Zahra melihat dr. Femi yang baru saja keluar dari ruang di mana Budi di rawat. Dengan cepat Zahra menghadang jalan dr. Femi.“Dokter Femi! Maaf apa benar dr. Budi akan menjalani operasi untuk mengamuptasi kakinya?” tanya Zahra dengan bibir gemetar. Sejujurnya dia tidak siap menerima jawaban dari pertanyaannya.“Benar!” jawab dr. Femi dengan singkat.‘Tapi bagaimana mungkin. Bukankah yang terluka parah adalah bagian kepala?”“Kami sudah berhasil menangani luka pada bagian kepala. Dan operasi di bagian kaki harus dilakukan dengan kemungkinan terburuk adalah amputasi!”Jawaban dari dr. Femi membuat Zahra tak berdaya. Seolah separuh nyawanya terasa melayang.“Dokter Femi. Tolong lakukan yang terbaik dan usahakan untuk tidak mengamputasi kaki dr. Budi!” Zahra memohon kepada rekan sejawatnya.Dokter bertubuh tambun itu menarik napas panjang. Dia juga sangat mengerti dengan kekhawatiran Zahra.“Bukan saya yang akan menangani. Kita menunggu dr. Jamal yang ahli bidangnya. Dan tentunya, dr. Jam
Setelah pemakaman Vero usai, Zahra segera menuju rumah sakit ditemani oleh sang suami. Di setiap detik pikirannya terus tertuju kepada Budi. Menurut informasi yang didapat dari sang adik, Budi sudah selesai menjalani operasi. Kakinya benar-benar harus diamputasi pada batas pergelangan kaki karena terlindas mobil yang melintas. Entah bagaimana kronologis kecelakaan hingga Budi bisa berada di luar mobil. Zahrapun belum mengerti secara pasti kejadiannya.Saat tiba di rumah sakit, zahra segera berjalan menuju ruangan di mana dr. Budi di rawat. Baru saja adiknya mengabarkan sang kakak sudah sadar dan sedang menangis karena mendengar kabar kematian istrinya juga tentang keadaan kakinya. Tentu saja hal itu membuat pikiran Zahra semakin kacau sampai tak mengindahkan panggilan suaminya berkali-kali.Zahra menghentikan langkah saat tiba di depan kamar perawatan Budi. Hatinya begitu teriris saat mendengar tangisan dr. Budi yang begitu memilukan. Rasa putus asa terdengar jelas dari ratapannya.“A
“Kalaupun rumah sakit tak bisa mempekerjakanmu lagi, kita bisa wujudkan cita-cita kita yang tertunda. Yaitu membangun klinik untuk pengobatan gratis bagi orang tidak mampu. Ilmu yang kau pelajari akan tetap berguna. Tak ada waktu yang terbuang sia-sia!” zahra terus berusaha mengembalikan kepercayaan diri pria yang sangat membekas dalam setiap ingatannya. Rasanya tak tahan melihatnya dalam kondisi seperti ini.“Zahra. maukah kau menemaniku melewati hari-hari yang menyulitkan ini? tolong jangan tinggalkan aku!” secara tiba-tiba Budi memeluk zahra.Tentu saja Zahra amat terkejut dengan apa yang dilakukan oleh mantan kekasihnya. Zahra tak berani membalas pelukan itu. Apalagi permintaannya juga sangat memberatkan. Tak mungkin dia bisa menemani Budi sedangkan dia sendiri sudah punya suami.Zahra merasa bingung dan tak tahu harus berbuat apa.Sementara itu Elang baru sampai dan membuka pintu. Sejenak dia terperanjat melihat apa yang terjadi. Wajahnya yang semula ceria berubah mendung. Dia ta
BAB 133 ELANG KECEWA“Ayo!” Elang menggandeng tangan sang istri. Sesampainya di luar, Elang melepas tangan Zahra dan meninggalkannya. Hati Elang masih diliputi kekesalan karena mengingat saat pria itu memeluk istrinya. Sebagai seorang suami jelas saja hal itu mengusik harga dirinya.Kalau saja mantan kekasih istrinya itu melakukan pada kondisi sehat dan baik-baik saja, tentu Elang akan memberikan pelajaran kepadanya karena berani menyentuh bidadarinya.“Elang, tunggu!” zahra berusaha mengejar suaminya.Elang menghentikan langkah sambil membuang napas dengan kesal.“Kau marah, ya?” tanya Zahra saat berada di hadapan sang suami sembari menatap matanya dengan tajam.“Sudahlah. Kalau kau masih mau di sana, pergilah! Aku tak berhak melarangmu!” Elang membuang pandangan. Kemudian melanjutkan langkah.Dia tak ingin membahasnya saat ini karena sedang berada dalam balutan emosi, hingga tak ingin ucapannya melukai hati istri tercinta.“Elang. Demi Tuhan. Tadi itu tidak sengaja. Mas Budi tadi te
Elang berjalan mondar mandir di dalam kamar. Sudah lebih dari jam sebelas malam, tapi sang istri belum juga pulang. Bahkan seharian tak memberi kabar. Tentu saja hal itu bukan hanya membuat Elang marah, tapi juga khawatir. Suami mana yang tak khawatir saat hampir tengah malam sang istri belum juga pulang. Dan dia juga sudah jelas sedang bersama mantan kekasihnya.Elang melihat ke arah ponsel yang berada di tangan. Nomor sang istri terakhir membuka aplikasi berwarna hijau pada siang hari saat masih bersamanya. Jelas saja hal itu membuat Elang kebingungan. Mau berusaha untuk menelpon lebih dulu, tapi gengsi.“Ya, Tuhan. Bagaimana ini?” Elang memijit pelipisnya. Kepalanya terasa sangat berat.Terdengar suara pintu gerbang yang dibuka. Terlihat seorang wanita yang dinanti masuk ke dalam rumah. Ada sedikit lega dalam dadanya.“Aku tak mau berdebat. Lebih baik berpura-pura tidur saja.”Elang meletakkan ponsel di atas nakas. Lalu bergelung dalam selimut dan memejamkan mata. Dia sengaja tak m
“Elang! aku mau minta maaf, karena baru pulang di tengah malam begini dan tak mengabarimu seharian. Kau pasti marah dan cemburu. Tapi Demi Alloh, tak terjadi apa-apa antara aku dan Mas Budi.”Elang mengepalkan tangan saat sang istri menyebut nama mantan kekasihnya. Mulai timbul rasa kekesalan dalam dadanya.“Bagiku Mas Budi hanya masa lalu. Kau sudah sangat baik terhadapku hingga tak mungkin aku menghianati kesetiaanmu.”Elang bisa bernapas lega saat mendengar ucapan sang istri. Itu artinya perjuangannya tak sia-sia karena sang istri mulai menghargainya.“Kalau aku boleh jujur, aku mulai merasa selalu ingin bersamamu. Seperti seharian ini, aku sangat merindukanmu. Dan setiap detik pikiran ini tak bisa lepas dari bayang-bayangmu. Aku tak tahu apa artinya perasaanku ini.”Elang sangat terkejut sekaligus bahagia saat mendengar ungkapan hati sang istri yang selalu dinanti. Tak menyangka jika wanita mengagumkan itu sudah mulai bisa menerima kehadirannya. Bukan hanya menerima tapi juga menc
Namun Elang harus menelan kekecewaan saat sang istri menghentikan aksinya dengan menutup bibir Elang yang siap untuk menyatukan kenikmatan yang tiada tara.“Maaf. Aku belum siap,” ucap Zahra lirih sembari memalingkan wajah.“Kenapa?” tanya Elang sembari menahan gejolak hasratnya yang menggebu.“Aku tidak tahu. Tolong, beri aku waktu.” Zahra memejamkan mata. Sebenarnya dia pasrah saja jika sang suami mau melakukannya karena sudah terdesak oleh syahwatnya. Sebagai seorang istri tak mungkin menghindar jika sang suami meminta.Sungguh Zahrapun menginginkan sentuhan itu. Namun entah kenapa bayangan Budi melintas begitu saja. Rasanya tak tega jika dia bersenang-senag di atas penderitaan mantan kekasihnya.Elang bangkit dan duduk di tepi ranjang. Pria itu menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan kasar. Dia mencoba membuang hasratnya. Rasanya sangat tidak mengenakkan bagi seorang pria jika hasrat yang tengah memuncak, tak tersalurkan. Namun Elang berusaha untuk menetralisir perasaann
“Tiga huruf yang aku minta?” Elang bertanya pada diri sendiri sembari mengingat-ingat apa yang baru saja dimintanya. Diapun mencoba menebak dengan iseng.“Oh, aku tahu. Maksud kamu yang depannya S’kan? s*x maksudnya?”“Iih jangan diomongin. Gak pantas tahu!” pipi gadis cantik itu merona.Elang tertawa. Ternyata istrinya benar-benar masih polos. Bahkan untuk menyebut kata itu saja dia tidak berani.“Oke. Hubungan suami istri maksud kamu’kan?“Iya!”“Seberapa penting bagi aku pribadi atau sebagai suamimu?”“Ya dua-duanya!”“Oke. Sebagai seorang pria yang sudah beristri, jelas saja hal itu sangat penting. Karena sebagai Suami dia punya kewajiban akan hal itu. Menjadi sebuah kewajiban karena ada yang menanti haknya, yaitu seorang istri. Dan bagiku pribadi, aku akan menunaikan kewajiban jika istriku meminta haknya. Dan aku pastikan selama kau tidak meminta hakmu, aku juga takkan menunaikan kewajibanku dalam hal hubungan suami istri. Karena itulah aku takkan pernah memaksamu.” Elang mencoba
“Lia?! Apa kabar?”“Alhamdulillah baik, Mbak!”Keduanya berpelukan dengan erat. Terpancar sinar kebahagiaan dari wajah wanita berhijab itu.“Silakan duduk.” Zahra menarik bangku untuk tamu specialnya.“Terimakasih, Mbak.”“Iya. Sama-sama.”Kemudian Zahra mengambil tempat duduk di seberang. Kini keduanya saling berhadapan.“Oh, ya. Kamu mau pesan apa?” Zahra memberikan buku menu kepada Lia.“Avocado juice sama manggo and banana smoothies.” Jawab Lia sembari mendorong perlahan buku menu tanpa membacanya.“Oke. Untuk makan siangnya kamu mau pesan apa?”“Itu saja sudah cukup, Mbak. Bagiku itu sudah menjadi menu untuk makan siangku.”“Apa kau tidak makan nasi?’ Zahra bertanya penuh selidik sembari menatap tubuh Lia dari ujung kepala hingga ujung kaki. Body yang sangat sempurna dan ideal. Wajahnya juga terlihat bersih dan cerah.“Aku lagi mengurangi karbo, Mbak. Sudah lama tidak makan nasi. Semenjak Mas Budi ketahuan ada benjolan di kepala dan juga riwayat diabetes dan hipertensi dari almar
Elang terperanjat. Pria itu tak mengira jika akan mendapat pertanyaan yang begitu menohok. Sesaat hanya bisa terdiam. Mengenang masa itu hanya akan membuat luka lama yang sudah terkubur, kembali terbuka.“Kenapa diam?!” pertanyaan sang istri membuyarkan lamunan.“Tidak ada apa-apa di antara kami. Yang aku tahu dia itu adiknya Budi. Betul’kan?” Elang berkilah. Dia berusaha untuk menghindar dari pertanyaan.“Itu benar. Yang aku tanyakan hubungan di antara kalian!” Zahra mempertegas pertanyannya.Elang menarik napas dalam. Dadanya terasa sesak seolah tak ada oksigen yang masuk ke dalam organ pernafasannya.“Sudahlah. Aku mau mandi dulu!” Elang menepuk pipi sang istri dengan lembut dan senyum yang sedikit dipaksakan.“Elang! Jangan menghindar! Jujurlah dan jawab pertanyaanku!” Zahra mencekal pergelangan tangan suaminya dengan sedikit meninggikan ucapan.“Aku sudah menjawabnya! Apa lagi yang harus dijawab!” Elang mengibaskan tangannya dengan kasar hingga terlepas dari genggaman tangan sang
Gadis berparas ayu nan anggun itu menghentikan langkah saat mendengar seseorang yang memanggil namanya. Kini tatapan matanya tertuju ke arah suara yang memanggilnya. Sejenak mengamati wajah Zahra yang kini semakin pucat dan tirus. “Mbak Zahra?!”“Iya. Kau masih mengenaliku, Lia?” tanya Zahra dengan wajah berbinar.“Tentu saja. Apa kabar, Mbak?”“Kabar baik. Kamu sendiri bagaimana?”“Alhamdulillah, aku baik-baik saja. Mmm ... sepertinya Mbak terlihat lebih langsing. Dan membuatku hampir saja tak mengenali Mbak.” Gadis cantik itu ternyata bukan hanya cantik pada parasnya saja. Melainkan juga mempunyai sopan santun dan etika yang baik. Walau dari melihat fisiknya saja dia tahu jika wanita di hadapannya sedang tidak baik-baik saja. Namun ucapannya tidak menyinggung perasaan.“Bilang saja kurus kering, karena tubuhku ini sedang digerogoti oleh penyakit yang berbahaya,” jawab Zahra dengan tersenyum kecut. Ada rasa nyeri yang berarang di dada.Zahra tahu jika Lia tak ingin menyakiti perasaan
“Seharusnya aku yang bertanya seperti itu kepadamu, Elang! Aku yang sekarang bukan lagi istri yang bisa kau banggakan. Aku kini penyakitan dan tidak cantik lagi. Bahkan nanti setelah kemoterapy, rambutku akan mengalami kerontokan. Aku takkan cantik lagi. Dan aku yakin kau akan jijik denganku dan pasti meninggalkanku. Setidaknya jika kau menikah sekarang, aku takkan lebih sakit hati jika masa itu datang. Aku tak mau kau meninggalkanku di saat aku terpuruk.” Zahra menangis terisak. Dia tak sanggup lagi membayangkan jika lelaki yang dicinta akan pergi meninggalkannya.Elang mendekap sang istri dan mengecup puncak kepalanya.“Sayang, aku berjanji kepadamu kalau aku takkan pernah meninggalkanmu dalam keadaan apapun. Hanya maut yang dapat memisahkan kita. Aku mohon percayalah padaku, Sayang.”Zahra semakin terisak. Dalam pelukan lelakinya dia menumpahkan segala kesedihan dan rasa takut. “Aku takut kalau aku akan meninggal, Lang!”“Istighfar. Semua makhluk bernyawa pasti akan pergi meninggal
Zahra dan suami selesai menunaikan ibadah sholat tahajud. Keduanya memanjatkan do’a kepada sang pencipta.Elang berdo’a untuk kesembuhan sang istri tercinta. Hanya itu harapan terbesar satu-satunya untuk saat ini. Tak ada keinginan lain selain kesembuhan sang bidadari.Zahra pun sama khusyuknya dalam berdo’a. Do’a yang dipanjatkan tak hanya untuk dirinya sendiri. Tak lupa pula dia memohon kepada sang pencipta untuk kebahagiaan suaminya. Terutama dengan syarat yang akan diajukan olehnya untuk sang suami.Zahra sudah memikirkan matang tentang rencananya. Setelah melalui pemikiran panjang, keputusan terberat harus di ambil demi sang suami. Semoga saja ini yang terbaik untuk semuanya.“Sayang. Apa kau sudah selesai berdo’a?” pertanyaan Elang membuat Zahra terkejut.“Sudah,” jawab Zahra dengan gugup sembari mengecup punggung tangan suaminya.“Apa kau akan membicarakan syarat yang kau ajukan sekarang atau nanti?’ Elang menembak langsung dengan pertanyaan. Dia memang tak bisa berbasa-basi da
Elang berdo’a dengan begitu khusyuk. Dia sangat berharap jika Tuhan mengabulkan do’a untuk kesembuhan istrinya. Di setiap rintihan do’a tiada henti menyebut nama istri tercinta.Dalam jarak yang tak terlalu jauh, sayup terdengar suara seorang pria yang cukup familiar di telinga Elang. Do’a yang dipanjatkan begitu tulus dan menggugah jiwa.Elang menajamkan telinga untuk mendengar do’a yang membuatnya larut dalam kesedihan. Do’a seorang ayah yang berharap untuk kesembuhan putrinya.“Ya. Alloh. Hamba mohon berikanlah kesembuhan untuk putri hamba. Dia adalah separuh dari nyawa yang ada dalam raga ini. Hamba tak sanggup melihat putri hamba menderita. Jika Engkau berkenan, Hamba bersedia menukar nyawa hamba demi kesembuhannya. Hamba ikhlas Ya Alloh. Hamba ikhlas.” Suara pria itu bergetar dalam isak tangis. Dia pun bersujud dan menumpahkan kesedihan di atas sajadah yang membentang.Elang terkejut mendengar do’a dari insan yang penuh harap. Dia menyadari jika suara itu milik ayah mertuanya. K
Zahra sudah menjalani serangkaian tes sebelum operasi. Dia berusaha untuk tegar dan tak terlihat sedih di mata suaminya. Namun pandangan kosong tak mampu menyembunyikan rasa sedih yang tergambar jelas pada mata sayunya.Gadis cantik itu bersandar pada dinding pembatas balkon yang berada di depan kamarnya. Udara pagi yang begitu bersih mampu menyegarkan pikiran.Biasanya di pagi hari, dia selalu berolahraga bersama suami. Namun semenjak mengetahui ada kista dalam tubuhnya, membuat semangatnya untuk beraktifitas menurun. Bahkan semangat hidupnya ikut menurun hingga sangat mempengaruhi kualitas sexualitasnya.Untuk sementara, Zahra mengambil cuti dari pekerjaan. Dia akan fokus untuk pengobatan penyakitnya.“Sayang, kamu sedang apa?” Elang memeluk pinggang mungil sang istri dari arah belakang. Pria itu tetap romantis walaupun tubuh istrinya tak seindah dulu.“Elang. Aku hanya ingin menghirup udara pagi dan berjemur di sini. Kamu tidak olah raga?” Zahra membalikkan badan. Kini keduanya sal
Zahra mendatangi dr. Arumi untuk memeriksakan diri. Tentunya ditemani oleh suami yang sangat setia.“Bagaimana, Dok? Apa saya hamil?” tanya Zahra saat baru saja selesai diperiksa oleh dr. Arumi.“Tidak. Anda tidak hamil.”“Lalu, kenapa Saya tidak menstruasi?”“Sudah berapa lama Anda tidak menstruasi?” tanya dr. Arumi.“Tiga bulan, Dok.” Jawab Zahra dengan singkat.Dr. Arumi menarik napas panjang sepertinya ada sesuatu yang menyesakkan dada.“Seharusnya Anda bisa datang ke sini lebih awal. Minimal setelah tahu bahwa Anda terlambat datang bulan di bulan pertama.”“Memangnya kenapa, Dok?” Zahra bertanya dengan cemas. Walau dia sudah bisa menebak ke mana arah pembicaraan dokter pribadinya.“Begini, dr. Zahra. Saya harus menyampaikan hal ini walau kurang mengenakkan.”“Bagaimana, dok? Tolong katakan dengan jelas!” Zahra terlihat mulai gelisah. Dia menatap ke arah suaminya.Elang hanya bisa tersenyum dan menggenggam erat jemari sang istri. Pria itu berusaha menguatkan istrinya. Walau sesun
“Bagaimana dengan kondisi rahim saya, Dok? Apa kecelakaan yang menimpa saya beberapa waktu lalu berpengaruh terhadap rahim saya?” dan apa Saya bisa hamil lagi dengan segera?” tanya Zahra kepada dr. Arumi setelah selesai menjalani pemeriksaan.“Sabar, Sayang. Nanya’nya satu-satu.” Elang berkata lirih kepada sang istri.“Iya. Maaf.”“Silakan duduk.’” Dr. Arumi mempersilakan Zahra dan suaminya duduk.“Begini, dr. Zahra. secara keseluruhan kondisi rahim Anda cukup baik. Namun karena Anda baru saja melahirkan secara operasi, ada baiknya Anda menunda hingga tiga atau empat tahun ke depan. Saya rasa sebagai dokter, Anda tahu resikonya.”“Iya. Sebenarnya saya tahu, Dok. Hanya saja, saya ingin sekali segera punya anak lagi.”“Saran saya, lebih baik dokter menikmati masa-masa indah dulu bersama suami. Dan jangan terlalu memikirkan hal ini, hingga bisa membuat anda tertekan. Saya tahu kehilangan seorang anak tidaklah mudah. Namun Anda harus bisa segera bangkit dan membuang semua beban yang ada d