Dua lagi :))
“Kau pulang terlambat!” Iris menyapa Max yang baru saja masuk. “Ya, syutingnya lama sekali. Ada banyak penyanyi yang terlibat, jadinya kami harus mengantri.” Max menjelaskan sambil menghempaskan diri di samping Iris yang tengah duduk di sofa dengan kaleng bir di tangannya. “Oh, kau pasti lelah.” Iris kembali membalas sambil menyesap bir dari tangannya. “Ya begitulah. Tapi…” “Tapi aneh. Seharusnya kau sudah pulang dari tadi.” Iris memotong. “Apa maksudmu?” “Salah satu temanku juga mengisi acara itu, dan menurutnya syuting sudah selesai semenjak pukul delapan malam tadi.” Max yang tengah membuka sepatunya, sempat menghentikan gerakannya sekejap, baru kemudian meletakkan sepatu di lantai. “Mungkin antriannya berbeda, jadi dia bisa pulang terlebih dulu. Aku…” “Menggelikan sekali. Kau pikir aku akan percaya begitu saja?!” bentak Iris. Ia tentu saja sudah mencari tahu lebih banyak lagi setelah dihubungi oleh salah satu temannya tadi. Ia bertanya pada teman yang lain, dan mendapat k
“Tentu, apa saja.” Zoe tanpa ragu mengangguk. Ia tidak akan pernah menolak permintaan tolong dari Jacob tentunya.“Mmm…Bisakah kau mengatakan pada Wolf agar tidak lagi memintaku bekerja dengan Iris?” Jacob memohon dengan bersungguh-sungguh.“Oh…” Zoe tentu saja tidak pernah menduga kalau permintaan Jacob akan berbentuk seperti itu.“Aku tahu ini sangat rendah. Percayalah, kalau aku tidak putus asa, aku tidak akan meminta ini padamu.” Jacob menyandarkan punggungnya pada dinding lift, semakin tampak lemas.“Apa ia seburuk itu?” tanya Zoe.Ia tentu tahu bagaimana sifat Iris, tapi Zoe berharap dalam hal pekerjaan Iris akan bersikap lebih baik. Tapi melihat bagaimana Jacob tampak putus asa, Zoe tahu kalau anggapannya itu sangat naif.“Ya! Aku belum pernah bertemu dengan penyanyi yang sangat keras kepala seperti itu. Ia sama sekali tidak mau mendengar apa yang aku inginkan, dan selalu meremehkan setiap keputusan yang aku ambil. Tidak lupa mengkritik setiap musik yang aku buat. Bagaimana mun
Zoe menggigit bibirnya untuk menahan desahan. Nyaris tidak tertahan karena Wolf benar-benar menuntut. “Aku merindukan semuanya…” bisik Wolf, sambil mengecup leher Zoe bertubi-tubi, dan menghirup udara di sekitarnya, menikmati aroma yang sangat diinginkannya itu. “Hmm…” Zoe hanya mendesah. Terlupa sudah keberatan yang kemarin ditunjukkan Zoe saat Wolf meminta mereka tidur bersama di kantor. Kali ini Zoe memilih pasrah. Tapi kemudian memekik dan wajahnya berubah menjadi kepanikan, saat merasakan benturan di punggungnya. Ada orang yang mencoba membuka pintu tapi tertahan oleh punggungnya. “Siapa?!” Zoe bertanya dengan gugup sambil merapikan pakaiannya, sementara punggungnya terus menahan pintu, agar tidak terbuka. Memberi kesempatan pada Wolf yang secepat kilat duduk di depan komputer, agar tidak terlihat mencurigakan. “Mmm…Michael, sound engineering.” Terdengar jawaban kebingungan dari luar. Mereka akan melakukan rekaman untuk album hari ini—beberapa lagu kalau lancar, jadi tidak
“Kau masih di sini?” Iris dengan heran memandang Wolf. Seperti Michael tadi, iris tahu kebiasaan wolf yang pergi terlebih dulu dibanding yang lain saat melakukan rekaman. Karena itu ia mengira hanya akan ada Loria sendiri setelah Michael keluar. Keberadaan Wolf tidak sesuai dengan dugaan. “Memang kenapa kalau aku masih ada di sini? Apa aku harus meminta izin padamu untuk ada di sini?” tanya Wolf dengan sengit. Ini kali kedua ia gagal tidur dengan Zoe—setelah sekian lama, jelas aja mood-nya dalam keadaan masam. “Bukan begitu… Mm… Aku hanya ingin bertemu dengan Loria. Kami ada janji.” iris membuat alasan sambil menunjuk Zoe. Iris memandang Zoe sementara matanya melebar dan berkedip cepat. Ia ingin ikut Zoe berbohong untuknya. “Oh? Kau punya janji dengannya?” Wolf berpaling ke Zoe sambil menahan tawa, karena tentu alasan iris itu sangat konyol. Iris tentu tidak pernah mengira kalau kemungkinan Zoe mau membuat janji dengannya adalah nol. Zoe juga paham apa yang diinginkan Iris saat m
“Jangan… Kau bekerja dulu, baru kemudian pulang.” Zoe menarik protesnya dan mencoba mengerti. “Aku tahu itu…” Wolf dengan lemas menyandarkan keningnya pada bahu Zoe. Menghirup aroma yang belum bisa dinikmatinya kali ini. Ia tidak bisa menghindari pekerjaan yang tersisa hari ini karena sudah berupa limpahan dari hari lain. Tanggung jawabnya menumpuk.“Kau pulanglah, satu atau dua jam lagi mungkin aku akan menyusul,” kata Wolf, setelah sedikit—amat sedikit, puas menghirup aroma tubuh Zoe.“Oke.” Zoe memeluk tubuh besar yang bersandar padanya itu, lalu menggesekkan sisi kepalanya pada pip Wolf.“Jangan memancingku lagi!” Wolf mendengus sambil menjauh dari Zoe.“Aku tidak sedang memancing!” Zoe membantah sambil tertawa geli. Ia memang tidak berencana untuk memancing. Itu hanya ucapan selamat tinggal.“Pulanglah, sebelum aku punya ide lain,” kata Wolf, sambil berbisik dan menggigit kecil pipi Zoe.“Kau yang memancing dirimu sendiri.” Zoe mengingatkan, karena Wolf belum melepaskannya meski
“Huk!” Zoe nyaris muntah saat menarik napas pada detik berikutnya, karena air itu kotor dan berbau busuk. “Itu balasan karena kau dengan berani telah melawanku!” Zoe mengusap wajahnya agar bisa melihat dengan lebih jelas siapa yang berseru ke arahnya. Adalah Iris, yang berdiri di dekat pintu dengan ember di tangannya. “Iris? Apa…” “Aroma menjijikan itu juga sangat cocok untukmu, karena kau berani menggoyangkan ekormu untuk menggoda pria milik wanita lain!” Iris kembali mengejek. “Aku…menggoda siapa?” Zoe bukannya tidak tahu siapa yang dimaksud oleh Iris, hanya ia sedang tidak percaya karena ada orang yang menuduhnya menggoda Max. Itu terlalu konyol. “Maxwell Taylor! Aku tahu aku mencoba merebutnya dariku!” bentak Iris. “Are you insane?!” Zoe akan lebih menerima kalau amarah Iris itu tentang Wolf karena lebih masuk akal. Apa yang dilakukan Iris saat ini membuatnya—tidak hanya mempunyai sifat buruk, tapi juga terlihat tidak pintar. Zoe sungguh tidak percaya ada wanita yang berj
Sekali lagi kemunculan Wolf mengejutkan, termasuk Zoe.Ia tidak terlalu memerlukan bantuan Wolf, tapi karena ada maka akan memakainya untuk menyempurnakan sandiwara itu.Begitu Wolf memandangnya, Zoe yang masih terisak langsung berpaling ke balik punggung security yang ada di sampingnya. Berpura-pura malu dan menyembunyikan wajah dan tubuhnya yang berantakan, ciri-ciri korban yang sangat tertindas.“Apa yang kau lakukan padanya?!” Wolf dengan otomatis berpaling dan memandang Iris dengan tajam.Wolf bisa menilai dari keadaan Zoe yang basah kuyup dan menangis, kalau baru saja ada kejadian besar yang disebabkan oleh Iris.“Ini bukan salahku! Aku hanya membela diri karena wanita murahan itu mencoba untuk merebut kekasihku!”Iris kembali dengan keras menyebutkan hal yang sekiranya membuat Zoe terlihat menjadi buruk dengan keras, karena memang masih banyak yang merekam kejadian itu, Padahal security banyak yang telah keluar dan mengusir orang yang berkumpul itu agar menjauh.“Loria melakuka
“Kau! Suruh Loria menemuiku setelah dia selesai membersihkan diri!” Wolf meminta pada salah satu orang staf—entah bagian apa, sambil berjalan tergesa menuju lift. Wanita itu mengangguk dan mengikuti Wolf untuk naik.Wolf dengan sengaja mengucapkan hal itu dengan keras, untuk memberi kesan kalau ia akan menegur Zoe juga, bukan hanya Iris—karena telah membuat masalah.Wolf sebenarnya ingin menyusul Zoe ke studionya, tapi hal itu akan mencolok. Wolf yakin lantai delapan saat ini pasti sudah ribut—karena penuh orang. Pastinya sudah banyak orang yang menyebarkan berita tentang apa yang terjadi. Jadi Wolf tidak bisa mengambil resiko mendekati Zoe secara langsung dengan masuk ke studionya.Wolf juga bisa saja memanggil Zoe lewat pesan—memintanya untuk ke atas, tapi akan aneh juga kalau Zoe menemuinya tanpa perintah jelas. Wolf meminta dengan keras untuk menghapus semua curiga itu—agar orang-orang melihat dan tidak ada pertanyaan lain yang timbul.Setelah pegawai yang disuruhnya itu keluar
“LORIA MOREAU!”Zoe diam. Ia mendengar namanya, tapi tidak percaya kalau nama itu miliknya.“Wake up, Baby. And smile. It’s your’s.” (Bangun dan tersenyumlah. Piala itu milikmu)Bisikan Wolf itu akhirnya memunculkan emosi. Zoe memerah karena haru, baru bisa berdiri saat Wolf membantunya. Sayang Wolf tidak bisa mengantarnya ke panggung.Untungnya ada tangan Syanne yang membantunya, lalu Jacob yang ada paling dekat dengan panggung, membantunya meniti tangga agar sampai di atas.Zoe beberapa kali mengucapkan terima kasih pada orang yang mengulurka piala miliknya, sebelum akhirnya berdiri di hadapan mic untuk menyampaikan sambutan.Zoe menghela napas beberapa kali, menghapus air mata dan akhirnya bisa menatap ke arah kamera dan penonton—yang menunggunya dengan sabar.“Ini hal yang tidak pernah saya impikan, berdiri di sini dan menerima ini.” Zoe menatap piala yang ada di tangannya sekali lagi dan tersenyum.“Saya… sempat mengubur impian ini. Tidak lagi berharap untuk bisa bernyanyi—apalagi
“Zoe, tunggu. Apa hanya seperti ini?” Max terlihat kembali akan menyentuh tangan Zoe, tapi ditepis. “Zoe, kita punya masa lalu, dan…” “Exactly! Masa lalu yang sudah tidak signifikan lagi karena aku sudah menemukan masa depan yang indah. Tidak lagi menjadi kacung yang kau anggap seperti kain kotor!” Bentakan yang membuat Max terdiam dan kembali menunduk meremas tangannya. Zoe tidak lagi peduli apakah orang lain mendengarnya atau tidak. Ia ingin Max mengerti agar tidak lagi berusaha. “Kembalilah ke liang dimana kau berada, dan silahkan mengingat kenapa kau dulu memilih untuk membiarkanku mati. Agar kau sadar kenapa aku tidak akan pernah berkelas kasihan padamu!” Zoe menyambar kacamata hitam yang ada di meja lalu memakainya dan berjalan keluar. Urusannya berakhir. Ia kemarin juga sudah menolak permintaan Iris yang berusaha menghubunginya dari penjara. Zoe tidak ingin merusak harinya dengan mendengar omong kosong. Sedangkan Billy—ia tidak mencoba sama sekali. Diantara mereka bertiga
Zoe melakukan sesuatu yang tidak akan disukai oleh Wolf. Ia tidak akan berbohong, tapi akan mengatakannya nanti setelah selesai. Zoe ingin menyelesaikan ini sendiri tanpa campur tangan orang lain.Tentu saja tidak mudah. Ia melangkah dengan hati gelisah. Zoe beberapa kali menggeser kacamata hitam yang ada di atas hidung, sementara tangan yang lain menenteng bunga dan box hadiah berwarna pink yang cantik.Zoe gelisah karena tahu ia akan dikenali saat masuk nanti. Tapi sudah pasrah. Tidak mungkin juga menyembunyikan identitasnya sekarang—mengingat orang yang akan ditemuinya.Zoe menghampiri loket setelah ia menuliskan nama dan nomor tahanan di selembar formulir, dan menyerahkannya.“Silahkan tunggu di sana. Nanti akan kami panggil,” kata sipir penjara yang ada di belakang loket.Ia menatap Zoe beberapa kali saat ada sipir lain yang memeriksa bawaan Zoe—memastikan tidak ada benda terlarang diselundupkan, melirik untuk memastikan—bahkan membaca namanya yang ada di formulir, tapi tidak ber
“Ini.” Wolf menyerahkan cangkir pada Zoe. Zoe ingin menerima tapi tangannya masih sibuk membalas pesan yang masuk ke ponselnya. “Cliff benar-benar belum punya kekasih bukan?” tanya Zoe. “Hm? Untuk apa kau bertanya?” Wolf mengernyit curiga tentu.“Untuk Sara. Ia ingin meyakinkan karena tidak percaya pria seperti Cliff masih single.” Zoe mendecak sambil menunjukkan pesan yang dikirim oleh Sara untuknya. Menunjukkan kalau ia tidak berbohong. Ia memang bertanya untuk Sara bukan untuk dirinya. “Belum. Kata Clay ia sempat punya—wartawan atau MC, aku lupa. Tapi putus saat Cliff akan pindah dan ke sini. Entah dia pindah lalu mereka putus, atau putus dan baru pindah.” Wolf hanya mengulang kata-kata Clay tentu. Dan kini Zoe mengulangnya dalam bentuk pesan untuk Sara, dan mengirimnya agar tenang. “Bagaimana kau bisa tahu detail ini?” Setelah mengirim pesan dan mengambil cangkir bagiannya Zoe bertanya dengan heran. Pengetahuan itu terlalu mendetail—terutama saat berasal dari Wolf yang bias
“Tapi seharusnya dia ada di penjara…”Max mengingkari kenyataan sekali lagi. Baginya Loria masih tidak mungkin Zoe karena seharusnya ia ada di dalam penjara.“Tololmu tidak ada habisnya!” Billy menggebrak meja dan mengamuk. Mencekik leher Max dengan tangannya yang terborgol. Tentu saja segera terjadi keributan dan teriakan saat polisi yang berjaga menerjang Billy melumpuhkannya ke lantai.Tapi rupanya Billy benar-benar marah pada Max, karena ia masih memberontak dan memaki pada Max, meski ia sudah ada dalam posisi menelungkup.“DASAR OTAK UDANG! KEPALAMU ITU…”“SILENCE!”Bentakan Billy kalah dari hakim yang berseru menggelegar. Tidak hanya Billy yang terdiam, wartawan dan penonton yang ribut pun diam. “Sekali lagi ada yang mengganggu aku akan menjadwalkan ulang sidang ini! PAHAM?!”Sunyinya ruangan itu, hanya berarti mereka semua mengerti. “Bawa keluar. Mr. Dacosta, saya akan memastikan tindakan ini akan masuk dalam dakwaan Anda. Penyerangan, tindak tidak sopan dan mengganggu keter
Jaksa itu memulai dengan pertanyaan standar, tentang latar belakang Sara—pendidikan, berapa lama ia telah menjadi psikiater dan lain sebagainya. Baru setelah itu ia menyebut tentang Zoe. “Sejak kapan Ms. Zoe Anderson menjadi pasien Anda?” tanya Jaksa. “Lebih dari setahun.” Sara menjawab dengan jelas. Tidak terlihat lagi mode ceria yang biasa dipakainya saat berhadapan dengan pasien. “Bisa Anda jelaskan bagaimana keadaan Ms. Anderson saat itu?” “Zoe datang dengan keinginan untuk sembuh, karena ia menderita trauma berat yang sangat terlihat dan membuatnya tidak bisa menjalani kehidupan yang normal.” “Bisa tolong jelaskan lebih lanjut tentang trauma itu?” Sara mengangguk. Tenang karena semua sesuai dengan perkiraan yang diberikan Cliff. “Zoe datang dalam keadaan tidak bisa bicara, tapi hasil pemeriksaan dokter memperlihatkan kalau Zoe tidak menderita luka fisik lagi. Semua syarafnya normal tanpa gangguan, maka bisa dipastikan kalau keadaan tidak bisa bicara itu adalah hasil lain da
“Itu… Aneh. Kau jangan bercanda!” Iris menggeleng keras sambil menatap Zoe dari ujung kepala sampai ujung kaki. Berusaha mengenali sosoknya sebagai orang yang sama—dengan yang dilihatnya dulu saat bersama dengan Max.“Apa aku pernah bercanda saat bicara denganmu?”Wolf membalas dengan datar sambil menarik kursi untuk Zoe. Kursi yang paling jauh dari Iris. Ia masih kehilangan kata-kata dan terus memandang Zoe.“Kau benar-benar Zoe Anderson?” Iris masih melotot ke arah Zoe.“Ya, sebelum mengubah nama menjadi Loria Moreau, itu adalah namaku juga.” Zoe membalas dengan tenang. Kegugupan yang tadi menghantui tidak lagi ada.Pertemuan dengan Iris itu mungkin tidak terduga dan nyaris menyebalkan, tapi Zoe merasa mendapat kekuatan, karena sangat sadar kalau ia saat ini berada di atas.Melihat Iris yang terkejut, Zoe merasakan kepuasan. Kemenangan karena berhasil menunjukkan dirinya yang baru kepada Iria. Bukan lagi perempuan kumal yang dulu ditemuinya—dan diabaikan karena dianggap tidak setara
Zoe mengusap rock dan blazernya yang berwarna cream netral. Pilihan dari Darcy agar Zoe tidak tampak mengintimidasi maupun muram. Ia tengah merasa gugup karena dari kejauhan bisa melihat bagaimana wartawan berkerumun di depan pengadilan. Mreka tentu saja menunggu sosok Zoe Anderson yang sama sekali misterius. Tidak ada yang memuat gambar Zoe dalam berita, karena memang tidak ada dokumentasi apapun dari kasus Zoe. Dulu Zoe terluka dan ada di rumah sakit, jadi sama sekali tidak menghadiri pengadilan sebagai tersangka. Tidak ada yang merekam wajahnya maupun tertarik untuk mencari tahu di rumah sakit karena kasus itu sangat jelas membuatnya menjadi tersangka. Zoe juga mengusap rambutnya yang berwarna kembali pirang. Ia tidak memakai wig hari ini. Pertama kalinya ia akan muncul tanpa rambut hitam—dan sejujurnya membuat Zoe lebih gugup lagi. Seolah melepaskan topeng yang selama ini melindunginya. Zoe akan menjadi Zoe di hadapan orang banyak, bukan lagi Loria. “Mereka akan terpesona pada
“Dia ingin menyelamatkan diri! Licik sekali!” Wolf mendesis kesal.Sudah jelas dari pernyataan Iris itu terlihat kalau ia memang hanya ingin menyelamatkan dirinya sendiri dengan menyalahkan Max dan juga Billy.“Ia membuat mereka terkesan menekan dirinya untuk menyembunyikan kenyataan tentang Zoe. Iris lalu memakai alasan tekanan itu dan menjadikannya terlihat sebagai alasan semua perbuatan anehnya kemarin. Ia bersembunyi dari kesalahan dengan memakai alasan kesehatan mental.” Sara menggeleng dan tampak jengkel. Tentulah ia kesal saat ada orang yang menjadikan kesehatan mental sebagai kebohongan.“Dia berhasil keluar memakai sekoci sebelum kapalnya benar-benar karam.” Cliff memandang Iris yang terus terisak dan menangis diantara kata-katanya.“Tidak masalah. Biarkan saja,” kata Zoe sambil bersedekap dan menatap ke arah televiisi tanpa berkedip.“Apa maksudmu biarkan saja? Dia berbohong lagi!” Wolf juga menunjuk ke arah televisi dengan wajah tidak terima.“Setidaknya dia telah jujur, ba