BANTU VOTE TERUS YAH BEIBH🌹
"Eldor!!!" teriak Sofia mendorong tubuh Bella. Sofia berlari mendekati putranya itu namun Eldor menjulurkan tangannya, memberi isyarat pada ibunya agar tidak semakin dekat. Sofia berhenti namun matanya terus berderai melihat putranya memegang pinggangnya yang mengucurkan darah. "Berhenti dulu, Ma!" seru Eldor. Sofia terhenyak sebab setelah sekian lama, barulah Eldor kembali memanggilnya Mama lagi. Seperti wajahnya yang basah oleh air mata yang berwarna coklat, hatinya pun langsung dingin mendengar Eldor kembali memanggilnya Mama. Eldor menatap ibunya dengan tatapan yang sendu sebab dia sekarang sadar bagaimana Sofia begitu menyayanginya. Meskipun wajah ibunya muda dan berbeda, tapi perasaannya masih sama untuknya. Membuncah juga hati Eldor menatap Sofia, wanita yang sedang melindunginya itu. "Ma, lihat putramu dan putra Razoore The King! Aku putramu!" seru Eldor melepaskan tangannya dari pinggulnya. Rupanya Helena menembak pangkal pahanya yang dekat dengan pinggul. Mengucur darah tak
Bella hanya mendengar napas Sofia yang satu-satu, lalu ia membuang tubuh Sofia yang sudah seperti kapas. Sementara itu, menghitam wajah Eldor melihat ibunya terkapar dengan darah memenuhi tubuhnya. Rasa sakit amat luar biasa dirasakan Eldor menyaksikan Sofia semenderita itu. Hilang kemarahannya, kekecewaan, bahkan secuil pun rasa dendamnya karena Sofia telah membunuh ayahnya dan menodai kehormatan diri. Sekarang yang tersisa hanya rasa iba dan sakit sekali melihat wanita yang melahirkannya berakhir seperti itu. Untuk beberapa saat, Eldor hening, terhenyak dan seperti hanya dia sendiri saat itu. Tiba-tiba gesekan tubuh Ursula yang sedang melecehkannya menghentak kesadarannya. Kosong pandangan Eldor menatap wajah Ursula yang sedang memegang kepalanya. Waria itu siap mengadu kepalanya dengan Eldor, tekhnik andalannya untuk melumpuhkan musuhnya. Ursula tersenyum menyeringai dengan bola mata melebar penuh nafsu di depan wajah Eldor. Crussssh!!! "Aaaarrrgghhhh!!! Anjiiiiing!!! Lepaskan aku
SCENE SEBELUMNYA .... Luna sudah berdiri di depan labarotorium Bella dengan sorot mata yang tenang. Ia tetap menggunakan gamisnya juga cadarnya. Dia sekarang diapit oleh Farid dan Aleksei. Farid berpenampilan bukan seperti layaknya pekerja kantoran dengan kemeja, dasi dan celana kain, pantofel hitam. Namun pemuda itu berjubah putih lengkap dengan surban putih khas sultan timur tengah. Wajah tampannya tidak meragukan, memang dia mirip seperti pangeran Arab. Sedangkan Aleksei seperti biasa dengan hodiee putih dan celana jeans selututnya. Sesungguhnya di balik hodiee tebalnya itu ada laptop kecil dengan ransel yang sangat tipis. Pria itu nampak lebih bersahaja dengan sorot mata yang penuh keyakinan. Orang-orang di sana mengenal Aleksei sebab beberapa kali memang terlihat berjalan bersamaan dengan Bella persis seperti tampilan seperti itu. Setelah melewati screening senjata tajam dan senjata api, ketiganya berdiri di depan meja informasi. Saat ini, mereka hanya mengandalkan kemampuan mer
Aleksei terkejut. Keningnya terangkat mengkerut menuntut ucapan Luna lagi. "Sialnya aku mengira itu hanya scam. Dan sekarang aku kesulitan mengingatnya lagi." "Oooh damn!" Aleksei mengusap wajahnya. Ia mencengkram bahu Luna. "Dengarkan aku, Angel. Seperti kau selalu mengingat semua kesalahanku, tolong seperti itu kau ingat kembali angka-angka itu!""Kau jangan menyindirku," ketus Luna. "Terserah apa pun itu. Intinya cobalah ingat kembali angka itu. Aku yakin, itulah sandinya!""Lalu siapa yang mengirimnya?" tanya Luna bahkan bertanya pada dirinya sendiri. "Helena. Siapa lagi kalau bukan dia yang memiliki akses ke sini. Sepertinya untuk urusan formula itu, dia di pihakmu, Angel. Hanya tentang Eldor dia tidak bisa dihentikan."Hening rasa hati Luna. Ia terenyuh dan wajah Helena berkelindan di kelopak matanya. "Apa kau tidak bisa membobol ponselku?" tanya Luna, sebab ponselnya ada di mobil bersama tasnya. Ia tak ingin tasnya disandera saat screening. "Akan butuh waktu lama dan kita
Suara gemerisik benda terdengar jelas, bahkan Aleksei dan Luna tahu, Silsilia sedang berlari karena deru napas wanita itu terdengar jelas."Silsilia!" teriak Luna."Tolooong! Tolong akuuu, Angel! Aku takut sekali!""Kenapa? Kamu dimana?!!!""Aku di ... aaaaarkhhhh!!!" Suara kecipak air dan erangan pria kembali mengiringi teriakan Silsilia. "Katakan, Silsilia! Kau dimana?!!!""Di kamar, Bella! Di ... di laboratorium!""Oh Allah. Dimana itu? Aku dan Aleksei sedang di ruang formula racun itu.""Ba-ba-bagaimana kalian bisa ada di sana?!"Jelas terdengar Silsilia bergetar dalam gagapnya. "Kau ingin mendengar cerita atau kami segera ke sana menolongmu, ha?!""Ooh Angel! Cepat temukan aku! Tolong, Angel, datanglah. Seorang monster telah bangkit! Aku di lantai atas!"Clash! Ponsel itu mati kehabisan daya. Luna membeliak terkejut luar biasa. "Kita harus apa, Aleksei?!""Kita susul dia."Aleksei langsung bergegas. "Kita tidak tahu di mana kamar, Bella? Apakah dalam denah itu ada?" tanya Lun
Sekuat tenaga Luna mengatur napasnya sembari memaksa wajah dan matanya tetap tegak menatap ke arah akuarium itu. Rasa ngeri meremas-remas jantungnya. Sebagai manusia normal, Luna takut. Terlihat Zaenal membuka matanya lalu melihat ke arah mereka. Tatapannya kosong dan ekspresinya dingin. Bukan seperti Zaenal yang dulu, teduh dan dan menyejukkan. Pria itu berdiri, masih dengan mulutnya yang terhubung dengan selang merah itu. Beberapakali mulutnya nampak komat kamit seperti memang sedang menyedot. Silsilia mnyembunyikan wajahnya di belakang punggung Luna, membekap mulutnya sendiri agar tidak berteriak ketakutan. Aleksei terus melangkah mendekati akuarium itu."Zaenal, apa kau mengenalku?" Tak ada pergerakan dari Zaenal kecuali matanya yang berputar seperti mencari sesuatu. "Aku Aleksei dan wanita bergamis itu adalah Angel. Apa kau masih ingat kami?!"Aleksei berbicara dengan nada tinggi dan menggunakan gerakan isyarat. Hanya sekali mata Zaenal menoleh padanya namun selanjutnya pria itu k
Luna tercekat. Ia masih tidak bisa bicara dengan kalimat panjang. Napasnya masih terseok-seok. "Karena apa, haah? Jangan coba-coba ikut campur kalian! Sekarang aku sudah akan kehabisan waktu dan kalian datang mengacaukanku lagi! Mati saja kalian!" teriak Bella berdiri dan siap mengibaskan ekornya. "Karena Zaenal, suamimu sudah bangkit!!!" seru Aleksei memegang dadanya yang naik turun seperti merasa akan kehilangan kemampuan menghirup udara. Berhenti dunia Bella rasanya. Yang didengarnya itu seperti mimpi. Antara ia sedang dibohongi atau tidak, tapi satu yang pasti, kedua manusia yang kewalahan di depannya itu sudah tahu rahasia besarnya. Bagaimana mereka bisa tahu?! Bella langsung memucat antara marah dan was-was. "Ka-ka-kalian jangan mempermainkanku!" Bella menggigil bersama debaran jantungnya yang bergemuruh. "Tunggu! Aku akan perlihatkan padamu tapi berjanjilah kau tidak akan menjadi gila!" seru Aleksei dengan nada marah yang terpendam luar biasa. Aleksei akan menunjukkan bukt
"Jangan banyak bicara. Kenapa kau keras kepala sekali? Setelah Eldor melihatmu, aku akan membawa kalian ke rumah sakit," ucap Luna datar, menahan perih di hatinya. "Ap-aaapa kau masih ma-maarah padaku, Angel?""Aku sangat membencimu, Sofia. Kau harus tetap hidup agar aku bisa kembali bertengkar denganmu," ucap Luna tak kuasa menahan air matanya. Tetesannya setitik, setitik, lalu menjadi deras memenuhi wajahnya yang tidak ditutupi kain lagi. Jelas merah pekat wajah Luna menahan rasa sedihnya. Sofia tersenyum kecil. "Te-terimakasih. Maafkan aku, Angel. Ka-kaulah defi-definisi saha-sahabat sejati itu. Kau ... kau selalu ada da-dalam kesulitanku dan mengabaikan ma-marahku. Kau be-berani ber-bertaruh nyawa untukku dan putraku. Ter-terimakasih. Meny-menyesal aku telah ... aaaaarhhh!!!"Dada Sofia membusung seperti akan tercabut nyawanya hingga membuat wajah wanita itu pucat tak berwarna lagi. "Berhenti bicara. Kau harus menyimpan tenagamu. Kita ke rumah sakit sekarang!"Sofia menggeleng
Kini villa itu sudah sepi, bahkan tempat sesepi itu tidak memiliki penjaga. Aleksei mondar-mandir tak karuan. Sedari tadi dia berusaha sibuk, merapikan hal yang remeh temeh padahal penjaga catring sudah merapikan semuanya. Sumpah demi apa pun, jantungnya dari tadi berdegup kencang seperti ditabuh keras-keras. Ia mencari apa lagi yang dia bisa kerjakan asal tidak masuk ke dalam kamar itu. Bahkan melihat ke arah pintu kamar saja dia tidak sanggup karena dia tahu, di dalam sana ada seseorang yang menjadi pujaannya seumur hidup. "Sial, aku harus apa lagi?!" Aleksei melihat jam dinding, dan terlihat sudah jam dua dini hari. Semua sudah rapi, sudah pada di tempatnya. Pria itu kembali mondar mandir. Menyesal dia menyimpan laptop dan ponselnya di kamar tempat Luna berada. "Ya, aku tahu," ucap Aleksei sendirian membuka laci dan membungkuk mencari gunting tanaman dan sabit. "Aku bersihkan taman saja," desisnya mantap. Crinnnng!!! Kedua benda itu jatuh karena pria itu terkejut luar biasa seba
"Maaf, aku mengganggu waktumu," ucap Yudha di depan Aleksei yang memperbaiki posisi kacamata hitamnya. Mereka bertemu di sebuah cafe di pinggir pantai. Ombak di sore hari terlihat lebih besar. "Tidak masalah. Maaf juga aku harus membuatmu menunggu. Aku benar-benar harus meeting tadi."Yudha tersenyum lalu menegak kopinya. Ia mengeluarkan rokok dan menyodorkannya pada Aleksei. "Rokok favoritmu," ucap Yudha menawarkan namun yang cukup membuat Aleksei terkejut, Yudha pun menyalakan putung rokok itu untuk dirinya sendiri. "Sejak kapan kau merokok?""Sejak tidak ada paru-paru lain yang kujaga," jawab Yudha santai menyesap asap. Aleksei hanya menoleh lalu membuang wajah, memilih menatap ombak yang berdebur. "Kau pasti tidak merokok lagi sekarang, karena ada paru-paru lain yang kau jaga, bukan?" lanjut Yudha. Aleksei kebingungan dan salah tingkah. Ia meraih rokok itu lalu akan membakarnya. Yudha menahan tangan pria itu. "Tidak perlu. Its oke. Aku tahu, kau tidak merokok lagi sejak operas
Aleksei merasa seperti sedang diguyur berton-ton tumpukan bunga. Harum, lembut tapi terlalu banyak. Ia tidak bisa bernapas. Pria itu melihat ke bawah, ke samping, bahkan ia harus mendongak ke atas untuk mencari udara. Tak .... Tak .... Langkah Luna mendekat, dan itu membuat Aleksei refleks mundur. Wanita itu justru tersenyum melihat ekspresi Aleksei sekaget itu. "Jangan main-main kamu, Angel. Kita sudah berumur, jangan bicara yang tidak-tidak," ucap Aleksei mengusap wajahnya. "Kenapa memangnya? Kalau kita bersama terus, tanpa ada hal yang urgent, jatuhnya fitnah, lo!""Untuk bertemu denganmu meski hanya satu menit, itu sudah ranah urgent."Luna berhenti dan justru menutup mulutnya tertawa. "Ya sudah, mari kita menikah supaya tiap menit bisa bertemu," goda Luna. "Memang pandai sekali kamu mempermainkan hati," ucap Aleksei menghembuskan kasar napasnya. "Jadi kau menolakku? Tak ingin menikahiku?""Eiih?!"Aleksei hanya melongo. Dia seperti tidak menapak lagi di bumi mendengar ucap
Dua minggu kemudian .... "Katakan padaku, kenapa Angel tidak pernah datang mengunjungiku?" tanya Aleksei ketika Daniel sedang memeriksa tensi darahnya. "Syukurlah, semuanya berjalan lancar dan kondisi Anda juga semakin baik, Tuan.""Jangan alihkan pembicaraan, katakan kemana Angel? Apa dia baik-baik saja?" "Ya, Nyonya Angel baik-baik saja. Jika transplantasi Anda berhasil, Anda akan bisa melihatnya lagi meski mungkin tidak seterang penglihatan Anda sebelumnya.""Aku lega dia baik-baik saja. Tapi kenapa dia tidak mendatangiku sejak aku operasi? Wanita itu," gerutu Aleksei mengelus perban di matanya. "Perban Anda sudah bisa dibuka. Apa Anda siap?""Tolong panggilkan aku Angel, saat mataku terbuka, aku ingin melihat dia pertama kali."Dokter Daniel terenyuh mendengar semua ucapan Aleksei. Jelas sekali dari getaran suara pria itu, Aleksei benar-benar sangat mencintai sosok Angel Gracelia. "Maaf, Tuan. Nyonya Angel belum bisa menemui Anda kemari. Tapi tidak masalah, Anda yang bisa mene
"Bagaimana keadaannya?" tanya Luna dengan wajah tegang. "Selama Anda pergi, kami sudah tiga kali menyuntikkan obat penahan rasa sakit dan antibiotik.""Suntikan cairan ini pada bahu Aleksei."Luna menyerahkan tabung itu pada dokter Daniel. Pria itu melihat benda yang di tangannya itu lamat-lamat. "Cairan apa ini? Dingin sekali sampai menembus tulang.""Penawar racun itu. Cepat suntikan sekarang, Daniel."Dokter Daniel mengangguk dan matanya menangkap keberadaan Farid yang sedang dibersihkan lukanya. Nampak luka itu jauh lebih segar, tidak bengkak lagi dan tidak hitam. Sudah seperti daging biasa. "Bagaimana itu terjadi?""Racun dan penawar itu diciptakan oleh sosok yang paling hebat. Sudah, suntikan segera dan agar kau tenang kembali bekerja."Tak menunggu lagi, dokter yang berpostur tinggi itu langsung bergegas menuju ruang perawatan Aleksei. "Siapa?! Angel, kau kah itu?" tanya Aleksei terkejut saat terdengar suara pintu terbuka. "Bukan, Tuan. Saya, Daniel. Bagaimana perasaan Anda
Helena menggeleng sembari menutup mulutnya yang sudah tertutup cadar. "Helena! Berikan sandi itu! Kasihan putraku kesakitan seperti itu. Apa pun yang kau inginkan dariku, aku akan memberikannya!"Helena terus menggeleng dan membuat Luna semakin putus asa. Gadis itu justru mundur, mundur dan berbalik arah, seperti melarikan diri. Kakinya berlari sangat kencang masuk ke dalam rumahnya. "Helena! Helena!!!" teriak Luna sekencang-kencangnya. Wanita itu sampai memukul tanah tempatnya mengesot hingga kotor pakaiannya. Berdentam tanah itu karena amukan Luna. Suara tangisan Luna menyeruak penuh ketakutan dan kemarahan. "Wanita sialan! Awas kau! Akan kumakan kau hidup-hidup!" seru Eldor sudah berdiri akan mengejar Helena tapi langkahnya tertahan melihat Farid muntah darah. Silsilia sedari tadi menahan pemuda itu agar tidak terlalu mengamuk sebab banyak juga pot bunga, dan batu di sekitar tempat itu. "Oooh demi leluhur Razoore! Aaah sial!" Eldor memukul kosong di udara. Urat-urat tangannya ti
Di dalam mobil, Karmila masih diam. Sama sekali tak bicara setelah beberapa menit berada di samping Yudha yang saat ini fokus menyetir."Luna tidak mau rujuk," ucap Yudha tiba-tiba."Oh ya? Hmm ... mungkin dia butuh lebih banyak waktu lagi," sambut Karmila salah tingkah. Sedari tadi pikirannya dipenuhi dengan banyak pertimbangan. "Entahlah. Dia bukan jenis wanita yang mudah goyah setelah mengambil keputusan," timpal Yudha mengembuskan napasnya kasar. "Jadi kau menyesal telah menceraikannya?""Ya. Aku terlalu mengikuti emosiku. Aku tidak memandang jernih setiap sisi masalah. Menyesal, aku sangat menyesal."Karmila tidak berkata apa-apa lagi. Ia pernah menyerah, lalu kembali mencoba dan sekarang hempas lagi. Suasana menjadi hening kembali. Yudha menoleh sekilas pada Karmila yang terlihat kosong. "Tadi, Farid makan buah-buahan yang kamu bawa. Dia memang suka sekali dengan anggur, sama seperti ibunya," lanjut Yudha kembali bicara mencairkan suasana. "Syukurlah. Dia memang pemuda yang b
"Nona! Nooooon!" teriak Rumayah menggedor pintu Helena. "Kenapa, Mbok?!"Helena keluar tetap menggunakan hijabnya namun kali ini, ia menggunakan cadarnya. Bekas cakaran Sofia belum bisa dihilangkan meskipun ia rutin merawatnya. "Ada ... ada banyak orang yang sedang nyari Nona! Salah satunya, pria besar yang dulu pernah ke sini!"Helena terhenyak sebentar lalu memperat simpul tali cadarnya. "Tenanglah Mbok. Yang akan terjadi, biarlah terjadi."Helena melangkah tanpa ragu. Wajahnya yang rusak adalah hal yang membuatnya tidak memiliki rasa takut lagi. Bahkan, beberapa kali ia berpikir untuk mengakhiri saja hidupnya tapi dia tahu, itu hal yang paling dibenci Allah. Setidaknya, ia tidak ingin mati bunuh diri, lebih baik dibunuh saja. Gadis itu sudah pada puncak putus asa. "Katakan pada Amang, jangan keluar, jangan ikut campur. Ini urusanku. Apa pun yang terjadi padaku, kalian jangan terlibat," ujar Helena datar. "Tapi, Non ....""Tinggallah di sini, biar aku sendiri yang menghadapi mer
Farid mendorong kursi roda yang diduduki Luna dengan sangat tergesa-gesa. "Kami sudah memindahkannya ke dalam ruangan steril, tidak bisa dimasuki kecuali tenaga medis yang berpakaian lengkap," ucap dokter Daniel sembari terus melangkah cepat. "Kau harus melakukan yang terbaik, Daniel. Aku akan membayar berapa pun jumlah yang kau butuhkan.""Jangan dipikirkan, Nyonya. Anda bisa menemuinya. Kami memberikan waktu lima menit. Sekarang, pakailah alat pelindung ini," ucap Daniel sampai di sebuah ruangan kecil. Luna memakai baju pelindung dan masker juga penutup kepala lengkap. Daniel mempersilakannya masuk dan menunjukkannya jam tangan sebagai tanda dia tidak memiliki waktu yang banyak. "Apakah mereka akan baik-baik saja?" tanya Farid mengintip dari kaca. Terlihat Luna mendekati Aleksei dengan memutar kursi rodanya dengan cepat. "Aku harap semua baik-baik saja," ujar Daniel berdebar. Untuk pertama kali dia menangani kasus sedahsyat itu. Ada bakteri jahat yang aneh dan cepat sekali berege