Assalamu'alaikum selamat pagi🌄🙋 Senggol GEM dong😍
Tak ... Tak ... Langkah kaki wanita itu menghentak lembut tapi setiap pria penjaga istana batu itu langsung mengangguk dan menunduk sampai suara kakinya tak terdengar lagi. "Oh ... aku tidak menyangka akan menginjakkan kaki di sini," sapanya ketika sudah sampai pada ruangan pertemuan yang didominasi warna kuning temaram lilin-lilin aromatik. "Masuklah, Bella. Aku sangat merindukanmu!" Sofia menjalankan kursi rodanya sendirian mendekat. Pandangan Sofia tak berkedip. Wanita itu di depannya itu seperti bidadari. Wanita yang menutupi kepalanya dengan pasmina tipis, sekedar menutup saja sedangkan rambutnya tebal terurai hingga ke pinggangnya. Sofia terkesan sekali. Bella terlihat lebih muda, jauh sangat muda padahal umur mereka sama. Semua orang mengatakan Queen Sofia adalah simbol kecantikan para mafia yang bermarkas di bawah tanah, tapi kecantikan Bella di mata Sofia sungguh sempurna. Bahkan wanita itu melebihi sosok Angel Gracalia. Kulit Bella lebih kencang dan hampir tak memili
Sejenak Bella terhenyak. Pantas saja tatapan Aleksei pada Sofia dingin. Entah apa kesalahan wanita di depannya itu, Bella sudah berusaha untuk tetap menggenggam rahasianya. "Ooh Poor my baby ... Maafkan aku Sofia. Aku turut bersedih. Semoga hati Aleksei kembali padamu. Kau sudah cantik seperti ini. Sungguh, mungkin ini hanya kebetulan. Aku sedikit effort dengan tubuhku. Hindari stress, kau akan tetap cantik dan muda," ucap Bella tersenyum pada Sofia. "Berhenti terus menipuku, Bel. Aku membutuhkan rahasiamu. Mungkin dengan begitu, Aleksei akan kembali padaku. Kau pasti tahu rasanya menjadi aku. Sudahlah kehadiran Angel menjadi penghalang semua perasaan Aleksei padaku, ditambah lagi kondisiku yang semakin menua." "Aku ...." Bella mulai goyah setelah mendengar penuturan Sofia. Jika sudah menyangkut suami, Bella sangat mudah terenyuh. Sebab ia sangat mencintai suaminya. Perlahan Sofia memutar roda kursi rodanya. Ia mendekati Bella hingga mereka benar-benar saling berhadapan. Disentuh
Eldor membuka pintu lemari dengan gerakan cepat. Ia berdiri kokoh tanpa sungkan untuk terlihat bugil di depan Aletha. Masih muak, justru Aletha membuang wajahnya, tak sudi. "Pakai pakaian terbaik. Ibuku memiliki tamu terhormat. Kita harus menemaninya makan malam." "Aku tidak mau," timpal Aletha masih terengah-engah. "Kalau kau tak mau, kubuat kau mau." Eldor terlihat begitu dingin. Pria itu menendang lemari hias di depannya. Aletha menatap pria itu dengan sangat tajam. Ia sangat membencinya sampai membuat udara yang keluar dari dadanya seperti api. Pria di depannya itu bukan suaminya, tapi monster. Bahkan ia merasa, organ vitalnya seperti sudah dikoyak dengan sangat kasar. Aletha merasa, Eldor sedang membunuhnya secara perlahan. "Aku benar-benar sangat lelah. Aku bukan boneka di dalam gudang itu yang bisa kau perlakuan sesukamu! Kau kasar dan tak berperasaan!" "Kau yang membuatku harus menyamakanmu dengan mereka. Sebelumnya kau kuperlakukan lembut seperti gelas kaca. Tapi ka
Luna mengetuk pintu kamar Yudha. "Mas ... Mas ... buka pintunya dong," ucap Luna terdengar manja. Yudha membuka pintu kamar itu dengan wajah terlihat enggan. Luna langsung menerobos masuk. Wanita itu tak menunggu waktu, ia mendorong pintu dengan satu kakinya lalu menarik tubuh suaminya ke dalam pelukannya. "Malam ini ... kita ...." Suara Luna terdengar berat dan mendesah. Ia membuka pakaiannya dan yang tersisa adalah lingerie biru muda yang sangat menggoda. Rambutnya terurai indah, meskipun sudah tak setebal dulu tapi masih sangat terawat. "Apa yang kamu lakukan, Dek?" Yudha tampak terkejut dan berusaha menghindar. "Kira-kira? Menurutmu?" Luna mengelus wajah Yudha dengan sangat lembut. Sejak pertempuran itu, ia tak pernah disentuh suaminya lagi. Wanita itu berharap, dengan dia mendahului, suasana menjadi sedikit mencair dan hati yang beku menjadi meleleh. "Maaf, aku sedang mengantuk sekali, Dek." "Baru jam sepuluh malam, Mas. Ini masih sangat pagi," desah Luna menyentuh
"Ma! Mama!" seru Farid mengetuk pintu ibunya. "Iya, Nak," sahut Luna mencoba berusaha biasa saja. "Itu Papa kenapa keluar selarut ini?" "Itu ... itu karena ... ada rekan bisnis yang kena musibah. Jadi Papamu dimintai tolong." Farid mengangguk-angguk. Ia melihat ponselnya berharap Yudha menghubunginya kembali. Pandangannya melihat ibunya yang sedang menggunakan handuk kimono sampai mata kaki menutup kepalanya dengan handuk. "Mama baik-baik saja? Mama nampak pucat." "Tentu saja Mama baik-baik saja. Mama sedikit kedinginan. Ada yang bisa Mama bantu?" "Nope. Lanjutkan aktifitas, Mama. Aku ke kamar dulu." Farid melihat ibunya mengangguk lalu menutup pintu. Ia pura-pura tidak tahu ketegangan yang terjadi di antara kedua orang tuanya. Pemuda itu berharap, ibu dan ayahnya bisa menyelesaikan masalah mereka seperti tahun-tahun sebelumnya. Dengan langkah gontai, Farid kembali ke dalam kamarnya. "Selama ini kalian saling mencintai dan cinta itulah yang membuat kalian bisa bertahan sej
Aleksei menggigit bibirnya kebingungan. Ia sedang berpikir alasan apa untuk menghindari Bella dan Silsilia setelah dia menandatangani kontrak itu. "Zaenal di mana? Apa mungkin dia membiarkan istrinya melakukan kejahatan sebesar itu?" "Aku sudah bertanya, Bella hanya menjawab suaminya fokus membantunya di lab." "Apa Zaenal tidak tahu tentang racun yang mengerikan itu?" tanya Luna. "Menurutmu bagaimana?" tanya Aleksei kembali, justru dengan wajah bingung. Luna diam. Ia memutar tubuhnya berpikir. Matanya menoleh pada putranya yang sedang berjongkok dan berdiri, begitu seterusnya. Pemuda itu akhir-akhir ini selalu berolahraga dan melatih tekhnik-tekhnik bela diri dasar. Setelah rutinitas pagi itu, barulah ia pergi ke kantor ayahnya atau kursus bisnis. "Aku tidak ingin terlibat dalam kejahatan yang melibatkan banyak orang yang tak berdosa. Tak bisa kubayangkan virus-virus mengerikan yang menjangkiti lalu menyebar. Seperti ular-ular dan kalajengking itu, meleleh dan habis," ujar Al
Sofia sudah berada di kediaman mewah milik Bella. Nampak seperti bangunan rumah yang berukuran luas dilengkapi dengan banyak bodyguard yang berjaga. Rumah itu bertingkat dua bangunan dengan hiasan ornamen yang dominan putih. Tidak ada tanaman di tempat itu. Hanya batu alam yang berjejer menutupi tanah dengan aneka warna dengan susunan membentuk kelopak-kelopak tulip. "Anda hanya boleh masuk sendirian, Nyonya," ucap salah satu pengawal yang menjaga pintu masuk. "Apa tidak apa-apa, Queen?" tanya tiga pria yang datang menemani Sofia. "Tak masalah," timpal Sofia yakin. "Saya bisa membantu Anda," tawar pengawal Bella. "Tidak perlu." Sofia mendorong kursi rodanya dengan kedua tangannya. Sangat tidak nyaman diperlakukan seperti orang lemah. Ia makin marah pada dirinya, kenapa kakinya tidak kunjung kembali bisa normal seperti sediakala. Sedangkan ia mengetahui, Luna juga tak kalah mendapatkan hantaman beruntun saat pertempuran itu tapi wanita itu bisa kembali hidup dengan normal. Sof
"Harusnya aku tidak ceroboh, membiarkanmu memasukin ruangan pribadiku, Sofia. Aku lupa, kau adalah ratu bawah tanah, yang memiliki insting kuat. Aku terbuai dengan kesan bertemu sahabat lama." Dengan kencang, Sofia memutar kursi rodanya. Suara itu menggema namun sosok Bella belum terlihat di mata Sofia. Napas Sofia menderu-deru penuh rasa ngeri. Melihat Zaenal bugil di dalam tabung mirip ketuban, membuatnya tiba-tiba ingin muntah. "Aku di sini, Sofia," sapa Bella sudah hadir tak jauh dari tabung tinggi yang berada di dekat akuarium. Sofia langsung mundur dengan wajah sangat tegang. Melotot lebar matanya melihat kehadiran Bella. "Aku bukan setan. Kau terlalu berlebihan," ketus Bella mengelus ujung aquariaum dengan penuh cinta. "Apa semua ini?! Ini membuatku mual!" Tak menjawab, Bella menekan saklar di dekatnya hingga lampu putih menyala begitu benderang sampai-sampai Sofia menutup pelipisnya karena silau. Setelah sekian detik pupil matanya beradaptasi, Sofia kembali menegakkan
Kini villa itu sudah sepi, bahkan tempat sesepi itu tidak memiliki penjaga. Aleksei mondar-mandir tak karuan. Sedari tadi dia berusaha sibuk, merapikan hal yang remeh temeh padahal penjaga catring sudah merapikan semuanya. Sumpah demi apa pun, jantungnya dari tadi berdegup kencang seperti ditabuh keras-keras. Ia mencari apa lagi yang dia bisa kerjakan asal tidak masuk ke dalam kamar itu. Bahkan melihat ke arah pintu kamar saja dia tidak sanggup karena dia tahu, di dalam sana ada seseorang yang menjadi pujaannya seumur hidup. "Sial, aku harus apa lagi?!" Aleksei melihat jam dinding, dan terlihat sudah jam dua dini hari. Semua sudah rapi, sudah pada di tempatnya. Pria itu kembali mondar mandir. Menyesal dia menyimpan laptop dan ponselnya di kamar tempat Luna berada. "Ya, aku tahu," ucap Aleksei sendirian membuka laci dan membungkuk mencari gunting tanaman dan sabit. "Aku bersihkan taman saja," desisnya mantap. Crinnnng!!! Kedua benda itu jatuh karena pria itu terkejut luar biasa seba
"Maaf, aku mengganggu waktumu," ucap Yudha di depan Aleksei yang memperbaiki posisi kacamata hitamnya. Mereka bertemu di sebuah cafe di pinggir pantai. Ombak di sore hari terlihat lebih besar. "Tidak masalah. Maaf juga aku harus membuatmu menunggu. Aku benar-benar harus meeting tadi."Yudha tersenyum lalu menegak kopinya. Ia mengeluarkan rokok dan menyodorkannya pada Aleksei. "Rokok favoritmu," ucap Yudha menawarkan namun yang cukup membuat Aleksei terkejut, Yudha pun menyalakan putung rokok itu untuk dirinya sendiri. "Sejak kapan kau merokok?""Sejak tidak ada paru-paru lain yang kujaga," jawab Yudha santai menyesap asap. Aleksei hanya menoleh lalu membuang wajah, memilih menatap ombak yang berdebur. "Kau pasti tidak merokok lagi sekarang, karena ada paru-paru lain yang kau jaga, bukan?" lanjut Yudha. Aleksei kebingungan dan salah tingkah. Ia meraih rokok itu lalu akan membakarnya. Yudha menahan tangan pria itu. "Tidak perlu. Its oke. Aku tahu, kau tidak merokok lagi sejak operas
Aleksei merasa seperti sedang diguyur berton-ton tumpukan bunga. Harum, lembut tapi terlalu banyak. Ia tidak bisa bernapas. Pria itu melihat ke bawah, ke samping, bahkan ia harus mendongak ke atas untuk mencari udara. Tak .... Tak .... Langkah Luna mendekat, dan itu membuat Aleksei refleks mundur. Wanita itu justru tersenyum melihat ekspresi Aleksei sekaget itu. "Jangan main-main kamu, Angel. Kita sudah berumur, jangan bicara yang tidak-tidak," ucap Aleksei mengusap wajahnya. "Kenapa memangnya? Kalau kita bersama terus, tanpa ada hal yang urgent, jatuhnya fitnah, lo!""Untuk bertemu denganmu meski hanya satu menit, itu sudah ranah urgent."Luna berhenti dan justru menutup mulutnya tertawa. "Ya sudah, mari kita menikah supaya tiap menit bisa bertemu," goda Luna. "Memang pandai sekali kamu mempermainkan hati," ucap Aleksei menghembuskan kasar napasnya. "Jadi kau menolakku? Tak ingin menikahiku?""Eiih?!"Aleksei hanya melongo. Dia seperti tidak menapak lagi di bumi mendengar ucap
Dua minggu kemudian .... "Katakan padaku, kenapa Angel tidak pernah datang mengunjungiku?" tanya Aleksei ketika Daniel sedang memeriksa tensi darahnya. "Syukurlah, semuanya berjalan lancar dan kondisi Anda juga semakin baik, Tuan.""Jangan alihkan pembicaraan, katakan kemana Angel? Apa dia baik-baik saja?" "Ya, Nyonya Angel baik-baik saja. Jika transplantasi Anda berhasil, Anda akan bisa melihatnya lagi meski mungkin tidak seterang penglihatan Anda sebelumnya.""Aku lega dia baik-baik saja. Tapi kenapa dia tidak mendatangiku sejak aku operasi? Wanita itu," gerutu Aleksei mengelus perban di matanya. "Perban Anda sudah bisa dibuka. Apa Anda siap?""Tolong panggilkan aku Angel, saat mataku terbuka, aku ingin melihat dia pertama kali."Dokter Daniel terenyuh mendengar semua ucapan Aleksei. Jelas sekali dari getaran suara pria itu, Aleksei benar-benar sangat mencintai sosok Angel Gracelia. "Maaf, Tuan. Nyonya Angel belum bisa menemui Anda kemari. Tapi tidak masalah, Anda yang bisa mene
"Bagaimana keadaannya?" tanya Luna dengan wajah tegang. "Selama Anda pergi, kami sudah tiga kali menyuntikkan obat penahan rasa sakit dan antibiotik.""Suntikan cairan ini pada bahu Aleksei."Luna menyerahkan tabung itu pada dokter Daniel. Pria itu melihat benda yang di tangannya itu lamat-lamat. "Cairan apa ini? Dingin sekali sampai menembus tulang.""Penawar racun itu. Cepat suntikan sekarang, Daniel."Dokter Daniel mengangguk dan matanya menangkap keberadaan Farid yang sedang dibersihkan lukanya. Nampak luka itu jauh lebih segar, tidak bengkak lagi dan tidak hitam. Sudah seperti daging biasa. "Bagaimana itu terjadi?""Racun dan penawar itu diciptakan oleh sosok yang paling hebat. Sudah, suntikan segera dan agar kau tenang kembali bekerja."Tak menunggu lagi, dokter yang berpostur tinggi itu langsung bergegas menuju ruang perawatan Aleksei. "Siapa?! Angel, kau kah itu?" tanya Aleksei terkejut saat terdengar suara pintu terbuka. "Bukan, Tuan. Saya, Daniel. Bagaimana perasaan Anda
Helena menggeleng sembari menutup mulutnya yang sudah tertutup cadar. "Helena! Berikan sandi itu! Kasihan putraku kesakitan seperti itu. Apa pun yang kau inginkan dariku, aku akan memberikannya!"Helena terus menggeleng dan membuat Luna semakin putus asa. Gadis itu justru mundur, mundur dan berbalik arah, seperti melarikan diri. Kakinya berlari sangat kencang masuk ke dalam rumahnya. "Helena! Helena!!!" teriak Luna sekencang-kencangnya. Wanita itu sampai memukul tanah tempatnya mengesot hingga kotor pakaiannya. Berdentam tanah itu karena amukan Luna. Suara tangisan Luna menyeruak penuh ketakutan dan kemarahan. "Wanita sialan! Awas kau! Akan kumakan kau hidup-hidup!" seru Eldor sudah berdiri akan mengejar Helena tapi langkahnya tertahan melihat Farid muntah darah. Silsilia sedari tadi menahan pemuda itu agar tidak terlalu mengamuk sebab banyak juga pot bunga, dan batu di sekitar tempat itu. "Oooh demi leluhur Razoore! Aaah sial!" Eldor memukul kosong di udara. Urat-urat tangannya ti
Di dalam mobil, Karmila masih diam. Sama sekali tak bicara setelah beberapa menit berada di samping Yudha yang saat ini fokus menyetir."Luna tidak mau rujuk," ucap Yudha tiba-tiba."Oh ya? Hmm ... mungkin dia butuh lebih banyak waktu lagi," sambut Karmila salah tingkah. Sedari tadi pikirannya dipenuhi dengan banyak pertimbangan. "Entahlah. Dia bukan jenis wanita yang mudah goyah setelah mengambil keputusan," timpal Yudha mengembuskan napasnya kasar. "Jadi kau menyesal telah menceraikannya?""Ya. Aku terlalu mengikuti emosiku. Aku tidak memandang jernih setiap sisi masalah. Menyesal, aku sangat menyesal."Karmila tidak berkata apa-apa lagi. Ia pernah menyerah, lalu kembali mencoba dan sekarang hempas lagi. Suasana menjadi hening kembali. Yudha menoleh sekilas pada Karmila yang terlihat kosong. "Tadi, Farid makan buah-buahan yang kamu bawa. Dia memang suka sekali dengan anggur, sama seperti ibunya," lanjut Yudha kembali bicara mencairkan suasana. "Syukurlah. Dia memang pemuda yang b
"Nona! Nooooon!" teriak Rumayah menggedor pintu Helena. "Kenapa, Mbok?!"Helena keluar tetap menggunakan hijabnya namun kali ini, ia menggunakan cadarnya. Bekas cakaran Sofia belum bisa dihilangkan meskipun ia rutin merawatnya. "Ada ... ada banyak orang yang sedang nyari Nona! Salah satunya, pria besar yang dulu pernah ke sini!"Helena terhenyak sebentar lalu memperat simpul tali cadarnya. "Tenanglah Mbok. Yang akan terjadi, biarlah terjadi."Helena melangkah tanpa ragu. Wajahnya yang rusak adalah hal yang membuatnya tidak memiliki rasa takut lagi. Bahkan, beberapa kali ia berpikir untuk mengakhiri saja hidupnya tapi dia tahu, itu hal yang paling dibenci Allah. Setidaknya, ia tidak ingin mati bunuh diri, lebih baik dibunuh saja. Gadis itu sudah pada puncak putus asa. "Katakan pada Amang, jangan keluar, jangan ikut campur. Ini urusanku. Apa pun yang terjadi padaku, kalian jangan terlibat," ujar Helena datar. "Tapi, Non ....""Tinggallah di sini, biar aku sendiri yang menghadapi mer
Farid mendorong kursi roda yang diduduki Luna dengan sangat tergesa-gesa. "Kami sudah memindahkannya ke dalam ruangan steril, tidak bisa dimasuki kecuali tenaga medis yang berpakaian lengkap," ucap dokter Daniel sembari terus melangkah cepat. "Kau harus melakukan yang terbaik, Daniel. Aku akan membayar berapa pun jumlah yang kau butuhkan.""Jangan dipikirkan, Nyonya. Anda bisa menemuinya. Kami memberikan waktu lima menit. Sekarang, pakailah alat pelindung ini," ucap Daniel sampai di sebuah ruangan kecil. Luna memakai baju pelindung dan masker juga penutup kepala lengkap. Daniel mempersilakannya masuk dan menunjukkannya jam tangan sebagai tanda dia tidak memiliki waktu yang banyak. "Apakah mereka akan baik-baik saja?" tanya Farid mengintip dari kaca. Terlihat Luna mendekati Aleksei dengan memutar kursi rodanya dengan cepat. "Aku harap semua baik-baik saja," ujar Daniel berdebar. Untuk pertama kali dia menangani kasus sedahsyat itu. Ada bakteri jahat yang aneh dan cepat sekali berege