š„°Manis ya ucapan Farid. Syuka deh. Terimakasih banyak yang suport author dan buku ini dengan komentat penyemangat dan GEM. Semua terasa sempurna karena kalianš„°Sehat selalu. Aamiin
"Apa yang sedang kau lakukan, Eldor?! Mengapa menghabiskan peluru hanya untuk menembak dinding berbatu?!" teriak Sofia yang baru menyadari suara hentakan tembakan sedari tadi yang dia dengar itu bukan latihan. Pekak gendang telinga Sofia karena Eldor tak henti-hentinya menembak."Tidak hanya dinding, sebelum ini sudah ada satu kepala yang ditembus," ucap Eldor meletakkan begitu saja pistolnya."Siapa? Kali ini siapa lagi yang menjadi korbanmu, anakku?! Mamamu ini sebentar lagi benar-benar menjadi orang gila karena perilakumu yang mudah memutuskan nyawa orang lain," lirih Sofia dengan suara pelan.Eldor menegak air putih yang tersedia di sampingnya. Tubuhnya berkeringat deras karena ia menghabiskan tenaganya untuk meninju dan menendang samsak yang kokoh berdiri. Sejak Aletha mengabaikannya, pikirannya benar kalut. Ada rasa ketakutan luar biasa, gadis itu tidak kembali untuknya."Aku
"Dia tanteku. Sudah hampir lima belas tahun kata ayahku, dia tak memberi kabar. Sejak nenekku meninggal, dia menjauhkan diri. Ayahku mencarinya namun sekarang dia sudah putus asa karena seperti mencari jarum di dalam jerami," tutur Farid.Aletha hanya diam. Di otaknya berpikir untuk mempertimbangkan. Apa sekarang saatnya dia jujur pada Farid bahwa ia dan ayahnya akan menyerang istana bawah tanah?"Pertemukan aku dengannya," ucap Farid."Aku rasa jangan! Dia bukan wanita baik. Bisa saja dia menyerangmu. Dia ... dia ...."Otak Aletha berputar. Bagaimana ia mengatakan pada Farid bahwa wanita berkulit cacat itu ingin menghancurkan pemuda itu dan ibunya?"Aku tahu, dia mungkin membenciku tapi aku hanya ingin mendengar suaranya. Biar bagaimana pun, dia tanteku. Bantu aku, Aletha. Aku akan berterimakasih padamu," balas Farid."Aku jarang bicaranya dengannya. Tapi kau bisa menemuinya di tempat judi. Biasanya, Senin malam ayahku akan mengajaknya kesana. Aku bisa mengecoh ayahku, dan kau gunakan
"Ada apa dengan wajahmu itu, jagoanku?" tanya Aleksei menyodorkan wine pada Farid. Pemuda itu langsung menggesernya dengan wajah dingi. Aleksei justru tersenyum."Kau tak perlu taat, aku bersamamu," ucap Aleksei menggoda keponakannya itu."No alcohol, no seks before marriage. Itu motto yang diajarkan ibuku. Seharusnya sebagai sahabatnya kau tahu itu," sinis Farid melipat wajahnya.Kali ini Aleksei tertawa hingga giginya yang masih sangat kokoh terlihat secara gamblang. Pria itu terbahak sampai-sampai bahunya berguncang."Aku lagi malas, Paman. Sekarang katakan, kenapa kau meminta bertemu tengah malam begini? Andai aku sedang di rumah, ini akan menjadi sulit," oceh Farid mendecak.Aleksei mengunyah kebab sembari menatap Farid yang terlihat tak bersemangat. Kali ini mereka sedang berada di sebuah private room sebuah cafe. Keduanya bisa melihat panorama hiburan malam dari lantai atas ruangan itu. Ada penari pollydance juga peny
Stella langsung luruh besujud di kaki Aletha. Wanita itu menangis histeris tak mampu mengontrol dirinya. Setelah lima tahun menahan bibirnya agar terus terkatup, kini ia harus mengakui dirinya di depan putrinya itu. "Aku mohon maaf telah meninggalkanmu setelah kau dilahirkan. Itu karena aku sakit! Jiwaku sakit juga tubuhku. Banyak peristiwa dalam perjalanan hidupku yang membuatku harus meninggalkan kehidupan bersama ayahmu. Jangan benci aku, Aletha. Aku mohon ...." Stela mengiba tak segan memeluk kaki putrinya. Sedangkan Aletha masih menatap kosong tak berkedip. Peluru yang dia lepaskan secara bebas di udara seperti menembus ke jantungnya. Yang baru saja dia dengar itu seperti mimpi. Bagaimana wanita yang selama ini menjadi pelayan di rumahnya adalah ibunya? Bodohnya lagi, ia tak mengenalinya sama sekali. "Harusnya aku bahagia karena kau masih hidup dan ada di depanku saat ini. Tapi mengapa hatiku semakin sakit? Nipon mengiyakan ucapan ayahku bahwa kau pernah akan melemparku ke la
Nindi mendekati Baron yang melepeh cerutunya dengan kasar. Terlihat pipi tua Baron berkedut bersama dengan hidungnya kembang kempis karena marah."Bertengkar lagi dengan putrimu?" tanya Nindi meletakkan secangkir kopi jahe untuk pasangannya itu."Otaknya sudah tenggelam di laut. Gadis bodoh! Dengan entengnya dia mengatakan akan menyerang. Pastilah dia takut putra Angel dilukai lebih dulu. Puiiih! Cinta kotoran kucing!" umpat Baron dengan napasnya tersenggal-senggal."Hemmmm ... berarti saatnya kita melakukan planning B, Sayang."Nindi tersenyum licik. Sekarang dia sudah membuktikan pada Baron bahwa ia sangat cerdas dan berpikiran jauh ke depan. Jangan kira selama ini dia diam. Selain memantau ratusan pasukan Baron di pulau seberang, ia juga mempersiapkan boom yang siap diledakkan sebelum penyerangan sesungguhnya."Yah. Rupanya kau benar, Sayang. Aku percayakan p
Baron dan Nindi hanya menatap sinis pada Stella. "Satu lagi, jika putriku di sini, jauhkan para gundikmu dari pandangannya. Dia tertekan." "Apa dia yang mengadu padamu? Kau sudah menemui Aletha?!" tanya Baron membelalak. Rasa was-was seketika merayap cepat di hatinya. Jangan sampai Aletha makin membangkang padanya. Dia terancam tidak memiliki alat untuk menekan Aletha lagi jika ibu dan anak itu sudah bertemu. "Bukan urusanmu," timpal Stella dingin. "Stella!" "Sudah Sayang, jangan pedulikan wanita keras kepala seperti dia," lirih Nindi meraih pinggang Baron dengan penuh kasih sayang. Nindi benar-benar mencurahkan hatinya pada Baron sebab hanya pria itu yang memperlakukannya selayaknya wanita tanpa cacat. Gubraaaak! Stella menendang meja di depannya hingga Nindi dan Baron kompak langsung tersungkur ke belakang. Stella menaikkan bokongnya ke atas meja lalu meluncur tepat di depan Nindi. "Kau bilang apa tadi? Hari ini, pertempuran yang kalian persiapkan harus kuawali dengan d
Yudha membeliak, kaget luar biasa. Ia masih tidak percaya dengan ucapan Tukiyem. Tantenya yang sudah menghilang selama dua puluh tahun, tiba-tiba muncul di rumahnya? Yudha langsung bangun."Tante Carla?" tanya Luna tak kalah terkejutnya."Iya, Nyonya. Dia datang sendirian sambil nangis. Saya minta dia masuk tapi dia terus menangis dan sekarang masih menangis di tanah depan gerbang. Saya gak ngerti dia ngomong apa, Nyonya."Yudha langsung lari keluar. Farid yang masih terperangah berusaha lari menyusul ayahnya. Luna mengusap wajahnya seperti tak percaya. Setelah Ratih dikebumikan, tanpa ucapan apa pun, tiba-tiba Carla menghilang. Wanita itu membawa sebagian besar perhiasan Ratih dan uang yang dimiliki kakaknya itu."Si-siapkan kamar untuknya. Suguhkan yang terbaik." Luna mendesis lalu memasang cadarnya. Dengan jantung berdebar, wanita itu membawa kakinya keluar. Bersama Carla, ia mem
"Tubuhmu masih nyeri, Sayang?" tanya Baron mendekati Nindi. "Pertanyaanmu konyol. Itu hanya pertempuran anak TK," jawab Nindi ketus. Baron tersenyum dan memencet hidung Nindi, menggodanya. "Lalu kenapa kamu murung begini? Apa masih sakit hati memikirkan ucapan Stella. Kau tak perlu mengacuhkannya. Dari dulu mulutnya memang suka mengumpat." "Tidak, aku tidak selemah itu."Nindi mengelak menyembunyikan perasaannya yang sesungguhnya. Ia tak ingin menunjukkan sisi lemahnya pada Baron. Ia harus memiliki jiwa yang sempurna dan terlihat kuat agar tetap menjadi layak untuk mendampingi Baron. "Lalu apa yang mengusik pikirkan jantung hatiku ini?" desah Baron mengelus pipi Nindi. Sedikit sentuhan untuk mengangkat rasa percaya diri wanitanya. Baron tahu itu. "Aku hanya memikirkan rencana apa selanjutnya jika kau meng-cancel rencana kita," jawab Nindi murung dan semakin murung saat Baron membelai kepalanya yang masih terasa sakit. "Tidak ada yang berubah, Sayang. Semua akan berjalan se
Kini villa itu sudah sepi, bahkan tempat sesepi itu tidak memiliki penjaga. Aleksei mondar-mandir tak karuan. Sedari tadi dia berusaha sibuk, merapikan hal yang remeh temeh padahal penjaga catring sudah merapikan semuanya. Sumpah demi apa pun, jantungnya dari tadi berdegup kencang seperti ditabuh keras-keras. Ia mencari apa lagi yang dia bisa kerjakan asal tidak masuk ke dalam kamar itu. Bahkan melihat ke arah pintu kamar saja dia tidak sanggup karena dia tahu, di dalam sana ada seseorang yang menjadi pujaannya seumur hidup. "Sial, aku harus apa lagi?!" Aleksei melihat jam dinding, dan terlihat sudah jam dua dini hari. Semua sudah rapi, sudah pada di tempatnya. Pria itu kembali mondar mandir. Menyesal dia menyimpan laptop dan ponselnya di kamar tempat Luna berada. "Ya, aku tahu," ucap Aleksei sendirian membuka laci dan membungkuk mencari gunting tanaman dan sabit. "Aku bersihkan taman saja," desisnya mantap. Crinnnng!!! Kedua benda itu jatuh karena pria itu terkejut luar biasa seba
"Maaf, aku mengganggu waktumu," ucap Yudha di depan Aleksei yang memperbaiki posisi kacamata hitamnya. Mereka bertemu di sebuah cafe di pinggir pantai. Ombak di sore hari terlihat lebih besar. "Tidak masalah. Maaf juga aku harus membuatmu menunggu. Aku benar-benar harus meeting tadi."Yudha tersenyum lalu menegak kopinya. Ia mengeluarkan rokok dan menyodorkannya pada Aleksei. "Rokok favoritmu," ucap Yudha menawarkan namun yang cukup membuat Aleksei terkejut, Yudha pun menyalakan putung rokok itu untuk dirinya sendiri. "Sejak kapan kau merokok?""Sejak tidak ada paru-paru lain yang kujaga," jawab Yudha santai menyesap asap. Aleksei hanya menoleh lalu membuang wajah, memilih menatap ombak yang berdebur. "Kau pasti tidak merokok lagi sekarang, karena ada paru-paru lain yang kau jaga, bukan?" lanjut Yudha. Aleksei kebingungan dan salah tingkah. Ia meraih rokok itu lalu akan membakarnya. Yudha menahan tangan pria itu. "Tidak perlu. Its oke. Aku tahu, kau tidak merokok lagi sejak operas
Aleksei merasa seperti sedang diguyur berton-ton tumpukan bunga. Harum, lembut tapi terlalu banyak. Ia tidak bisa bernapas. Pria itu melihat ke bawah, ke samping, bahkan ia harus mendongak ke atas untuk mencari udara. Tak .... Tak .... Langkah Luna mendekat, dan itu membuat Aleksei refleks mundur. Wanita itu justru tersenyum melihat ekspresi Aleksei sekaget itu. "Jangan main-main kamu, Angel. Kita sudah berumur, jangan bicara yang tidak-tidak," ucap Aleksei mengusap wajahnya. "Kenapa memangnya? Kalau kita bersama terus, tanpa ada hal yang urgent, jatuhnya fitnah, lo!""Untuk bertemu denganmu meski hanya satu menit, itu sudah ranah urgent."Luna berhenti dan justru menutup mulutnya tertawa. "Ya sudah, mari kita menikah supaya tiap menit bisa bertemu," goda Luna. "Memang pandai sekali kamu mempermainkan hati," ucap Aleksei menghembuskan kasar napasnya. "Jadi kau menolakku? Tak ingin menikahiku?""Eiih?!"Aleksei hanya melongo. Dia seperti tidak menapak lagi di bumi mendengar ucap
Dua minggu kemudian .... "Katakan padaku, kenapa Angel tidak pernah datang mengunjungiku?" tanya Aleksei ketika Daniel sedang memeriksa tensi darahnya. "Syukurlah, semuanya berjalan lancar dan kondisi Anda juga semakin baik, Tuan.""Jangan alihkan pembicaraan, katakan kemana Angel? Apa dia baik-baik saja?" "Ya, Nyonya Angel baik-baik saja. Jika transplantasi Anda berhasil, Anda akan bisa melihatnya lagi meski mungkin tidak seterang penglihatan Anda sebelumnya.""Aku lega dia baik-baik saja. Tapi kenapa dia tidak mendatangiku sejak aku operasi? Wanita itu," gerutu Aleksei mengelus perban di matanya. "Perban Anda sudah bisa dibuka. Apa Anda siap?""Tolong panggilkan aku Angel, saat mataku terbuka, aku ingin melihat dia pertama kali."Dokter Daniel terenyuh mendengar semua ucapan Aleksei. Jelas sekali dari getaran suara pria itu, Aleksei benar-benar sangat mencintai sosok Angel Gracelia. "Maaf, Tuan. Nyonya Angel belum bisa menemui Anda kemari. Tapi tidak masalah, Anda yang bisa mene
"Bagaimana keadaannya?" tanya Luna dengan wajah tegang. "Selama Anda pergi, kami sudah tiga kali menyuntikkan obat penahan rasa sakit dan antibiotik.""Suntikan cairan ini pada bahu Aleksei."Luna menyerahkan tabung itu pada dokter Daniel. Pria itu melihat benda yang di tangannya itu lamat-lamat. "Cairan apa ini? Dingin sekali sampai menembus tulang.""Penawar racun itu. Cepat suntikan sekarang, Daniel."Dokter Daniel mengangguk dan matanya menangkap keberadaan Farid yang sedang dibersihkan lukanya. Nampak luka itu jauh lebih segar, tidak bengkak lagi dan tidak hitam. Sudah seperti daging biasa. "Bagaimana itu terjadi?""Racun dan penawar itu diciptakan oleh sosok yang paling hebat. Sudah, suntikan segera dan agar kau tenang kembali bekerja."Tak menunggu lagi, dokter yang berpostur tinggi itu langsung bergegas menuju ruang perawatan Aleksei. "Siapa?! Angel, kau kah itu?" tanya Aleksei terkejut saat terdengar suara pintu terbuka. "Bukan, Tuan. Saya, Daniel. Bagaimana perasaan Anda
Helena menggeleng sembari menutup mulutnya yang sudah tertutup cadar. "Helena! Berikan sandi itu! Kasihan putraku kesakitan seperti itu. Apa pun yang kau inginkan dariku, aku akan memberikannya!"Helena terus menggeleng dan membuat Luna semakin putus asa. Gadis itu justru mundur, mundur dan berbalik arah, seperti melarikan diri. Kakinya berlari sangat kencang masuk ke dalam rumahnya. "Helena! Helena!!!" teriak Luna sekencang-kencangnya. Wanita itu sampai memukul tanah tempatnya mengesot hingga kotor pakaiannya. Berdentam tanah itu karena amukan Luna. Suara tangisan Luna menyeruak penuh ketakutan dan kemarahan. "Wanita sialan! Awas kau! Akan kumakan kau hidup-hidup!" seru Eldor sudah berdiri akan mengejar Helena tapi langkahnya tertahan melihat Farid muntah darah. Silsilia sedari tadi menahan pemuda itu agar tidak terlalu mengamuk sebab banyak juga pot bunga, dan batu di sekitar tempat itu. "Oooh demi leluhur Razoore! Aaah sial!" Eldor memukul kosong di udara. Urat-urat tangannya ti
Di dalam mobil, Karmila masih diam. Sama sekali tak bicara setelah beberapa menit berada di samping Yudha yang saat ini fokus menyetir."Luna tidak mau rujuk," ucap Yudha tiba-tiba."Oh ya? Hmm ... mungkin dia butuh lebih banyak waktu lagi," sambut Karmila salah tingkah. Sedari tadi pikirannya dipenuhi dengan banyak pertimbangan. "Entahlah. Dia bukan jenis wanita yang mudah goyah setelah mengambil keputusan," timpal Yudha mengembuskan napasnya kasar. "Jadi kau menyesal telah menceraikannya?""Ya. Aku terlalu mengikuti emosiku. Aku tidak memandang jernih setiap sisi masalah. Menyesal, aku sangat menyesal."Karmila tidak berkata apa-apa lagi. Ia pernah menyerah, lalu kembali mencoba dan sekarang hempas lagi. Suasana menjadi hening kembali. Yudha menoleh sekilas pada Karmila yang terlihat kosong. "Tadi, Farid makan buah-buahan yang kamu bawa. Dia memang suka sekali dengan anggur, sama seperti ibunya," lanjut Yudha kembali bicara mencairkan suasana. "Syukurlah. Dia memang pemuda yang b
"Nona! Nooooon!" teriak Rumayah menggedor pintu Helena. "Kenapa, Mbok?!"Helena keluar tetap menggunakan hijabnya namun kali ini, ia menggunakan cadarnya. Bekas cakaran Sofia belum bisa dihilangkan meskipun ia rutin merawatnya. "Ada ... ada banyak orang yang sedang nyari Nona! Salah satunya, pria besar yang dulu pernah ke sini!"Helena terhenyak sebentar lalu memperat simpul tali cadarnya. "Tenanglah Mbok. Yang akan terjadi, biarlah terjadi."Helena melangkah tanpa ragu. Wajahnya yang rusak adalah hal yang membuatnya tidak memiliki rasa takut lagi. Bahkan, beberapa kali ia berpikir untuk mengakhiri saja hidupnya tapi dia tahu, itu hal yang paling dibenci Allah. Setidaknya, ia tidak ingin mati bunuh diri, lebih baik dibunuh saja. Gadis itu sudah pada puncak putus asa. "Katakan pada Amang, jangan keluar, jangan ikut campur. Ini urusanku. Apa pun yang terjadi padaku, kalian jangan terlibat," ujar Helena datar. "Tapi, Non ....""Tinggallah di sini, biar aku sendiri yang menghadapi mer
Farid mendorong kursi roda yang diduduki Luna dengan sangat tergesa-gesa. "Kami sudah memindahkannya ke dalam ruangan steril, tidak bisa dimasuki kecuali tenaga medis yang berpakaian lengkap," ucap dokter Daniel sembari terus melangkah cepat. "Kau harus melakukan yang terbaik, Daniel. Aku akan membayar berapa pun jumlah yang kau butuhkan.""Jangan dipikirkan, Nyonya. Anda bisa menemuinya. Kami memberikan waktu lima menit. Sekarang, pakailah alat pelindung ini," ucap Daniel sampai di sebuah ruangan kecil. Luna memakai baju pelindung dan masker juga penutup kepala lengkap. Daniel mempersilakannya masuk dan menunjukkannya jam tangan sebagai tanda dia tidak memiliki waktu yang banyak. "Apakah mereka akan baik-baik saja?" tanya Farid mengintip dari kaca. Terlihat Luna mendekati Aleksei dengan memutar kursi rodanya dengan cepat. "Aku harap semua baik-baik saja," ujar Daniel berdebar. Untuk pertama kali dia menangani kasus sedahsyat itu. Ada bakteri jahat yang aneh dan cepat sekali berege