“Kenapa aku harus meninggalkan papamu? Dia memberikan segalanya untukku,” ucap Tante Mayang tanpa rasa bersalah sedikitpun, dengan berani ia menatap mataku.
Aku tersenyum tipis, menyandarkan tubuh di sofa dan melipat tangan di dada. Sepertinya menghadapi wanita ini tidak bisa berbicara dari hati kehati, atau istilahnya menggunakan kata ‘sama-sama wanita’. Baiklah akan aku gunakan dengan cara sedikit lebih menyakiti hatinya.Kuedarkan pandangan menelisik setiap inci rumah berwarna putih tersebut. Tumbuhan hias sebagai pemanis di setiap sudut, di depan jendela dengan lebar kisaran dua meter terdapat piano berwarna coklat keemasan, cukup elegan dengan gaya minimalis. Rupanya Tante Mayang sangat menikmati perannya sebagai simpanan papa. Terlihat dari semua yang ia dapatkan dari papa, ia rela menjadi simpanan apa hanya demi ini semua? Lalu, apa dia tak memikirkan mama selaku sahabat karibnya.“Ah, aku lupa kalau ular itu memang selalu menggigit siapa saja yang menolongnya.” Aku beranjak dan mengambil foto Tante Mayang dan mama. “Manis sekali,” ucapku mengejek.“Pergi dari rumahku sebelum aku telpon papamu.”“Mengadu?” Aku mendekati Tante Mayang. “Kalau sudah kebiasan mulung pasti suka sampah,” ucapku.Aku yang masih mengunyah permen karet membuat sebuah gelembung dan memecahkan tepat di depan wajahnya kemudian berjalan mundur menjauhinya.“Apa katamu? Anak gak punya sopan santun!”’ seru Tante Mayang membuatku menghentikan langkah.“Berani menyakiti mama jangan harap bisa hidup tenang.”Tante Mayang tertawa keras. “Tante bisa dengan mudah suruh papamu menceraikan wanita gendut itu, jadi gak usah sok mau ngelawan Tante, Sayang.” Tante Mayang membelai rambutku dengan senyum mengejek.“Apa di rumah Tante yang cantik ini enggak ada kaca yang besar? Tante bisa pinjam kacaku buat ngaca. Apa Tante lupa bagaimana dulu keadaan Tante sebelum mama mengajak Tante tinggal di rumah kami?”“El, El... Kamu itu hanya anak kemarin sore tidak usah mengungkit yang dulu, lebih baik kamu jaga saja mamamu yang sudah hampir sekarat dan tak berguna itu.”Tanganku mengepal kuat mendengar ucapan Tante Mayang.Sabar El, jika kamu termakan emosi kamu hanya akan membuat keadaan semakin runyam, batinku mengabarkan hati.Deru mesin mobil memasuki halaman. Tiba-tiba saja Tante Mayang membanting vas yang ada di meja, ia menggores tangan dengan pecahan kaca dan menjatuhkan tubuhnya.“Aw, El kenapa kamu seperti ini, Nak? Tante minta maaf, Tante enggak merebut papamu,” ucap Tante Mayang yang semakin membuatku bingung, apa sekarang dia sedang berakting?Citra berlari memeluk Tante Mayang yang masih bersimpuh di lantai.“Lo keterlaluan El! Kenapa Lo nyakitin nyokap gue!” seru Citra dengan wajah merah padam.“Emang apa yang gue lakuin? Itu akal-akalan nyokap Lo aja.”“Lo berani lukain nyokap gue, hah!” Citra mendorong tubuhku kasar.“Sudah sepantasnya pencuri memang harus dihukum, Lo sama nyokap Lo sama aja. Selama ini gue baikin Lo dan Lo nyuri nyokap gue, ular banget Lo!” Aku membalas mendorong tubuh Citra hingga ia hampir jatuh, beruntungnya ada papa yang menangkap tubuhnya. Aku sudah bersiap hendak menampar wajah Citra, tetapi papa menghadang, geram sekali melihatnya.“El, apa yang kamu lakukan!” seru papa menarik tanganku kasar, dan mendorongku menjauh. “Sejak kapan Papa ajarin kamu berbuat kasar apalagi sampai melukai orang lain, semua bisa kita bicarakan baik-baik.”“He…” Aku tersenyum kecut melihat papa. “Apa sekarang Papa benar-benar percaya aku yang melakukan itu kepada simpanan Papa itu?” Kutunjuk Tante Mayang dengan menggunakan bibir.“Keterlaluan kamu El!” Papa menampar wajahku.Melihat papa menamparku Citra tersenyum dan menjulurkan lidahnya mengejek, benar-benar manusia tembok, tidak tahu malu.Aku memegang wajah yang terasa panas, wajah putih yang kini tergambar lima jari milik papa, air mata jatuh di pipi. Kuseka air mata yang mulai menetes, papa masih memegang tangannya yang gemetar mencoba mendekatiku.“El, Papa….”Aku tersenyum kecut. “Lihat, lelaki yang selalu kuanggap penjaga, lelaki yang selalu kubanggkan kewibaanya hanyalah seorang lelaki yang mengkhianati istrinya demi seorang wanita murahan, menjijikan.” Kutinggalkan papa. Tak kuhiraukan panggilanya dan terus berjalan tanpa menoleh sedikitpun.Orang yang kuanggap keluarga justru mengambil papa dariku dan mama, sekarang dengan bangganya mereka memperlihatkan hubungan mereka. Tunggu saja, aku akan membalas semuanya.Kutarik paksa pintu mobil, baru saja hendak masuk ucapan Citra menghentikanku“Aduh… duh kasihannya, sakit, ya?" ucap Citra sambil tertawa dan memegangi pipinya.“Jangan panggil gue Elshanum Cakrawinata jika gue kalah sama Lo. Seneng-seneng aja sebentar, nikmati saja dulu hasil nyokap Lo yang mencuri dari gue dan mama. Tapi ingat, semuanya akan kalian bayar dengan sangat menyedihkan.” Kutepuk pelan pipi Citra.Aku segera masuk mobil membiarkan Citra termagu memandangku. Kubuka kaca mobil. “Ah ya, gue lupa, kembalikan seluruh barang branded yang Lo pinjam. Kalau enggak… gue bakalan sebarin ke seluruh kampus kebusukan Lo, termasuk itu.” Kutunjuk kacamata yang bertengger di kepala Citra, kacamata merk Christian Dior yang tak main harganya.“Sialan Lo, jangan Lo kira gue gak bisa ngalahin Lo!” hardiknya, aku tak menghiraukanya.Kulajukan mobil tak ingin berlama berdebat dengan manusia muka tembok di depanku. Kutatap foto bersama papa dan mama yang tergantung di kaca. Bagaimana papa bisa
“Ma,” panggilku lirih.Melihatku masuk, mama kembali tersenyum membuang wajah sendunya.“Mama kenapa?”Mama menggeleng. “Mama tidak apa-apa, Mama hanya sedih.” Mama mengusap wajah yang meninggalkan bekas luka bakar hampir separuhnya. “Tapi Mama tetap bersyukur bisa kembali melihatmu Sayang.”“El akan selalu sama Mama.” Kusambut pelukan hangat mama. “Papamu, apa dia menjagamu dengan baik?”“Apa yang mama khawatirkan? Tentu saja Papa menjagaku dengan baik.”Aku mengalihkan pandangan dari tatapan mama, jika terus menatapnya aku tidak akan bisa berbohong. Mana mungkin aku berkata jujur dengan mama jika selama mama dalam keadaan koma papa menjodohkanku dengan anak seorang yang membantu menyokong dana di perusahaan papa. Di saat mama koma perusahaan papa nyaris bangkrut, keadaan yang sedang dilanda pandemi membuat bisnis properti papa mengalami tekanan, para investor menghentikan pemasukan dana sepihak sementara papa butuh banyak biaya untuk kebersihan dan juga perawatan.Bayangan satu bu
Aku kembali ke rumah sakit, duduk di samping mama yang terlelap dengan banyak alat kesehatan di tubuhnya. Wajahnya sebagian terluka oleh luka bakar yang mulai mengering, mungkinkah karena itu papa memilih menikah dengan Tante Mayang dan menduakan mama?“Mama cepatlah bangun,” ucapku lirih. Aku menangis di samping mama, kenapa keluarga kami jadi seperti ini? Seharusnya saat ini papa berada di samping mama dan memberikan ia semangat. Nyatanya ia memilih bersenang-senang dengan orang lain.…Sejak aku mengetahui hubungan papa dan Tante Mayang, aku tak lagi bertegur sapa dengan papa. Aku lebih memilih mengacuhkanya jika ia datang menjenguk mama atau aku pulang untuk mengambil sesuatu. Saat ini aku tak lagi percaya kepada papa, aku tak pernah membiarkan papa seorang diri menemui mama, takut jika nanti papa akan menyakitinya. Hingga malam itu papa datang kembali, aku terjaga ketika mendengar suara pintu kamar rawat mama di buka. Ruang rawat mama ada ranjang untuk penunggu tempat aku tidur s
“Papa ingin aku nikah sama laki-laki cacat itu? Papa mau menjualku? Heh, ayah macam apa Papa ini? Tega menjual anaknya demi uang!” seruku takpercaya.“El, Papa gak punya pilihan, Papa pun berat melakukan ini, tetapi kita butuh biaya besar untuk pengobatan mama, biaya kuliah adikmu di Paris. Papa tidak menjualmu Sayang, setidaknya kamu tetap tidak akan kekurangan jika menjadi menantu utama Diamond Group,” kilahnya. Pemikiran macam apa yang ia tanamkan dibenakku. “Cukup! Papa habiskan uang Papa untuk anak tiri dan istri simpanan Papa, kenapa tidak Papa nikahkan saja dengannya!” Aku menyambar jaket tebal yang ada di ranjang, melangkah meninggalkan Papa yang terlihat semakin frustasi. Kutatap mama sejenak dan berbalik melihat Papa. “Aku tidak ingin Papa menghentikan pengobatan mama, jika masalah kuliahku aku akan mengalah, tetapi untuk mama aku tak terima,” ucapku mempertegas, kuharap papa masih memakai otaknya.Taman rumah sakit yang sunyi menjadi tempatku untuk menyendiri, menenangkan
“El, kenapa diam saja?” mama mengguncang bahuku membuatku sedikit tersentak dan kembali tersadar dari lamunanku mengingat kejadian satu bulan lalu.“Tidak apa-apa, Ma. Kita akan pulang sekarang?”Mama mengangguk dan merapikan bajunya. Aku membawa barang mama yang tidak terlalu banyak, mama memakai cadar untuk menutup wajahnya. Aku akan mengatakan semuanya nanti, menunggu waktu yang pas, mengingat keadaan mama belum pulih sepenuhnya.“Apa Daren masih di Paris? Mama rindu, sepertinya Mama udah tidur lama sekali.”“Kita akan mengunjunginya kalau Mama udah baikan.”Ah, aku sampai lupa memberitahu bocah tengil itu jika mama sudah sadar, dia pasti akan melonjak girang. Masih kuingat dia menangis seperti bayi saat datang tiga bulan lalu melihat mama terbaring dengan luka bakar di sebagian wajahnya. Berhari-hari Daren tak ingin makan dan hanya duduk di samping mama, padahal saat SMA dia merupakan bocah tengil yang membuat papa dan mama kewalahan dengan segala tingkah nakalnya. Namun, aku tahu
Kutinggalkan Tante Mayang dan segera menyusul papa. Kulihat papa sedang memegang tangan mama, memberikan aroma minyak kayu putih di dekat hidungnya. Kudorong papa menjauh dari mama. “Jangan dekati Mama, Papa benar-benar menjijikan, tidak tahu malu! Ini semua karena Papa!” seruku. Aku tak ingin tangan kotornya menodai tubuh mama.“El, sudah hentikan, kita bicarakan nanti saja," ucap papa mengiba.“Bawa wanita itu pergi!” Kutunjuk tante Mayang dengan tatapan nyalang. Mereka tak akan kumaafkan jika sesuatu terjadi terhadap mama.“Elsha."“Bawa dia pergi dari rumah ini!” bentakku. Papa beranjak sesekali menghentikan langkah melihat ke arah mama. Aku menatap punggung papa yang perlahan menjauh. Dulu papa segalanya untukku, papa kesayanganku, cinta pertamaku, tetapi ia menggores luka di hatiku dan mama, orang yang selalu kujaga hatinya. Aku memang anak manja, hidup bagai ratu, semua keinginanku papa selalu memberikan, tetapi aku tak akan lemah jika ada orang yang menyakiti mama termasuk p
Mayang POV.Kehidupan Hanum selalu aku impikan. Suami, dan segala yang ia punya. Hanum sahabatku sejak kami kecil, kami tinggal di desa dan rumah kami bersebelahan. Hingga ayahnya membawa ia pergi ke kota, sejak saat itu kami tak dapat berkomunikasi lagi. Kami kembali bertemu saat ia dan kedua anaknya sedang makan malam bersama suaminya. Aku dan Citra yang baru saja pulang memulung berpapasan dengannya di sebuah warung nasi pinggir jalan. Hanum menolongku dari kejaran rentenir yang hendak menagih hutang suamiku. Namun, hal yang paling mengejutkan adalah dia bersama Mas Cakra, mantan kekasihku yang memutuskan hubungan karena dia dijodohkan oleh ayahnya. Aku tidak tahu bahwa wanita itu adalah Hanum, entah kebetulan macam apa ini. Beberapa bulan setelah pertemuan kami Hanum dan putrinya semakin sering berkunjung ke rumah, sekedar membawa makanan untuk aku dan juga Citra. Dia juga banyak membantuku membayar hutang suamiku. Suamiku lelaki temperamen yang selalu main tangan, terlebih sete
Aku bergegas membuka pintu. “Mas Cakra ada apa?” tanyaku berpura-pura terkejut.Mas Cakra mendorongku masuk setelah mengawasi keadaan. Hari ini Hanum dan Citra juga Elsha pergi berkunjung ke rumah Pak Darma, ayah Hanum. Pagi tadi aku membuat alibi dengan mengatakan tidak enak badan agar tak ikut dengannya setelah tahu Mas Cakra pun tak ikut. Malam ini akan aku gunakan untuk mengulang kisah cintaku dan Mas Cakra. Akan kupastikan ia kembali jatuh dalam dekapanku.“Aku sudah melakukan tes DNA, kenapa dulu kamu gak pernah menghubungiku? Kenapa kamu rahasiakan sendiri? Apa kamu datang cuma buat ini? Jangan bilang kamu ingin menghancurkan hubungaku dengan Hanum?” tanya Mas Cakra penuh emosi.“Bagaimana aku akan menghubungimu Mas? Kamu memutus komunikasi, aku tidak tahu harus berbuat apa, akhirnya aku memilih untuk menikah dengan Mas Eko. Karena bagaimanapun aku enggak mungkin buat ayah sama ibu malu Mas, padahal aku berharap banget kamu hadir ditengah kehamilanku. Aku juga mau hancurin hub
Seperti malam sebelumnya Aksa kembali dalam keadaan mabuk, dua orang yang mengantarkannya gegas keluar setelah membaringkan tubuh Aksa di atas dipan. Aku menghela nafas berat, kenapa dia harus melakukan ini setiap malam? Apa bebannya lebih berat dariku? Rasanya tidak mungkin karena dia memiliki apapun yang dia punya dan dia bisa melakukan apapun yang dia mau.“Cassandra, aku sangat merindukanmu,” lirihnya. Aku tak menghiraukan ucapan Aksa dan terus membuka satu persatu atribut lengkapnya, ya atribut ngantor maksudnya.“Casandra, kenapa kamu ninggalin aku,” ucapnya lagi.Ah, itu rupanya alasan dia mabuk karena kekasihnya meninggalkannya, kasihan sekali tetapi aku justru ingin tertawa.“Cassandra apa kamu lupa apa yang telah kita janjikan.” Kali ini Aksa menarik kuat tanganku hingga aku terjatuh dalam pelukannya.“Lepaskan Tuan,” lirihku sembari mengalihkan tangannya yang melingkar di pinggangku.Aksa membuka mata perlahan mungkin dia masih sedikit sadar. “Kamu rupanya.” Dia mendorong
“Besok malam aku tidak akan menundanya lagi,” ucap Aksa sebelum pergi meninggalkanku.Aku beringsut mundur dengan tubuh gemetar, takut itu yang kurasakan saat ini, sebenarnya memberikan keturununan untuk Diamond Group bukanlah perkara buruk, tetapi aku tidak ingin melakukan hal itu dengan orang yang seperti Aksa. Aku ingin melayani orang yang aku cintai. Tangisku pecah begitu saja.Kurapikan kembali baju yang sudah berserakan, mengenakan dengan cepat takut jika pemuda itu kembali masuk dan berubah pikiran. Aku harus mencari cara agar bisa menolak Aksa, atau mungkin aku bisa kabur dari sini. Aku berlari cepat menuju pintu, sialnya pintu terkunci dari luar, aku benar-benar seperti tawanan di sini. Tubuhku luruh ke lantai, bagaimana aku akan membawa mama pergi jika aku keluar dari sini saja aku tidak bisa.Kutatap jendela kaca. Mungkin aku bisa keluar dari sana. Namun, saat memandang tingginya jendela nyaliku menciut, itu terlalu tinggi. Jika aku jatuh bukannya bisa membawa mama keluar
“Ngapain berdiri di situ kayak orang enggak berguna, cepat bantu aku.” Aksa menatapku yang berdiri melipat tangan di dada tak jauh darinya. Kuhampiri cepat dirinya dan membantu dia naik ke atas kursi roda. Dasar sombong, apa salahnya minta bantuan baik-baik.Tanpa ucapan terima kasih ia meninggalkan aku ke kamar mandi untuk membasuh diri. Seharusnya ini bisa digunakan untuk kabur. Sedikit berjinjit kuhampiri pintu, secepat kilat aku sudah berdiri di depan pintu dan menyentuh handle pintu tersebut.“Jangan coba-coba untuk kabur, atau orang tuamu akan merasakan akibatnya,” ucap Aksara dari dalam kamar mandi.Astaga, apa dia punya indra ke tujuh? Padahal aku sudah berusaha tak membuat suara. Bagaimana dia bisa tahu? Terpaksa aku kembali duduk di atas ranjang karena takut dengan ancamannya. Jujur saja aku tak punya nyali untuk melawannya, aku bukan gadis kuat nan tangguh. Aku dibesarkan bagai putri sejak kecil walau akhirnya aku harus berada di sangkar neraka seperti ini.“Berikan bajuk
Berdiri seorang diri menatap cakrawala malam bertabur bintang. Kudekap tubuh yang dingin karena dersik angin malam membelai begitu kencang. Kulirik jam yang ada di pergelangan tangan, sudah hampir tengah malam tetapi Aksa belum juga kembali, entah kemana perginya lelaki itu.Kenapa aku memikirkannya? Bukankah lebih bagus jika dia tidak di sini, aku lebih leluasa merenda nasib yang tak berpihak kepadaku ini. Kembali kutengadahkan wajah menatap bintang yang berkelip. Bayang-bayang mama menari indah di mata, sedang apa wanitaku itu? Apakah dia baik-baik saja? Aku bahkan tak punya ponsel sekedar untuk menghubunginya. Kuseka air mata yang sudah memenuhi kelopak mata.“Jangan menangis Elsha, kamu sekarang harus menjadi wanita yang kuat.” Kutepuk dada berkali-kali, dada yang terasa amat sesak. Sesak dan sakit sekali, bahkan cintaku masih berlabuh untuk seorang lelaki yang telah menjalin cinta denganku lebih dari tiga tahun. Entah bagaimana perasaannya setelah tahu aku menikah dengan orang y
“Kenapa Mama enggak pernah jujur sama Elsha? Kenapa Mama simpan semuanya sendiri?” tanyaku, kuhapus air mata yang membasahi pipi mama.“Mama tidak bisa sayang, Mama takut Els akan membenci Mama.”Aku memeluk tubuh mama.“Elsha akan selalu sama Mama, Elsha akan selalu bersama Mama membalas Mayang dan Cakra atas semuanya penderitaan Mama. Tak akan sedikitpun kulepaskan mereka.” Tanganku mengepal kuat. Akan kulakukan berbagai cara untuk menghancurkan mereka satu persatu.“Maaf Sayang, maaf Mama harus menyeret dalam situasi ini.”Mama memelukku dengan erat sebelum ia dibawa keluar oleh seorang pelayan.Aku menatap punggung yang mulai menjauh tersebut. Tekad untuk membawanya pergi dari rumah itu, akan kulakukan apapun untuk menghukum mereka.Setelah ijab kabul terdengar, aku dibawa keluar oleh pelayan berjalan diatas altar menghampiri suamiku yang terduduk di atas kursi roda, aku tak ingin melihat lelaki itu, hatiku dipenuhi dendam.Pernikahan kami berjalan lancar, kulihat senyum sumringah
“Hanum, itu anakku, kan!” seru Mas Dimas, ia mencekal erat tanganku.“Bukan, ini bukan anakmu, Mas.” Aku mencoba mengelak tapi ia bersikeras untuk melakukan tes DNA. Aku tak ingin bersama lelaki itu lagi. Aku tak ingin menderita bersamanya lagiAyah melakukan berbagai cara agar Mas Dimas tak datang ke rumah, hingga harus meminta kepada Mas Cakra untuk mengaku menjadi ayah dari anakku. Sejak setahun bersama keluarga kami ayah melihat Mas Cakra begitu baik, ia juga bertanggung jawab kepada ibunya, terlebih ia mampu mengembangkan perusahaan ayah yang hampir bangkrut. Mas Cakra menerima keinginan ayah karena merasa berhutang budi, dan akhirnya ia mengakui di depan Mas Dimas bahwa anak yang baru saja lahir tersebut adalah anaknya. Ia sendiri yang memberi nama Elshanum Cakrawinata. Kami belum menikah, aku masih ingin sendiri, aku masih ingin sendiri, hingga Elsha menginjak usia dua tahun ayah meminta Mas Cakra untuk menikahiku. Tidak dipungkiri kasih sayangnya kepada Elsha sudah seperti ana
Pagi dengan sinar matahari yang begitu terang aku berjalan di kawasan komplek menunggu angkot hendak ke pasar, aku akan menyiapkan ayam bakar kesukaan Mas Dimas, pikirku. Kulambaikan tangan kepada sopir angkot dan gegas naik.Lima belas menit aku sampai di pasar, ramai orang berjualan sayur, aku menuju toko yang menjual ayam, membeli bagian dada dan sayap kesukaan Mas Dimas. Ia dulu bilang hanya setahun sekali bisa menikmati ayam sekarang ia bisa makan itu setiap hari.Setelah membeli ayam aku melirik penjual buah pinggir jalan, buah jeruk yang tampak segar dan besar membuatku menelan ludah, tak sabar ingin menyesapnya. Aku berjalan sedikit berlari menghampiri tukang buah tersebut. Namun, sampai di penjual buah saat aku sedang asyik mencium aroma jeruk seseorang datang merangkul pinggang wanita yang begitu cantik. Buah jeruk jatuh dari tanganku. Mas Dimas, ia bersama wanita lain merangkul pinggang rampingnya begitu mesra. Ia tak pulang dan sekarang bersama wanita itu. Dadaku sesak pan
Mas Dimas pulang dengan mobil baru dan bukan mobil fasilitas kantor.“Mobil siapa Mas?” tanyaku setelah menjawab salam dan mencium punggung tangannya.“Mobil kitalah masak mobil orang di bawa pulang,” ucapnya dengan nada yang tak enak di dengar.Aku mengerutkan dahi, Mas Dimas beli mobil? Bukankah tabungan kita belum segitu banyaknya sehingga mampu membeli satu unit mobil, terlebih bagaimana impiannya yang ingin memiliki sorum mobil sendiri? Bukankah itu jauh lebih penting, batinku.“Mas beli mobil? Uang dari mana?” tanyaku lirih.“Loh kamu remehin aku ndak bisa beli mobil gitu? Mentang-mentang aku dari keluarga miskin dan gak seperti keluargamu!” serunya mulai tak terkontrol.Malam ini Mas Dimas berubah, ia tak lagi seperti Mas Dimas dengan suara lembutnya, Mas Dimas yang dulu memintaku merubah penampilan dengan hijab, mengajariku mengaji hingga membawaku ke ustaz kenalannya sehingga aku dengan mudah belajar mengaji dan memperdalam ilmu agama. Itulah hal yang membuat aku mantap menar
HANUM MAHESWARI POVElshanum Cakrawinata, anak semata wayangku dengan Mas Dimas, suami pertamaku. Otakku kembali memutar kejadian dua puluh lima tahun silam tepatnya saat aku masih menjadi istri Mas Dimas, ayah kandung Elsha yang selama ini tak sedikitpun aku singgung dalam kehidupan putriku.“Hanum Maheswari aku talak kamu, mulai saat ini tak ada lagi hubungan di antara kita," ucap Mas Dimas yang membuat tubuhku lemas bagai tak bertulang.Aku menangis tersedu di bawah gerobak buah. Mas dimas mengumumkan talaknya diantara ramai orang belanja, dimana salahku? Aku tak paham, apa yang aku lakukan sehingga ia menjatuhkan talak untukku tanpa sedikitpun belas kasihan.“Mas. Tak salahkan dengan ucapanmu?” tanyaku masih dengan suara lembut.“Kita akhiri saja hubungan ini, aku malu mempunyai istri sepertimu. Lihat, badanmu saja tak terurus, wajah tak terurus. Hanum, kamu itu anak orang punya istri manager masa iya harus seperti bibi asisten,” umpatnya tanpa melihat keadaan kami.Kuremas ujung