“Mas Budi. Kenapa kau terlihat sedih? Bukankah seharusnya kau bahagia karena hari ini keadaanmu sudah membaik dan diperbolehkan untuk pulang.” Tanya Zahra sembari membantu Budi untuk duduk di kursi roda.“Apa kau pikir aku bahagia dengan kehilangan Vero dan juga kakiku yang cacat? Apa yang bisa membuatku bahagia? Apa?!” Budi memukul ranjang dengan kesal. Kelopak matanya tak mampu membendung air mata yang menggenang.Zahra mensejajarkan diri dengan Budi yang duduk di kursi roda.“Mas Budi. Kau harus semangat dalam menjalani hidup. Dan ....”“Apa yang bisa membuatku semangat? Istriku meninggal, sedangkan aku cacat. Apa lagi yang bisa membuatku semangat dalam menjalani kesendirianku!” Budi terlihat begitu putus asa.Zahra sangat iba kepada mantan kekasihnya. Rasanya ingin bisa berbagi kesedihan. Namun dia juga tak tahu apa yang harus dilakukannya.“Mas Budi. Apa yang bisa aku lakukan untukmu supaya kau bisa kembali semangat dalam menjalani hidup?” Zahra mencoba untuk terus memompa semang
“Ada yang mau aku bicarakan sama kamu.””tentang apa?” tanya Elang sembari mematikan laptop. Lalu membalikkan kursi dan menyuruh sang istri untuk duduk di pangkuan dengan kode menepuk-nepuk pahanya.“Di sana aja sambil tiduran.” Zahra menggelengkan kepala sembari menunjuk ke arah ranjang.“Oke. Ayo!” Elang menggendong tubuh istrinya dan menidurkannya di atas ranjang.Semkain hari Zahra merasa makin mencintai suaminya yang sangat romantis. Mulai dari perlakuannya yang selalu membuat hatinya meleleh, dinner romantis juga hadiah yang bernilai fantastis selalu diberikan oleh suami kepadanya. Gadis itu merasa diperlakukan bak seorang ratu.Elang mengecup kening sang istri dan bergelung dalam satu selimut.Pasangan suami istri ini lebih suka membahas sebuah masalah aataupun hanya sekedar mengobrol di atas ranjang. Walau tak diakhiri dengan permainan ranjang, setidaknya keduanya bisa lebih intim. Dengan harapan sang istri tergerak hatinya untuk menjalankan kewajiban yang belum ditunaikan.“K
“Katakan padaku dengan cara apa kau bisa membuatku percaya bahwa kau takkan menghianatiku. Kalian takkan mengulang apa yang pernah terjalin dahulu!” Ucap Elang dengan dingin.“Jadi kau mengijinkan aku?” tanya Zahra dengan wajah berseri. Lalu berdiri di samping suaminya.“Jujur. Sebagai seorang suami aku tak rela kau terus berdekatan dengan mantan kekasihmu itu. Tapi di satu sisi aku ingin mencoba percaya jika kau takkan pernah menghianati cinta kita.”“Elang. Aku sangat mencintaimu. Bagiku Mas Budi adalah masa lalu. Dan saat bersamanya, aku tak merasakan lagi getaran seperti yang aku rasakan dulu. Itu artinya aku sudah tak mencintainya. Aku hanya mencoba peduli kepadanya. Itu saja.”“Baiklah. Mulai kapan. Dan bagaimana kau mengatur waktu. Jangan lupa, kau juga harus membagi waktumu untukku. Itu yang paling penting.”“Sepulang bekerja aku akan ke rumah Mas Budi. Dan saat kau pulang ke rumah, aku pastikan aku sudah berada di rumah dan mempersiapkan segala keperluanmu.”“Oke. Aku pegang
Tatapan Budi menerawang jauh. Dia mencoba untuk mengingat kejadian naas yang menimpanya hingga merenggut nyawa sang istri tercinta.“Kalau kau tak siap untuk bercerita, lebih baik tidak usah. Namun kalau Kau ingin berbagi denganku, aku siap mendengarkannya,” ucap Zahra dengan lembut. Gadis itu dengan tulus ingin membantu memulihkan trauma pada diri sang mantan.“Aku akan cerita. Waktu itu, kami bertengkar sangat hebat di dalam mobil. Penyebabnya sangatsangat sepele.”“Kalau boleh aku tahu karena apa?”“Karena dirimu.” Budi menatap wajah Zahra dengan serius.“Aku?!” Zahra menunjuk ke wajahnya sendiri sembari mengerutkan kening. Jawaban Budi membuatnya makin penasaran.“Iya. Saat itu tanpa sengaja, Vero melihat foto kita berdua pada profil di ponselku. Dan Vero sangat marah dan cemburu.”Zahra terlihat tidak nyaman. Dia tak menyangka jika penyebab terjadinya kecelakaan adalah dirinya.“Tapi ini bukan salahmu.” Budi melihat wajah Zahra yang berubah.“Kenapa kau tak menggantinya dengan fo
“Tapi kau sering mengeluh sakit di bagian yang sama pada kepalamu yang terbentur. Aku takut ada yang serius di kepalamu. Kau harus diperiksa secara intensif, Mas!”“Tidak! tolonglah, antar aku pulang secepatnya! Aku sudah tidak tahan lagi. Aww!!” Budi kembali memegangi kepalanya. Wajahnya terlihat sangat pucat. Keringat dingin mengucur deras.“Baiklah!”Zahra mendorong kursi roda dengan sangat cepat.Sepanjang perjalanan, Budi selalu memegangi kepalanya yang terasa sangat sakit dan tak tertahankan.Tentu saja hal itu membuat Zahra semakin panik. Dia terus saja kepikiran tentang keadaan Budi. Sebagai seorang dokter, dia tahu betul ada yang serius dengan luka yang ada di kepala dr. Budi. Namun sayangnya, Budi tak bersedia untuk kembali diperiksa di rumah sakit. Dan tentu saja hal itu sangat menggangu pikirannya.***Budi sudah kembali tenang setelah diberi obat pereda rasa nyeri. Kini pria itu tertidur dengan pulas.Zahra melirik ke arah jam tangan yang melingkar di lengannya. Waktu sud
Zahra sangat sibuk mengurus Budi, hingga terlupa janji kepada suaminya untuk bisa membagi waktu. Dia sangat cemas melihat kondisi Budi dengan suhu badan yang hampir mencapai 4O derajat celcius. Apalagi disertai muntah dan juga kejang. Tentu saja hal ini membuat Zahra semakin panik.Sementara, Elang mondar-mandir di dalam kamar. Sesekali dia berdiri di balkon untuk memastikan apakah sang istri sudah pulang atau belum.Berkali-kali menelpon tapi tak ada jawaban. Jelas saja hal itu membuat Elang gelisah. Berbagai pikiran buruk berkecamuk pada kepalanya.“Kenapa sampai selarut ini Zahra belum pulang juga? Apakah terjadi sesuatu yang tak diinginkan. Atau justru mereka berdua sedang asik memadu kasih?” Elang tersulut oleh pikirannya sendiri, hingga membanting ponsel pada ranjang.“Aahh!” pria itu menghempaskan tubuh di atas ranjang sembari meremas rambutnya.“Sudah hampir jam dua belas malam, tapi belum juga terlihat batang hidungnya! Apa ini artinya!” Elang bangkit dan mengambil ponsl yang
Namun Elang yang sudah terlanjur marah tak mampu mengendalikan emosinya.“Kau di mana sekarang? Apa sedang di kamar bersama Budi?!” tanya Elang dengan kesal. Suaranya mulai meninggi.“Astaghfirulloh hal’adzim, Elang. Kenapa kau bicara seperti itu?!”“Lalu kenapa kau tak mengangkat panggilanku yang berkali-kali?! Apa karena kau terlalu sibuk sehingga lupa akan suamimu ini?!” suara Elang kian meninggi. Dia tak peduli jika suaranya membangunkan seisi rumah.“Elang. Sekali lagi aku minta maaf atas kesalahanku. Aku mohon mengertilah dengan posisiku sekarang ini.”“Kapan aku tak mengerti dirimu?! Kapan?! Justru seharusnya aku yang bertanya seperti itu kepadamu!” Elang semakin emosi. Tak ada sedikitpun kelembutan dalam setiap kalimatnya.“Sekali lagi aku minta maaf, Elang. Aku tak ada waktu untuk meladeni ucapanmu. Kau sedang terbalut emosi, hingga tak bisa berbicara dengan akal sehatmu. Aku hanya mau minta ijin untuk malam ini tak pulang ke rumah. Aku sedang ... ““Apa kau bilang?! Tak pula
Zahra menelpon suaminya berkali-kali. Namun tak ada jawaban. Hatinya sangat gelisah dan khawatir terjadi apa-apa dengan suaminya yang sedang emosi. Zahra tak tahu harus berbuat apalagi selain menunggu kabar dari papah mertuanya.Sementara itu, Elang sudah tiba di depan rumah budi dan memencet bel dengan kasar dan berkali-kali.“Keluar kamu, Budi! Hadapi aku!” teriak Elang sambil tak henti memencet bel yang berada di pintu gerbang. Hatinya sedang memanas hingga tak berpikir lagi tentang etika dan rasa malu.“Budi! Budi! Keluarlah! Jangan cuma beraninya nidurin istri orang! Apa kau tak malu dengan profesimu?!” Elang terus berteriak seperti orang yang sudah kehilangan akal.“Cukup Elang! Berhentilah!” Baskoro tergopoh turun dari mobil dan berlari ke arah putranya. Usianya yang sudah menua tak lagi mampu berlari dengan kencang. Walau sedikit terlambat, tapi setidaknya sang putra belum sampai membangunkan penghuni kompleks perumahan.“Papah! Siapa yang menyuruh papah mengikutiku?! Aku tida
“Lia?! Apa kabar?”“Alhamdulillah baik, Mbak!”Keduanya berpelukan dengan erat. Terpancar sinar kebahagiaan dari wajah wanita berhijab itu.“Silakan duduk.” Zahra menarik bangku untuk tamu specialnya.“Terimakasih, Mbak.”“Iya. Sama-sama.”Kemudian Zahra mengambil tempat duduk di seberang. Kini keduanya saling berhadapan.“Oh, ya. Kamu mau pesan apa?” Zahra memberikan buku menu kepada Lia.“Avocado juice sama manggo and banana smoothies.” Jawab Lia sembari mendorong perlahan buku menu tanpa membacanya.“Oke. Untuk makan siangnya kamu mau pesan apa?”“Itu saja sudah cukup, Mbak. Bagiku itu sudah menjadi menu untuk makan siangku.”“Apa kau tidak makan nasi?’ Zahra bertanya penuh selidik sembari menatap tubuh Lia dari ujung kepala hingga ujung kaki. Body yang sangat sempurna dan ideal. Wajahnya juga terlihat bersih dan cerah.“Aku lagi mengurangi karbo, Mbak. Sudah lama tidak makan nasi. Semenjak Mas Budi ketahuan ada benjolan di kepala dan juga riwayat diabetes dan hipertensi dari almar
Elang terperanjat. Pria itu tak mengira jika akan mendapat pertanyaan yang begitu menohok. Sesaat hanya bisa terdiam. Mengenang masa itu hanya akan membuat luka lama yang sudah terkubur, kembali terbuka.“Kenapa diam?!” pertanyaan sang istri membuyarkan lamunan.“Tidak ada apa-apa di antara kami. Yang aku tahu dia itu adiknya Budi. Betul’kan?” Elang berkilah. Dia berusaha untuk menghindar dari pertanyaan.“Itu benar. Yang aku tanyakan hubungan di antara kalian!” Zahra mempertegas pertanyannya.Elang menarik napas dalam. Dadanya terasa sesak seolah tak ada oksigen yang masuk ke dalam organ pernafasannya.“Sudahlah. Aku mau mandi dulu!” Elang menepuk pipi sang istri dengan lembut dan senyum yang sedikit dipaksakan.“Elang! Jangan menghindar! Jujurlah dan jawab pertanyaanku!” Zahra mencekal pergelangan tangan suaminya dengan sedikit meninggikan ucapan.“Aku sudah menjawabnya! Apa lagi yang harus dijawab!” Elang mengibaskan tangannya dengan kasar hingga terlepas dari genggaman tangan sang
Gadis berparas ayu nan anggun itu menghentikan langkah saat mendengar seseorang yang memanggil namanya. Kini tatapan matanya tertuju ke arah suara yang memanggilnya. Sejenak mengamati wajah Zahra yang kini semakin pucat dan tirus. “Mbak Zahra?!”“Iya. Kau masih mengenaliku, Lia?” tanya Zahra dengan wajah berbinar.“Tentu saja. Apa kabar, Mbak?”“Kabar baik. Kamu sendiri bagaimana?”“Alhamdulillah, aku baik-baik saja. Mmm ... sepertinya Mbak terlihat lebih langsing. Dan membuatku hampir saja tak mengenali Mbak.” Gadis cantik itu ternyata bukan hanya cantik pada parasnya saja. Melainkan juga mempunyai sopan santun dan etika yang baik. Walau dari melihat fisiknya saja dia tahu jika wanita di hadapannya sedang tidak baik-baik saja. Namun ucapannya tidak menyinggung perasaan.“Bilang saja kurus kering, karena tubuhku ini sedang digerogoti oleh penyakit yang berbahaya,” jawab Zahra dengan tersenyum kecut. Ada rasa nyeri yang berarang di dada.Zahra tahu jika Lia tak ingin menyakiti perasaan
“Seharusnya aku yang bertanya seperti itu kepadamu, Elang! Aku yang sekarang bukan lagi istri yang bisa kau banggakan. Aku kini penyakitan dan tidak cantik lagi. Bahkan nanti setelah kemoterapy, rambutku akan mengalami kerontokan. Aku takkan cantik lagi. Dan aku yakin kau akan jijik denganku dan pasti meninggalkanku. Setidaknya jika kau menikah sekarang, aku takkan lebih sakit hati jika masa itu datang. Aku tak mau kau meninggalkanku di saat aku terpuruk.” Zahra menangis terisak. Dia tak sanggup lagi membayangkan jika lelaki yang dicinta akan pergi meninggalkannya.Elang mendekap sang istri dan mengecup puncak kepalanya.“Sayang, aku berjanji kepadamu kalau aku takkan pernah meninggalkanmu dalam keadaan apapun. Hanya maut yang dapat memisahkan kita. Aku mohon percayalah padaku, Sayang.”Zahra semakin terisak. Dalam pelukan lelakinya dia menumpahkan segala kesedihan dan rasa takut. “Aku takut kalau aku akan meninggal, Lang!”“Istighfar. Semua makhluk bernyawa pasti akan pergi meninggal
Zahra dan suami selesai menunaikan ibadah sholat tahajud. Keduanya memanjatkan do’a kepada sang pencipta.Elang berdo’a untuk kesembuhan sang istri tercinta. Hanya itu harapan terbesar satu-satunya untuk saat ini. Tak ada keinginan lain selain kesembuhan sang bidadari.Zahra pun sama khusyuknya dalam berdo’a. Do’a yang dipanjatkan tak hanya untuk dirinya sendiri. Tak lupa pula dia memohon kepada sang pencipta untuk kebahagiaan suaminya. Terutama dengan syarat yang akan diajukan olehnya untuk sang suami.Zahra sudah memikirkan matang tentang rencananya. Setelah melalui pemikiran panjang, keputusan terberat harus di ambil demi sang suami. Semoga saja ini yang terbaik untuk semuanya.“Sayang. Apa kau sudah selesai berdo’a?” pertanyaan Elang membuat Zahra terkejut.“Sudah,” jawab Zahra dengan gugup sembari mengecup punggung tangan suaminya.“Apa kau akan membicarakan syarat yang kau ajukan sekarang atau nanti?’ Elang menembak langsung dengan pertanyaan. Dia memang tak bisa berbasa-basi da
Elang berdo’a dengan begitu khusyuk. Dia sangat berharap jika Tuhan mengabulkan do’a untuk kesembuhan istrinya. Di setiap rintihan do’a tiada henti menyebut nama istri tercinta.Dalam jarak yang tak terlalu jauh, sayup terdengar suara seorang pria yang cukup familiar di telinga Elang. Do’a yang dipanjatkan begitu tulus dan menggugah jiwa.Elang menajamkan telinga untuk mendengar do’a yang membuatnya larut dalam kesedihan. Do’a seorang ayah yang berharap untuk kesembuhan putrinya.“Ya. Alloh. Hamba mohon berikanlah kesembuhan untuk putri hamba. Dia adalah separuh dari nyawa yang ada dalam raga ini. Hamba tak sanggup melihat putri hamba menderita. Jika Engkau berkenan, Hamba bersedia menukar nyawa hamba demi kesembuhannya. Hamba ikhlas Ya Alloh. Hamba ikhlas.” Suara pria itu bergetar dalam isak tangis. Dia pun bersujud dan menumpahkan kesedihan di atas sajadah yang membentang.Elang terkejut mendengar do’a dari insan yang penuh harap. Dia menyadari jika suara itu milik ayah mertuanya. K
Zahra sudah menjalani serangkaian tes sebelum operasi. Dia berusaha untuk tegar dan tak terlihat sedih di mata suaminya. Namun pandangan kosong tak mampu menyembunyikan rasa sedih yang tergambar jelas pada mata sayunya.Gadis cantik itu bersandar pada dinding pembatas balkon yang berada di depan kamarnya. Udara pagi yang begitu bersih mampu menyegarkan pikiran.Biasanya di pagi hari, dia selalu berolahraga bersama suami. Namun semenjak mengetahui ada kista dalam tubuhnya, membuat semangatnya untuk beraktifitas menurun. Bahkan semangat hidupnya ikut menurun hingga sangat mempengaruhi kualitas sexualitasnya.Untuk sementara, Zahra mengambil cuti dari pekerjaan. Dia akan fokus untuk pengobatan penyakitnya.“Sayang, kamu sedang apa?” Elang memeluk pinggang mungil sang istri dari arah belakang. Pria itu tetap romantis walaupun tubuh istrinya tak seindah dulu.“Elang. Aku hanya ingin menghirup udara pagi dan berjemur di sini. Kamu tidak olah raga?” Zahra membalikkan badan. Kini keduanya sal
Zahra mendatangi dr. Arumi untuk memeriksakan diri. Tentunya ditemani oleh suami yang sangat setia.“Bagaimana, Dok? Apa saya hamil?” tanya Zahra saat baru saja selesai diperiksa oleh dr. Arumi.“Tidak. Anda tidak hamil.”“Lalu, kenapa Saya tidak menstruasi?”“Sudah berapa lama Anda tidak menstruasi?” tanya dr. Arumi.“Tiga bulan, Dok.” Jawab Zahra dengan singkat.Dr. Arumi menarik napas panjang sepertinya ada sesuatu yang menyesakkan dada.“Seharusnya Anda bisa datang ke sini lebih awal. Minimal setelah tahu bahwa Anda terlambat datang bulan di bulan pertama.”“Memangnya kenapa, Dok?” Zahra bertanya dengan cemas. Walau dia sudah bisa menebak ke mana arah pembicaraan dokter pribadinya.“Begini, dr. Zahra. Saya harus menyampaikan hal ini walau kurang mengenakkan.”“Bagaimana, dok? Tolong katakan dengan jelas!” Zahra terlihat mulai gelisah. Dia menatap ke arah suaminya.Elang hanya bisa tersenyum dan menggenggam erat jemari sang istri. Pria itu berusaha menguatkan istrinya. Walau sesun
“Bagaimana dengan kondisi rahim saya, Dok? Apa kecelakaan yang menimpa saya beberapa waktu lalu berpengaruh terhadap rahim saya?” dan apa Saya bisa hamil lagi dengan segera?” tanya Zahra kepada dr. Arumi setelah selesai menjalani pemeriksaan.“Sabar, Sayang. Nanya’nya satu-satu.” Elang berkata lirih kepada sang istri.“Iya. Maaf.”“Silakan duduk.’” Dr. Arumi mempersilakan Zahra dan suaminya duduk.“Begini, dr. Zahra. secara keseluruhan kondisi rahim Anda cukup baik. Namun karena Anda baru saja melahirkan secara operasi, ada baiknya Anda menunda hingga tiga atau empat tahun ke depan. Saya rasa sebagai dokter, Anda tahu resikonya.”“Iya. Sebenarnya saya tahu, Dok. Hanya saja, saya ingin sekali segera punya anak lagi.”“Saran saya, lebih baik dokter menikmati masa-masa indah dulu bersama suami. Dan jangan terlalu memikirkan hal ini, hingga bisa membuat anda tertekan. Saya tahu kehilangan seorang anak tidaklah mudah. Namun Anda harus bisa segera bangkit dan membuang semua beban yang ada d