Cliff kaya kok Wolf :))
Awalnya terasa tidak nyata. Mimpi siang hari yang menakjubkan. Tapi perlahan Zoe kembali ke alam nyata saat orang yang ada di depannya terus melemparkan pertanyaan. Memang beberapa kali Zoe harus memaksakan diri agar bisa tetap fokus dalam menjawab pertanyaan, tapi perlahan ia nyaman dan menikmatinya. Margot, orang yang mewawancarainya sangat tenang. Ia tidak banyak bertanya-tanya tentang hal di luar hal yang telah disetujui tadi. Sesi wawancaranya berlangsung langsung sekitar tiga puluh menit, dan sudah hampir berakhir. Untuk pengalaman pertamanya menjalani wawancara live, Zoe merasa sama sekali tidak buruk.“Aku yakin banyak orang yang terkejut mendengarmu bergabung dengan Wolf, terutama setelah Mr. Wolf mengatakan kalau ia tidak mengincar juara dari acara itu untuk bergabung dengan perusahaannya. Tapi pada akhirnya kau yang bergabung dengannya. Bagaimana menurutmu tentang ini?”Zoe tersenyum. Itu pertanyaan yang tidak ada di daftar. tapi ia masih bisa menjawabnya. Sekaligus melaku
“Aku sudah menerima penawaran dari Mr. Wolf beberapa hari sebelum final itu terjadi…” Mata Emily melebar. “Kau dekat dengannya…” Emily mendesis dan menegakkan punggungnya. Ia tidak lagi bertanya-tanya sekarang. Ia sudah menemukan siapa wanita yang dipedulikan oleh Wolf itu. Tapi fakta ia telah menemukan wanita itu tidak membuat Emily gembira, karena ia juga melihat bagaimana kalau wanita itu ternyata dekat dengan Wolf. Wanita itu bukan hanya sekadar lewat. Melihat bagaimana wanita itu masih membicarakan Wow dengan nada yang biasa saja—bukan benci seperti wanita Wolf yang lain saat sakit hati, maka Emily tahu kalau wanita itu berbeda. Emily meraih ponsel, mencoba untuk menghubungi Wolf tentu. Tapi hasilnya masih sama, tidak tersambung. Wolf masih memblokir nomornya. “Pinjam ponselmu!” Emily menodong Cade yang baru saja datang membawa wine untuknya. Cade tampak heran tapi menyerahkan ponselnya. Sayangnya cara itu juga tidak berhasil. Wolf tidak mungkin dengan mudah menerima nom
“Cut!”Zoe menghela napas dan mengangkat kepala setelah mendengar teriakan itu, karena kamera telah berhenti merekam.“Terima kasih.” Zoe membungkuk beberapa kali, untuk berterima kasih pada semua staff yang telah ikut dalam proses syuting itu.Keramahan yang tentu saja dibalas dan disambut dengan senang hati oleh semua kru itu. Sangat jarang mereka mendapati ada artis atau penyanyi manapun yang bersedia untuk mengucapkan terima kasih atas kesusahan yang dilakukan kru maupun staf yang ada di belakang layar. Biasanya artis akan cenderung untuk merasa lebih penting dari apapun karena mereka adalah pusat perhatian dari pekerjaan mereka. Tapi Zoe berbeda.Dan ini bukan pertama kali Zoe melakukannya. Dimana pun pekerjaannya berada Zoe akan selalu melakukan hal yang sama setiap kali selesai. Mengucapkan terima kasih kepada semuanya. Zoe tidak pernah disambut dengan nada tidak menyenangkan.“Itu luar biasa. Meski hanya rekaman aku merasakan kekuatan suaramu.” Darcy memuji sambil menyusul Zoe
“Hai!” Zoe berusaha menyapa seramah mungkin. “Ingat, sebentar saja. Loria harus segera pergi." Darcy mengingatkan, dan kali ini Zue harus berterima kasih padanya. Alasan pertemuan itu tidak boleh lama telah terlihat. “Ya, aku mengerti.” Max tersenyum menyanggupi, baru kemudian Darcy meninggalkan mereka. “Maaf, aku tidak sempat membalas semua pesanmu.” Tentu Zoe bicara dengan lembut dan sopan. Ia tidak bisa semerta-merta langsung membentak maupun mengusir. Zoe meminta maaf meski tidak menyesal karena tidak ingin orang mendengar keluhan Max tentang pesannya yang tidak terbalas. Zoe tidak ingin terjadi kesalahpahaman. “Tidak masalah. Aku paham.” Max tersenyum maklum. “Aku juga melihat sendiri bagaimana kau sibuk untuk tampil di sana dan sini. Aku mengerti kenapa kau tidak bisa membalas pesanku. Aku sendiri akan seperti itu saat sangat sibuk.” Zoe tidak ingin mendengar pemakluman itu. Ia tentu Max menyerah dan tidak lagi mengirim pesan. Setelah perjanjiannya dengan Wolf, dan keing
“Kau pulang terlambat!” Iris menyapa Max yang baru saja masuk. “Ya, syutingnya lama sekali. Ada banyak penyanyi yang terlibat, jadinya kami harus mengantri.” Max menjelaskan sambil menghempaskan diri di samping Iris yang tengah duduk di sofa dengan kaleng bir di tangannya. “Oh, kau pasti lelah.” Iris kembali membalas sambil menyesap bir dari tangannya. “Ya begitulah. Tapi…” “Tapi aneh. Seharusnya kau sudah pulang dari tadi.” Iris memotong. “Apa maksudmu?” “Salah satu temanku juga mengisi acara itu, dan menurutnya syuting sudah selesai semenjak pukul delapan malam tadi.” Max yang tengah membuka sepatunya, sempat menghentikan gerakannya sekejap, baru kemudian meletakkan sepatu di lantai. “Mungkin antriannya berbeda, jadi dia bisa pulang terlebih dulu. Aku…” “Menggelikan sekali. Kau pikir aku akan percaya begitu saja?!” bentak Iris. Ia tentu saja sudah mencari tahu lebih banyak lagi setelah dihubungi oleh salah satu temannya tadi. Ia bertanya pada teman yang lain, dan mendapat k
“Tentu, apa saja.” Zoe tanpa ragu mengangguk. Ia tidak akan pernah menolak permintaan tolong dari Jacob tentunya.“Mmm…Bisakah kau mengatakan pada Wolf agar tidak lagi memintaku bekerja dengan Iris?” Jacob memohon dengan bersungguh-sungguh.“Oh…” Zoe tentu saja tidak pernah menduga kalau permintaan Jacob akan berbentuk seperti itu.“Aku tahu ini sangat rendah. Percayalah, kalau aku tidak putus asa, aku tidak akan meminta ini padamu.” Jacob menyandarkan punggungnya pada dinding lift, semakin tampak lemas.“Apa ia seburuk itu?” tanya Zoe.Ia tentu tahu bagaimana sifat Iris, tapi Zoe berharap dalam hal pekerjaan Iris akan bersikap lebih baik. Tapi melihat bagaimana Jacob tampak putus asa, Zoe tahu kalau anggapannya itu sangat naif.“Ya! Aku belum pernah bertemu dengan penyanyi yang sangat keras kepala seperti itu. Ia sama sekali tidak mau mendengar apa yang aku inginkan, dan selalu meremehkan setiap keputusan yang aku ambil. Tidak lupa mengkritik setiap musik yang aku buat. Bagaimana mun
Zoe menggigit bibirnya untuk menahan desahan. Nyaris tidak tertahan karena Wolf benar-benar menuntut. “Aku merindukan semuanya…” bisik Wolf, sambil mengecup leher Zoe bertubi-tubi, dan menghirup udara di sekitarnya, menikmati aroma yang sangat diinginkannya itu. “Hmm…” Zoe hanya mendesah. Terlupa sudah keberatan yang kemarin ditunjukkan Zoe saat Wolf meminta mereka tidur bersama di kantor. Kali ini Zoe memilih pasrah. Tapi kemudian memekik dan wajahnya berubah menjadi kepanikan, saat merasakan benturan di punggungnya. Ada orang yang mencoba membuka pintu tapi tertahan oleh punggungnya. “Siapa?!” Zoe bertanya dengan gugup sambil merapikan pakaiannya, sementara punggungnya terus menahan pintu, agar tidak terbuka. Memberi kesempatan pada Wolf yang secepat kilat duduk di depan komputer, agar tidak terlihat mencurigakan. “Mmm…Michael, sound engineering.” Terdengar jawaban kebingungan dari luar. Mereka akan melakukan rekaman untuk album hari ini—beberapa lagu kalau lancar, jadi tidak
“Kau masih di sini?” Iris dengan heran memandang Wolf. Seperti Michael tadi, iris tahu kebiasaan wolf yang pergi terlebih dulu dibanding yang lain saat melakukan rekaman. Karena itu ia mengira hanya akan ada Loria sendiri setelah Michael keluar. Keberadaan Wolf tidak sesuai dengan dugaan. “Memang kenapa kalau aku masih ada di sini? Apa aku harus meminta izin padamu untuk ada di sini?” tanya Wolf dengan sengit. Ini kali kedua ia gagal tidur dengan Zoe—setelah sekian lama, jelas aja mood-nya dalam keadaan masam. “Bukan begitu… Mm… Aku hanya ingin bertemu dengan Loria. Kami ada janji.” iris membuat alasan sambil menunjuk Zoe. Iris memandang Zoe sementara matanya melebar dan berkedip cepat. Ia ingin ikut Zoe berbohong untuknya. “Oh? Kau punya janji dengannya?” Wolf berpaling ke Zoe sambil menahan tawa, karena tentu alasan iris itu sangat konyol. Iris tentu tidak pernah mengira kalau kemungkinan Zoe mau membuat janji dengannya adalah nol. Zoe juga paham apa yang diinginkan Iris saat m
“LORIA MOREAU!”Zoe diam. Ia mendengar namanya, tapi tidak percaya kalau nama itu miliknya.“Wake up, Baby. And smile. It’s your’s.” (Bangun dan tersenyumlah. Piala itu milikmu)Bisikan Wolf itu akhirnya memunculkan emosi. Zoe memerah karena haru, baru bisa berdiri saat Wolf membantunya. Sayang Wolf tidak bisa mengantarnya ke panggung.Untungnya ada tangan Syanne yang membantunya, lalu Jacob yang ada paling dekat dengan panggung, membantunya meniti tangga agar sampai di atas.Zoe beberapa kali mengucapkan terima kasih pada orang yang mengulurka piala miliknya, sebelum akhirnya berdiri di hadapan mic untuk menyampaikan sambutan.Zoe menghela napas beberapa kali, menghapus air mata dan akhirnya bisa menatap ke arah kamera dan penonton—yang menunggunya dengan sabar.“Ini hal yang tidak pernah saya impikan, berdiri di sini dan menerima ini.” Zoe menatap piala yang ada di tangannya sekali lagi dan tersenyum.“Saya… sempat mengubur impian ini. Tidak lagi berharap untuk bisa bernyanyi—apalagi
“Zoe, tunggu. Apa hanya seperti ini?” Max terlihat kembali akan menyentuh tangan Zoe, tapi ditepis. “Zoe, kita punya masa lalu, dan…” “Exactly! Masa lalu yang sudah tidak signifikan lagi karena aku sudah menemukan masa depan yang indah. Tidak lagi menjadi kacung yang kau anggap seperti kain kotor!” Bentakan yang membuat Max terdiam dan kembali menunduk meremas tangannya. Zoe tidak lagi peduli apakah orang lain mendengarnya atau tidak. Ia ingin Max mengerti agar tidak lagi berusaha. “Kembalilah ke liang dimana kau berada, dan silahkan mengingat kenapa kau dulu memilih untuk membiarkanku mati. Agar kau sadar kenapa aku tidak akan pernah berkelas kasihan padamu!” Zoe menyambar kacamata hitam yang ada di meja lalu memakainya dan berjalan keluar. Urusannya berakhir. Ia kemarin juga sudah menolak permintaan Iris yang berusaha menghubunginya dari penjara. Zoe tidak ingin merusak harinya dengan mendengar omong kosong. Sedangkan Billy—ia tidak mencoba sama sekali. Diantara mereka bertiga
Zoe melakukan sesuatu yang tidak akan disukai oleh Wolf. Ia tidak akan berbohong, tapi akan mengatakannya nanti setelah selesai. Zoe ingin menyelesaikan ini sendiri tanpa campur tangan orang lain.Tentu saja tidak mudah. Ia melangkah dengan hati gelisah. Zoe beberapa kali menggeser kacamata hitam yang ada di atas hidung, sementara tangan yang lain menenteng bunga dan box hadiah berwarna pink yang cantik.Zoe gelisah karena tahu ia akan dikenali saat masuk nanti. Tapi sudah pasrah. Tidak mungkin juga menyembunyikan identitasnya sekarang—mengingat orang yang akan ditemuinya.Zoe menghampiri loket setelah ia menuliskan nama dan nomor tahanan di selembar formulir, dan menyerahkannya.“Silahkan tunggu di sana. Nanti akan kami panggil,” kata sipir penjara yang ada di belakang loket.Ia menatap Zoe beberapa kali saat ada sipir lain yang memeriksa bawaan Zoe—memastikan tidak ada benda terlarang diselundupkan, melirik untuk memastikan—bahkan membaca namanya yang ada di formulir, tapi tidak ber
“Ini.” Wolf menyerahkan cangkir pada Zoe. Zoe ingin menerima tapi tangannya masih sibuk membalas pesan yang masuk ke ponselnya. “Cliff benar-benar belum punya kekasih bukan?” tanya Zoe. “Hm? Untuk apa kau bertanya?” Wolf mengernyit curiga tentu.“Untuk Sara. Ia ingin meyakinkan karena tidak percaya pria seperti Cliff masih single.” Zoe mendecak sambil menunjukkan pesan yang dikirim oleh Sara untuknya. Menunjukkan kalau ia tidak berbohong. Ia memang bertanya untuk Sara bukan untuk dirinya. “Belum. Kata Clay ia sempat punya—wartawan atau MC, aku lupa. Tapi putus saat Cliff akan pindah dan ke sini. Entah dia pindah lalu mereka putus, atau putus dan baru pindah.” Wolf hanya mengulang kata-kata Clay tentu. Dan kini Zoe mengulangnya dalam bentuk pesan untuk Sara, dan mengirimnya agar tenang. “Bagaimana kau bisa tahu detail ini?” Setelah mengirim pesan dan mengambil cangkir bagiannya Zoe bertanya dengan heran. Pengetahuan itu terlalu mendetail—terutama saat berasal dari Wolf yang bias
“Tapi seharusnya dia ada di penjara…”Max mengingkari kenyataan sekali lagi. Baginya Loria masih tidak mungkin Zoe karena seharusnya ia ada di dalam penjara.“Tololmu tidak ada habisnya!” Billy menggebrak meja dan mengamuk. Mencekik leher Max dengan tangannya yang terborgol. Tentu saja segera terjadi keributan dan teriakan saat polisi yang berjaga menerjang Billy melumpuhkannya ke lantai.Tapi rupanya Billy benar-benar marah pada Max, karena ia masih memberontak dan memaki pada Max, meski ia sudah ada dalam posisi menelungkup.“DASAR OTAK UDANG! KEPALAMU ITU…”“SILENCE!”Bentakan Billy kalah dari hakim yang berseru menggelegar. Tidak hanya Billy yang terdiam, wartawan dan penonton yang ribut pun diam. “Sekali lagi ada yang mengganggu aku akan menjadwalkan ulang sidang ini! PAHAM?!”Sunyinya ruangan itu, hanya berarti mereka semua mengerti. “Bawa keluar. Mr. Dacosta, saya akan memastikan tindakan ini akan masuk dalam dakwaan Anda. Penyerangan, tindak tidak sopan dan mengganggu keter
Jaksa itu memulai dengan pertanyaan standar, tentang latar belakang Sara—pendidikan, berapa lama ia telah menjadi psikiater dan lain sebagainya. Baru setelah itu ia menyebut tentang Zoe. “Sejak kapan Ms. Zoe Anderson menjadi pasien Anda?” tanya Jaksa. “Lebih dari setahun.” Sara menjawab dengan jelas. Tidak terlihat lagi mode ceria yang biasa dipakainya saat berhadapan dengan pasien. “Bisa Anda jelaskan bagaimana keadaan Ms. Anderson saat itu?” “Zoe datang dengan keinginan untuk sembuh, karena ia menderita trauma berat yang sangat terlihat dan membuatnya tidak bisa menjalani kehidupan yang normal.” “Bisa tolong jelaskan lebih lanjut tentang trauma itu?” Sara mengangguk. Tenang karena semua sesuai dengan perkiraan yang diberikan Cliff. “Zoe datang dalam keadaan tidak bisa bicara, tapi hasil pemeriksaan dokter memperlihatkan kalau Zoe tidak menderita luka fisik lagi. Semua syarafnya normal tanpa gangguan, maka bisa dipastikan kalau keadaan tidak bisa bicara itu adalah hasil lain da
“Itu… Aneh. Kau jangan bercanda!” Iris menggeleng keras sambil menatap Zoe dari ujung kepala sampai ujung kaki. Berusaha mengenali sosoknya sebagai orang yang sama—dengan yang dilihatnya dulu saat bersama dengan Max.“Apa aku pernah bercanda saat bicara denganmu?”Wolf membalas dengan datar sambil menarik kursi untuk Zoe. Kursi yang paling jauh dari Iris. Ia masih kehilangan kata-kata dan terus memandang Zoe.“Kau benar-benar Zoe Anderson?” Iris masih melotot ke arah Zoe.“Ya, sebelum mengubah nama menjadi Loria Moreau, itu adalah namaku juga.” Zoe membalas dengan tenang. Kegugupan yang tadi menghantui tidak lagi ada.Pertemuan dengan Iris itu mungkin tidak terduga dan nyaris menyebalkan, tapi Zoe merasa mendapat kekuatan, karena sangat sadar kalau ia saat ini berada di atas.Melihat Iris yang terkejut, Zoe merasakan kepuasan. Kemenangan karena berhasil menunjukkan dirinya yang baru kepada Iria. Bukan lagi perempuan kumal yang dulu ditemuinya—dan diabaikan karena dianggap tidak setara
Zoe mengusap rock dan blazernya yang berwarna cream netral. Pilihan dari Darcy agar Zoe tidak tampak mengintimidasi maupun muram. Ia tengah merasa gugup karena dari kejauhan bisa melihat bagaimana wartawan berkerumun di depan pengadilan. Mreka tentu saja menunggu sosok Zoe Anderson yang sama sekali misterius. Tidak ada yang memuat gambar Zoe dalam berita, karena memang tidak ada dokumentasi apapun dari kasus Zoe. Dulu Zoe terluka dan ada di rumah sakit, jadi sama sekali tidak menghadiri pengadilan sebagai tersangka. Tidak ada yang merekam wajahnya maupun tertarik untuk mencari tahu di rumah sakit karena kasus itu sangat jelas membuatnya menjadi tersangka. Zoe juga mengusap rambutnya yang berwarna kembali pirang. Ia tidak memakai wig hari ini. Pertama kalinya ia akan muncul tanpa rambut hitam—dan sejujurnya membuat Zoe lebih gugup lagi. Seolah melepaskan topeng yang selama ini melindunginya. Zoe akan menjadi Zoe di hadapan orang banyak, bukan lagi Loria. “Mereka akan terpesona pada
“Dia ingin menyelamatkan diri! Licik sekali!” Wolf mendesis kesal.Sudah jelas dari pernyataan Iris itu terlihat kalau ia memang hanya ingin menyelamatkan dirinya sendiri dengan menyalahkan Max dan juga Billy.“Ia membuat mereka terkesan menekan dirinya untuk menyembunyikan kenyataan tentang Zoe. Iris lalu memakai alasan tekanan itu dan menjadikannya terlihat sebagai alasan semua perbuatan anehnya kemarin. Ia bersembunyi dari kesalahan dengan memakai alasan kesehatan mental.” Sara menggeleng dan tampak jengkel. Tentulah ia kesal saat ada orang yang menjadikan kesehatan mental sebagai kebohongan.“Dia berhasil keluar memakai sekoci sebelum kapalnya benar-benar karam.” Cliff memandang Iris yang terus terisak dan menangis diantara kata-katanya.“Tidak masalah. Biarkan saja,” kata Zoe sambil bersedekap dan menatap ke arah televiisi tanpa berkedip.“Apa maksudmu biarkan saja? Dia berbohong lagi!” Wolf juga menunjuk ke arah televisi dengan wajah tidak terima.“Setidaknya dia telah jujur, ba