IndonesiaJordhy terbangun dengan perasaan yang lebih ringan. Dia menatap sofabed yang biasa dijadikan tempat Arumi tertidur sambil mengulas senyuman. Hati kecil Jordhy berharap, sebentar lagi dia bisa menjemput kembali Arumi pulang. Jordhy bangun dan menggeliatkan tubuhnya ke kanan kiri. Hampir dua bulan energinya seperti terkuras untuk menghadapi problematika dengan Lisa. Perempuan licik yang ternyata lebih dari manipulatif. Bahkan perempuan itu, rela menghalalkan segala cara agar bisa menjadi bagian dari keluarga Atmaja. Jika ingat akan hal itu, Jordhy kembali merutuki dirinya sendiri. Bagaimana bisa, dia selama ini begitu bodoh dan mempertahakan Lisa atas nama cinta? Bahkan begitu sombongnya ketika dia menolak Arumi di malam pertama. Dulu, Lisa adalah langit dan Arumi adalah bumi. Tanpa Jordhy sadari, seiring berjalannya waktu, hatinya menilai dan perlahan membalik sendiri posisi itu. Lihatlah, di dunia ini memang tak ada yang kekal bukan? Setiap manusia hidup masih begitu mungk
Prancis Dua minggu sudah, Arumi bertetangga dengan Kevandra. Tak banyak hal yang mereka lewati bersama di apartemen kecilnya. Kevandra selalu sibuk dengan kuliah dan tugas-tugasnya, begitupun Arumi sibuk dengan persiapan grand opening butiknya. Hingga saat ini, Kevandra pun belum tahu jika Arumi sedang dalam proses perceraian dengan sang kakak. Dia masih memperlakukan Arumi sebagai kakak ipar tentunya. Dia hanya memposisikan sebagai saudara yang harus saling menjaga. Jadi, di waktu senggang, Kevandra selalu menyempatkan mampir ke butik Arumi sebagai bentuk dukungan sesama saudara. Hari itu pun, kebetulan akhir pekan. Kevandra mengajak serta Bastian dan Acha untuk mengunjungi butik Arumi di waktu senggang mereka. Kemarin Arumi memang sempat meminta Kevandra untuk memberikan pendapat mengenai interior butiknya yang sudah selesai dicat. Menurut Kevandra, lebih banyak masukkan, akan lebih bagus. Karena itu, dia mengajak juga Bastian dan Acha. “Menurut saya warna catnya sudah can
“Sepertinya akan menjadi butik termewah di antara semua butikku yang sudah ada,”batin Arumi sambil menatap para pegawai yang sibuk membantu tim interior desain wara-wiri. Namun, fokusnya tiba-tiba teralihkan oleh sebuah pesan masuk dari sang pengacaranya yang ada di Indonesia. Rasa was-was menyergap. Dia tahu betul apa isi pesan itu sebelum dia sempat membacanya.[Akta cerai sudah selesai. Salinan digitalnya sudah saya kirim. Dokumen resminya akan kami kirimkan segera.]Di bawah pesan itu, terdapat lampiran foto akta cerai yang sah, lengkap dengan tanda tangan dan stempel resmi.Arumi memejamkan mata. Ada rasa campur aduk tak karuan, jadi hari ini dia benar-benar sudah resmi menyangdang gelar janda? Arumi menarik napas perlahan lalu dia buang. Tulang sendi terasa lemas, senyum masam tersungging begitu saja. Seketika, hiruk-pikuk butik di sekitarnya menghilang dari kesadarannya. Dunia seolah berhenti, hanya dia dan layar ponsel yang berisi kepastian dari akhir perjalanan yang penuh lu
Dia melangkah ke dalam dan meletakkan nampan sarapan di meja kecil di dekat ranjang. Matanya kemudian tanpa sengaja tertumbuk pada selembar kertas yang tergeletak di sana—kertas yang tergeletak di dekat mesin printer dan tersia-sia. Kevandra memandang lebih dekat, mengernyit saat melihat apa yang tertulis di atasnya, akta cerai. Dunia seolah berhenti berputar sejenak. Kaget luar biasa mendapati secarik kertas itu di kamar kakak iparnya. Tanpa sadar, dia membaca detail yang tertera di dalamnya. Nama Arumi terpampang jelas di sana, bersama tanda tangan resmi dan stempel pengadilan.Astaga, apakah aku gak salah lihat? Mbak Arumi dan Mas Jordhy, cerai? Tenggorokkan Kevandra terasa tercekat. Sekujur tubuh Kevandra mendadak terasa berat. Arumi telah bercerai. Pikiran itu berputar-putar di dalam benaknya, menggelegak di antara kelegaan yang tak terduga dan kebingungan yang mencekam. Dia berdiri di sana, terpaku. Tak tahu harus sedih atau senang? "Apakah ini berarti... aku punya kesempatan
“Aku bawain Mbak sarapan, maaf lancang masuk, soalnya aku chat gak dibales-bales, pintu tadi tak tertutup rapat. Mbak baik-baik saja ‘kan?” Kevandra sengaja berpura-pura seolah tak tahu apa yang terjadi. Dia ingin tahu, apakah Arumi ingin bercerita atau masih ingin menyembunyikannya? Arumi menoleh cepat ke arah meja, matanya langsung tertumbuk pada kertas akta cerai yang tadi tergeletak begitu saja. Wajahnya berubah, dia segera melangkah mendekat dengan gerakan gugup. Dengan tangan yang masih sedikit gemetar, dia buru-buru meraih kertas itu, melipatnya dengan rapi, dan memasukkannya ke dalam laci lemari di dekat meja kerja.“Hmmm, makasih ya buat sarapannya, Kev! Mbak baik-baik saja, kok.”Kevandra mengangguk, tersenyum tipis meskipun dia kecewa karena Arumi tak menceritakan apa-apa padanya, “Sama-sama, Mbak. Kalau ada apa-apa atau butuh support, jangan sungkan ya, cerita.”Arumi tersenyum dan mengangguk, “Ya, nanti Mbak hubungi kamu dan teman-teman kamu kalau butuh masukkan terkait
Jordhy mengakhiri doa dalam shalatnya. Hal yang dulu paling tak pernah dia ingat, Tuhan. Perlahan kembali hadir dan dia sebut-sebut berulang. Ya, semenjak akta cerai yang dikeluarkan pengadilan agama secara verstek atau diputuskan pengadilan tanpa kehadiran tergugat, juga tanpa tanda tangan dari Jordhy, sejak saat itu Jordhy merasa ada hal lain diluar kekuasaan dirinya yang begitu kuat, yaitu takdir. Petuah demi petuah Reska, sang ibu tiri yang tak disukainya yang dulu dia anggap angin lalu, perlahan dia lakukan. Kamu memang memiliki segalanya, Mas! Cuma jangan sombong, yang menentukan jodoh, kematian, yang memberikan kebahagiaan itu hakikatnya adalah Tuhan. Banyak orang yang punya istri cantik, tetapi rumah tangganya hampa, banyak yang berlimpah harta, tetapi tidak bahagia. Jadi, jangan pernah menyepelekan campur tangan Tuhan dalam hidupmu. Jika kamu mencari ketenangan dan kebahagiaan, maka carilah Dia.Itulah kurang lebih penggalan nasihat yang dia ingat. Usai melakukan shalat, Jo
Jordhy meninggalkan butik Arumi dengan perasaan campur aduk. Perasaan barbunga-bunga yang tadi menggelayar di dada, tiba-tiba berubah menjadi rasa cemas dalam sekejap. Semoga Arumi baik-baik saja, itu pikirnya."Tenez, retournez à l'hôtel un instant, puis allez à l'hôpital. (Pak, balik ke hotel sebentar, terus ke rumah sakit.)""D'accord, Monsieur! (Baik, Pak!)"Taksi yang ditumpangi Jordhy langsung menuju hotel tempatnya menginap. Dia tak punya banyak waktu untuk bersantai. Begitu sampai di hotel, Jordhy bergegas ke meja resepsionis untuk check in. Aroma kopi dan croissant yang menguar di ruangan, dia abaikan. Kekhawatiran tentang Arumi terus membayang. Bagaimana keadaannya? Apakah dia baik-baik saja? Setelah menyimpan barang-barangnya di kamar, Jordhy memutuskan langsung menuju rumah sakit. Dia duduk gelisah di bangku belakang. Sesekali melirik jam tangan. Perjalanan ke rumah sakit terasa panjang. Taksi yang membawanya menyusuri jalan-jalan Paris yang berliku-liku membuat Jordhy m
Di sisa-sisa tenaga dan rasa lelah setelah perjalanan, Jordhy memilih berdiri di sana dan menunggu yang tak pasti. Detak jantungnya berdegup kencang, dan pikirannya dipenuhi dengan kekhawatiran. Setiap kali dia mendengar suara langkah kaki di koridor, dia cepat menoleh, berharap itu adalah Arumi yang keluar. Namun, beberapa kali harapannya harus memudar. Kantuk mulai dating, tetapi Jordhy memaksakkan netranya untuk terjaga. Sesekali dia menguap karena kantuk dan lelah. Setelah cukup lama menunggu, tampak seorang suster masuk, lalu tak lama dia keluar lagi diikuti Kevandra. Setelah beberapa lama, tampak Kevandra kembali ke ruangan, lalu keluar lagi dengan mendorong Arumi yang duduk di kursi roda. Kevandra mendorong kursi roda Arumi perlahan sambil berbicara. Di belakangnya mengekori Bastian dan Acha juga seorang petugas rumah sakit membersamainya.Jordhy pun perlahan berjalan menelusuri lorong dengan hati-hati. Dia berpura-pura bermain ponsel, tetapi sudut matanya awas mengamati. Di
Arumi bicara sambil menyeka air mata. Terasa berat mengatakan itu semua pada seonggok manusia yang tak bisa melakukan apa-apa. Dadanya terasa sesak melihat sosok yang biasanya begitu menyebalkan kini berada di ambang kematian. Selama ini, dia selalu menolak untuk mengakui bahwa semua perhatian Jordhy perlahan menghangatkan hatinya. Rasa sakit akibat pengkhianatan begitu dalam, hingga ia membangun tembok tinggi di sekeliling hatinya. Tapi kini, di saat yang paling genting, semua pertahanan itu runtuh.Baru kali ini Arumi merasa benar-benar tak siap kehilangan Jordhy.Tangannya yang masih menggenggam tangan Jordhy semakin erat. “Bangunlah, Mas,” bisiknya, suaranya bergetar. “Bangunlah … jika kamu memang masih menginginkan kesempatan kedua.”Arumi menundukkan kepalanya, memejamkan mata, berharap keajaiban terjadi. Dia tahu, Jordhy memang dulu terlihat sangat menyebalkan. Namun dalam hati kecilnya, Arumi sadar bahwa Jordhy juga mencoba untuk berubah. Dia ingat setiap usaha kecil yang dila
Arumi berdiri di tepi ranjang rawat Jordhy sambil sesekali menyeka air mata yang merembes, napasnya seakan tertahan di tenggorokan oleh segumpal kesedihan. Dipandangnya dengan netra yang berkaca-kaca sesosok tubuh tinggi tegap tak berdaya yang kini terbaring dengan tubuh diselimuti selang-selang medis. Rasa bersalah kian menguar. Andai saja dia tak melarikan diri dari Jordhy, dia tak akan bertemu Pedrio tentunya, andai saja sedikit saja menahan diri dan memberikan ruang untuk berbicara baik-baik dengan Jordhy, tentu endingnya akan berbeda. Aandai saja, andai saja dan semua pengandaian itu berputar-putar semakin membuat semakin banyak tumpukkan sesal. Maafkan aku, Mas! Gara-gara aku, kamu jadi kayak gini.Suaranya keluar pelan, meskipun terdengar seperti gumaman, di antara suara monoton dari alat monitor detak jantung terdengar berdetak. Arumi mematung menatap alat ventilator yang terhubung di hidung dan mulut Jordhy, berdesis pelan setiap kali mesin itu memompa udara ke paru-parunya
Arumi hanya mengangguk dan tak banyak membantah. Dia pun dibantu Rosa untuk pindah ke ruangan rawat. Dokter menyarankan untuk istirahat total selama dua hari dan Arumi memilih untuk rawat inap di rumah sakit saja. Setiap detik berlalu terasa seperti berhari-hari. Arumi menatap selang infus yang dipasang di tangannya. Arumi meminta Rosa untuk melihat keadaan Jordhy. Tanpa banyak berdebat, Rosa pun menurut saja. Dia bergegas meninggalkan Arumi dan menuju ke tempat di mana Jordhy sedang mendapati tindakkan oleh pihak rumah sakit. Rosa yang sedang duduk menunggu di ruang tindakan, tak sengaja melihat seseorang yang berjalan tergesa. Wajahnya tampak diliputi kepanikkan. Rosa berdiri dan menghampiri lelaki berambut sebahu yang dia kenal.“Mas Kevand! Mau jenguk Mbak Arumi, ya?” tanyanya sok tahu. Kevandra menautkan alis dan menatap Rosa. “Saya ditelepon Bastian, Acha dilarikan ke rumah sakit. Sekarang dia di ruang ICU katanya!” Seketika bahu Rosa melorot. “Ya Tuhaaan … Acha.” “Mbak Ar
Arumi berdiri dengan gemetar, matanya tak berkedip dari sosok Jordhy yang ambruk. Perutnya yang sejak tadi sakit dan terasa diremas-remas semakin menjadi. Suara sirene mendekat semakin keras, mengisi udara malam yang semula tenang. Dia merasa dunia seakan berputar, dan segalanya menjadi kabur. Dalam kepanikan, Arumi berteriak dengan sisa-sisa tenaganya. "Monsieur, s'il vous plaît! (Mas, tolong!)” teriaknya pada beberapa orang yang berjalan memburunya. Beberapa orang mulai mendekat seiring dengan mobil tim keamanan yang berhenti. Seorang wanita paruh baya berlari menghampiri Arumi. "Jeune fille, ça va? Que s'est-il passé? ( Anak muda, kau baik-baik saja? Apa yang terjadi?)” Arumi meringis sambil memegangi perutnya.” J'ai mal au ventre, ça fait comme si on me pressait, Madame (Perut saya sakit, terasa diremas-remas, Bu.)“Appelons une ambulance! (Mari kita panggil ambulans!)” seru salah satu dari lelaki berjaket petugas keamanan sambil mengeluarkan ponselnya.Tak butuh waktu lama, s
Lampu-lampu jalan di Le Marais berkilauan di jendela, memantulkan bayangan kusut wajah Pedrio. Paris yang biasa terasa mempesona kini berubah menjadi asing dan menakutkan bagi Arumi. Malam musim panas yang seharusnya indah berubah menjadi mimpi buruk baginya. Sementara tubuhnya terus bergetar di bawah tekanan pria yang dulu pernah mengisi masa lalunya dengan tangan lelaki itu yang sudah tak bisa dikendalikan. Arumi sekuat tenaga memberontak. Ini bukan hanya soal bertahan. Ini tentang harga diri dan kehormatan.***** Jordhy berlari kencang menyusul Arumi yang ternyata meninggalkannya. Beruntung, dia masih bisa melihat ke mana arah Arumi melarikan diri dan lekas mengejarnya. Kakinya nyaris tak menyentuh tanah saat ia menerobos lorong-lorong sempit Le Marais, matanya menatap lurus ke depan, berusaha mengikuti bayangan Arumi. Tadi, dirinya cukup jauh tertinggal. Kini sang bidadari yang dicarinya selama ini, menghilang begitu cepat. Malam musim panas di Paris seharusnya penuh romansa. Ud
Namun, kondisi badan yang memang tengah hamil muda selalu membuatnya cepat lelah. Napasnya kian berat saat ia melewati deretan bangunan di Le Marais yang semakin sunyi ketika akhirnya Arumi memutuskan untuk berhenti.Arumi berhenti di tepi jalan sambil sesekali menoleh ke belakang. Namun, sialnya tampak dari kejauhan, Jordhy mengejar. Arumi yang panik, lekas mencari tempat untuk bersembunyi. Matanya menemukan sebuah mobil yang baru saja terparkir di sudut jalan, diapit oleh dua bangunan. Tanpa berpikir panjang, ia berlari ke sana dan menunduk, bersembunyi di balik kap mobil, berharap Jordhy tidak akan menemukannya. Arumi akhirnya merasa lega dan bisa mengatur napasnya. Dia sejenak memejamkan mata, mencoba menenangkan hatinya. Beberapa detik, cukup untuknya menenangkan perasaan. Namun, tiba-tiba, sebuah tangan kuat menyergapnya dari samping, menariknya dengan paksa. Sebelum ia bisa berteriak, tangan itu menutup mulutnya, dan tubuhnya diseret ke dalam mobil.Pintu mobil terbanting, dan
Dada Arumi mulai berdegub kencang. Tenggorokkannya mulai terasa kering sekarang. Jordhy kembali memainkan petikan gitar, lalu berhenti dan melempar wig yang dipakainya. Setelah itu dia menatap ke arah Arumi, berdiri dan meletakkan gitar, lalu setelahnya berjongkok di depan semua orang, tetapi fokus terarah pada Arumi. Dia mengeluarkan sesuatu dari dalam jaketnya dan disodorkan ke arah Arumi. “Di hadapan Kota Paris yang indah ini! Aku ingin merujukmu kembali, Arumi Sabia Zahra Binti Khaidir Sabarudin Salim! Kembalilah jadi istriku! Tolong, berikan aku kesempatan kedua!” Jordhy mengeluarkan sebuah cincin berlian dan di arahkan kepada Arumi. Sorak sorai dan tepuk tangan terdengar. Para pengunjung café mengira, mereka sepasang kekasih yang saling mencintai dan tengah melakukan lamaran yang romantis. Riuh rendah obrolan dan cuitan yang mengatakan kalau mereka begitu romantis dan fenomenal.Arumi meremas gelas kertas yang sudah hampir kosong. Sepasang netranya mengembun menatap sosok yan
Arumi menarik napas panjang. Pelanggan yang benar-benar aneh, pikirnya. Namun, demi menghargai sang pelanggan, Arumi tersenyum dan kembali berbicara. “Adukan pada Tuhan! Bukankah segala sesuatu itu bermuara pada-Nya.” Jordhy bergeming, sepasang netranya memancarkan harapan. Ya, dia masih punya Tuhan. Bukankah perlahan-lahan hatinya terasa mulai membaik setelah dia belajar mendekati Tuhan. “Terima kasih, Mbak. Terima kasih masukkannya. Boleh saya minta pendapat satu hal lagi?” Tanya Jordhy kembali.“Ya, silakan!” “Apakah Mbak percaya, jika selalu ada kesempatan kedua?” tanya Jordhy sambil menatap lekat sepasang mata indah yang tiba-tiba seperti menatap kosong. Arumi sesekali memijit kepala. Jordhy mengira, Arumi pusing atas pertanyaan-pertanyaannya.“Kesempatan itu berjalan seiring dengan perubahan. Hanya benda mati yang tak bisa berubah atau tak mau berubah.” Arumi menjawab diplomatis dan itu membuat Jordhy tak puas dengan jawabannya. Dia pun bertanya lagi sambil menaikkan satu ali
Arumi bergeming sejenak, lalu menatap jam tangan yang melingkar pada tangannya. “Bisakah? Sebentar saja, sekalian ada hal khusus yang ingin saya bicarakan empat mata?” tanya Jordhy penuh harap sambil menatap lekat perempuan bergamis biru laut di depannya yang tampak sedang berpikir. “Hmmm … baiklah.” “Terima kasih.” Rasanya jantungnya hampir melompat keluar dari tempatnya ketika mendengar persetujuan Arumi. Senyum bahagia tersungging tanpa bisa ia cegah. Ada yang mengalir hangat di dalam dadanya. Dia tak ubahnya seperti seorang remaja yang tengah puber dan mendapatkan respon positif dari gadis incarannya. Jordhy lupa, usia sudah kepala tiga. Jordhy lekas menunggu diluar, sedangkan Arumi tampak tengah berbincang dengan para pegawainya yang berjumlah kurang lebih tiga orang. Jordhy mengamati siluet tubuh Arumi yang berdiri elegan sambil berbicara pada para pegawai. Gerakan tangannya, gesture tubuhnya dan segala tentang Arumi, Jordhy suka. Dia benar-benar sudah dibuat tenggelam ke d