Satu apa dua ya nambahnya? :)
“Apa kau gila? Bagaimana caranya? Loria adalah tokoh utama dari pesta ini! Dia yang akan dicari setiap orang! Kau akan membawanya pergi ke mana? Bagaimana caraku membuat alasan?” Jacob dengan panik melarang, tapi ia juga tidak mampu untuk mencegah saat Zoe menyerahkan minumannya kepada Jacob, dan keluar begitu saja dari ruangan itu sebelum ada yang menyadarinya. “Loria, tunggu!” Jacob memanggil dengan panik sementara Wolf menyeretnya menjauh dari pintu agar ia tidak membuat keributan atas kepergian Zoe. Wolf tidak langsung ikut. Ia sengaja memberi jeda dengan terus berada di samping Jacob agar tidak mencurigakan. “Aku selama ini sudah berbaik hati dengan menutupi hubunganmu dengannya, tapi tolong jangan membuat masalah untukku. Bagaimana kalau ada orang yang bertanya? Aku harus menjawab seperti apa?” Jacob masih panik. Ia adalah orang yang terdekat dengan Zoe selama ini, jadi sudah pasti kalau Zoe tidak terlihat akan bertanya padanya. Tapi Wolf sudah tidak mendengar keluhan Jacob
“Kita sampai.” Zoe tersentak saat mobil Wolf berhenti. Ia tertidur tapi masih terbangun saat Wolf menghentikan mobilnya. “Akhirnya.” Zoe menegakkan tubuh dan menatap sekitar. Wolf sudah turun dan memutari mobil, untuk membantu Zoe turun. Zoe tidak mungkin turun sendiri akibat gaun itu. “Kita ada di mana?” Zoe tidak mengenali tempatnya berada. Walls tidak membawanya pulang ke rumah. Mereka seperti ada di kabin, dan jelas ada di luar New York mengingat Wolf menyetir dalam waktu cukup lama. Dan kemungkinan mereka ada di tengah pegunungan. Saat ini dini hari dan hari belum terang, Zoe hanya melihat deretan pepohonan di sekitarnya. Sejak tadi, Wolf belum sekalipun menjawab pertanyaan tentang kemana tujuan mereka. “Kita ada di Catskill.” Zoe mengerutkan matanya. Ia masih mengenali nama itu, meski asing dan belum pernah berkunjung. Pegunungan daerah utara New York, tapi tidak sejauh Vermont, tempat asal Zoe. “Kita ada di sini, karena aku memilih tempat yang lebih baik daripada Patung
“Kau tahu?!” Wolf tersentak dan berdiri dari lututnya dengan wajah terkejut, tapi kemudian panik. “Kembali berlutut. Kau belum selesai.” Zoe meminta dengan kalem, sambil menarik jaket Wolf, agar pria itu kembali berlutut. Meski suasana romantis sudah rusak, tapi Zoe tidak akan membiarkan Wolf pergi sebelum cincin yang ada di kotak itu berpindah ke tangannya. Harus ada hal benar yang terjadi, agar persiapan bunga lampu dan lilin itu tidak menjadi percuma. “Kau tahu dari… Jacob! Aku akan membunuhnya! Lihat saja…” “Jangan, karena apa yang dilakukannya adalah benar.” Zoe membungkam bibir Wolf, lalu mengelus wajah yang mendongak memandangnya—masih terlihat jengkel. Zoe mengelus kerutan di kening Wolf, membuatnya lebih rileks. “Kalau aku tidak tahu lagu itu adalah milikmu aku tidak akan tinggal dan mendengar penjelasanmu tentang Emily dan kehidupanmu. Fakta itu adalah apa yang membuatku tinggal Karena aku tahu perasaanmu padaku.” Tubuh penuh kejengkelan itu perlahan mulai mengendur,
"Zoe… " Wolf mendesis. Ia tahu Zoe akan melakukan apa, tetap tidak siap saat menerimanya. Terlalu nikmat. Butuh beberapa saat bagi Wolf untuk bisa merayakan 'kemenangannya'. "Aku rasa ini berarti aku menang," bisik Wolf, sambil membungkuk dan mengelus leher Zoe yang kini sudah amat merah dengan hidungnya. Zoe mendesah sambil mencengkram rambut Wolf. Tidak lagi mengingkari kalau memang dirinya terlalu mudah menyerah. "Tapi kau tidak sendiri, aku pun terlalu mudah menginginkanmu…” Wolf memberi jilatan kecil pada bibir Zoe, sebelum melumat dengan kasar. Wolf tidak hanya merayakan kemenangannya sendiri. Ia mengakui hal yang sama. Wolf biasanya tidak terlalu tertarik menikmati wanita untuk kedua kalinya—mudah bosan. Karena itu Tiana selalu memberinya wanita yang baru setiap kali ia datang ke Rainbow Wings. Tapi Zoe membuatnya pulang. Mengesampingkan drama apapun yang terjadi antara mereka, sejak awal Wolf akan dengan mudah mengakui kalau tubuh Zoe memang membuatnya ingin kembali.
“Ini.” Zoe mengulurkan bathrobe yang ditemukannya di kamar, untuk Wolf juga setelah ia memakai yang lain. Ia tidak menemukan pakaian, hanya bathrobe itu.Wolf mengambil bathrobe itu dan memakainya—tanpa bicara. Dan itu mengejutkan Zoe. Heran melihatnya menerima bathrobe itu tanpa memprotes atau menggoda.Wolf yang biasanya tidak akan melewatkan kesempatan untuk menggodanya. Seperti mengatakan ia tidak membutuhkan pakaian, dan akan menunggu Zoe yang memaksanya—atau pada akhirnya Zoe yang memakaikan bathrobe itu.Wolf yang menurut seharusnya benar, tapi tidak terasa benar.“Ini.” Wolf meletakkan bacon dan telur di meja lalu duduk dan makan.Keanehan lain, karena biasanya Wolf akan memintanya duduk, lalu mereka akan mulai makan bersama.“Kita kembali ke New York setelah sarapan,” kata Wolf. Meski saat ini sangat siang, makanan itu tetap sarapan.Tapi Zoe tidak peduli dengan kesalahan itu, ia lebih peduli dengan rencana yang tiba-tiba berubah itu. Meski mereka lebih banyak ‘bekerja’ tidak
Pesan Wolf tertutup oleh pesan Max, ia terpaksa membaca pesan Max yang terpampang di layar ponselnya.[Pagi, maaf mengirim pesan pada jam yang tidak biasa. Aku ingin pesan ini yang kau baca saat pertama bangun tidur. Kau pasti sangat sibuk sampai tidak bisa menjawab panggilan maupun membaca pesanku sejak kemarin siang. Kalau siang nanti kau sudah tidak sangat sibuk, apakah kita bisa bertemu? Aku ingin mengucapkan selamat pada atas kemenanganmu]Pesan yang tidak penting. Zoe mengabaikan, dan membaca pesan balasan Wolf.[KAbtor]Pesan typo, tapi Zoe mengerti. Wolf mengatakan ia ada di kantor. Dari tiga pertanyaan yang diajukan Zoe, Wolf menjawab hanya satu.Kekecewaan membuat Zoe kembali lemas, dan berbaring di karpet itu. Balasan itu tidak berarti apapun untuknya. Tidak menjawab hal yang paling penting.Zoe lalu memejamkan mata, mencoba untuk mengingat detail apa yang sebenarnya terjadi di kabin itu. Apakah ia melakukan hal yang menyinggung Wolf atau apa.Zoe ingat ia hanya menyebut te
Sekali pandang, Zoe tahu itu ruangan Wolf, karena sangat mirip dengan ruang kerja yang ada di rumah Wolf.Kosong, tapi Zoe melihat jaket dan kunci mobil Wolf di meja. Ia datang di tempat yang benar. Hanya belum jelas Wolf ada di mana. Dan tidak berguna juga kalau ia berputar mencari Wolf.Selain akan mengganggu apapun yang dikerjakan Wolf, cepat atau lambat, Wolf akan kembali untuk mengambil kunci dan jaket itu. Zoe mengambil keduanya, lalu membawanya duduk di sofa. Menunggu. Ia akan bersabar.***“Aku tidak tahu kalau bernyanyi adalah beban untukmu! Sudah berapa kali aku katakan kalau kau akan melakukan rekaman itu berarti kau harus menjaga mutu suaramu!” Wolf menatap Iris yang mengangguk dengan lemas.Wajahnya tampak pucat, karena lelah tentunya. Ia sudah berada di studio itu semenjak sebelum tengah malam sampai sekarang pukul tujuh. Yang mana juga adalah jadwal mendadak. Seharusnya rekaman itu nanti siang, tapi Wolf memajukan jadwalnya begitu saja. Dan tentu Iris harus menerimanya
“Jangan menangis…”Wolf menyambar tisu yang ada di atas meja, pada akhirnya membantu Zoe untuk menghapus air matanya.“Maaf… maafkan aku…” isak Zoe.“Bagaimana mungkin justru aku harus menenangkanmu sekarang? Seharusnya aku yang butuh ditenangkan.” Walau menggerutu, tapi Wolf tetap saja membantu Zoe untuk menghapus air mata dan mengelus kepalanya. Wolf tentu saja merasa kalau ini semua tidak adil. Ia yang tadi marah dan harus ditenangkan—dibujuk agar tidak lagi marah. tapi pada kenyataannya justru ia yang kini harus menenangkan Zoe. Ketidakadilan yang sangat nyata, tapi diterima dan dilakukan dengan otomatis.“Cinta memang sangat aneh,” gumam Wolf, sambil memeluk Zoe yang masih menangis di dadanya.“Aku tidak melakukan apapun dengannya. Pria itu menjijikkan. Aku hanya ingin mendekatinya agar bisa membalas dendam. Hidupnya terlalu bahagia.” Zoe meneruskan penjelasannya.“Ya… ya, aku mengerti.” Wolf menggeleng dan pada akhirnya tersenyum geli.Menyadari kalau saga kemarahannya hanya be
“LORIA MOREAU!”Zoe diam. Ia mendengar namanya, tapi tidak percaya kalau nama itu miliknya.“Wake up, Baby. And smile. It’s your’s.” (Bangun dan tersenyumlah. Piala itu milikmu)Bisikan Wolf itu akhirnya memunculkan emosi. Zoe memerah karena haru, baru bisa berdiri saat Wolf membantunya. Sayang Wolf tidak bisa mengantarnya ke panggung.Untungnya ada tangan Syanne yang membantunya, lalu Jacob yang ada paling dekat dengan panggung, membantunya meniti tangga agar sampai di atas.Zoe beberapa kali mengucapkan terima kasih pada orang yang mengulurka piala miliknya, sebelum akhirnya berdiri di hadapan mic untuk menyampaikan sambutan.Zoe menghela napas beberapa kali, menghapus air mata dan akhirnya bisa menatap ke arah kamera dan penonton—yang menunggunya dengan sabar.“Ini hal yang tidak pernah saya impikan, berdiri di sini dan menerima ini.” Zoe menatap piala yang ada di tangannya sekali lagi dan tersenyum.“Saya… sempat mengubur impian ini. Tidak lagi berharap untuk bisa bernyanyi—apalagi
“Zoe, tunggu. Apa hanya seperti ini?” Max terlihat kembali akan menyentuh tangan Zoe, tapi ditepis. “Zoe, kita punya masa lalu, dan…” “Exactly! Masa lalu yang sudah tidak signifikan lagi karena aku sudah menemukan masa depan yang indah. Tidak lagi menjadi kacung yang kau anggap seperti kain kotor!” Bentakan yang membuat Max terdiam dan kembali menunduk meremas tangannya. Zoe tidak lagi peduli apakah orang lain mendengarnya atau tidak. Ia ingin Max mengerti agar tidak lagi berusaha. “Kembalilah ke liang dimana kau berada, dan silahkan mengingat kenapa kau dulu memilih untuk membiarkanku mati. Agar kau sadar kenapa aku tidak akan pernah berkelas kasihan padamu!” Zoe menyambar kacamata hitam yang ada di meja lalu memakainya dan berjalan keluar. Urusannya berakhir. Ia kemarin juga sudah menolak permintaan Iris yang berusaha menghubunginya dari penjara. Zoe tidak ingin merusak harinya dengan mendengar omong kosong. Sedangkan Billy—ia tidak mencoba sama sekali. Diantara mereka bertiga
Zoe melakukan sesuatu yang tidak akan disukai oleh Wolf. Ia tidak akan berbohong, tapi akan mengatakannya nanti setelah selesai. Zoe ingin menyelesaikan ini sendiri tanpa campur tangan orang lain.Tentu saja tidak mudah. Ia melangkah dengan hati gelisah. Zoe beberapa kali menggeser kacamata hitam yang ada di atas hidung, sementara tangan yang lain menenteng bunga dan box hadiah berwarna pink yang cantik.Zoe gelisah karena tahu ia akan dikenali saat masuk nanti. Tapi sudah pasrah. Tidak mungkin juga menyembunyikan identitasnya sekarang—mengingat orang yang akan ditemuinya.Zoe menghampiri loket setelah ia menuliskan nama dan nomor tahanan di selembar formulir, dan menyerahkannya.“Silahkan tunggu di sana. Nanti akan kami panggil,” kata sipir penjara yang ada di belakang loket.Ia menatap Zoe beberapa kali saat ada sipir lain yang memeriksa bawaan Zoe—memastikan tidak ada benda terlarang diselundupkan, melirik untuk memastikan—bahkan membaca namanya yang ada di formulir, tapi tidak ber
“Ini.” Wolf menyerahkan cangkir pada Zoe. Zoe ingin menerima tapi tangannya masih sibuk membalas pesan yang masuk ke ponselnya. “Cliff benar-benar belum punya kekasih bukan?” tanya Zoe. “Hm? Untuk apa kau bertanya?” Wolf mengernyit curiga tentu.“Untuk Sara. Ia ingin meyakinkan karena tidak percaya pria seperti Cliff masih single.” Zoe mendecak sambil menunjukkan pesan yang dikirim oleh Sara untuknya. Menunjukkan kalau ia tidak berbohong. Ia memang bertanya untuk Sara bukan untuk dirinya. “Belum. Kata Clay ia sempat punya—wartawan atau MC, aku lupa. Tapi putus saat Cliff akan pindah dan ke sini. Entah dia pindah lalu mereka putus, atau putus dan baru pindah.” Wolf hanya mengulang kata-kata Clay tentu. Dan kini Zoe mengulangnya dalam bentuk pesan untuk Sara, dan mengirimnya agar tenang. “Bagaimana kau bisa tahu detail ini?” Setelah mengirim pesan dan mengambil cangkir bagiannya Zoe bertanya dengan heran. Pengetahuan itu terlalu mendetail—terutama saat berasal dari Wolf yang bias
“Tapi seharusnya dia ada di penjara…”Max mengingkari kenyataan sekali lagi. Baginya Loria masih tidak mungkin Zoe karena seharusnya ia ada di dalam penjara.“Tololmu tidak ada habisnya!” Billy menggebrak meja dan mengamuk. Mencekik leher Max dengan tangannya yang terborgol. Tentu saja segera terjadi keributan dan teriakan saat polisi yang berjaga menerjang Billy melumpuhkannya ke lantai.Tapi rupanya Billy benar-benar marah pada Max, karena ia masih memberontak dan memaki pada Max, meski ia sudah ada dalam posisi menelungkup.“DASAR OTAK UDANG! KEPALAMU ITU…”“SILENCE!”Bentakan Billy kalah dari hakim yang berseru menggelegar. Tidak hanya Billy yang terdiam, wartawan dan penonton yang ribut pun diam. “Sekali lagi ada yang mengganggu aku akan menjadwalkan ulang sidang ini! PAHAM?!”Sunyinya ruangan itu, hanya berarti mereka semua mengerti. “Bawa keluar. Mr. Dacosta, saya akan memastikan tindakan ini akan masuk dalam dakwaan Anda. Penyerangan, tindak tidak sopan dan mengganggu keter
Jaksa itu memulai dengan pertanyaan standar, tentang latar belakang Sara—pendidikan, berapa lama ia telah menjadi psikiater dan lain sebagainya. Baru setelah itu ia menyebut tentang Zoe. “Sejak kapan Ms. Zoe Anderson menjadi pasien Anda?” tanya Jaksa. “Lebih dari setahun.” Sara menjawab dengan jelas. Tidak terlihat lagi mode ceria yang biasa dipakainya saat berhadapan dengan pasien. “Bisa Anda jelaskan bagaimana keadaan Ms. Anderson saat itu?” “Zoe datang dengan keinginan untuk sembuh, karena ia menderita trauma berat yang sangat terlihat dan membuatnya tidak bisa menjalani kehidupan yang normal.” “Bisa tolong jelaskan lebih lanjut tentang trauma itu?” Sara mengangguk. Tenang karena semua sesuai dengan perkiraan yang diberikan Cliff. “Zoe datang dalam keadaan tidak bisa bicara, tapi hasil pemeriksaan dokter memperlihatkan kalau Zoe tidak menderita luka fisik lagi. Semua syarafnya normal tanpa gangguan, maka bisa dipastikan kalau keadaan tidak bisa bicara itu adalah hasil lain da
“Itu… Aneh. Kau jangan bercanda!” Iris menggeleng keras sambil menatap Zoe dari ujung kepala sampai ujung kaki. Berusaha mengenali sosoknya sebagai orang yang sama—dengan yang dilihatnya dulu saat bersama dengan Max.“Apa aku pernah bercanda saat bicara denganmu?”Wolf membalas dengan datar sambil menarik kursi untuk Zoe. Kursi yang paling jauh dari Iris. Ia masih kehilangan kata-kata dan terus memandang Zoe.“Kau benar-benar Zoe Anderson?” Iris masih melotot ke arah Zoe.“Ya, sebelum mengubah nama menjadi Loria Moreau, itu adalah namaku juga.” Zoe membalas dengan tenang. Kegugupan yang tadi menghantui tidak lagi ada.Pertemuan dengan Iris itu mungkin tidak terduga dan nyaris menyebalkan, tapi Zoe merasa mendapat kekuatan, karena sangat sadar kalau ia saat ini berada di atas.Melihat Iris yang terkejut, Zoe merasakan kepuasan. Kemenangan karena berhasil menunjukkan dirinya yang baru kepada Iria. Bukan lagi perempuan kumal yang dulu ditemuinya—dan diabaikan karena dianggap tidak setara
Zoe mengusap rock dan blazernya yang berwarna cream netral. Pilihan dari Darcy agar Zoe tidak tampak mengintimidasi maupun muram. Ia tengah merasa gugup karena dari kejauhan bisa melihat bagaimana wartawan berkerumun di depan pengadilan. Mreka tentu saja menunggu sosok Zoe Anderson yang sama sekali misterius. Tidak ada yang memuat gambar Zoe dalam berita, karena memang tidak ada dokumentasi apapun dari kasus Zoe. Dulu Zoe terluka dan ada di rumah sakit, jadi sama sekali tidak menghadiri pengadilan sebagai tersangka. Tidak ada yang merekam wajahnya maupun tertarik untuk mencari tahu di rumah sakit karena kasus itu sangat jelas membuatnya menjadi tersangka. Zoe juga mengusap rambutnya yang berwarna kembali pirang. Ia tidak memakai wig hari ini. Pertama kalinya ia akan muncul tanpa rambut hitam—dan sejujurnya membuat Zoe lebih gugup lagi. Seolah melepaskan topeng yang selama ini melindunginya. Zoe akan menjadi Zoe di hadapan orang banyak, bukan lagi Loria. “Mereka akan terpesona pada
“Dia ingin menyelamatkan diri! Licik sekali!” Wolf mendesis kesal.Sudah jelas dari pernyataan Iris itu terlihat kalau ia memang hanya ingin menyelamatkan dirinya sendiri dengan menyalahkan Max dan juga Billy.“Ia membuat mereka terkesan menekan dirinya untuk menyembunyikan kenyataan tentang Zoe. Iris lalu memakai alasan tekanan itu dan menjadikannya terlihat sebagai alasan semua perbuatan anehnya kemarin. Ia bersembunyi dari kesalahan dengan memakai alasan kesehatan mental.” Sara menggeleng dan tampak jengkel. Tentulah ia kesal saat ada orang yang menjadikan kesehatan mental sebagai kebohongan.“Dia berhasil keluar memakai sekoci sebelum kapalnya benar-benar karam.” Cliff memandang Iris yang terus terisak dan menangis diantara kata-katanya.“Tidak masalah. Biarkan saja,” kata Zoe sambil bersedekap dan menatap ke arah televiisi tanpa berkedip.“Apa maksudmu biarkan saja? Dia berbohong lagi!” Wolf juga menunjuk ke arah televisi dengan wajah tidak terima.“Setidaknya dia telah jujur, ba