Sehat selalu semuanya â¤GEMnya jangan lupa kasih satu je tiap hari buat buku ini yađTerimakasih yaaa
Dooooor!!!Suara tembakan terdengar menghentak hingga membuat burung yang menari dalam formasi mendadak hancur tak beraturan. Mungkin juga karena melihat salah satu kawannya menggelepar jatuh ke laut. Percikan air terlihat jelas bersamaan dengan bangkai burung itu menghilang."Baiklah. Tidak masalah. Tapi aku harus membunuh Farid jika kau menolaknya. Harga kepalanya melebihi seorang kepala teroris," ucap Frank datar."Ibunya dan Queen pasti akan mencarimu sampai dasar bumi!" ancam Aletha garang."Memang itulah pekerjaanku. Lagi pula, Eldor juga sangat membenci pria yang kau bela itu. Sepertinya ini akan jauh lebih mudah."Frank tetap tenang. Ia tahu, gadis seperti Aletha harus mendapatkan tekanan yang banyak untuk melumpuhkannya. Keras kepala dan berani melawan, sudah jelas pada tatapan gadis cantik itu."Brengsek!""Jangan lupa, siapa aku, Aletha.""Kau tak berhak menyebut namaku!"Frank menoleh ke arah Aletha. Ia meletakkan senjata di tangannya sedikit menghentak. Perlahan ia mendeka
Cukup lama Aletha asik dengan pikirannya sendiri. Sekarang ia turun dan kembali ke kamarnya. Ia mendengar ayahnya sedang bicara dengan Nindi di private room. Aletha langsung mengendap dan mengintip. Ruangan itu tertutup kaca tebal hitam. Cukup sulit untuk Aletha bisa melihat dengan jelas. Tampak Nindi tak menutupi wajahnya dan hanya menggunakan lingerie.'Dasar wanita ular, rupanya dia begitu percaya diri dengan tubuh seburuk itu' bisik hari Aletha melebarkan telinganya untuk mencuri dengar."Syukurlah, kau memang brilian, Sayang," ucap Nindi menyandar di sofa."Aletha menolak perjodohan itu, dan aku mengancamnya dengan nyawa Farid.""Meskipun dia keponakanku, tapi ada darah wanita setan itu di dalam tubuhnya. Jadi aku tidak keberatan. Hanya aku mohon, jangan sentuh abangku!"Seketika tersentak hati Aletha. Rupanya Nindi memiliki hubungan sangat erat dengan Farid.'Abangku? Itu artinya, Nyonya Angel adalah ipar wanita buruk rupa itu?! Oh Tuhan ....'Aletha menutup mulutnya dan kembali
Aletha hanya menelan salivanya yang terasa pekat. Ia tidak hanya akan menghadapi seorang pria kekar yang terlatih tapi juga perasaan cinta yang sudah mencengkram perasaan. Seseorang yang sedang jatuh cinta bisa melakukan apa saja. Seperti yang dia pun sedang pikirkan. Dengan cepat, Aletha melaju kembali ke rumah pinggir pantai miliknya."Apakah Nona butuh air hangat?" tanya seorang wanita paruh baya yang menyambut kedatangannya."Tidak. Bawakan aku alkohol. Kepalaku rasanya seperti akan pecah," ucap Aletha."Mungkin Anda butuh dipijit lalu mandi air bunga? Saya akan segera menyiapkannya.""Tequila," jawab Aletha menatap laut dari kaca bening kamarnya.Kepala pelayan itu hanya mengangguk. Jawaban Aletha tidak sesuai dengan tawarannya. Majikannya justru meminta tequila, sejenis minuman keras yang berasal dari Amerika Tengah. Bahan utama pembuatan tequila adalah tanaman agave Meksiko. Kadar alkoholnya sekitar empat puluh persen. Untuk mempercantik tampilannya, wanita paruh baya itu menamb
"Pastilah anak-anakmu bahagia memiliki seorang ibu sepertimu," lirih Aletha memijit-mijit kepalanya yang terasa sangat berat."I-iiya," jawab Stella dengan air mata yang mengalir deras. Sekuat tenaga ia menahan dirinya untuk tidak menghambur memeluk Aletha. Sudah lima tahun dia hanya bisa memperhatikan anaknya tanpa memiliki nyali untuk mengungkapkan kebenaran. Pastilah Aletha membencinya karena ia sadar diri telah menjadi ibu yang amat kejam.Entah iblis apa yang dulu merasukinya sehinga ia hampir membunuh putri kecilnya itu. Lalu tanpa rasa belas kasihan sedikit pun, ia meninggalkan bayinya itu bersama mantan suaminya. Ibu macam apa dia? Kebenciannya pada Baron membuatnya tidak mengenal darah dagingnya sendiri. Jika ia mengingat kejadian itu, ia selalu meraung penuh penyesalan. Bahkan sekarang, untuk mengakui dirinya di depan anak gadisnya, Stella tak memiliki nyali secuil pun."Membersihlan muntah orang la
"Nona! Nona!" seru Stella dan empat pelayan di belakangnya. Aletha langsung memeluk Stella sembari membenamkan wajahnya. Sekali lirik saja, keempat pelayan lainnya keluar meninggalkan Aletha hanya bersama Stella. "Katakan, apa yang terjadi, Nak?" Stella langsung gugup. Mulutnya tak terkontrol. Ia mencoba mengabaikannya. "Maaf, Nona. Katakan, apa yang membuat Anda menangis seperti ini?" Aletha menggeleng. Semua masalahnya tidak mungkin untuk dia ceritakan. Ia baru saja melihat foto mayat Martinus dengan sebuah peluru yang meninggalkan jejak di tengah keningnya. Eldor rupanya benar-benar nekat dan cepat. Gadis itu sangat tidak menyangka, betapa kejam dan tidak berperasaannya pria bawah tanah itu. 'Hanya karena aku tidak memenuhi janjiku di hari ini, kau langsung mengeksekusi di hari yang sama. Kau laki-laki iblis!' umpat hati Aletha bersamaan dengan jarinya meremas kasar pada pinggang Stella. "Tenanglah, Nona. Semua akan baik-baik saja. Aku di sini," ucap Stella tulus dari hat
"Apa yang sedang kau lakukan, Eldor?! Mengapa menghabiskan peluru hanya untuk menembak dinding berbatu?!" teriak Sofia yang baru menyadari suara hentakan tembakan sedari tadi yang dia dengar itu bukan latihan. Pekak gendang telinga Sofia karena Eldor tak henti-hentinya menembak."Tidak hanya dinding, sebelum ini sudah ada satu kepala yang ditembus," ucap Eldor meletakkan begitu saja pistolnya."Siapa? Kali ini siapa lagi yang menjadi korbanmu, anakku?! Mamamu ini sebentar lagi benar-benar menjadi orang gila karena perilakumu yang mudah memutuskan nyawa orang lain," lirih Sofia dengan suara pelan.Eldor menegak air putih yang tersedia di sampingnya. Tubuhnya berkeringat deras karena ia menghabiskan tenaganya untuk meninju dan menendang samsak yang kokoh berdiri. Sejak Aletha mengabaikannya, pikirannya benar kalut. Ada rasa ketakutan luar biasa, gadis itu tidak kembali untuknya."Aku
"Dia tanteku. Sudah hampir lima belas tahun kata ayahku, dia tak memberi kabar. Sejak nenekku meninggal, dia menjauhkan diri. Ayahku mencarinya namun sekarang dia sudah putus asa karena seperti mencari jarum di dalam jerami," tutur Farid.Aletha hanya diam. Di otaknya berpikir untuk mempertimbangkan. Apa sekarang saatnya dia jujur pada Farid bahwa ia dan ayahnya akan menyerang istana bawah tanah?"Pertemukan aku dengannya," ucap Farid."Aku rasa jangan! Dia bukan wanita baik. Bisa saja dia menyerangmu. Dia ... dia ...."Otak Aletha berputar. Bagaimana ia mengatakan pada Farid bahwa wanita berkulit cacat itu ingin menghancurkan pemuda itu dan ibunya?"Aku tahu, dia mungkin membenciku tapi aku hanya ingin mendengar suaranya. Biar bagaimana pun, dia tanteku. Bantu aku, Aletha. Aku akan berterimakasih padamu," balas Farid."Aku jarang bicaranya dengannya. Tapi kau bisa menemuinya di tempat judi. Biasanya, Senin malam ayahku akan mengajaknya kesana. Aku bisa mengecoh ayahku, dan kau gunakan
"Ada apa dengan wajahmu itu, jagoanku?" tanya Aleksei menyodorkan wine pada Farid. Pemuda itu langsung menggesernya dengan wajah dingi. Aleksei justru tersenyum."Kau tak perlu taat, aku bersamamu," ucap Aleksei menggoda keponakannya itu."No alcohol, no seks before marriage. Itu motto yang diajarkan ibuku. Seharusnya sebagai sahabatnya kau tahu itu," sinis Farid melipat wajahnya.Kali ini Aleksei tertawa hingga giginya yang masih sangat kokoh terlihat secara gamblang. Pria itu terbahak sampai-sampai bahunya berguncang."Aku lagi malas, Paman. Sekarang katakan, kenapa kau meminta bertemu tengah malam begini? Andai aku sedang di rumah, ini akan menjadi sulit," oceh Farid mendecak.Aleksei mengunyah kebab sembari menatap Farid yang terlihat tak bersemangat. Kali ini mereka sedang berada di sebuah private room sebuah cafe. Keduanya bisa melihat panorama hiburan malam dari lantai atas ruangan itu. Ada penari pollydance juga peny
Kini villa itu sudah sepi, bahkan tempat sesepi itu tidak memiliki penjaga. Aleksei mondar-mandir tak karuan. Sedari tadi dia berusaha sibuk, merapikan hal yang remeh temeh padahal penjaga catring sudah merapikan semuanya. Sumpah demi apa pun, jantungnya dari tadi berdegup kencang seperti ditabuh keras-keras. Ia mencari apa lagi yang dia bisa kerjakan asal tidak masuk ke dalam kamar itu. Bahkan melihat ke arah pintu kamar saja dia tidak sanggup karena dia tahu, di dalam sana ada seseorang yang menjadi pujaannya seumur hidup. "Sial, aku harus apa lagi?!" Aleksei melihat jam dinding, dan terlihat sudah jam dua dini hari. Semua sudah rapi, sudah pada di tempatnya. Pria itu kembali mondar mandir. Menyesal dia menyimpan laptop dan ponselnya di kamar tempat Luna berada. "Ya, aku tahu," ucap Aleksei sendirian membuka laci dan membungkuk mencari gunting tanaman dan sabit. "Aku bersihkan taman saja," desisnya mantap. Crinnnng!!! Kedua benda itu jatuh karena pria itu terkejut luar biasa seba
"Maaf, aku mengganggu waktumu," ucap Yudha di depan Aleksei yang memperbaiki posisi kacamata hitamnya. Mereka bertemu di sebuah cafe di pinggir pantai. Ombak di sore hari terlihat lebih besar. "Tidak masalah. Maaf juga aku harus membuatmu menunggu. Aku benar-benar harus meeting tadi."Yudha tersenyum lalu menegak kopinya. Ia mengeluarkan rokok dan menyodorkannya pada Aleksei. "Rokok favoritmu," ucap Yudha menawarkan namun yang cukup membuat Aleksei terkejut, Yudha pun menyalakan putung rokok itu untuk dirinya sendiri. "Sejak kapan kau merokok?""Sejak tidak ada paru-paru lain yang kujaga," jawab Yudha santai menyesap asap. Aleksei hanya menoleh lalu membuang wajah, memilih menatap ombak yang berdebur. "Kau pasti tidak merokok lagi sekarang, karena ada paru-paru lain yang kau jaga, bukan?" lanjut Yudha. Aleksei kebingungan dan salah tingkah. Ia meraih rokok itu lalu akan membakarnya. Yudha menahan tangan pria itu. "Tidak perlu. Its oke. Aku tahu, kau tidak merokok lagi sejak operas
Aleksei merasa seperti sedang diguyur berton-ton tumpukan bunga. Harum, lembut tapi terlalu banyak. Ia tidak bisa bernapas. Pria itu melihat ke bawah, ke samping, bahkan ia harus mendongak ke atas untuk mencari udara. Tak .... Tak .... Langkah Luna mendekat, dan itu membuat Aleksei refleks mundur. Wanita itu justru tersenyum melihat ekspresi Aleksei sekaget itu. "Jangan main-main kamu, Angel. Kita sudah berumur, jangan bicara yang tidak-tidak," ucap Aleksei mengusap wajahnya. "Kenapa memangnya? Kalau kita bersama terus, tanpa ada hal yang urgent, jatuhnya fitnah, lo!""Untuk bertemu denganmu meski hanya satu menit, itu sudah ranah urgent."Luna berhenti dan justru menutup mulutnya tertawa. "Ya sudah, mari kita menikah supaya tiap menit bisa bertemu," goda Luna. "Memang pandai sekali kamu mempermainkan hati," ucap Aleksei menghembuskan kasar napasnya. "Jadi kau menolakku? Tak ingin menikahiku?""Eiih?!"Aleksei hanya melongo. Dia seperti tidak menapak lagi di bumi mendengar ucap
Dua minggu kemudian .... "Katakan padaku, kenapa Angel tidak pernah datang mengunjungiku?" tanya Aleksei ketika Daniel sedang memeriksa tensi darahnya. "Syukurlah, semuanya berjalan lancar dan kondisi Anda juga semakin baik, Tuan.""Jangan alihkan pembicaraan, katakan kemana Angel? Apa dia baik-baik saja?" "Ya, Nyonya Angel baik-baik saja. Jika transplantasi Anda berhasil, Anda akan bisa melihatnya lagi meski mungkin tidak seterang penglihatan Anda sebelumnya.""Aku lega dia baik-baik saja. Tapi kenapa dia tidak mendatangiku sejak aku operasi? Wanita itu," gerutu Aleksei mengelus perban di matanya. "Perban Anda sudah bisa dibuka. Apa Anda siap?""Tolong panggilkan aku Angel, saat mataku terbuka, aku ingin melihat dia pertama kali."Dokter Daniel terenyuh mendengar semua ucapan Aleksei. Jelas sekali dari getaran suara pria itu, Aleksei benar-benar sangat mencintai sosok Angel Gracelia. "Maaf, Tuan. Nyonya Angel belum bisa menemui Anda kemari. Tapi tidak masalah, Anda yang bisa mene
"Bagaimana keadaannya?" tanya Luna dengan wajah tegang. "Selama Anda pergi, kami sudah tiga kali menyuntikkan obat penahan rasa sakit dan antibiotik.""Suntikan cairan ini pada bahu Aleksei."Luna menyerahkan tabung itu pada dokter Daniel. Pria itu melihat benda yang di tangannya itu lamat-lamat. "Cairan apa ini? Dingin sekali sampai menembus tulang.""Penawar racun itu. Cepat suntikan sekarang, Daniel."Dokter Daniel mengangguk dan matanya menangkap keberadaan Farid yang sedang dibersihkan lukanya. Nampak luka itu jauh lebih segar, tidak bengkak lagi dan tidak hitam. Sudah seperti daging biasa. "Bagaimana itu terjadi?""Racun dan penawar itu diciptakan oleh sosok yang paling hebat. Sudah, suntikan segera dan agar kau tenang kembali bekerja."Tak menunggu lagi, dokter yang berpostur tinggi itu langsung bergegas menuju ruang perawatan Aleksei. "Siapa?! Angel, kau kah itu?" tanya Aleksei terkejut saat terdengar suara pintu terbuka. "Bukan, Tuan. Saya, Daniel. Bagaimana perasaan Anda
Helena menggeleng sembari menutup mulutnya yang sudah tertutup cadar. "Helena! Berikan sandi itu! Kasihan putraku kesakitan seperti itu. Apa pun yang kau inginkan dariku, aku akan memberikannya!"Helena terus menggeleng dan membuat Luna semakin putus asa. Gadis itu justru mundur, mundur dan berbalik arah, seperti melarikan diri. Kakinya berlari sangat kencang masuk ke dalam rumahnya. "Helena! Helena!!!" teriak Luna sekencang-kencangnya. Wanita itu sampai memukul tanah tempatnya mengesot hingga kotor pakaiannya. Berdentam tanah itu karena amukan Luna. Suara tangisan Luna menyeruak penuh ketakutan dan kemarahan. "Wanita sialan! Awas kau! Akan kumakan kau hidup-hidup!" seru Eldor sudah berdiri akan mengejar Helena tapi langkahnya tertahan melihat Farid muntah darah. Silsilia sedari tadi menahan pemuda itu agar tidak terlalu mengamuk sebab banyak juga pot bunga, dan batu di sekitar tempat itu. "Oooh demi leluhur Razoore! Aaah sial!" Eldor memukul kosong di udara. Urat-urat tangannya ti
Di dalam mobil, Karmila masih diam. Sama sekali tak bicara setelah beberapa menit berada di samping Yudha yang saat ini fokus menyetir."Luna tidak mau rujuk," ucap Yudha tiba-tiba."Oh ya? Hmm ... mungkin dia butuh lebih banyak waktu lagi," sambut Karmila salah tingkah. Sedari tadi pikirannya dipenuhi dengan banyak pertimbangan. "Entahlah. Dia bukan jenis wanita yang mudah goyah setelah mengambil keputusan," timpal Yudha mengembuskan napasnya kasar. "Jadi kau menyesal telah menceraikannya?""Ya. Aku terlalu mengikuti emosiku. Aku tidak memandang jernih setiap sisi masalah. Menyesal, aku sangat menyesal."Karmila tidak berkata apa-apa lagi. Ia pernah menyerah, lalu kembali mencoba dan sekarang hempas lagi. Suasana menjadi hening kembali. Yudha menoleh sekilas pada Karmila yang terlihat kosong. "Tadi, Farid makan buah-buahan yang kamu bawa. Dia memang suka sekali dengan anggur, sama seperti ibunya," lanjut Yudha kembali bicara mencairkan suasana. "Syukurlah. Dia memang pemuda yang b
"Nona! Nooooon!" teriak Rumayah menggedor pintu Helena. "Kenapa, Mbok?!"Helena keluar tetap menggunakan hijabnya namun kali ini, ia menggunakan cadarnya. Bekas cakaran Sofia belum bisa dihilangkan meskipun ia rutin merawatnya. "Ada ... ada banyak orang yang sedang nyari Nona! Salah satunya, pria besar yang dulu pernah ke sini!"Helena terhenyak sebentar lalu memperat simpul tali cadarnya. "Tenanglah Mbok. Yang akan terjadi, biarlah terjadi."Helena melangkah tanpa ragu. Wajahnya yang rusak adalah hal yang membuatnya tidak memiliki rasa takut lagi. Bahkan, beberapa kali ia berpikir untuk mengakhiri saja hidupnya tapi dia tahu, itu hal yang paling dibenci Allah. Setidaknya, ia tidak ingin mati bunuh diri, lebih baik dibunuh saja. Gadis itu sudah pada puncak putus asa. "Katakan pada Amang, jangan keluar, jangan ikut campur. Ini urusanku. Apa pun yang terjadi padaku, kalian jangan terlibat," ujar Helena datar. "Tapi, Non ....""Tinggallah di sini, biar aku sendiri yang menghadapi mer
Farid mendorong kursi roda yang diduduki Luna dengan sangat tergesa-gesa. "Kami sudah memindahkannya ke dalam ruangan steril, tidak bisa dimasuki kecuali tenaga medis yang berpakaian lengkap," ucap dokter Daniel sembari terus melangkah cepat. "Kau harus melakukan yang terbaik, Daniel. Aku akan membayar berapa pun jumlah yang kau butuhkan.""Jangan dipikirkan, Nyonya. Anda bisa menemuinya. Kami memberikan waktu lima menit. Sekarang, pakailah alat pelindung ini," ucap Daniel sampai di sebuah ruangan kecil. Luna memakai baju pelindung dan masker juga penutup kepala lengkap. Daniel mempersilakannya masuk dan menunjukkannya jam tangan sebagai tanda dia tidak memiliki waktu yang banyak. "Apakah mereka akan baik-baik saja?" tanya Farid mengintip dari kaca. Terlihat Luna mendekati Aleksei dengan memutar kursi rodanya dengan cepat. "Aku harap semua baik-baik saja," ujar Daniel berdebar. Untuk pertama kali dia menangani kasus sedahsyat itu. Ada bakteri jahat yang aneh dan cepat sekali berege