"Makan terus!!! Badan sudah kayak gerobak sayur gitu, tapi makan nggak berhenti berhenti juga!"
"Kurangi makan dong! Diet! Biar bisa kayak Mbak Maya! Langsing dan sinset seperti artis Korea! Bukan kayak kamu yang gendut mirip gorila!" ucap Mas Arif, suamiku sambil melirik sinis ke arahku.
Aku yang sedang menyuap nasi ke mulut sontak menghentikan suapanku lalu menoleh kaget ke arah nya.
Meski pun bukan kali pertama ini dia bicara sekasar itu padaku, tapi kekasaran Mas Arif kali ini rasanya sungguh sudah keterlaluan.
Masa iya, aku yang baru saja mengalami penambahan berat badan akibat hamil dan melahirkan putrinya, dikatakan gendut seperti gorila seperti katanya barusan. Apa tidak keterlaluan dan tak wajar? Sungguh tak terpuji dan buruk sekali lisan suamiku ini.
"Tapi ... Mas, aku kan habis melahirkan. Mana sekarang ini lagi menyusui. Wajar kan aku gemuk, Mas karena perubahan hormon di masa seperti itu? Kalau aku diet, apa nggak kasihan Kayla, Mas? ASI-nya jadi terganggu nanti?" jawabku mencoba membela diri dan memberikan penjelasan.
Namun, mendengar jawaban dariku itu, Mas Arif justru melebarkan cibirannya.
"Alaaaah ... Alasan aja! Bilang aja kamu memang hobinya makan! Soalnya nggak mikir nyari duit itu susah! Nggak mikir kerja itu capek, makanya makan terus kerjamu! Nggak mikir mau ngerem ngerem lagi karena di rumah ini semuanya sudah tersedia dan serba ada! Nggak tahu kalau aku tuh nyarinya susah! Banting tulang memeras keringat setiap hari! Sementara kamu tahunya cuma makan aja dan ngabisin semuanya!" tukasnya lagi dengan nada nyelekit. Membuat dadaku yang sudah sesak semakin terasa sesak dan perih mendengarnya.
Sungguh, tak pantas sekali untuk didengar rasanya lisan suamiku ini!
"Itu ... Mbak Maya juga habis melahirkan. Tapi badannya kok bisa tetap singset begitu! Ramping kayak artis! Kok kamu aja yang enggak! Makin gembrot aja kayak galon air!" sambungnya lagi masih dengan nada kasar dan tak enak didengar.
"Gimana suami mau betah di rumah coba kalau tiap hari lihat tedmon dalam rumah terus! Apa nggak bawaan pengen kabur aja cari selingkuhan baru!" sentaknya lagi sambil menjatuhkan tubuhnya dengan kasar ke kursi ruang tamu.
Aku yang sedang makan, terkejut sekali mendengarnya dan terpaksa meletakkan kembali piring di atas tanganku ke atas meja dan membuang nafas kasar untuk mengurangi rasa sesak yang melanda di dada.
Sakit sekali rasanya mendengarkan penghinaan suami seperti ini. Apalagi dia sampai mengatakan ingin mencari selingkuhan baru karena melihat aku yang makin gendut saja dari hari ke hari.
Kalau tak ingat aku baru saja melahirkan dan kondisi badan juga belum pulih betul, mau rasanya aku pulang kembali ke rumah orang tua detik ini juga untuk menenangkan diri.
Ya, siapa yang tahan diomeli suami setiap hari? Padahal kalau aku gendut dan berisi, itu juga karena aku baru saja melahirkan buah hatinya sendiri?
Tapi mau bagaimana lagi, kesehatanku belum pulih betul. Ditambah Kayla yang masih bayi, tak mungkin rasanya aku membawanya ke rumah orang tua menggunakan kendaraan umum.
Jadi biarlah untuk sementara terpaksa aku tahan penghinaan ini. Bagaimana pun juga aku harus sadar kalau saat ini kondisiku belum memungkinkan.
Tapi nanti, kalau aku sudah lebih baikan, mungkin ada bagusnya juga aku pulang ke rumah orang tua, supaya Mas Arif bisa berpikir ulang kalau mau menghinaku lagi.
Mas Arif. Namanya memang bagus. Tapi sepertinya akhlak dan lisannya masih belum sebagus dan sebaik namanya itu.
"Ada apa sih ribut ribut? Kayla baru saja tidur kan? Nanti terbangun lho."
Sedang aku dan Mas Arif ribut, ibu mertua tiba tiba keluar dari kamar dan mendekat ke arah kami.
Melihat kehadiran ibunya, Mas Arif terdiam sesaat. Namun, kemudian membuka mulutnya.
"Ini, Bu si Alya, makin hari makin gendut aja! Sumpek aku lihatnya! Dah kek bak sampah aja semua makanan ditelan!" jawab Mas Arif dengan nada kesal pada ibunya.
Bu Ani, ibu Mas Arif menoleh padaku lalu tersenyum tipis.
"Iya, betul. Alya ini makin hari memang makin gendut aja. Mbok ya diet tho, Ya. Kasihan anakku, pulang kerja capek capek, bukannya seneng liat istrinya cantik dan wangi, malah disuguhi pemandangan istri kayak galon air gini!"
"Kamu mau ya, si Arif selingkuh! Kalau nggak mau, jangan cuek begitu dong! Mulai hari ini juga kurangi makan, biar nggak gendut lagi. Dan Ibu bisa hemat beras!" ujar Ibu mertua, setali dengan putranya, ikut ikutan menghina dan menyudutkan aku.
"Pantas aja masak nasi habis terus. Rupanya kamu yang ngabisin ya, Ya!" tandas Bu Ani lagi sambil melotot ke arahku.
Mendengar itu, lagi lagi aku menghembuskan nafas yang terasa menyesak di tenggorokan. Apa iya, makan tiga kali sehari bisa dibilang boros?
Lagi pula saat ini aku memang sedang menyusui. Tambah lagi, walau pun baru saja melahirkan tapi pekerjaan rumah dan mengasuh Kayla aku kerjakan sendirian.
Makanya capek dan lelah sudah pasti. Dan itu mungkin yang membuatku selalu merasa haus dan lapar karena pekerjaan rumah yang tak pernah habis habis, ditambah menyusui Kayla yang sedang kuat kuat nya minta ASI. Jadilah porsi makanku memang naik dari sebelumnya.
Tapi jika hanya karena itu, Mas Arif dan Bu Ani sampai tega menghinaku dan mem-bullyku habis habisan seperti ini, apa itu wajar?
"Tapi, Bu ... Alya kan habis melahirkan. Wajar kan kalau Alya makan terus biar ASI Alya juga lancar. Biar Kayla kenyang, Bu," sahutku mencoba membela diri.
Namun, lagi lagi baik Bu Ani maupun Mas Arif sama sama mencibirkan bibirnya ke arahku.
"Nah, dengar itu Bu ... selalu Kayla jadi alasan! Padahal bayi seperti itu nyusunya berapa banyak sih? Dasar kamu aja yang hobi makan dari dulu. Nyesel Mas nikahin kamu kalau cuma buat ngasih makan kerbau bunting seperti kamu!" ujar Mas Arif lagi sambil menatap penuh rasa tak suka padaku.
"Iya! Berapa banyak sih Kayla ASI-nya? Jangan jadi alasan buat banyak makan dong, Ya! Sekarang apa apa mahal! Kalau kamu nggak ngerem makan, Ibu dan Arif yang susah nanti! Harus beli beras terus! Padahal beras mahal! Minyak mahal! Semua mahal sekarang!" timpal Bu Ani pula mendukung perkataan Mas Arif.
Mendengar itu aku membuka mulut lalu menjawab perkataan keduanya.
"Cukup, Mas! Bu! Kalau kamu dan Ibu memang keberatan aku makan terus, atau keberatan aku jadi istri kamu lagi, kamu antar aja aku pulang ke rumah orang tuaku lagi, Mas!"
"Insyaallah di sana aku bisa makan kenyang demi Kayla! Toh sebelum menikah dan jadi istri kamu dulu, aku juga bekerja dan punya uang! Aku bisa membeli semua yang aku suka dengan uangku! Tapi sejak menikah sama kamu, aku jadi susah begini! Jangankan mau beli skincare, baju dan yang lainnya! Mau makan aja susah!" ujarku dengan nada keras dan sengit membalas perkataan mereka.
Mendengar perkataanku itu, Bu Ani dan Mas Arif terdiam. Namun, sesaat kemudian ibu mertuaku itu menjawab.
"Nggak usah macam macam kamu, Alya! Kalau kamu mau pulang kembali ke rumah orang tua kamu lagi, tinggalkan cucu Ibu di sini karena dia anaknya Arief! Tapi kalau kamu nggak mau ninggalin Kayla, kamu nggak usah banyak omong dan sok sok an mau pergi segala dari rumah ini deh!"
"Cukup kurangi aja porsi makan kamu dan banyakin kerja! Karena nggak mungkin Ibu dan Arif ngasih kamu makan sementara kamu nggak punya sumbangsih apa apa di rumah ini!" Bentak Ibu mertua ku lagi.
"Bener! Sok sokan mau pulang segala! Sampai sana nanti nyesal! Dikira enak jadi janda! Dasar istri durhaka! Dinasehati baik baik supaya jaga penampilan, malah melawan dan mau pulang ke rumah orang tua! Aku kabulkan, baru nyesal kamu nanti!" Sambar Mas Arif lagi dengan nada pongah.
Mendengar perkataan dua orang itu aku hanya mampu menahan rasa geram di dalam hati. Aku tak mau karena pertengkaran kami ini, putriku Kayla terbangun dari tidurnya dan rewel karena tak bisa tidur nyenyak.
Demi putriku, aku akan melakukan apa saja supaya dia bahagia dan tenang.
Tunggu saja perlawanan dariku nanti Bu! Mas! Sudah cukup aku diam! Sudah cukup aku mengalah! Akan aku buktikan nanti kalau tanpa kalian pun, aku juga bisa makan kenyang tanpa perlu mengemis lagi seperti ini!
Ya, kalau pun aku diet dan ramping, itu bukan karena tak bisa makan kenyang sebab tak diberi makan lagi tapi karena aku harus jaga penampilan, sebab aku bertekad, setelah Kayla bisa ditinggal nanti, aku akan kembali bekerja supaya tak lagi bergantung hidup pada Mas Arif dan ibunya!
"Sin, apa kabar? Kamu masih kerja di tempat kita kerja dulu, Sin?" tanyaku begitu panggilan dariku diterima oleh Sinta, teman lama yang sampai sekarang masih berhubungan baik denganku meski akibat menikah dan melahirkan, hubungan pertemanan kami tak lagi intens seperti dulu karena kesibukanku mengurus suami dan putri kecilku, Kayla."Alhamdulillah, kabar baik, Ya. Kamu sendiri gimana kabarnya? Sudah lama gak hubungi aku? Kamu baik baik aja, Ya?" sahut Sinta dari seberang.Aku menghembuskan nafas. Ingin menjawab tidak, tapi tak mungkin. Terpaksa aku menutupi yang sebenarnya terjadi."Alhamdulillah aku baik baik aja, Sin. Cuma ... saat ini aku lagi butuh pekerjaan. Apa kantor masih butuh staf baru, Sin? Aku pengen ngelamar kerja lagi kayaknya," ujarku membalas pertanyaan Sinta."Apa? Kamu mau kerja lagi? Bukannya kamu baru saja melahirkan ya? Kok malah mau kerja lagi? Emangnya kenapa, Ya?" tanya Sinta dari seberang telepon dengan nada kaget dan tak percaya.Lagi lagi aku menghembuskan n
Mendengar ucapanku, ibu mertua tampak kaget. Wajah ibunda Mas Arif itu terlihat merah."Lancang kamu ya! Ngomong sama mertua nggak ada sopan sopannya sama sekali! Dasar menantu kurang ajar! Nggak pernah dididik orang tua kamu makanya bisa ngomong seperti ini sama mertua? Iya?""Apa kata kamu tadi? Mau melamar pekerjaan di perusahaan kamu yang dulu itu? Nggak salah? Apa iya, perusahaan bonafit seperti itu mau menerima karyawan gendut seperti kamu?""Jangan mimpi deh, Alya! Cukup kamu jadi istri Arif yang baik saja! Nggak usah banyak mimpi karena nggak akan ada perusahaan yang mau memperkerjakan perempuan kek kamu! Mending kamu daftar jadi atlet Sumo aja dari pada ngelamar di perusahaan itu karena itu yang lebih cocok buat kamu!""Dulu mungkin kamu bisa bekerja di sana karena badan kamu masih ramping dan singset tapi sekarang badan kamu sudah melar seperti martabat India! Gimana perusahaan mau menerima kamu bekerja kembali!" hardik ibu mertua membalas perkataan dan bantahan dariku tadi.
Sekarang setelah jadi istri Mas Arif dan harus merangkap menjadi pelayan suami dan mertua, juga adik ipar, bobot badanku memang naik drastis dari yang dulu sebab aku jadi tak punya waktu untuk olah raga. Dan wajah yang dulu full perawatan sekarang jadi full minyak dan komedo karena hampir tak punya waktu luang dan uang untuk pergi ke salon.Ya, keputusan salah memang menikah dan menjadi istri Mas Arif, laki laki yang aku anggap baik dan bertanggung jawab, tetapi ternyata tidak. Mas Arif justru sangat mengecewakan sebagai seorang suami.[Ya, gimana? Terima nggak tawaran ini? Kalau iya besok kamu kirim surat lamaran dan CV ya. Biar aku teruskan ke bagian personalia. Cuma formalitas aja ini mah, soalnya aku tadi udah bicara langsung sama Pak Arga dan beliau menerima.] tulis Sinta lagi di ujung ponsel.Aku pun buru buru mengiyakan dan tak lupa mengucapkan terima kasih banyak atas pertolongannya sebab sudah bersedia meluangkan waktu untuk mencarikan aku lowongan pekerjaan sampai sampai men
"Rif, syukurlah kamu sudah pulang! Lihat itu istrimu, dari kemarin nggak keluar keluar juga dari dalam kamarnya! Maunya apa sih? Mau minta mati apa ya! Huh, amit amit! Punya mantu kok nggak ada ot*knya!" cerocos ibu mertua terdengar dari dalam kamarku. Kelihatannya Mas Arief baru saja pulang. Sesuai dengan isi pesan W******p darinya tadi kalau sebentar lagi dia memang mau pulang ke rumah untuk mandi dan ganti pakaian setelah semalaman dia tak pulang. "Memangnya Alya kenapa lagi sih, Bu? Bikin ulah apa lagi dia? Kok nggak berhenti berhenti nya bikin masalah terus?" tanya Mas Arif dengan nada suara meninggi. Mendengar itu, di dalam kamar, aku hanya bisa menghembuskan nafas yang terasa menyesak di tenggorokan. Nasib punya suami dan mertua yang tak punya perasaan seperti mereka. Tiap hari hanya bisa mencari kesalahan dan kekurangan menantunya semata tanpa bisa melihat kelebihannya. "Itu, disuruh nyuci bajunya Yuni aja nggak mau! Tahan masuk kamar dan ngunci pintu dari kemarin! Dasar m
"Tapi, Bu?" Mas Arif terlihat ragu. "Nggak ada tapi tapi! Usir istri mu ini dari rumah ini sekarang juga, Rif! Dan suruh dia bawa anaknya sekalian! Biar Ibu juga nggak pusing lagi dengan suara tangisan anaknya setiap hari!" "Mending kamu nikah lagi aja dan kasih Ibu cucu yang bener! Yang nggak kayak anaknya Alya yang rewel dan hobi nangis! Ibu gedek denger anak kamu itu nangis tiap hari, Rif!" sergah Ibu mertua dengan tanpa perasaan. Sakit rasanya hati ini mendengar beliau menghina putri semata wayang yang sangat aku sayangi itu, tapi sudahlah ... biar saja ibu mertua ngomong apa saja yang penting Mas Arif cepat menjatuhkan talak padaku sehingga aku bisa keluar dari rumah ini menuju kediaman Sinta, seperti yang ditawarkan sahabatku itu malam tadi, dengan bebas dan tenang. Tak ada lagi Mas Arif yang akan menghalangi niatku untuk pergi dari rumah ini dan kembali bekerja. Sinta telah berjanji akan meminjamkan aku uang untuk biaya hidup dan menyewa pengasuh untuk Kayla bila aku bekerj
"Makasih, Mas ... kamu nggak usah repot repot mesenin travel buat aku karena aku akan pergi sendiri dari rumah ini kalau memang Mas dan Ibu sudah nggak menghendaki aku dan Kayla tunggal di rumah ini lagi!" "Nggak masalah Mas, kalau memang kehadiran aku di rumah ini dianggap hanya jadi benalu, aku akan pergi sekarang juga! Tunggu sebentar, aku akan kemasi barang barangku dan Kayla lebih dulu lalu pergi dari sini! Kamu dan Ibu nggak usah khawatir, aku nggak akan bawa apa apa karena aku nggak butuh itu!" "Kalau ada barang barang atau pakaian ku dan Kayla yang tertinggal, kamu buang aja ke tong sampah karena aku nggak mungkin bisa membawa semua itu sekarang! Aku cuma bisa bawa seperlunya saja!" "Ya udah Mas, aku kemas kemas dulu. Nggak akan lama kok. Jadi kamu dan Ibu tenang aja ya!" ujarku lalu setelah itu masuk kembali ke dalam kamar dan mulai memasukkan baju bajuku yang masih layak pakai dan baju baju Kayla ke dalam tas pakaian. Setelah itu aku mengambil Kayla yang sedang lelap dari
"Al, Kayla tidur? Kalau sudah tidur, kita ke belakang yuk! Ngobrol sambil sarapan dulu!" ujar Sinta saat aku baru saja membaringkan Kayla di atas tempat tidur di dalam kamar yang disediakan Sinta untuk aku dan Kayla.Aku menganggukkan kepalaku lalu tersenyum."Iya, Sin. Baru saja tidur. Makasih ya, Sin atas pertolongan kamu. Kalau nggak ada kamu, aku nggak tahu, aku dan Kayla akan pergi ke mana untuk berteduh," ujarku sekali lagi sambil memeluk bahu Sinta dan mengikuti langkah sahabatku itu menuju ruang makan.Sinta menggelengkan kepalanya mendengar perkataanku."Sudah, Al. Nggak usah ngomong gitu terus. Aku malah seneng kok kalau kamu dan Kayla tinggal di sini, jadi aku nggak kesepian lagi.""Oh ya, kamu jadi kan mau kerja di perusahaannya Pak Arga lagi? Kalau iya, nanti kamu tulis surat permohonan ya biar besok pagi aku menghadap beliau.""Sekarang kamu makan dulu, sarapan dulu dulu biar kuat, biar bisa ngadepin suami dan ibu mertua kamu kalau mereka masih mencari cari masalah denga
Pov ArifAku tersenyum puas sesaat setelah melihat bayangan istriku dan anaknya yang dari sejak awal kelahirannya memang tak aku harapkan itu menghilang di balik taksi yang mereka tumpangi. Entah ke mana.Syukurlah, setelah terpaksa harus bersitegang urat leher dengan perempuan norak dan kampungan itu, akhirnya aku bisa juga mengusirnya pergi dari rumah ini.Sebenarnya sudah lama aku ingin Alya pergi dari rumah ibu ini di mana selama ini kami tinggal bersama, akan tetapi sayang Ibu selalu menghalang halangi ku dengan alasan tak ada orang yang bisa dijadikan pembantu dan pesuruh yang tidak perlu dibayar di rumah ini kalau Alya tak ada.Terpaksa lah aku mengalah demi beliau karena hal itu. Itu sebabnya saat tiba tiba beliau sendiri yang meminta Alya supaya segera pergi dari rumah ini pasca menolak diperintah untuk mencucikan baju baju Yuni, aku pun merasa girang tak kepalang.Ya, akhirnya aku bisa juga hidup bebas tanpa perempuan gendut dan tak menarik itu lagi. Beda dengan Soraya yang
Setelah percakapannya dengan Bu Dewi yang membuat hatinya panas, Anggi melangkah keluar dari butik dengan wajah muram. Pikirannya terus memutar ucapan Bu Dewi tentang Alya, calon menantu sederhana yang telah merebut hati Arga. Tidak mungkin dia membiarkan perempuan seperti itu memenangkan segalanya.Sambil masuk ke mobilnya, Anggi mengambil ponselnya dan menghubungi salah satu anak buah kepercayaan papanya yang sering dia minta jasanya untuk membantunya menyelesaikan berbagai urusan pribadinya."Hallo, Pak Rendi. Bisa bantu saya dengan sesuatu?" ujar Anggi dengan nada dingin namun penuh maksud."Tentu, Nona Anggi. Ada yang bisa saya lakukan?" balas suara pria paruh baya di seberang."Saya ingin Anda menyelidiki seseorang. Namanya Alya. Katanya dia bekerja sebagai pengelola butik Bu Dewi, ibunya Arga. Saya butuh semua informasi tentang dia. Masa lalunya, keluarganya, apa pun yang bisa Anda temukan. Secepatnya," perintah Anggi tegas."Baik, Nona. Saya akan segera mencari informasinya,"
POV Author"Tante, Apa kabar?" tanya Anggi sembari melangkahkan kakinya dengan jumawa mendekati sosok Bu Dewi yang tengah mengecek persediaan barang di butik miliknya tersebut.Mendengar suara seseorang bertanya kabarnya, sontak Bu Dewi pun membalikkan badannya dan terkejut saat mendapati sosok putri sahabatnya yang dulu dia ketahui sebagai teman dekat Arga meski Bu Dewi tak tahu persis sebatas mana hubungan mereka itu, tengah memandang ke arahnya sembari menyunggingkan senyum manis."Ang-Anggi? Kamu Anggi, kan? Putrinya Herman?""Kapan kamu pulang dari Australia, Sayang? Alhamdulillah kabar Tante baik. Kabar kamu sendiri gimana?" sambut Bu Dewi ramah sembari balas tersenyum pada sosok gadis cantik di depannya itu."Kabar aku baik baik aja, Tante. Oh ya, ini butik Tante ya? Makin gede dan maju aja, Tan. Mau dong Anggi kerja sama Tante, soalnya Anggi belum ada kerjaan nih setelah lulus kuliah kemarin, Tan," ucap Anggi pura pura ingin melamar pekerjaan di butik milik Bu Dewi padahal dal
POV AuthorUsai mengantarkan ibunya kembali ke kantor pusat, Arga pun kembali menuju ke kantornya sendiri. Namun, baru saja membuka pintu ruangan kerjanya, netranya sudah disuguhkan pemandangan yang membuatnya tak suka. Seorang perempuan muda berwajah cantik namun berpakaian kurang bahan, telah menunggunya di sofa ruang tamu.Melihat kedatangannya, wanita itu reflek bangun dari tempat duduknya lalu berjalan dengan langkah kaki gemulai dan bibir menyunggingkan senyum menggoda mendekati sosok Arga yang memandang dengan rahang mengeras karena tak mengira perempuan yang barusan meneleponnya tadi dan tidak dia angkat itu ternyata sudah menunggunya di ruang tamu ruangan kerjanya. Benar benar tak paham dengan penolakan yang dia berikan barusan."Mas Arga? Kamu dari mana? Kok telpon dariku nggak kamu angkat? Kenapa sih? Kamu sibuk banget ya sampai sampai nggak sempat angkat telepon dari aku?" tanya Anggi dengan suara manja sembari tanpa malu malu lagi langsung melingkarkan kedua tangannya di
Pov Alya"Gimana, Al? Arif masih gangguin kamu dan Kayla?" tanya Pak Arga saat siang ini mengantar Bu Dewi mengecek butik cabang yang sekarang aku kelola karena konon mobil Bu Dewi sedang masuk bengkel karena ada sedikit kerusakan.Aku menggelengkan kepala lalu tersenyum lega."Alhamdulillah enggak, Pak. Mas Arif nggak ganggu lagi. Semoga selamanya begitu ya, Pak. Aamiin," jawabku lega karena sejak pindah ke rumah baru, Mas Arif memang tak lagi bisa menggangguku.Setelah pindah ke rumah baru, aku memang memperkerjakan dua orang satpam yang bertugas menjaga rumahku selama dua puluh empat j setiap hari agar mantan suamiku itu tak bisa lagi mendekatiku atau pun Kayla, sehingga sejauh ini kami pun aman dari gangguannya."Lho ... kok manggilnya Bapak sih, Al? Mas dong. Kan kalian sebentar lagi mau menikah. Masak masih manggil bapak ke Arga?" sela Bu Dewi tiba tiba sambil menatapku.Mendengar perkataan ibunya tersebut, Pak Arga juga refleks menatap ke arahku dengan pandangan bertanya, semen
POV Arif"Gimana ini, Rif? Alya kayaknya beneran nggak balik balik lagi ke rumah ini. Jangan jangan dia udah nggak tinggal di sini lagi? Nggak mungkin soalnya dia mau lama lama di rumah sakit kalau pun Kayla sakit. Ini sudah hampir dua mingguan soalnya. Nggak mungkin demam biasa seperti Kayla itu mau dirawat lama lama di rumah sakit, Rif.""Jangan jangan Alya memang nggak tinggal di sini lagi, Rif. Kalau iya, tinggal di mana ya? Apa pindah kontrakan ke tempat lain? Terus kalau gitu gimana? Kita datangi aja ke butiknya atau gimana?" tanya Mbak Maya saat keesokan paginya kami kembali ke kediaman Alya dan lagi lagi menemukan rumah itu kosong tanpa terdengar keberadaan Kayla dan pengasuhnya sama sekali di rumah itu.Aku menghembuskan nafas mendengar perkataan Mbak Maya itu."Iya, Mbak. Kayaknya sih dia pindah kontrakan. Tapi kenapa ya? Apa karena kemarin Kayla kita culik terus jadinya dia pindah kontrakan supaya kita nggak bisa culik dia lagi gitu? Ha ha ha, kecele dia kalau begitu! Dia p
POV ArifDengan nekad dan berusaha mengumpulkan keberanian, aku, Mbak Maya dan Yuni pun kemudian mengendap endap mendekati rumah kontrakan Alya dan mengetuk pintunya dengan cukup keras saat sudah sampai di depan teras. Berharap Alya yang keluar supaya bisa langsung kami eksekusi.Namun, dari dalam tak terdengar suara siapa siapa sehingga kami pun hanya bisa saling pandang dengan ekspresi bingung. Jangan jangan benar, saat ini Alya tengah berada di rumah sakit karena kondisi Kayla yang mungkin sakit beneran akibat aku culik kemarin sehingga Alya harus menginap di sana?Berpikir begitu aku pun membuka mulutku."Gimana ini, Mbak? Kayaknya di dalam emang nggak ada siapa siapa. Mungkin bener Kayla dirawat di rumah sakit, Mbak. Sekarang gimana? Apa kita datang lagi aja besok, mana tahu Alya udah pulang dan bisa kita culik, Mbak?" kataku.Mbak Maya pun menganggukkan kepalanya tanda setuju."Iya, gitu aja deh! Besok kita ke sini lagi aja. Soalnya kalau ke tempat kerjanya kan jauh. Lagi pula
POV Arif "Mbak, kok sepi ya? Dari tadi nggak ada tanda tanda Alya keluar dari rumah itu. Terus suara si Kayla dan pengasuhnya juga nggak kedengaran. Apa jangan jangan mereka lagi pergi ya?" tanyaku pada Mbak Maya yang berada tepat di depanku. Saat ini kami tengah berada di balik tembok pembatas yang memisahkan jalan setapak di sebelah rumah kontrakan Alya dan temannya itu dengan rumah kontrakan yang mereka huni tersebut. Mendengar pertanyaanku, Mbak Maya terdiam sesaat sebelum kemudian membuka suaranya. "Iya, Rif. Sepi ... Alya juga nggak kelihatan dari tadi keluar dari kontrakan itu. Apa jangan jangan dia nggak kerja ya? Atau jangan jangan sakitnya Kayla lumayan parah sehingga harus nginap di rumah sakit segala?" "Duh, nggak ada petunjuk sama sekali ini. Tapi kalau Alya bener bener nggak keluar dari rumah itu, artinya ada sesuatu yang sedang terjadi, Rif. Tapi apa Mbak juga nggak tahu? Apa Kayla sakit parah sehingga harus dirawat di rumah sakit ya?" "Duh, gimana ini? Sudah satu
POV Arif "Apa, Pak? Saya dipecat? Tapi salah saya apa, Pak? Tidak berkompeten? Tidak di inginkan lagi di perusahaan ini? Yang benar saja, Pak?" "Sudah bertahun tahun saya bekerja di perusahaan ini, tapi mengapa baru kali ini saya dibilang tidak kompeten? Sebenarnya salah saya apa, Pak?" Aku benar benar tak mampu menguasai diri hingga mencecar Pak Alex dengan seribu pertanyaan yang melanda hatiku saat ini. Bagaimana bisa Pak Alex mengatakan aku tak berkompeten dan tak diinginkan lagi berada dalam perusahaannya setelah bertahun tahun aku justru sudah mendedikasikan diriku di perusahaan ini. "Ya, Pak Arif sudah tidak kompeten lagi untuk kami pekerjakan di perusahaan ini. Perusahaan ini butuh orang orang yang total dalam bekerja. Cerdas dan berkemampuan. Sementara saya perhatikan dua atau tiga bulan terakhir ini, Pak Arif malas malasan dalam bekerja." "Pak Arif seperti orang yang punya masalah pribadi sehingga datang ke kantor dalam keadaan tidak fresh dan tertekan. Bapak juga tidak
POV AlyaAku baru saja tiba di kantor saat ponselku bergetar. Ternyata telepon dari Yanti, asisten rumah tanggaku. Berharap mendapatkan kabar baik soal keberadaan putriku yang saat ini masih berada di tangan Mas Arif, aku pun gegas mengangkat panggilan tersebut.Benar saja, saat aku terima panggilan darinya, ternyata Yanti memang mengabarkan tentang kepulangan Kayla yang barusan saja diantar oleh Mas Arif ke rumah."Bu, alhamdulilah ... adik udah dipulangkan sama Pak Arif, Bu. Barusan aja ... sekarang adik ada di rumah. Tapi badannya agak panas sih, Bu. Apa Ibu bisa pulang sebentar untuk belikan adik obat penurun panas?" ucap Yanti yang membuatku seketika merasa lega.Meski pun kata Yanti, Kayla dalam keadaan panas badannya tapi setidaknya putri semata wayangku itu sekarang telah kembali berada di tanganku.Selepas ini aku akan berusaha menjaga Kayla dengan sebaik baiknya. Tak akan kubiarkan Mas Arif mendekatinya lagi dengan alasan apa pun juga bila niatnya hanya ingin melakukan yang