Cieeeee … yang ketemuan sama mantan* Ratna
*Wiiiih … hotel. Hotel MorningSun pula* Nindi
Aku memucat melihat pesan WA grup keluargaku. Pastilah Luna sudah melihat pesan ini.
Saat Ini sudah malam, gara-gara kasus dengan Ruminang, aku harus menyelesaikan pekerjaanku sampai malam di kantor dan baru melihat ponsel. Kondisi ini tidak menguntungkan. Pastilah Luna makin salah paham.
“Ratna, Nindi, kalian keterlaluan!” gerutuku mencoba menelpon mereka.
Setelah beberapa kali kuhubungi, mereka tak mengangkat.
*Angkat atau kalian bukan adikku!* ancamku mengirimi Nindi dan Ratna pesan.
Nindi tak menggubris pesanku, aku tak heran, dialah adikku yang paling membangkang. Suatu hari, aku akan serius menemuinya. Dia sudah keterlaluan. Pastilah dia yang menyetir Ratna.
“Halo,” jawab Ratna. Akhirnya
Luna terpaksa menelpon Aderald.“Hallo My Angel. Sesuai permintaanmu, aku tak menggubris foto itu. Terima kasih kau mempercayai cucuku dan maafkan cucuku yang lain,” ujarnya sambil terbatuk-batuk.“Kau sedang sakit Aderald?” tanya Luna khawatir.“Usia adalah pengikis kesehatan yang pasti, My Angel,” lagi-lagi Aderal batuk, kali ini lebih kencang.“Aku akan membawamu ke dokter sekarang! Kau dimana?”“Jangan khawatirkan aku My Angel. Aku sedang agak jauh dari situ. Aku ingin sedikit beristirahat. Semua pekerjaan bisniss telah aku amanahkan pada Marimar dan Gaston.”“Aku mohon. Jangan sakit, Aderald. Kau harus tetap hidup untuk menjagaku,” pinta Luna dengan suara parau.Tenggorokan Luna tercekat. Ia berusaha keras untuk tidak menangis. Namun tak bisa. Ia kalah. Luna teri
"Deek!!! Pelan-pelan, kau mau kita mati sia-sia?!!!" teriakku di telinga Luna. Aku memeluknya dengan sangat erat. Laju motor ini sudah seperti kilat. Apa istriku sebenarnya adalah pemain moto GP?"Diam saja!!! Pegang eraaat!!!" teriaknya lalu membawa motor itu menyalip truk kontainer. Sekarang aku sudah mati, jantungku sudah tak berfungsi lagi."Ddddeeeek ...," ucapku gemetar, ternyata aku masih hidup. Masih memeluk pinggangnya."Sebentar lagi kita akan sampai. Pegang erat-erat, Mas!" teriaknya.Ooh Tuhan apalagi ini. Aku memejamkan mata. Aku bersyahadat secepatnya meskipun belepotan karena bibirku sudah terbawa angin. Memble maksimal. Aku takut ini adalah hari terakhirku di bumi.Wuuuusssssssshhhhhh!!!!Luna menyalip sekaligus belok dengan kencang. Rasanya aspal dan telinga hanya sejengkal."Deeeeeeeeek ...."Aku ingin menangis karena terlalu takut. Selama di atas motor, aku benar-benar melupakan tentang penyebab aku harus sampai kantor. Seperti biasa, istriku selalu membuatku tak hab
Perlahan Aleksei menyalakan komputerku.Ternyata layarnya sudah muncul kembali seperti semula. Fotoku bergandengan dengan Luna, dengan senyum lebar dan mata yang berbinar. Pose ketika kami menikah. Seketika perasaanku jauh membaik. Seperti meneguk air yang nyata, bukan sekedar oase.Melihat layar komputerku menyala, aku seperti melihat cahaya kehidupan."Data-data sudah kembali pulih, Pak! Semua sudah berbalik normal!" teriak karyawanku.Aku bernafas lega. Tiba-tiba senyumku terukir begitu saja."Ciiih ... udik," cebik Aleksei melihat layar, lalu disambut oleh cubitan Luna.Aku merasa tak keberatan sama sekali, biar laki-laki itu tahu rasanya dicubit istriku.Aleksei meringis."Itulah yang tiap hari kurasakan, selalu dicubitnya dengan tangan kecilnya itu!" seruku mencoba mendekati Aleksei lebih dekat.
"Berhari-hari kamu meninggalkan rumah, sekarang kamu mau pergi lagi, Yank?" tanya Aleksei pada Ratna yang sedang berdandan."Buat apa di rumah lama-lama, Mas, toh semua fokusmu pada wanita idamanmu, istri orang," timpal Ratna."Sudah aku katakan, aku akan mengabulkan semua permintaanmu. Aku akan menjadi suami yang sigap. Tapi tolong, abaikan perasaanku pada Angel. Sangat sulit sekali menghapus perasaan ini Ratna. Tolong mengertilah," lirih Aleksei mendekati Ratna.Ratna menghentakkan kakinya."Mudah sekali kamu bicara, Mas. Istri mana yang sanggup punya suami yang mengidamkan perempuan lain! Istri kakaknya pula! Hampir kau buat aku tak waras, Mas!" seru Ratna.Aleksei hanya bisa diam. Iapun tak mengerti dengan dirinya sendiri."Pagi-pagi kamu sudah memenuhi panggilan wanita uuul ...!"Ratna menghentikan ucapa
POV YUDHABegitu hangat rasanya selimut ini. Meski aku telah mendengar suara adzan isya, aku makin melingkarkan tanganku di pinggangku sendiri.Suara musik dangdut lawas kesukaanku begitu asik terdengar di telinga. Malam ini ustadz Fuad dan istrinya izin tak mengajar jadi aku sangat bebas."Mas! Kecilkan musiknya!" seru Luna dari kamar samping.Aku tak peduli. Sedang asik malah disuruh matikan."Mas! Kamu ya!"Luna tiba-tiba masuk dan mematikan dangdut lawasku di laptop."Aaah Dek, lagi seru ih. Lagi PW, Posisi Wueeennak aku nih!""Meskipun guru ngaji tak datang, insiatif dong Mas, ngaji sendiri, hafalan sendiri," gerutu Luna.Aku makin membenamkan wajahku ke dalam bantal."Ooo ...," terdengar suara Luna menjauh, semoga saja istr
Luna menghampiri suaminya dan Aleksei yang sedang bicara. Dari raut wajah sahabatnya itu, sesuatu yang penting sedang terjadi."Mas, aku izin bicara empat mata dengan Aleksei. Mohon dimengerti," ucap Luna mendekati suaminya.Yudha yang masih kebingungan hanya mengangguk. Dia tak ingin lupa, jasa Aleksei memulihkan perusahaannya. Ia memilih untuk menerima kehadiran laki-laki itu, bicara dengan istrinya."Ada apa?""Igor Lenya, tidak, maksudku Aderald. Dia akan bertemu dengan Miss Haram," ucap Aleksei.Membeliak mata Luna."Apa maksudmu? Dia takkan pernah mengambil langkah sebesar itu tanpa persetujuanku!""Dia sedang dijebak. Kau tahu, Ratna merekomendasikan Ayu Ruminang bertemu kakeknya untuk transaksi berlian," jawab Aleksei."Kenapa kau tak mencegahnya?!"Luna
"Apa katamu, Mas?! Kamu mengajak wanita iblis itu pergi?! Kau memilih meninggalkan aku hanya untuk bisa terus bersama dia? Kalau itu niatmu, kenapa kamu nikahi aku, Aleksei! Laki-laki biadap!"Ratna menggucang suaminya lebih keras lagi. Aleksei hanya pasrah saja ketika tubuhnya dipukul berkali-kali oleh istrinya.Mendapati suaminya hanya pasrah saja, Ratna semakin tak terkendali. Wanita itu melempar semua benda yang di dekatnya. Termasuk laptop dan ponsel Aleksei!"Mampus! Kau takkan bisa melihat dan mendengar suara wanita iblis itu, Mas! Mampus! Mati! Mati!"Ratna meracau sendiri. Ia merasa hatinya begitu hancur. Didekatinya Aleksei yang masih berbaring mabuk.Plaaaaak!!!Ratna menampar suaminya.Aleksei terbatuk lalu muntah.Cairan beraroma alkohol itu menyeruak membuat hidung Ratna mengempis.
Ratna tersadar dari pingsannya. Ia memegang tengkuknya yang terasa sakit."Dimana aku?" desisnya ketika ia melihat di sekelilingnya, hanya ruangan kosong dan tepat di depannya, ada jeruji besi.Ratna membeliak.Ia langsung berlari dan mengguncang-guncangkan besi itu."Lepaskan!!! Lepaskan!!!"Laki-laki tinggi besar bertopeng kadal muncul di depannya."Aaaaaaiikkk!!!Ratna memekik dan mundur."Jangan berisik!" serunya dengan suara yang terdengar sangar.Tak ada suara lagi yang keluar dari mulut Ratna. Tubuhnya bergetar hebat karena ketakutan. Tepat saat itu, sosok wanita tinggi, seksi, lengkap dengan sebuah senjata di pinggang, berdiri di depannya.Ratna mundur menjauh. Wajahnya seputih kapas."Siapa kamu?"
Kini villa itu sudah sepi, bahkan tempat sesepi itu tidak memiliki penjaga. Aleksei mondar-mandir tak karuan. Sedari tadi dia berusaha sibuk, merapikan hal yang remeh temeh padahal penjaga catring sudah merapikan semuanya. Sumpah demi apa pun, jantungnya dari tadi berdegup kencang seperti ditabuh keras-keras. Ia mencari apa lagi yang dia bisa kerjakan asal tidak masuk ke dalam kamar itu. Bahkan melihat ke arah pintu kamar saja dia tidak sanggup karena dia tahu, di dalam sana ada seseorang yang menjadi pujaannya seumur hidup. "Sial, aku harus apa lagi?!" Aleksei melihat jam dinding, dan terlihat sudah jam dua dini hari. Semua sudah rapi, sudah pada di tempatnya. Pria itu kembali mondar mandir. Menyesal dia menyimpan laptop dan ponselnya di kamar tempat Luna berada. "Ya, aku tahu," ucap Aleksei sendirian membuka laci dan membungkuk mencari gunting tanaman dan sabit. "Aku bersihkan taman saja," desisnya mantap. Crinnnng!!! Kedua benda itu jatuh karena pria itu terkejut luar biasa seba
"Maaf, aku mengganggu waktumu," ucap Yudha di depan Aleksei yang memperbaiki posisi kacamata hitamnya. Mereka bertemu di sebuah cafe di pinggir pantai. Ombak di sore hari terlihat lebih besar. "Tidak masalah. Maaf juga aku harus membuatmu menunggu. Aku benar-benar harus meeting tadi."Yudha tersenyum lalu menegak kopinya. Ia mengeluarkan rokok dan menyodorkannya pada Aleksei. "Rokok favoritmu," ucap Yudha menawarkan namun yang cukup membuat Aleksei terkejut, Yudha pun menyalakan putung rokok itu untuk dirinya sendiri. "Sejak kapan kau merokok?""Sejak tidak ada paru-paru lain yang kujaga," jawab Yudha santai menyesap asap. Aleksei hanya menoleh lalu membuang wajah, memilih menatap ombak yang berdebur. "Kau pasti tidak merokok lagi sekarang, karena ada paru-paru lain yang kau jaga, bukan?" lanjut Yudha. Aleksei kebingungan dan salah tingkah. Ia meraih rokok itu lalu akan membakarnya. Yudha menahan tangan pria itu. "Tidak perlu. Its oke. Aku tahu, kau tidak merokok lagi sejak operas
Aleksei merasa seperti sedang diguyur berton-ton tumpukan bunga. Harum, lembut tapi terlalu banyak. Ia tidak bisa bernapas. Pria itu melihat ke bawah, ke samping, bahkan ia harus mendongak ke atas untuk mencari udara. Tak .... Tak .... Langkah Luna mendekat, dan itu membuat Aleksei refleks mundur. Wanita itu justru tersenyum melihat ekspresi Aleksei sekaget itu. "Jangan main-main kamu, Angel. Kita sudah berumur, jangan bicara yang tidak-tidak," ucap Aleksei mengusap wajahnya. "Kenapa memangnya? Kalau kita bersama terus, tanpa ada hal yang urgent, jatuhnya fitnah, lo!""Untuk bertemu denganmu meski hanya satu menit, itu sudah ranah urgent."Luna berhenti dan justru menutup mulutnya tertawa. "Ya sudah, mari kita menikah supaya tiap menit bisa bertemu," goda Luna. "Memang pandai sekali kamu mempermainkan hati," ucap Aleksei menghembuskan kasar napasnya. "Jadi kau menolakku? Tak ingin menikahiku?""Eiih?!"Aleksei hanya melongo. Dia seperti tidak menapak lagi di bumi mendengar ucap
Dua minggu kemudian .... "Katakan padaku, kenapa Angel tidak pernah datang mengunjungiku?" tanya Aleksei ketika Daniel sedang memeriksa tensi darahnya. "Syukurlah, semuanya berjalan lancar dan kondisi Anda juga semakin baik, Tuan.""Jangan alihkan pembicaraan, katakan kemana Angel? Apa dia baik-baik saja?" "Ya, Nyonya Angel baik-baik saja. Jika transplantasi Anda berhasil, Anda akan bisa melihatnya lagi meski mungkin tidak seterang penglihatan Anda sebelumnya.""Aku lega dia baik-baik saja. Tapi kenapa dia tidak mendatangiku sejak aku operasi? Wanita itu," gerutu Aleksei mengelus perban di matanya. "Perban Anda sudah bisa dibuka. Apa Anda siap?""Tolong panggilkan aku Angel, saat mataku terbuka, aku ingin melihat dia pertama kali."Dokter Daniel terenyuh mendengar semua ucapan Aleksei. Jelas sekali dari getaran suara pria itu, Aleksei benar-benar sangat mencintai sosok Angel Gracelia. "Maaf, Tuan. Nyonya Angel belum bisa menemui Anda kemari. Tapi tidak masalah, Anda yang bisa mene
"Bagaimana keadaannya?" tanya Luna dengan wajah tegang. "Selama Anda pergi, kami sudah tiga kali menyuntikkan obat penahan rasa sakit dan antibiotik.""Suntikan cairan ini pada bahu Aleksei."Luna menyerahkan tabung itu pada dokter Daniel. Pria itu melihat benda yang di tangannya itu lamat-lamat. "Cairan apa ini? Dingin sekali sampai menembus tulang.""Penawar racun itu. Cepat suntikan sekarang, Daniel."Dokter Daniel mengangguk dan matanya menangkap keberadaan Farid yang sedang dibersihkan lukanya. Nampak luka itu jauh lebih segar, tidak bengkak lagi dan tidak hitam. Sudah seperti daging biasa. "Bagaimana itu terjadi?""Racun dan penawar itu diciptakan oleh sosok yang paling hebat. Sudah, suntikan segera dan agar kau tenang kembali bekerja."Tak menunggu lagi, dokter yang berpostur tinggi itu langsung bergegas menuju ruang perawatan Aleksei. "Siapa?! Angel, kau kah itu?" tanya Aleksei terkejut saat terdengar suara pintu terbuka. "Bukan, Tuan. Saya, Daniel. Bagaimana perasaan Anda
Helena menggeleng sembari menutup mulutnya yang sudah tertutup cadar. "Helena! Berikan sandi itu! Kasihan putraku kesakitan seperti itu. Apa pun yang kau inginkan dariku, aku akan memberikannya!"Helena terus menggeleng dan membuat Luna semakin putus asa. Gadis itu justru mundur, mundur dan berbalik arah, seperti melarikan diri. Kakinya berlari sangat kencang masuk ke dalam rumahnya. "Helena! Helena!!!" teriak Luna sekencang-kencangnya. Wanita itu sampai memukul tanah tempatnya mengesot hingga kotor pakaiannya. Berdentam tanah itu karena amukan Luna. Suara tangisan Luna menyeruak penuh ketakutan dan kemarahan. "Wanita sialan! Awas kau! Akan kumakan kau hidup-hidup!" seru Eldor sudah berdiri akan mengejar Helena tapi langkahnya tertahan melihat Farid muntah darah. Silsilia sedari tadi menahan pemuda itu agar tidak terlalu mengamuk sebab banyak juga pot bunga, dan batu di sekitar tempat itu. "Oooh demi leluhur Razoore! Aaah sial!" Eldor memukul kosong di udara. Urat-urat tangannya ti
Di dalam mobil, Karmila masih diam. Sama sekali tak bicara setelah beberapa menit berada di samping Yudha yang saat ini fokus menyetir."Luna tidak mau rujuk," ucap Yudha tiba-tiba."Oh ya? Hmm ... mungkin dia butuh lebih banyak waktu lagi," sambut Karmila salah tingkah. Sedari tadi pikirannya dipenuhi dengan banyak pertimbangan. "Entahlah. Dia bukan jenis wanita yang mudah goyah setelah mengambil keputusan," timpal Yudha mengembuskan napasnya kasar. "Jadi kau menyesal telah menceraikannya?""Ya. Aku terlalu mengikuti emosiku. Aku tidak memandang jernih setiap sisi masalah. Menyesal, aku sangat menyesal."Karmila tidak berkata apa-apa lagi. Ia pernah menyerah, lalu kembali mencoba dan sekarang hempas lagi. Suasana menjadi hening kembali. Yudha menoleh sekilas pada Karmila yang terlihat kosong. "Tadi, Farid makan buah-buahan yang kamu bawa. Dia memang suka sekali dengan anggur, sama seperti ibunya," lanjut Yudha kembali bicara mencairkan suasana. "Syukurlah. Dia memang pemuda yang b
"Nona! Nooooon!" teriak Rumayah menggedor pintu Helena. "Kenapa, Mbok?!"Helena keluar tetap menggunakan hijabnya namun kali ini, ia menggunakan cadarnya. Bekas cakaran Sofia belum bisa dihilangkan meskipun ia rutin merawatnya. "Ada ... ada banyak orang yang sedang nyari Nona! Salah satunya, pria besar yang dulu pernah ke sini!"Helena terhenyak sebentar lalu memperat simpul tali cadarnya. "Tenanglah Mbok. Yang akan terjadi, biarlah terjadi."Helena melangkah tanpa ragu. Wajahnya yang rusak adalah hal yang membuatnya tidak memiliki rasa takut lagi. Bahkan, beberapa kali ia berpikir untuk mengakhiri saja hidupnya tapi dia tahu, itu hal yang paling dibenci Allah. Setidaknya, ia tidak ingin mati bunuh diri, lebih baik dibunuh saja. Gadis itu sudah pada puncak putus asa. "Katakan pada Amang, jangan keluar, jangan ikut campur. Ini urusanku. Apa pun yang terjadi padaku, kalian jangan terlibat," ujar Helena datar. "Tapi, Non ....""Tinggallah di sini, biar aku sendiri yang menghadapi mer
Farid mendorong kursi roda yang diduduki Luna dengan sangat tergesa-gesa. "Kami sudah memindahkannya ke dalam ruangan steril, tidak bisa dimasuki kecuali tenaga medis yang berpakaian lengkap," ucap dokter Daniel sembari terus melangkah cepat. "Kau harus melakukan yang terbaik, Daniel. Aku akan membayar berapa pun jumlah yang kau butuhkan.""Jangan dipikirkan, Nyonya. Anda bisa menemuinya. Kami memberikan waktu lima menit. Sekarang, pakailah alat pelindung ini," ucap Daniel sampai di sebuah ruangan kecil. Luna memakai baju pelindung dan masker juga penutup kepala lengkap. Daniel mempersilakannya masuk dan menunjukkannya jam tangan sebagai tanda dia tidak memiliki waktu yang banyak. "Apakah mereka akan baik-baik saja?" tanya Farid mengintip dari kaca. Terlihat Luna mendekati Aleksei dengan memutar kursi rodanya dengan cepat. "Aku harap semua baik-baik saja," ujar Daniel berdebar. Untuk pertama kali dia menangani kasus sedahsyat itu. Ada bakteri jahat yang aneh dan cepat sekali berege