kemudian terus berjalan tanpa menunggu persetujuan sang istri. "Aku perlu menghubungi kolega yang masih punya hutang pribadi padaku, yah cukuplah buat nyewa sebuah rumah minimalis."Laura mendecak sebal. Ia sangat kesal pada Lisa. Wanita itu harus dilaporkan karena kasus penipuan."Tapi bagaimana caranya? Kami bahkan tak punya uang untuk menyewa pengacara." Perempuan yang tengah hamil muda itu mendesah lelah. Dengan langkah gontai bergerak mengikuti Bagas di lantai dua.Bagas yang akan masuk kamar mandi, tiba-tiba harus menghentikan la
Lisa mendesah. "Aku bisa mengurus Kamila sendiri. Toh, selama ini akulah yang mengurusnya, apalagi sejak kamu bertemu mantanmu itu, Mas. Kita cerai saja. Ini sudah keputusan terakhirku." Lisa mengucap tenang. Namun, juga mantap. Seketika wajah Bagas pias. Tak menyangka pada akhirnya Lisa yang lebih dulu menggungat cerai. Habis sudah. Tak ada lagu harapan untuk tetap hidup mewah di keluarga Handoko. Entah, bagaimana reaksi Laura nanti saat tahu, suaminya sekarang hanyalah seorang gembel yang tak memiliki apa-apa."Tap, tapi. Apa kamu sudah memikirkannya baik-baik, Lis? Lihatlah betapa menderitanya aku tanpa kamu selama ini. Mas minta maaf." Bagas menghiba. Berharap Lisa luluh atas permintaan maafnya."Maafku sudah habis, Mas. Aku terus memaafkanmu, tapi kamu tetap memilih mantanmu itu. Mas tak menoleh sedikit pun padaku dan Kamila, yang jelas-jelas telah membersamaimu sejak lama.""Mas, khilaf, Lis.""Khilaf yang terulang-ulang." Lisa bicara dengan tegas. Tak sia-sia dia terus melatih
Mbak Wati berlari dari arah dapur, ketika mendengar suara ribut-ribut di kamar Kamila."Ada apa?" tanya seorang pelayan kepada rekannya ketika Wati bergegas dari dapur tempat mereka bekerja."Biasalah. Orang kaya memang selalu begitu," cibir pelayan lain di sampingnya. Seorang perempuan yang semalam telah berhasil memberi obat tidur dalam minuman wanita bercadar di kamar Kamila.Perempuan itu tersenyum. Dia berpikir bahwa keributan pagi ini adalah imbas dari keberhasilan pekerjaannya semalam."Berhenti bergosip! Kalian makan dan digaji oleh orang yang kalian bicarakan keburukannya," tegur kepala pelayan yang tak suka mereka bicara tanpa adab."Not attitude!" dengkusnya sebelum akhirnya melangkah menyusul Wati untuk melihat apa yang terjadi.Mbak Wati yang melihat Bagas dan Sisil sibuk memanggil seseorang, segera mengambil Kamila yang tampak bingung. Untuk kemudian dibawa ke kamarnya dan diurus seperti biasa. Wanita itu tahu diri, hingga tak berani bertanya apapun mengenai keributan in
Lisa memegangi kepala yang berdenyut, saat membuka matanya dengan susah payah. Begitu mengerjap, cahaya menembus celah jendela. Wanita itu terhenyak, pagi telah tiba sebelum ia sempat menunaikan sholat subuh. "Apa yang terjadi? Kenapa aku bisa kesiangan?"Wanita itu bangkit dengan tergesa. Berdiri di depan cermin untuk melepas topeng yang Sisil berikan semalam. "Aku bahkan tak sempat melepas benda ini sebelum tidur. Ini sangat aneh." Lisa meneleng sejenak mengingat-ingat kejadian ganjil semalam. Merasa sudah kehilangan banyak waktu, akhirnya ia bergerak ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan bersiap sholat."Li, Lisa ...." Mata Bagas hampir saja lepas melihat sosok wanita di hadapannya. Sementara wanita yang baru selesai mandi dan merasakan situasi yang tak baik telah menimpa, buru-buru menarik tubuhnya kembali ke kamar mandi, menghindari tatapan pria itu. "Ya Tuhan bagaimana ini?" Lisa menggumam bingung."Apa yang sedang terjadi? Kenapa kepalaku terasa berat?" Lisa berta
"Apa ini, Sil?!" teriak Bagas dengan amarah yang meletup-letup. Baru saja dia berprasangka baik tentang Sisil tapi ternyata dalam sekejap dia menikamnya dengan cara lain.Sisil memutar mata malas. "Udah deh, Mas. Gak usah berisik! Katanya mau lapor Pak RT. Panggil warga buat gerebek aku? Silakan! Sana!""Kamu nantangin aku, Sil! Oke! Kamu akan habis karena berbuat mesum padahal sudah punya suami!" Suara bariton itu menggema, sampai membangunkan pelayan yang tidur di kamar pembantu, terbangun. Namun, seperti biasa, mereka tak berani keluar dan melihat apa yang terjadi di ruang-ruang utama. Hanya kepala pelayan yang berani mengintip dari kejauhan. Takut jika ada perampok dan sejenisnya dan perlu untuk memanggil polisi.Bagas bergegas, dia ingin membuktikan bahwa ucapannya bisa menghancurkan Sisil."Tunggu! Satu langkah kamu keluar dari pintu, aku akan menceraikanmu. Dan menghancurkan hidupmu Mas Bagas! Mau jadi gembel?!" Sisil tersenyum sinis. Namun, rupanya ... sang nyonya dan tuannya
Bagas memasuki kamar yang terbuka. Pria itu melihat dengan heran. Bukannya tadi Sisil sudah naik ke atas. Tetapi, kenapa sekarang tidak ada? "Sudahlah. Aku lelah terus memikirkan wanita gila itu. Aku ingin beristirahat," gumamnya. Setidaknya di samping cilaka bertubi-tubi, ada kabar membahagiakan untuknya. Laura yang tak lagi salah paham dan juga sebentar lagi dia akan tahu bahwa Lisa masih hidup.Langkah lebarnya memasuki kamar, dengan malas mendorong pintu. Begitu melihat kasur, langkahnya semakin cepat. Tak sabar merebahkan diri di sana."Ahhh. Lega sekali! Sepertinya aku akan tidur nyenyak malam ini. Tak perlu waktu lama, Bagas terlelap dan sempat mendengkur. Bahkan dia tak sadar ketika Sisil melihatnya di pintu, lalu kembali.Tak lama suara ponsel mengagetkannya.Dengan kondisi masih mengantuk, Bagas meraba-raba ponsel di nakas. Begitu dapat, ia segera meraihnya."Ya?" sapanya pada orang di ujung telepon."Tuan, saya sudah mengirimkan foto dari pacar saya.""Benarkah? Foto wani
"Mas, gimana?" tanya Laura tak sabar."Udah kamu tenang aja, ya. Besok aku akan cari waktu untuk pulang," bujuk Bagas yang kasihan melihat Laura. Tak pernah bertemu. Padahal dia sedang hamil. Meski Laura punya andil besar atas kekacauan sekarang, tetap saja Bagas tak bisa melepaskan tanggung jawabnya. Dia juga ikut andil, perselingkuhan yang menyebabkan banyak perselisihan tak akan terjadi jika Bagas menutup celah tersebut."Iya, itu harus, Mas. Kamu kan tau aku sedang hamil.""Ya, Sayang. Iya." Kini Bagas melunak. Tak ingin semua sisi menjadi sumber kesumpekan baginya. Terlebih Laura. Hanya dia wanita yang kini mencintai dan mendukungnya."Soal Lisa?" tanya Laura lagi. "Kamu tunggu kabar besok, oke? Aku sudah menyiapkan seseorang untuk memhuka kedoknya."Bagas mencoba menenangkan istrinya. Dia sangat yakin rencananya akan berhasil kali ini._____________Di tempat lain, Bibi yang akan masuk, urung ketika melihat majikannya tengah berbincang di telepon. Dia diam-diam mendengar pembi
"Mas, tadi aku gak sengaja lihat riwayat panggilan di ponsel Bibi. Banyak sekali panggilan dari Sisil dan Lisa. Ini aneh kan Mas. Apa Bibi itu sebenarnya suruhan Sisil untuk mengerjai kita?""Apa? Kamu serius? Gak salah baca?!" Ini sangat aneh menurut Bagas. Kenapa mereka berhubungan?Sementara Lisa yang mendengar percakapan mereka menutup mulut, terkejut. Secepat inikah rencananya dan Sisil terbongkar?Dia yang terkejut berbalik arah dan pergi meninggalkan tempatnya. Namun, nahas. Gamisnya nyangkut, hingga menimbulkan suara ketika ia bergerak.Bagas sontak menoleh, mencari asal suara. Dia pun bangkit, bergerak mendekat dan meninggalkan panggilan dengan Laura. Saat berdiri persis di depan pintu, Lisa sudah berjalan menjauh. "Tunggu!" serunya, hingga membuat Lisa menghentikan langkah.Pria itu pun berjalan semakin mendekat. Penasaran. Apa yang dilakukan baby sitter itu? Perempuan berhijab yang Sisil pekerjakan dan dicurigai Bagas sebagai Lisa. Dia pasti sudah mendengar obrolannya deng