Airin memacu mobilnya dengan perasaan bimbang. Berulang kali diliriknya buku yang dia letakkan di jok sebelahnya.Handoko dan Mamanya saling mengenal sebelumnya, apa mungkin itu alasan Handoko tega membakar dan membunuh orang tuanya? Dendam apa sebenarnya yang dimiliki Handoko pada keluarganya?Airin akhirnya menghentikan mobilnya di pinggir jalan, di tepi sebuah danau dengan rerumputan yang membentang luas. Airin menarik napas panjang, lalu perlahan mengambil buku itu.Dibukanya sekali lagi lembar pertama, lalu dilihatnya lagi foto Mamanya bersama Handoko. Ada rasa takut menyusupi hati Airin ketika membuka lembar berikutnya, tapi rasa ingin tahunya mengalahkan segalanya.Mamanya memang seorang penulis terkenal yang sudah menerbitkan ratusan buku, tapi dia belum pernah melihat catatan ini sebelumnya. Dari tempatnya ditemukan, buku itu tidak ditaruh bersama jajaran buku-buku yang lain, melainkan disembunyikan di balik lipatan rak buku.Dengan hati berdebar Airin membacanya kata demi k
"Tidak! Papa saya tidak bersalah!" Amel berlari ke atas panggung, menghalangi polisi untuk menangkap Handoko."Tolong menyingkir, Nona. Kami sedang menjalankan tugas," ucap polisi sambil memborgol tangan Handoko.Irfan menarik tangan Amel menjauh dari pak polisi, mencoba untuk menenangkannya."Mas, Tolong Papa, Mas! Jangan biarkan Papa dibawa pergi oleh mereka, Mas!" raung Amel."Kamu tenanglah dulu," ucap Irfan pada istrinya itu."Tenang apanya? Papaku akan masuk ke penjara!"Kedua polisi itu menggiring Handoko menuruni panggung, lalu membawanya menerobos kerumunan para tamu undangan. Amel dengan penuh emosi mendekati Airin."Jahat kamu Airin!" hardiknya. "Berani sekali kamu memasukkan Papaku ke penjara!""Sudah, sudah, Sayang," Irfan masih berusaha menenangkan Amel.Airin hanya menatap dingin pada mereka berdua."Apa itu sebanding dengan nyawa orang tuaku yang melayang karena perbuatannya?" tanyanya dingin."Papaku bukan pembunuh!" tangan Amel terangkat, bersiap menampar Airin.Tapi
Masa Lalu( Flash back kisah Handoko )"Maafkan aku, Mas. Aku harus memenuhi keinginan orang tuaku."Ucapan Widya itu bagaikan sebilah pedang yang menghujam jantungnya. Betapa teganya wanita yang dia tunggu selama ini ternyata membuatnya kecewa. Pikiran Handoko melayang jauh saat pertama kali mereka bertemu.Hujan gerimis menghiasi malam yang sudah mulai sepi itu. Handoko mengendarai sepeda ontelnya menyusuri jalan basah karena hujan. Dia mengusap wajahnya berulang kali karena basah. Tubuhnya juga mulai menggigil. Sesampainya di tepi jembatan, dia menghentikan sepedanya.Dadanya sedikit berdebar karena melihat sosok wanita berjalan terseok dari seberang jembatan. Handoko mengusap matanya? Apa yang dia lihat itu benar-benar manusia? Atau ....Wanita itu berhenti melangkah. Dia berdiri di tepi jembatan itu dengan pandangan kosong. Handoko masih terus memperhatikannya dari kejauhan. Tiba-tiba matanya terbelalak. Refleks dia membanting sepedanya dan berlari ke arah wanita yang mulai berni
Bos BaruAirin menunggu sampai Handoko bisa menenangkan dirinya dari cerita masalalunya yang rumit. Sebenarnya hati Airin ikut perih mendengarkan ceritanya. Tapi setidaknya, dia sudah berusaha memaafkan pria angkuh yang ada di depannya itu."Mungkin dengan mengembalikan semuanya, Widya bisa memaafkanku," ucap Handoko lirih.Airin mengulurkan map berisi surat kuasa pada Handoko. Handoko termenung sambil memandangi map itu."Aku tidak memaksamu untuk menanda tanganinya. Aku masih bisa menggunakan cara lain," ucap Airin pelan.Handoko memandangi map yang ada di depannya. Dia diam sambil memegangi pulpen di tangannya."Aku akan menanda tangani ini," jawab Handoko kemudian. "Tapi aku ingin meminta satu hal saja."Airin diam sebentar, lalu menatap Handoko."Apa?" tanyanya."Jangan menjebloskan Irfan ke dalam penjara. Bagaimanapun, sekarang dia sudah menjadi suami dari putriku," jawab Handoko."Bukankah tadi kau bilang tidak akan menghalangiku?" tanya Airin lagi."Putriku tidak punya siapa-s
Hutang yang harus dibayarAmel berjalan dengan penuh percaya diri memasuki toko barang-barang branded langganannya yang berada di dalam Mall terbesar di kota itu."Selamat datang, Nona Amel," sambut para pegawai toko begitu Amel masuk, beserta manager mereka."Keluarkan semua pakaian model terbaru kalian," ucap Amel pada mereka.Semua pegawai langsung menutup toko, kebiasaan yang selalu mereka lakukan ketika Amel mengunjungi toko mereka. Beberapa pegawai langsung menunjukkan berbagai macam model pakaian terbaru mereka.Amel berulang kali keluar masuk ruang ganti untuk mencoba semua pakaian-pakaian itu, hingga tampak tumpukan semua pakaian yang sudah dicobanya. Bagi pegawai toko, semua itu bukan masalah, karena biasanya Amel akan memborong semuanya.Setelah puas mencoba pakaian, kini giliran dia berburu tas dan sepatu. Semua yang ada di sana dia coba satu-persatu. Setelah itu dia memilih mana saja yang akan dia beli.Para pegawai toko dengan sigap mengemas semua barang-barang yang Am
Tak Berhati"Mama! Mama!" Irfan menggoncang tubuh Mamanya yang tak sadarkan diri."Bagaimana ini, Mas?" tanya Amel pada Irfan. "Rumah ini punya Mas, kan? Jangan biarkan mereka mengambilnya!""Mamaku pingsan! Kamu malah memikirkan masalah rumah!" bentak Irfan pada istrinya itu."Aku gak peduli, Mas! Pokoknya aku gak mau rumah ini sampai diambil oleh mereka!"Irfan masih menggoncang tubuh Mamanya itu. Airin membuang napas, lalu menatap Rifki."Rifki, tolong panggilkan ambulans," pintanya.Rifki mengangguk, lalu mengambil gawainya dan memanggil ambulan seperti yang Airin perintahkan."Aku beri waktu untuk kalian sampai satu minggu, bayar hutang kalian atau rumah ini kami sita," ucap Airin sambil berdiri dan beranjak pergi."Kamu gak punya hati, Airin!" ucap Amel.Airin menghentikan langkah, lalu menoleh pada Amel."Tidak punya hati?" tanyanya sambil tersenyum miring."Pak Notaris, tolong berikan surat itu padanya." lanjutnya.Petugas Notaris itu memberikan sebuah map kepada Amel. Amel se
Rifki memacu mobilnya langsung menuju ke arah rumah sakit. Dalam beberapa menit mereka akhirnya sampai ke tempat yang mereka tuju. Sepanjang perjalanan Airin berusaha menelpon Bella, tapi gawainya tidak aktif."Bagaimana mungkin dia menghilang? Kenapa dia bisa lepas dari pengawasan kalian?" Airin langsung memberondor Suster dengan berbagai pertanyaan."Dilihat dari rekaman CCTV, dia pergi diam-diam atas kemauannya sendiri, Non," jawab suster itu dengan ketakutan.Airin membuang napas kesal. Tiba-tiba gawainya berdering. Telepon masuk dari Bella. Airin cepat-cepat mengangkatnya."Bella, kamu ke mana saja?" tanya Airin cemas."Jangan marahi para Suster," ucap Bella dari seberang telepon, seolah tahu kalau Airin pasti akan memarahi mereka. "Aku hanya keluar untuk jalan-jalan sebentar. Bosan di rumah sakit terus.""Kamu di mana? Biar aku menemanimu," tanya Airin lagi."Aku tidak apa-apa, aku ingin sendirian dulu sekarang," jawab Bella lagi.Airin membuang napas, berusaha mengerti keingina
Mobil Airin memasuki kawasan perkampungan yang masih alami dan rindang. Setelah melewati hutan pinus yang berjejer, terlihat hamparan sawah yang luas.Sesaat mereka berdua terpesona melihat pemandangan yang ada di bawah bukit itu. Airin membuka jendela mobil, membiarkan udara sejuk masuk ke dalam mobilnya itu.Airin mengeluarkan sedikit kepalanya keluar jendela mobil, lalu menarik napasnya dalam-dalam. Senyumnya mengembang, terlihat begitu menikmati suasana perkampungan itu.Rifki melirik ke arah Airin. Wajah Airin terlihat begitu berseri-seri. Dia ikut tersenyum melihatnya seperti itu. Dalam hati dia berharap Airin bisa terus ceria seperti ini.Rifki menghentikan mobilnya begitu melihat mobil Bella terparkir tak jauh dari situ. Mereka berdua turun, lalu menatap sekeliling untuk mencari Bella."Pergi kamu!!"Airin dan Rifki terkejut. Mereka segera berlari ke arah salah sudut pematang sawah yang ada di sana. Terlihat seorang wanita tua mengusir Bella. Di belakang wanita itu, seorang pr
Airin masih berdiri melihat Amel berdiri di depan pintu rumahnya. Dia menatapnya tajam, penuh kemarahan. Bau bensin menyengat hidung Airin. Airin baru sadar Amel membawa jirigen besar berisi benda bensin."Mau apa kamu, Amel?" tanya Airin dengan mata membulat."Kamu puas kan sekarang? Pernikahanku hancur! Karirku hancur!" ucap Amel histeris."Kamu menyalahkan aku karena itu semua?" tanya Airin lagi."Iya! Ini semua salahmu! Kenapa kau bisa mendapatkan semua yang ingin aku miliki? Aku membencimu! Aku mau kamu mati!"Airin terkejut melihat Amel membuka jirigen yang dibawanya dan mulai mengucurkan isinya. Dia mundur, mencoba menghindar dari cairan itu, namun Amel menyudutkannya di sisi ruangan."Hentikan Amel!" teriaknya panik. "Apa kamu sudah tidak waras?!"Amel tertawa sambil menyalakan korek api."Mati kamu, Airin!""Hentikan!"Api berkobar membakar apa saja yang dia temui. Airin berteriak. Dia terjatuh di sudut ruangan. Tubuhnya bergetar hebat. Bayangan orang tuanya yang tewas dilaha
Irfan berlari dengan cemas sambil membopong tubuh Airin memasuki gedung rumah sakit."Dokter! Tolong, Dokter!" teriaknya.Seorang Dokter dan beberapa orang perawat langsung menangani Airin. Mereka membawa Airin masuk, diikuti oleh Irfan."Bagaimana keadaannya, Dokter?" tanya Irfan begitu Dokter selesai memeriksanya."Dia baik-baik saja, hanya kelelahan saja. Sebentar lagi pasti akan siuman. Untuk sementara biarkan dia istirahat dulu," jawab Dokter.Irfan membuang napas lega. Dokter meninggalkan mereka berdua di ruangan itu. Irfan duduk di samping Airin yang masih belum sadarkan diri.Dia menatap lekat wanita yang pernah menjadi istrinya itu. Penyesalan mulai menyusupinya lagi. Airin berbesar hati memaafkannya atas apa yang pernah dia lakukan.Jari Airin bergerak, dia perlahan membuka matanya."Kau sudah siuman, Airin?" tanya Irfan dengan mata berbinar.Airin perlahan menatap ke arah Irfan, lalu dia mencoba untuk bangun."Berbaring saja dulu, tubuhmu masih lemah," ucap Irfan lagi."
( Flash back )"Kanker Laring ?" mata Bella membulat mendengar ucapan Dokter tentang penyakit Heru, suaminya."Benar, harus segera dioperasi. Kalau tidak sel kanker bisa menyebar. Apakah Bapak ini merokok, atau minum alkohol?"Bella menatap ke arah Heru. Dan Heru menggeleng cepat."Dia tidak merokok, apalagi minum minuman keras," jawab Bella."Atau mungkin dia terpapar virus dan polusi di tempatnya bekerja," ucap Dokter lagi.Bella terdiam. Suaminya memang bekerja di pabrik besi yang menyebabkan dia terpapar debu logam setiap saat. Dia menatap ke arah suaminya. Tidak ada pilihan lain, Heru harus berhenti bekerja, dan kembali pulang ke kampung halaman mereka."Apa? Bekerja di kota?" tanya Bu Rahma ketika Bella mengutarakan maksudnya."Kita butuh biaya banyak untuk operasi Mas Heru, Buk," ucap Bella. "Biar Bella mencari pekerjaan di sana.""Kita bisa menjual sawah untuk biaya operasi. Sejak dulu cita-cita kamu memang ingin ke sana, kan? Ingin jadi pengusaha sukses, padahal kamu cuma lul
Airin masih berdiri di luar ruang rawat inap Amel, tak tahu apa yang harus dia lakukan."Kenapa tidak masuk?"Airin mengangkat wajahnya. Irfan berdiri di depannya sambil menatapnya. Sesaat kemudian dia salah tingkah."Eh, anu, mungkin aku akan menjenguk Bella lebih dulu," ucap Airin sambil beranjak dari tempatnya."Tunggu aku ikut," ucap Irfan, berjalan mengikuti Airin di belakangnya.Mereka naik ke lantai atasnya, tempat Bella dirawat. Sesampainya di sana, terlihat para perawat berlarian, seperti sedang ada situasi yang darurat. Jantung Airin berdegup kencang ketika tahu mereka menuju kamar Bella."Apa yang terjadi?" tanya Airin pada salah satu Suster dengan cemas."Pasien atas nama Bella, sedang dalam kondisi kritis," jawab Suster itu.Mata Airin membulat karena terkejut. Dia langsung berlari masuk ke kamar Bella, tapi beberapa perawat menahannya."Mohon tunggu di luar, Dokter sedang melakukan tindakan," ucap salah satu dari mereka.Pintu ruangan Bella tertutup rapat. Airin tidak b
"Hendra Kurniawan itu suamiku!" ucap Dila dengan lantang di atas panggung.Semua yang hadir langsung heboh dengan pernyataan Dila. Wajah kedua mempelai merah padam karena tak bisa menahan malu.Airin tak menduga, perbuatan yang dulu hampir dia lakukan pada Amel, kini dilakukan oleh orang lain. Entah kenapa, dia seperti melihat dirinya di atas panggung itu. Tapi kenapa sekarang dia justru merasa kasihan pada Amel?Hendra berdiri, lalu menarik tangan Dila dari microphone."Apa yang kamu lakukan? Berani kamu mempermalukanku!" ucap Hendra."Lihat itu, Mas! Lihat!" Dila menunjuk layar lebar yang terpampang foto Amel di sana. "Kamu jatuh cinta pada perempuan ini karena lebih cantik dariku, kan? Nyatanya kecantikan dia palsu! Lihat itu!"Muka Hendra semakin memerah. Amel tak sanggup lagi menahan malu. Akhirnya dia berdiri dengan gaun mewahnya, beranjak meninggalkan pelaminan."Mau kemana kamu wanita jalang?" terima Dila sambil menghalangi Amel turun dari panggung.Dengan satu gerakan Dila me
Mobil Airin memasuki kawasan perkampungan yang masih alami dan rindang. Setelah melewati hutan pinus yang berjejer, terlihat hamparan sawah yang luas.Sesaat mereka berdua terpesona melihat pemandangan yang ada di bawah bukit itu. Airin membuka jendela mobil, membiarkan udara sejuk masuk ke dalam mobilnya itu.Airin mengeluarkan sedikit kepalanya keluar jendela mobil, lalu menarik napasnya dalam-dalam. Senyumnya mengembang, terlihat begitu menikmati suasana perkampungan itu.Rifki melirik ke arah Airin. Wajah Airin terlihat begitu berseri-seri. Dia ikut tersenyum melihatnya seperti itu. Dalam hati dia berharap Airin bisa terus ceria seperti ini.Rifki menghentikan mobilnya begitu melihat mobil Bella terparkir tak jauh dari situ. Mereka berdua turun, lalu menatap sekeliling untuk mencari Bella."Pergi kamu!!"Airin dan Rifki terkejut. Mereka segera berlari ke arah salah sudut pematang sawah yang ada di sana. Terlihat seorang wanita tua mengusir Bella. Di belakang wanita itu, seorang pr
Rifki memacu mobilnya langsung menuju ke arah rumah sakit. Dalam beberapa menit mereka akhirnya sampai ke tempat yang mereka tuju. Sepanjang perjalanan Airin berusaha menelpon Bella, tapi gawainya tidak aktif."Bagaimana mungkin dia menghilang? Kenapa dia bisa lepas dari pengawasan kalian?" Airin langsung memberondor Suster dengan berbagai pertanyaan."Dilihat dari rekaman CCTV, dia pergi diam-diam atas kemauannya sendiri, Non," jawab suster itu dengan ketakutan.Airin membuang napas kesal. Tiba-tiba gawainya berdering. Telepon masuk dari Bella. Airin cepat-cepat mengangkatnya."Bella, kamu ke mana saja?" tanya Airin cemas."Jangan marahi para Suster," ucap Bella dari seberang telepon, seolah tahu kalau Airin pasti akan memarahi mereka. "Aku hanya keluar untuk jalan-jalan sebentar. Bosan di rumah sakit terus.""Kamu di mana? Biar aku menemanimu," tanya Airin lagi."Aku tidak apa-apa, aku ingin sendirian dulu sekarang," jawab Bella lagi.Airin membuang napas, berusaha mengerti keingina
Tak Berhati"Mama! Mama!" Irfan menggoncang tubuh Mamanya yang tak sadarkan diri."Bagaimana ini, Mas?" tanya Amel pada Irfan. "Rumah ini punya Mas, kan? Jangan biarkan mereka mengambilnya!""Mamaku pingsan! Kamu malah memikirkan masalah rumah!" bentak Irfan pada istrinya itu."Aku gak peduli, Mas! Pokoknya aku gak mau rumah ini sampai diambil oleh mereka!"Irfan masih menggoncang tubuh Mamanya itu. Airin membuang napas, lalu menatap Rifki."Rifki, tolong panggilkan ambulans," pintanya.Rifki mengangguk, lalu mengambil gawainya dan memanggil ambulan seperti yang Airin perintahkan."Aku beri waktu untuk kalian sampai satu minggu, bayar hutang kalian atau rumah ini kami sita," ucap Airin sambil berdiri dan beranjak pergi."Kamu gak punya hati, Airin!" ucap Amel.Airin menghentikan langkah, lalu menoleh pada Amel."Tidak punya hati?" tanyanya sambil tersenyum miring."Pak Notaris, tolong berikan surat itu padanya." lanjutnya.Petugas Notaris itu memberikan sebuah map kepada Amel. Amel se
Hutang yang harus dibayarAmel berjalan dengan penuh percaya diri memasuki toko barang-barang branded langganannya yang berada di dalam Mall terbesar di kota itu."Selamat datang, Nona Amel," sambut para pegawai toko begitu Amel masuk, beserta manager mereka."Keluarkan semua pakaian model terbaru kalian," ucap Amel pada mereka.Semua pegawai langsung menutup toko, kebiasaan yang selalu mereka lakukan ketika Amel mengunjungi toko mereka. Beberapa pegawai langsung menunjukkan berbagai macam model pakaian terbaru mereka.Amel berulang kali keluar masuk ruang ganti untuk mencoba semua pakaian-pakaian itu, hingga tampak tumpukan semua pakaian yang sudah dicobanya. Bagi pegawai toko, semua itu bukan masalah, karena biasanya Amel akan memborong semuanya.Setelah puas mencoba pakaian, kini giliran dia berburu tas dan sepatu. Semua yang ada di sana dia coba satu-persatu. Setelah itu dia memilih mana saja yang akan dia beli.Para pegawai toko dengan sigap mengemas semua barang-barang yang Am