Sekali saja terjerembab dalam lubang kesalahan, semua yang kita upayakan hancur! Maka berhati-hatilah ....Bianca berdiri menyambut Alina yang sudah memakai pakaiannya sendiri dan melepaskan pakaian narapidana. Pakaian bukan lagi pakaian yang dikenakan saat dalam sel bersama tahanan lain. Dan ini adalah awal menyenangkan untuknya. Pelukan hangat dan tangis haru mewarnai pertemuan itu. Alina sangat senang Bianca bisa membebaskannya dalam waktu dekat, sebelum ia benar-benar membusuk dipenjara."Untunglah, Alina. Aku sangat takut." Bianca mengucap seolah sangat lama tidaj berteu Alina dan tak ingin lagi terpisah. "Sudah, Bi. Ayo kita pergi dulu dari sini. Aku takut polisi berubah pikiran dan memasukkanku ke sel lagi." Alina menarik lengan Bianca ke luar. Bianca mendesis. Gadis bodoh di hadapannya punya selera humor juga. Lamgkah dua wanita cantik itu menuju sebuah taksi yang sudah Bianca sewa. "Cepat sekali, Bi. Apa yang terjadi?" tanya Alina begitu mereka sudah berpindah tempat ke d
Saat Yumna ke dapur ia melihat seseorang mencurigakan. Seharusnya pegawai mereka tidak bicara di telepon saat ada kesibukan seperti sekarang. Kepala pelayan akan mengumpulkan ponsel semua pelayan agar tidak ada yang mengganggu pekerjaan mereka. "Mbak, maaf apa ada masalah? Kok menerima panggilan?" Yumna menegur begitu saja pelayan yang bicara serius dengan orang di ujung telepon. Dilihatnya tanda pengenal sang pelayan secara refleks. "Ah." Si pelayan terkejut bukan main, hingga ponselnya terjatuh. Buru-buru ia mengambil sembari memikirkan alasan untuk berkilah. "Em, maaf Nyonya. Em, keluarga saya ada yang meninggal," jawab gadis pelayan tergagap. "Innalillahi wa inna ilahi rojiun. Allahummagfirlahu. Kamu yang sabar ya."Gadis pelayan mengangguk kecil berkali-kali. Benar kata sang bos bahwa Yumna adalah wanita bodoh dan mudah ditipu. "Apa sudah bicara pada kepala pelayan, kalau Mbak bawa ponsel? Tahu sendiri kan konsekuensi melanggar aturan adalah dipecat?""Em. Saya lupa, Nyonya.
Devian memasuki ruangan VIP yang Yumna tempati dengan langkah santai. Istrinya pasti sangat terpukul begitu juga yang ia sendiri rasa. Anak pertama adalah harapan sekaligus kebahagiaan terbesar yang dimiliki sepasang suami istri. Lebih anak itu telah lama diidamkan hadir dalam keluarganya.Saat masuk ke dalam ruangan, Yumna tengah tertidur. Wajah ayunya masih juga sembab. "Maafkan aku, Sayang. Aku tak bisa menjagamu dengan benar," gumamnya lirih. Pelan jari-jari pria tampan itu mengusap pipi pualam milik sang istri. Takut Yumna yang terlihat begitu lelah terbangun. Rasa bersalah memenuhi hatinya, jika saja Devian memberi pengamanan lebih ketat untuk wanita yang kini terbaring lemah di hadapan. Tentu kejadian seperti sekarang bisa diantisipasi. Merasakan sentuhan di wajahnya, mata Yumna terbuka. Manik hitamnya bergerak-gerak, menangkap sebuah senyuman di wajah sang suami yang memandanginya dengan iba. Namun, bukannya membalas senyum itu, mata bulat Yumna kembali berembun. Kaca-kaca
Ya, demi bisa kembali masuk dalam kehidupan Devian, setidaknya Bianca harus mau merendahkan diri. Tak peduli apa yang akan Devian pikirkan. Sekarang hanya lelaki yang pernah tergila-gila padanya di hadapnnya satu-satunya harapan."Lalu apa tujuanmu ke mari, Dev?" tanya Bianca dengan pelan. Ia tak mampu lagi berteriak dan menyalahkan lelaki yang akan menceraikannya itu."Kenapa belum kamu tandatangani surat perceraian kita?" tanyanya tegas, Devian mengangkat satu alisnya. Dia heran kenapa Bianca masih bertanya dan bisa sepercaya diri itu setelah apa yang telah dilakukan pad Yumna?"Em, soal itu. Aku pikir kamu akan berubah pikiran, Mas Dev. Kamu tahu aku sedang khilaf karena terlalu cemburu pada Yumna. Kalau saja kamu bisa bertindak tegas dan adil, aku pasti bisa memahami posisi Yumna. Tapi kenyataannya hanya wanita sok alim itu yang selalu kamu banggakan, kamu bahkan malu menjelaskan keberadaanku pada keluargamu. Itu tak adil. Sungguh tak adil." Wajah Bianca muram. Ia seolah menuntut
Mata Yumna menatap ke luar jendela. Orang-orang, trotoar, pohon dan kendaraan seolah bergerak saling berkejaran antara satu dengan yang lain.Ia mneoleh begitu merasa kehangatan di tapak tangannya. Yumna tersenyum, Devian menggenggam tangannya lalu mengangkat dan menciuminya. "Berhenti memikirkan yang tidak-tidak, Sayang."Mata Yumna dipenuhi kaca-kaca. Kalimat-kalimat yang menyemangati memang memberi kekuatan tersendiri, tapi satu sisi kerapuhan mengusik dengan mengingat nasib malang yang menimpa.Yumna mengangguk. "Ya. Tuan."Devian memiringkan senyum. "Kamu masih memanggilku Tuan? Hemh." Devian tertawa dengan mengangkat wajahnya."Tuanku, Sayang. Terimakasih." Kini gantian Yumna yang mengangkat genggaman tangannya. Ditempelkan ke bibir dengan jeda yang lama. Devian hanya tersenyum melihat apa yang istrinya perbuat.Setelah membiarkan apa pun yang Yumna perbuat, kini Devian menarik tubuh yang jauh lebih kurus darinya hingga bersandar ke tubuhnya dalam keadaan memeluk."Oya, ke mana
Devian menutup telepon dari anak buahnya yang mengabarkan kronologi bebasnya Bianca."Ada apa? Kenapa marah begitu?" tanya Yumna yang bingung kenapa Devian marah saat menerima panggilan."Pria itu bilang Bianca sudah dibebaskan.""Apa?! Dibebaskan? Bagaimana bisa?""Pasti ada yang tak beres." Devian memegangi janggut yang ditumbuhi bulu-bulu tipis. Ia tengah berpikir keras, apa yang sebenarnya terjadi? Bagaimana Bianca bisa lepas hanya dengan jaminan? Apa ini ada hubungannya dengan mafia tempo hari? Ah, tak mungkin, mamanya sudah membuat mereka bertekuk lutut tak berdaya."Oya?" Devian tiba-tiba ingat sesuatu. Ucapan yang hanya sepenggal itu membuat Yumna terhenyak. Wanita tersebut mengernyitkan kening menatap suaminya. Sepertinya Devian tahu sesuatu."Ada apa?""Apa ada seseorang yang datang ke rumah sakit dan meminta tandatangan surat damai padamu?" Yumna tampak berpikir sejenak. Setelah yakin dia menggeleng. "Tak ada.""Lalu .... kenapa dia bebas dengan begitu mudah?" Devian men
Di rumah. Devian yang masih memakai pakaian kerja tak sabar mencapai kamar untuk menemui sang istri. "Assalamualaikum, Bidadariku." Tak ada jawaban. Kamar besar itu terasa lengang. Devian celingukan dan tak menemukan Yumna. Detik selanjutnya pria itu menoleh karena dikejutkan seseorang dari arah kamar mandi. Yumna yang tubuhnya hanya terbalut lingerie, menyandar pada pintu. Lipstik menyala di bibir, menunjukkan betapa ia sengaja menggoda. “Waalaikumsalam. Anda mencariku, Tuan?”Wanita yang tak kalah seksi dari artis Hollywood itu mengerlingkan mata menggoda sang suami.Devian tersenyum, tiba-tiba membayangkan Yumna yang semalam mengajaknya berjuang membuat dedek bayi lagi untuk orang tua mereka."Jadi sekarang kamu selalu memimpin?" Devian menaikkan sebelah bibir.Lalu berjalan mendekat sambil menarik dasi yang sudah terlepas simpulnya....Bel rumah berbunyi.Aktifitas mereka terjeda kala mendengar ada tamu yang datang dari lantai bawah."Siapa?" Devian meneleng. "Mama?""Mama
“Bianca!” teriak Ibu Yumna yang sedari tadi di bawah tangga. Dia mencari putrinya ke mana-mana karena tak ada di kamarnya. Tak menyangka dia harus melihat Diana tergeletak, jatuh dari tangga yang tinggi.Di atas sana Nyonya Adiwijaya menatap nyalang dan penuh kebencian ke arah wanita yang tak sadarkan diri yang sudah terlepas niqobnya. Terlebih setelah mendengar tangisan ibu Yumna pecah.Sedang Devian dan Yumna saling menatap penuh keheranan. Ada sesuatu yang pasti terjadi di luar sana. Segera mereka kembali mengenakan pakaian masing-masing. Menunda hasrat yang sempat menggebu yang membutakan cinta. Sesaat dunia seolah milik berdua. Kejutan suara Ibu Yumna membuat mereka tergelak untuk melangkah lebar secara bersamaan keluar dari kamar. Pasangan itu melihat punggung wanita paruh baya yang berdiri tegap di tepi tangga. Tanpa berpikir panjang, Yumna berjalan lebih dulu mendekati ibu mertuanya, melihat apa yang sebenarnya terjadi. “Astaghfirullah … Ibu?!” Yumna turun cepat melewati ana
"Mas, gimana menurut kamu sekarang?" tanya Sisil sembari meletakkan cangkir di atas meja, dekat laptop yang digunakan suaminya untuk kerja. "Hem?" Keanu yang kurang jelas mendongak. Melepaskan tatapan dari layar dan kemudian fokus pada wanita cantik yang hanya mengenakan dress tipis dengan rambut diikat tinggi. "Ya, Sayang. Kamu membahas tentang siapa?" Pria yang profesinya sebagai pengacara itu ingin memperjelas maksud pertanyaan istrinya. "Itu si Laura. Hidupnya kan ngenes, lebih ngenes dari janda yang gada suami." Sisil mengatakan secara detail. Dia sendiri meski merasa benci pada masa lalu Laura yang jahat, ada anak kecil yang tak bersalah hadir di tengah wanita jahat itu dan mantan suami Lisa -kakaknya. "Hem, apa kamu belum puas melihat penderitaannya?" tanya Keanu. Sisil menggeleng. "Lalu?""Aku kasihan pada anaknya, Mas. Apa kita ambil jadi anak angkat aja, ya? Atau kita kirim ke panti biar diasuh orang," celetuk Sisil ketika terpikir untuk menolong anak tidak bersalah i
"Jadi kita harus bagaimana, Mas?" Laura tampak bingung.Bagas mendesah panjang. Dia memikirkan cara bagaimana membalas dendam ada orang-orang yang telah membuatnya terpuruk seperti sekarang."Sudahlah, kita pikirkan nanti, Ra. Mas mau mandi dulu, gerah!" ucap Bagas bangkit. Lelaki itu sudah berjalan mencapai tangga, tapi membalik tubuh karena ada sesuatu yang perlu dia katakan."Ohya, cepat berkemas. Kita harus segera pergi dari sini!" seru Bagas, yang kemudian terus berjalan tanpa menunggu persetujuan sang istri. "Aku perlu menghubungi kolega yang masih punya hutang pribadi padaku, yah cukuplah buat nyewa sebuah rumah minimalis."Laura mendecak sebal. Ia sangat kesal pada Lisa. Wanita itu harus dilaporkan karena kasus penipuan."Tapi bagaimana caranya? Kami bahkan tak punya uang untuk menyewa pengacara." Perempuan yang tengah hamil muda itu mendesah lelah. Dengan langkah gontai bergerak mengikuti Bagas di lantai dua.Bagas yang akan masuk kamar mandi, tiba-tiba harus menghentikan la
Lisa mendesah. "Aku bisa mengurus Kamila sendiri. Toh, selama ini akulah yang mengurusnya, apalagi sejak kamu bertemu mantanmu itu, Mas. Kita cerai saja. Ini sudah keputusan terakhirku." Lisa mengucap tenang. Namun, juga mantap. Seketika wajah Bagas pias. Tak menyangka pada akhirnya Lisa yang lebih dulu menggungat cerai. Habis sudah. Tak ada lagu harapan untuk tetap hidup mewah di keluarga Handoko. Entah, bagaimana reaksi Laura nanti saat tahu, suaminya sekarang hanyalah seorang gembel yang tak memiliki apa-apa."Tap, tapi. Apa kamu sudah memikirkannya baik-baik, Lis? Lihatlah betapa menderitanya aku tanpa kamu selama ini. Mas minta maaf." Bagas menghiba. Berharap Lisa luluh atas permintaan maafnya."Maafku sudah habis, Mas. Aku terus memaafkanmu, tapi kamu tetap memilih mantanmu itu. Mas tak menoleh sedikit pun padaku dan Kamila, yang jelas-jelas telah membersamaimu sejak lama.""Mas, khilaf, Lis.""Khilaf yang terulang-ulang." Lisa bicara dengan tegas. Tak sia-sia dia terus melatih
Mbak Wati berlari dari arah dapur, ketika mendengar suara ribut-ribut di kamar Kamila."Ada apa?" tanya seorang pelayan kepada rekannya ketika Wati bergegas dari dapur tempat mereka bekerja."Biasalah. Orang kaya memang selalu begitu," cibir pelayan lain di sampingnya. Seorang perempuan yang semalam telah berhasil memberi obat tidur dalam minuman wanita bercadar di kamar Kamila.Perempuan itu tersenyum. Dia berpikir bahwa keributan pagi ini adalah imbas dari keberhasilan pekerjaannya semalam."Berhenti bergosip! Kalian makan dan digaji oleh orang yang kalian bicarakan keburukannya," tegur kepala pelayan yang tak suka mereka bicara tanpa adab."Not attitude!" dengkusnya sebelum akhirnya melangkah menyusul Wati untuk melihat apa yang terjadi.Mbak Wati yang melihat Bagas dan Sisil sibuk memanggil seseorang, segera mengambil Kamila yang tampak bingung. Untuk kemudian dibawa ke kamarnya dan diurus seperti biasa. Wanita itu tahu diri, hingga tak berani bertanya apapun mengenai keributan in
Lisa memegangi kepala yang berdenyut, saat membuka matanya dengan susah payah. Begitu mengerjap, cahaya menembus celah jendela. Wanita itu terhenyak, pagi telah tiba sebelum ia sempat menunaikan sholat subuh. "Apa yang terjadi? Kenapa aku bisa kesiangan?"Wanita itu bangkit dengan tergesa. Berdiri di depan cermin untuk melepas topeng yang Sisil berikan semalam. "Aku bahkan tak sempat melepas benda ini sebelum tidur. Ini sangat aneh." Lisa meneleng sejenak mengingat-ingat kejadian ganjil semalam. Merasa sudah kehilangan banyak waktu, akhirnya ia bergerak ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan bersiap sholat."Li, Lisa ...." Mata Bagas hampir saja lepas melihat sosok wanita di hadapannya. Sementara wanita yang baru selesai mandi dan merasakan situasi yang tak baik telah menimpa, buru-buru menarik tubuhnya kembali ke kamar mandi, menghindari tatapan pria itu. "Ya Tuhan bagaimana ini?" Lisa menggumam bingung."Apa yang sedang terjadi? Kenapa kepalaku terasa berat?" Lisa berta
"Apa ini, Sil?!" teriak Bagas dengan amarah yang meletup-letup. Baru saja dia berprasangka baik tentang Sisil tapi ternyata dalam sekejap dia menikamnya dengan cara lain.Sisil memutar mata malas. "Udah deh, Mas. Gak usah berisik! Katanya mau lapor Pak RT. Panggil warga buat gerebek aku? Silakan! Sana!""Kamu nantangin aku, Sil! Oke! Kamu akan habis karena berbuat mesum padahal sudah punya suami!" Suara bariton itu menggema, sampai membangunkan pelayan yang tidur di kamar pembantu, terbangun. Namun, seperti biasa, mereka tak berani keluar dan melihat apa yang terjadi di ruang-ruang utama. Hanya kepala pelayan yang berani mengintip dari kejauhan. Takut jika ada perampok dan sejenisnya dan perlu untuk memanggil polisi.Bagas bergegas, dia ingin membuktikan bahwa ucapannya bisa menghancurkan Sisil."Tunggu! Satu langkah kamu keluar dari pintu, aku akan menceraikanmu. Dan menghancurkan hidupmu Mas Bagas! Mau jadi gembel?!" Sisil tersenyum sinis. Namun, rupanya ... sang nyonya dan tuannya
Bagas memasuki kamar yang terbuka. Pria itu melihat dengan heran. Bukannya tadi Sisil sudah naik ke atas. Tetapi, kenapa sekarang tidak ada? "Sudahlah. Aku lelah terus memikirkan wanita gila itu. Aku ingin beristirahat," gumamnya. Setidaknya di samping cilaka bertubi-tubi, ada kabar membahagiakan untuknya. Laura yang tak lagi salah paham dan juga sebentar lagi dia akan tahu bahwa Lisa masih hidup.Langkah lebarnya memasuki kamar, dengan malas mendorong pintu. Begitu melihat kasur, langkahnya semakin cepat. Tak sabar merebahkan diri di sana."Ahhh. Lega sekali! Sepertinya aku akan tidur nyenyak malam ini. Tak perlu waktu lama, Bagas terlelap dan sempat mendengkur. Bahkan dia tak sadar ketika Sisil melihatnya di pintu, lalu kembali.Tak lama suara ponsel mengagetkannya.Dengan kondisi masih mengantuk, Bagas meraba-raba ponsel di nakas. Begitu dapat, ia segera meraihnya."Ya?" sapanya pada orang di ujung telepon."Tuan, saya sudah mengirimkan foto dari pacar saya.""Benarkah? Foto wani
"Mas, gimana?" tanya Laura tak sabar."Udah kamu tenang aja, ya. Besok aku akan cari waktu untuk pulang," bujuk Bagas yang kasihan melihat Laura. Tak pernah bertemu. Padahal dia sedang hamil. Meski Laura punya andil besar atas kekacauan sekarang, tetap saja Bagas tak bisa melepaskan tanggung jawabnya. Dia juga ikut andil, perselingkuhan yang menyebabkan banyak perselisihan tak akan terjadi jika Bagas menutup celah tersebut."Iya, itu harus, Mas. Kamu kan tau aku sedang hamil.""Ya, Sayang. Iya." Kini Bagas melunak. Tak ingin semua sisi menjadi sumber kesumpekan baginya. Terlebih Laura. Hanya dia wanita yang kini mencintai dan mendukungnya."Soal Lisa?" tanya Laura lagi. "Kamu tunggu kabar besok, oke? Aku sudah menyiapkan seseorang untuk memhuka kedoknya."Bagas mencoba menenangkan istrinya. Dia sangat yakin rencananya akan berhasil kali ini._____________Di tempat lain, Bibi yang akan masuk, urung ketika melihat majikannya tengah berbincang di telepon. Dia diam-diam mendengar pembi
"Mas, tadi aku gak sengaja lihat riwayat panggilan di ponsel Bibi. Banyak sekali panggilan dari Sisil dan Lisa. Ini aneh kan Mas. Apa Bibi itu sebenarnya suruhan Sisil untuk mengerjai kita?""Apa? Kamu serius? Gak salah baca?!" Ini sangat aneh menurut Bagas. Kenapa mereka berhubungan?Sementara Lisa yang mendengar percakapan mereka menutup mulut, terkejut. Secepat inikah rencananya dan Sisil terbongkar?Dia yang terkejut berbalik arah dan pergi meninggalkan tempatnya. Namun, nahas. Gamisnya nyangkut, hingga menimbulkan suara ketika ia bergerak.Bagas sontak menoleh, mencari asal suara. Dia pun bangkit, bergerak mendekat dan meninggalkan panggilan dengan Laura. Saat berdiri persis di depan pintu, Lisa sudah berjalan menjauh. "Tunggu!" serunya, hingga membuat Lisa menghentikan langkah.Pria itu pun berjalan semakin mendekat. Penasaran. Apa yang dilakukan baby sitter itu? Perempuan berhijab yang Sisil pekerjakan dan dicurigai Bagas sebagai Lisa. Dia pasti sudah mendengar obrolannya deng