Nadia berjalan dengan perasaan tak nyaman. Seolah ada yang terus mengawasi gerak-geriknya yang sudah menjauh dari rumah sakit. "Ayolah, Nadia. Kamu sudah ada di Bandung sekarang." Ia bermonolog. Seolah perlu bicara sendiri. Perempuan itu terus berusaha menenangkan diri di sela langkah. Meski kenyataannya gagal. Perasaan gelisah menghantui. Nadia tengok kanan dan kiri. Benar saja tanpa ia tahu, dua pasang mata mengintai gadis itu dari dalam mobil yang terparkir di lorong jalan tempat tinggalnya yang baru. "Sekarang kita habisi dia?" Seorang pria bertanya pada rekannya yang duduk di kursi kendali. Tak sabar rasanya menyelesaikan pekerjaan dan pulang dengan lega. "Tunggu perintah, Bos. Sejauh ini dia hanya ingin tahu di mana gadis itu berada," jawab rekannya yang duduk di sampingnya. "Hem. Baiklah," sahutnya lagi. Sembari menyesap kopi dalam cup yang dibeli saat perjalanan tadi. Sudah dua hari ini mereka bekerja mencari sosok yang menjadi ancaman Nyonya Adiwijaya. Dan baru sekaran
"Jangan hubungi aku!" Bianca berbalik dan meninggalkan Devian dengan kebingungan. 'Aku pasti sudah gila! Sekarang aku benar-benar jatuh cinta padanya!' Pria itu tak bisa mencegah Bianca pergi. Ia merasa bersalah telah melukai hati Bianca, namun hanya sebatas itu. Yah, rasa bersalah. Tak mengerti cinta menggebu-nggebu untuk Bianca dulu pergi ke mana? Selepas kepergian sang istri, Devian meraih ponsel menghubungi seseorang. "Kamu ikuti Bianca, dan cari apa pun yang oa kerjakan!" perintahnya pada orang di ujung telepon. Pria itu kembali menatap langit-langit. Apa yang ia lakukan memang sangat keterlaluan. Ia berpikir, selama ini sama sepertinya, Bianca pun tulus mencintai. Di saat wanita itu meminta waktu untuk bisa kembali, dengan egoisnya ia memilih menikah lagi, hanya untuk membuat Bianca cemburu dan kembali ke pelukannya. Namun, semua berbanding terbalik. Bianca tak juga kembali hingga ia pun jatuh hati pada istrinya yang baru. Ia teringat bagaimana kali pertama, bertemu dengan
Kuletakkan berkas yang telah ditandatangani. Seharian ini setelah kunjungan kedua istriku, aku menghabiskan waktu sendiri hingga sore tiba. Padahal berharap Yumna kembali datang setelah Bianca pergi dengan marah, tapi wanitaku itu tak kunjung datang. Beberapa kali melihat ponsel, chat yang kukirim juga belum dibuka oleh Yumna. 'Apa dia benar-benar marah karena kejadian tadi? Ah, kenapa semua berjalan di waktu yang tak tepat?' Karena merasa bersalah, bahkan untuk meneleponnya saja aku tak berani. Lalu tentang Bianca lebih baik aku memilih mencari tahu secara senyap. Sebanyak apa pun memintanya bertemu dan bicara, selama Bianca punya prinsip itu tidak akan berhasil. Yah, prinsip gilanya sudah membuatku frustasi dan lelah menghadapi wanita itu."Bagaimana, apa yang kamu dapat?" tanyaku pada seseorang yang sudah menghadapku dari tadi. "Nyonya Adiwijaya menjebloskan Ibu Alina ke penjara, Tuan. Itu kenapa Nyonya Bianca menemui Nyonya Besar untuk meminta pembebasan mantan sekretaris itu
Yumna meletakkan ponselnya kembali dalam tas. Tadinya ada beberapa panggilan dan chat dari Devian, tapi ia enggan membukanya. Ah, bukan enggan. Tapi karena sibuk dengan sang ibu. Ia sengaja mensilent panggilan dan pesan, agar tidak mengganggu ibunya yang tengah terbaring di atas ranjang."Ibu ... derita hidup anakmu seolah hilang kala terlelap, kebahagiaan yang hadir seumpama mimpi, itupun hadir sekejap." Yumna yang matanya dipenuhi kaca-kaca mengucap begitu saja, dengan tangan yang menggenggam wanita tua yang memejamkan mata.Dia sedang tak memahami dirinya sendiri. Dibilang cemburu, dia sangat cemburu pada Devian. Keberadaan Bianca telah berhasil membutnya terus dilanda gelisah. Apalagi sekarang dia tengah hamil. Bagaimana jika suatu tak kuat menanggung kecemburuan? Lalu memilih berpisah. Akan ada sosok seorang anak yang menjadi korban atas pilihannya."Aku hamil ibu, tapi aku takut dengan situasi sekarang. Tiba-tiba aku tidak rela berbagi suami dan perhatian dengan kakak maduku."
"Begitulah yang kurasakan dulu. Aku pernah sangat menginginkan tubuhmu. Namun, tanpa beban kamu menolak dan meninggalkanku pergi, Bi!"____________ooo0ooo_________Dengan ragu Bianca melangkah ke kamarku. Kamar yang sempat menjadi saksi betapa aku sangat menginginkannya dulu. Aku yang sempat memeluknya erat-erat dan tak ingin melepasnya. Aku bahkan mencumbu paksa wanita yang sudah kuhalalkan beberapa menit sebelumnya, karena Bianca terkesan menghindar. Namun, dengan kelihaiannya Bianca mampu melepas rengkuhan tangan kekar suaminya yang nafsunya sudah berada di ubun-ubun. "Emh. Sayang aku ingin melakukan ini di hotel. Kamu tahu kan?" ucapnya kala itu. Begitu aku berhenti, Bianca segera menarik tubuhnya dan berdiri. "Ayo kita pergi!" Ia tak mau membuang kesempatan, terlambat sebentar saja aku pasti akan berhasil membobol pertahanannya. Itu sepertinya hal yang selama ini terus Bianca jaga. Bianca tersenyum menatap beberapa sisi kamarku. Aku yakin dia juga ingat kejadian tak terlupak
“Memberi jeda pada akal untuk berpikir, agar tak menyesal di kemudian hari. “❤❤❤"La tagdhob! Begitu kata Rasul." Yumna mengulangi ucapannya. Aku tak mengerti bahasa apa yang dia gunakan. Atau mungkin bahasa Arab karena kuliahnya jurisan tarbiyah. "Em?" Dua alisku tertaut. Tanda tak memahami maksudnya. "Bersabar akan lebih baik," sambungnya. "Oh, artinya itu?""Bukan. Itu imbas dari laa tagdhob, jangan marah.""Yah, karena kamu tidak ada di posisiku," keluhku kemudian. "Kita memiliki ujian berbeda, Tuan. Aku bahkan sempat sangat terpuruk dan buntu pada solusi. Untungnya aku masih punya Allah, kuserahkan semua pada-Nya." Wanita itu bicara seolah tengah mencurahkan apa yang pernah ia rasakan. Apa mungkin orang sebaik Yumna juga bisa terpuruk? Aku pikir keterpurukan itu adalah efek kejahatan, dan jauh dari Tuhan. Sepertiku. Aku tersenyum miris. Yumna punya Allah. Lalu bagaimana denganku yang jauh dari Allah? "Kalau begitu bagaimana caranya punya Allah?""Kembali. Kembali padanya.
Sekali saja terjerembab dalam lubang kesalahan, semua yang kita upayakan hancur! Maka berhati-hatilah ....Bianca berdiri menyambut Alina yang sudah memakai pakaiannya sendiri dan melepaskan pakaian narapidana. Pakaian bukan lagi pakaian yang dikenakan saat dalam sel bersama tahanan lain. Dan ini adalah awal menyenangkan untuknya. Pelukan hangat dan tangis haru mewarnai pertemuan itu. Alina sangat senang Bianca bisa membebaskannya dalam waktu dekat, sebelum ia benar-benar membusuk dipenjara."Untunglah, Alina. Aku sangat takut." Bianca mengucap seolah sangat lama tidaj berteu Alina dan tak ingin lagi terpisah. "Sudah, Bi. Ayo kita pergi dulu dari sini. Aku takut polisi berubah pikiran dan memasukkanku ke sel lagi." Alina menarik lengan Bianca ke luar. Bianca mendesis. Gadis bodoh di hadapannya punya selera humor juga. Lamgkah dua wanita cantik itu menuju sebuah taksi yang sudah Bianca sewa. "Cepat sekali, Bi. Apa yang terjadi?" tanya Alina begitu mereka sudah berpindah tempat ke d
Saat Yumna ke dapur ia melihat seseorang mencurigakan. Seharusnya pegawai mereka tidak bicara di telepon saat ada kesibukan seperti sekarang. Kepala pelayan akan mengumpulkan ponsel semua pelayan agar tidak ada yang mengganggu pekerjaan mereka. "Mbak, maaf apa ada masalah? Kok menerima panggilan?" Yumna menegur begitu saja pelayan yang bicara serius dengan orang di ujung telepon. Dilihatnya tanda pengenal sang pelayan secara refleks. "Ah." Si pelayan terkejut bukan main, hingga ponselnya terjatuh. Buru-buru ia mengambil sembari memikirkan alasan untuk berkilah. "Em, maaf Nyonya. Em, keluarga saya ada yang meninggal," jawab gadis pelayan tergagap. "Innalillahi wa inna ilahi rojiun. Allahummagfirlahu. Kamu yang sabar ya."Gadis pelayan mengangguk kecil berkali-kali. Benar kata sang bos bahwa Yumna adalah wanita bodoh dan mudah ditipu. "Apa sudah bicara pada kepala pelayan, kalau Mbak bawa ponsel? Tahu sendiri kan konsekuensi melanggar aturan adalah dipecat?""Em. Saya lupa, Nyonya.
"Mas, gimana menurut kamu sekarang?" tanya Sisil sembari meletakkan cangkir di atas meja, dekat laptop yang digunakan suaminya untuk kerja. "Hem?" Keanu yang kurang jelas mendongak. Melepaskan tatapan dari layar dan kemudian fokus pada wanita cantik yang hanya mengenakan dress tipis dengan rambut diikat tinggi. "Ya, Sayang. Kamu membahas tentang siapa?" Pria yang profesinya sebagai pengacara itu ingin memperjelas maksud pertanyaan istrinya. "Itu si Laura. Hidupnya kan ngenes, lebih ngenes dari janda yang gada suami." Sisil mengatakan secara detail. Dia sendiri meski merasa benci pada masa lalu Laura yang jahat, ada anak kecil yang tak bersalah hadir di tengah wanita jahat itu dan mantan suami Lisa -kakaknya. "Hem, apa kamu belum puas melihat penderitaannya?" tanya Keanu. Sisil menggeleng. "Lalu?""Aku kasihan pada anaknya, Mas. Apa kita ambil jadi anak angkat aja, ya? Atau kita kirim ke panti biar diasuh orang," celetuk Sisil ketika terpikir untuk menolong anak tidak bersalah i
"Jadi kita harus bagaimana, Mas?" Laura tampak bingung.Bagas mendesah panjang. Dia memikirkan cara bagaimana membalas dendam ada orang-orang yang telah membuatnya terpuruk seperti sekarang."Sudahlah, kita pikirkan nanti, Ra. Mas mau mandi dulu, gerah!" ucap Bagas bangkit. Lelaki itu sudah berjalan mencapai tangga, tapi membalik tubuh karena ada sesuatu yang perlu dia katakan."Ohya, cepat berkemas. Kita harus segera pergi dari sini!" seru Bagas, yang kemudian terus berjalan tanpa menunggu persetujuan sang istri. "Aku perlu menghubungi kolega yang masih punya hutang pribadi padaku, yah cukuplah buat nyewa sebuah rumah minimalis."Laura mendecak sebal. Ia sangat kesal pada Lisa. Wanita itu harus dilaporkan karena kasus penipuan."Tapi bagaimana caranya? Kami bahkan tak punya uang untuk menyewa pengacara." Perempuan yang tengah hamil muda itu mendesah lelah. Dengan langkah gontai bergerak mengikuti Bagas di lantai dua.Bagas yang akan masuk kamar mandi, tiba-tiba harus menghentikan la
Lisa mendesah. "Aku bisa mengurus Kamila sendiri. Toh, selama ini akulah yang mengurusnya, apalagi sejak kamu bertemu mantanmu itu, Mas. Kita cerai saja. Ini sudah keputusan terakhirku." Lisa mengucap tenang. Namun, juga mantap. Seketika wajah Bagas pias. Tak menyangka pada akhirnya Lisa yang lebih dulu menggungat cerai. Habis sudah. Tak ada lagu harapan untuk tetap hidup mewah di keluarga Handoko. Entah, bagaimana reaksi Laura nanti saat tahu, suaminya sekarang hanyalah seorang gembel yang tak memiliki apa-apa."Tap, tapi. Apa kamu sudah memikirkannya baik-baik, Lis? Lihatlah betapa menderitanya aku tanpa kamu selama ini. Mas minta maaf." Bagas menghiba. Berharap Lisa luluh atas permintaan maafnya."Maafku sudah habis, Mas. Aku terus memaafkanmu, tapi kamu tetap memilih mantanmu itu. Mas tak menoleh sedikit pun padaku dan Kamila, yang jelas-jelas telah membersamaimu sejak lama.""Mas, khilaf, Lis.""Khilaf yang terulang-ulang." Lisa bicara dengan tegas. Tak sia-sia dia terus melatih
Mbak Wati berlari dari arah dapur, ketika mendengar suara ribut-ribut di kamar Kamila."Ada apa?" tanya seorang pelayan kepada rekannya ketika Wati bergegas dari dapur tempat mereka bekerja."Biasalah. Orang kaya memang selalu begitu," cibir pelayan lain di sampingnya. Seorang perempuan yang semalam telah berhasil memberi obat tidur dalam minuman wanita bercadar di kamar Kamila.Perempuan itu tersenyum. Dia berpikir bahwa keributan pagi ini adalah imbas dari keberhasilan pekerjaannya semalam."Berhenti bergosip! Kalian makan dan digaji oleh orang yang kalian bicarakan keburukannya," tegur kepala pelayan yang tak suka mereka bicara tanpa adab."Not attitude!" dengkusnya sebelum akhirnya melangkah menyusul Wati untuk melihat apa yang terjadi.Mbak Wati yang melihat Bagas dan Sisil sibuk memanggil seseorang, segera mengambil Kamila yang tampak bingung. Untuk kemudian dibawa ke kamarnya dan diurus seperti biasa. Wanita itu tahu diri, hingga tak berani bertanya apapun mengenai keributan in
Lisa memegangi kepala yang berdenyut, saat membuka matanya dengan susah payah. Begitu mengerjap, cahaya menembus celah jendela. Wanita itu terhenyak, pagi telah tiba sebelum ia sempat menunaikan sholat subuh. "Apa yang terjadi? Kenapa aku bisa kesiangan?"Wanita itu bangkit dengan tergesa. Berdiri di depan cermin untuk melepas topeng yang Sisil berikan semalam. "Aku bahkan tak sempat melepas benda ini sebelum tidur. Ini sangat aneh." Lisa meneleng sejenak mengingat-ingat kejadian ganjil semalam. Merasa sudah kehilangan banyak waktu, akhirnya ia bergerak ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan bersiap sholat."Li, Lisa ...." Mata Bagas hampir saja lepas melihat sosok wanita di hadapannya. Sementara wanita yang baru selesai mandi dan merasakan situasi yang tak baik telah menimpa, buru-buru menarik tubuhnya kembali ke kamar mandi, menghindari tatapan pria itu. "Ya Tuhan bagaimana ini?" Lisa menggumam bingung."Apa yang sedang terjadi? Kenapa kepalaku terasa berat?" Lisa berta
"Apa ini, Sil?!" teriak Bagas dengan amarah yang meletup-letup. Baru saja dia berprasangka baik tentang Sisil tapi ternyata dalam sekejap dia menikamnya dengan cara lain.Sisil memutar mata malas. "Udah deh, Mas. Gak usah berisik! Katanya mau lapor Pak RT. Panggil warga buat gerebek aku? Silakan! Sana!""Kamu nantangin aku, Sil! Oke! Kamu akan habis karena berbuat mesum padahal sudah punya suami!" Suara bariton itu menggema, sampai membangunkan pelayan yang tidur di kamar pembantu, terbangun. Namun, seperti biasa, mereka tak berani keluar dan melihat apa yang terjadi di ruang-ruang utama. Hanya kepala pelayan yang berani mengintip dari kejauhan. Takut jika ada perampok dan sejenisnya dan perlu untuk memanggil polisi.Bagas bergegas, dia ingin membuktikan bahwa ucapannya bisa menghancurkan Sisil."Tunggu! Satu langkah kamu keluar dari pintu, aku akan menceraikanmu. Dan menghancurkan hidupmu Mas Bagas! Mau jadi gembel?!" Sisil tersenyum sinis. Namun, rupanya ... sang nyonya dan tuannya
Bagas memasuki kamar yang terbuka. Pria itu melihat dengan heran. Bukannya tadi Sisil sudah naik ke atas. Tetapi, kenapa sekarang tidak ada? "Sudahlah. Aku lelah terus memikirkan wanita gila itu. Aku ingin beristirahat," gumamnya. Setidaknya di samping cilaka bertubi-tubi, ada kabar membahagiakan untuknya. Laura yang tak lagi salah paham dan juga sebentar lagi dia akan tahu bahwa Lisa masih hidup.Langkah lebarnya memasuki kamar, dengan malas mendorong pintu. Begitu melihat kasur, langkahnya semakin cepat. Tak sabar merebahkan diri di sana."Ahhh. Lega sekali! Sepertinya aku akan tidur nyenyak malam ini. Tak perlu waktu lama, Bagas terlelap dan sempat mendengkur. Bahkan dia tak sadar ketika Sisil melihatnya di pintu, lalu kembali.Tak lama suara ponsel mengagetkannya.Dengan kondisi masih mengantuk, Bagas meraba-raba ponsel di nakas. Begitu dapat, ia segera meraihnya."Ya?" sapanya pada orang di ujung telepon."Tuan, saya sudah mengirimkan foto dari pacar saya.""Benarkah? Foto wani
"Mas, gimana?" tanya Laura tak sabar."Udah kamu tenang aja, ya. Besok aku akan cari waktu untuk pulang," bujuk Bagas yang kasihan melihat Laura. Tak pernah bertemu. Padahal dia sedang hamil. Meski Laura punya andil besar atas kekacauan sekarang, tetap saja Bagas tak bisa melepaskan tanggung jawabnya. Dia juga ikut andil, perselingkuhan yang menyebabkan banyak perselisihan tak akan terjadi jika Bagas menutup celah tersebut."Iya, itu harus, Mas. Kamu kan tau aku sedang hamil.""Ya, Sayang. Iya." Kini Bagas melunak. Tak ingin semua sisi menjadi sumber kesumpekan baginya. Terlebih Laura. Hanya dia wanita yang kini mencintai dan mendukungnya."Soal Lisa?" tanya Laura lagi. "Kamu tunggu kabar besok, oke? Aku sudah menyiapkan seseorang untuk memhuka kedoknya."Bagas mencoba menenangkan istrinya. Dia sangat yakin rencananya akan berhasil kali ini._____________Di tempat lain, Bibi yang akan masuk, urung ketika melihat majikannya tengah berbincang di telepon. Dia diam-diam mendengar pembi
"Mas, tadi aku gak sengaja lihat riwayat panggilan di ponsel Bibi. Banyak sekali panggilan dari Sisil dan Lisa. Ini aneh kan Mas. Apa Bibi itu sebenarnya suruhan Sisil untuk mengerjai kita?""Apa? Kamu serius? Gak salah baca?!" Ini sangat aneh menurut Bagas. Kenapa mereka berhubungan?Sementara Lisa yang mendengar percakapan mereka menutup mulut, terkejut. Secepat inikah rencananya dan Sisil terbongkar?Dia yang terkejut berbalik arah dan pergi meninggalkan tempatnya. Namun, nahas. Gamisnya nyangkut, hingga menimbulkan suara ketika ia bergerak.Bagas sontak menoleh, mencari asal suara. Dia pun bangkit, bergerak mendekat dan meninggalkan panggilan dengan Laura. Saat berdiri persis di depan pintu, Lisa sudah berjalan menjauh. "Tunggu!" serunya, hingga membuat Lisa menghentikan langkah.Pria itu pun berjalan semakin mendekat. Penasaran. Apa yang dilakukan baby sitter itu? Perempuan berhijab yang Sisil pekerjakan dan dicurigai Bagas sebagai Lisa. Dia pasti sudah mendengar obrolannya deng