🌹MERDEKA! GEM dong😁
"Silahkan masuk, Nyonya," ucap pelayan muda dengan dress hitam yang lurus menutupi pangkal paha dan dadanya seperti kemben. Bella hanya tersenyum kecil lalu melangkah masuk. Sesuai permintaannya, ia menginginkan kamar kedap suara tanpa ada barang apa pun. "Apa yang seperti ini yang kau minta?" tanya Sofia. "Yah," jawab Bella sembari menoleh pelayan wanita itu menggeser pintu hingga terdengar menghentak. Bella duduk bersila dan diikuti oleh Sofia yang berusaha turun dari kursi rodanya. Bella meletakkan sebuah box kecil yang sedari tadi dia jinjing. Tak membuang waktu, wanita itu membukanya perlahan. Sofia hanya memperhatikan dengan tenang bagaimana Bella mengeluarkan sebuah suntikan dengan tabung berwarna hitam. "Kau tahu, Sofia, formula ini sangat keras. Saat ia masuk ke dalam tubuhmu, kulitmu akan mencair dan membuatmu seperti akan mati meleleh. Tapi tenanglah, setelah kau mendapatkan suntikan yang kedua, kau akan menjadi berbeda." Mendengar ucapan Bella, Sofia merasa ama
"Queen memanggilku." Aletha mendesis sembari merapikan pakaian dan wajahnya. Dia sedang menonton film di ruang pribadinya sedangkan Eldor sibuk dengan tabletnya. Pria itu sedang menggambar kerangka perhiasan. Kedua manusia itu sudah lelah berdebat dan memilih diam dengan urusan masing-masing. "Untuk apa?" tanya Eldor yang buyar konsentrasinya sejak pintu ruangan itu diketuk pelayan. "Aku tidak tahu," ujar Aletha datar. Eldor meletakkan pensil gambarnya lalu keluar menemui pelayan. "Dimana Queen sekarang?" tanya Eldor. "Di ruangan sumur hitam, Tuan." Melebar mata Eldor bersama dengan wajahnya yang tegang. "Untuk apa?" "Maaf, Tuan, kami tidak tahu." Aletha sudah siap dan berada di belakang Eldor. Ia melewati pria itu dengan santai meski raut wajahnya tak bisa dipungkiri. Wanita itu gugup. Mengingat ucapan Sofia yang mengakui dirinya telah membunuh Razoore, sampai saat ini, Aletha masih bergidik. "Aku akan menemanimu," ujar Eldor dingin. Ada sedikit keteduhan di hati A
Silsilia masih terlelap saat Pablo lebih dulu bangun. Pergumulan dengan Silsilia, membuatnya cukup kelewalahan. Ia merasa wanita di sampingnya itu memiliki energi yang cukup besar. Tapi Pablo tak mempermasalahkanya, karena dia tahu, karena urusan ini, Silsilia bertekuk lutut padanya. “Tidurlah sayang, karena kau harus segera kembali ke laboratorium itu untuk mengambil racun lagi. Lebih banyak dan lebih banyak,” bisik Pablo membelai rambut merah Silsilia. Wanita itu memang tampak sangat cantik dan menggairahkan. Seluruh tubuh Silsilia adalah gairah. Wanita itu mendapatkan kecantikan itu dari pola hidup yang sehat juga sedikit operasi yang sempurna. Silsilia lebih memilih operasi daripada menggunakan ramuan Bella, selain karena ia tahu itu sangat mengerikan, itu juga akan memiliki resiko yang besar. Ia pernah mencobanya sekali dalam dosis yang kecil dan dia tidak sanggup. Pablo mencium pipi mulus Silsilia dan baru saja pria itu menaikkan wajahnya menjauh, Silsilia menangkap tengkuk
"Ampuni aku, Bell!!!" Silsilia dihempaskan begitu saja di kasur. Bella sudah memborgol tangan Silsilia. Wanita itu tak berani banyak memberontak. Selain dia sadar diri sudah salah, dia juga takut tergores kuku Bella. Rupanya Bella membawanya ke sebuah hunian sepi di balik bukit. "Diam dan jangan bicara apa pun! Kau tidak hanya telah berkhianat padaku, tapi pada Zaenal! Kau mengaku dekat dan menganggapnya kakak, tapi begini balasanmu pada kami! Kurang ajar memang kau Silsilia!" Bella menendang tubuh Silsilia hingga wanita itu tersungkur di pojok dinding. "Aku ... aku hanya memgambil sedikit saja. Hanya sedikit itu, Bel!" "Memangnya sebanyak apa racun itu, hah?! Pengkhianat," umpat Bella menatap dirinya di cermin kamar itu. Dia harus segera menenangkan dirinya dan menyuntikkan formula itu lagi untuk mengembalikannya seperti semula. "Beberapa kali aku berusaha untuk berpikir kau tetap sekutuku, sahabat terbaikku sekaligus sepupu terdekat. Tapi teganya kau mengkhianatiku, Silsili
"Oh, apa ini nyata?!!!" Bella mengusap semua sisi yang bisa dia sentuh. "Kau sedang ingin mengatakan apa sayang?!! Ayo! Bangunlah Sayang dan bicaralah padaku!" seru Bella dengan matanya yang membuka lebar. Air matanya keluar bersama dengan senyumnya yang merekah. Bella menggosok-gosok akuarium itu. Gelembungnya semakin berkurang dan semua kembali normal. "Ooh Sayang, apa kau marah karena aku akan membunuh Silsilia?" tanya Bella dengan suara sendu. "Tidak sayang, jangan marah. Aku hanya sedang menghukumnya. Dia nakal," lanjut Bella seperti sedang berbicara dengan seseorang. Silsilia bangkit sembari memegang lehernya yang terasa sakit sekali. Rupanya ia masih punya jatah untuk tetap hidup. Bella sedikit menoleh pada Silsilia. Wanita itu melangkah mendekati tabung besar di samping akuarium. "Aku menghabiskan uangku di sini. Setiap detik kubayar untuk tetap membuat suamiku tetap seperti ini. Cukup bisa melihatnya begini, hatiku sangat damai," lirih Bella. "Aku akan terus seperti ini
"Bell ...," lirih Silsilia tercekat. Bella langsung menolehnya lalu sedetik kemudian, ia berpaling menatap tabung besar di depannya. Tangannya menelasak seperti mencari sesuatu. Dan rupanya, tabung itu bisa dibuka. Jelaslah di mata Silsilia, ada beberapa tabung kecil yang panjang berdiri di dalamnya. Jumlahnya sekitar empat buah dan berisi cairan yang Silsilia tak ketahui. Berwarna hitam, merah, kuning dan bening, bergelembung-gelembung. Lalu ada sebuah tabung lagi yang cukup besar di samping rentetan tabung kecil panjang itu. Kelima tabung itu memiliki selang dan bersatu dengan selang besar yang terhubung pada Zaenal. Nampak ada uap-uap yang keluar dari kelima benda itu. Bella menekan sebuah tombol besar dan uap yang keluar dari kelima tabung itu seperti terhenti. Gelembung-gelembung dalam botol itu juga berhenti. Bella membuka tabung yang terbesar dan cairan hitam keluar membeludak seperti bah. Busuk baunya dan itu membuat Silsilia langsung muntah. "Kau begitu bernafsu padaku,
Luna dan Aleksei menatap cairan hitam yang mereka masukkan ke dalam botol kecil. Mereka sengaja mengambil sampel cairan hitam yang banyak menetes menggenang di beberapa tempat. "Bagaimana bisa jasad manusia seperti akan mencair dan habis, Aleksei? Ini mengerikan sekali," ucap Luna berdesis heran. "Dari apa racun ini terbuar? Aku sampai rak habis pikir." Aleksei hanya mengendikkan bahunya tak memiliki jawaban. "Mari kita lihat, bagaimana jika mengenai makhluk hidup lainnya?" balas Aleksei mendekati salah satu pot bunga Luna. "Jangan! Itu bunga mahal. Awas saja!" sambut Luna melengking. "Aku akan menggantikannya 100 pot seperti ini," ujar Aleksei memincingkan mata pada Luna yang sedang melotot padanya. Tanpa ragu, Aleksei menyiram cairan itu pada bunga itu dari atas, menetes ke setiap dahan kecilnya. Beberapa menit, tak ada reaksi. Luna masuk ke dalam dan kembali membawa sebuah pisau. Ia mendekati tanaman itu lalu menggoresnya. Cairan itu masuk dalam goresan dahan itu. Dalam hi
"Bb-bel," desis Aleksei tak berkedip melihat Bella semakin hari hampir tak dikenalinya. Wanita itu benar-benar sempurna dengan warna bibir merah ranum senada dengan blouse selutut yang dipakainya. Nampak jenjang kaki Bella dengan higheels putih yang bersinar. "Selamat datang, Amara Bella Costra, putri profesor Costra yang tersohor," sambut Luna berusaha tenang meski sebenarnya jantungnya seperti meloncat karena terkejut melihat Bella tiba-tiba hadir di rumahnya. Ia seperti melihat wanita itu tiga puluh tahun silam, saat terakhir mereka bertemu. Bahkan saat ini, Bella jauh lebih cantik dan sempurna. "Angel, kau membuatku sulit bernapas. Apakah ini dirimu?" tanya Bella mendekat. "Apa pun bisa berubah, Bel. Tapi yang paling baik jika kita berubah menjadi pribadi yang lebih baik, bukan?" "Oh Angel! Dari dulu, kau selalu membuatku terpukau!" seru Bella meraih tangan Luna dan mengelus lengan wanita itu dengan lembut. "Justru sekarang aku yang merasa seperti kembali ke masa saat k
Kini villa itu sudah sepi, bahkan tempat sesepi itu tidak memiliki penjaga. Aleksei mondar-mandir tak karuan. Sedari tadi dia berusaha sibuk, merapikan hal yang remeh temeh padahal penjaga catring sudah merapikan semuanya. Sumpah demi apa pun, jantungnya dari tadi berdegup kencang seperti ditabuh keras-keras. Ia mencari apa lagi yang dia bisa kerjakan asal tidak masuk ke dalam kamar itu. Bahkan melihat ke arah pintu kamar saja dia tidak sanggup karena dia tahu, di dalam sana ada seseorang yang menjadi pujaannya seumur hidup. "Sial, aku harus apa lagi?!" Aleksei melihat jam dinding, dan terlihat sudah jam dua dini hari. Semua sudah rapi, sudah pada di tempatnya. Pria itu kembali mondar mandir. Menyesal dia menyimpan laptop dan ponselnya di kamar tempat Luna berada. "Ya, aku tahu," ucap Aleksei sendirian membuka laci dan membungkuk mencari gunting tanaman dan sabit. "Aku bersihkan taman saja," desisnya mantap. Crinnnng!!! Kedua benda itu jatuh karena pria itu terkejut luar biasa seba
"Maaf, aku mengganggu waktumu," ucap Yudha di depan Aleksei yang memperbaiki posisi kacamata hitamnya. Mereka bertemu di sebuah cafe di pinggir pantai. Ombak di sore hari terlihat lebih besar. "Tidak masalah. Maaf juga aku harus membuatmu menunggu. Aku benar-benar harus meeting tadi."Yudha tersenyum lalu menegak kopinya. Ia mengeluarkan rokok dan menyodorkannya pada Aleksei. "Rokok favoritmu," ucap Yudha menawarkan namun yang cukup membuat Aleksei terkejut, Yudha pun menyalakan putung rokok itu untuk dirinya sendiri. "Sejak kapan kau merokok?""Sejak tidak ada paru-paru lain yang kujaga," jawab Yudha santai menyesap asap. Aleksei hanya menoleh lalu membuang wajah, memilih menatap ombak yang berdebur. "Kau pasti tidak merokok lagi sekarang, karena ada paru-paru lain yang kau jaga, bukan?" lanjut Yudha. Aleksei kebingungan dan salah tingkah. Ia meraih rokok itu lalu akan membakarnya. Yudha menahan tangan pria itu. "Tidak perlu. Its oke. Aku tahu, kau tidak merokok lagi sejak operas
Aleksei merasa seperti sedang diguyur berton-ton tumpukan bunga. Harum, lembut tapi terlalu banyak. Ia tidak bisa bernapas. Pria itu melihat ke bawah, ke samping, bahkan ia harus mendongak ke atas untuk mencari udara. Tak .... Tak .... Langkah Luna mendekat, dan itu membuat Aleksei refleks mundur. Wanita itu justru tersenyum melihat ekspresi Aleksei sekaget itu. "Jangan main-main kamu, Angel. Kita sudah berumur, jangan bicara yang tidak-tidak," ucap Aleksei mengusap wajahnya. "Kenapa memangnya? Kalau kita bersama terus, tanpa ada hal yang urgent, jatuhnya fitnah, lo!""Untuk bertemu denganmu meski hanya satu menit, itu sudah ranah urgent."Luna berhenti dan justru menutup mulutnya tertawa. "Ya sudah, mari kita menikah supaya tiap menit bisa bertemu," goda Luna. "Memang pandai sekali kamu mempermainkan hati," ucap Aleksei menghembuskan kasar napasnya. "Jadi kau menolakku? Tak ingin menikahiku?""Eiih?!"Aleksei hanya melongo. Dia seperti tidak menapak lagi di bumi mendengar ucap
Dua minggu kemudian .... "Katakan padaku, kenapa Angel tidak pernah datang mengunjungiku?" tanya Aleksei ketika Daniel sedang memeriksa tensi darahnya. "Syukurlah, semuanya berjalan lancar dan kondisi Anda juga semakin baik, Tuan.""Jangan alihkan pembicaraan, katakan kemana Angel? Apa dia baik-baik saja?" "Ya, Nyonya Angel baik-baik saja. Jika transplantasi Anda berhasil, Anda akan bisa melihatnya lagi meski mungkin tidak seterang penglihatan Anda sebelumnya.""Aku lega dia baik-baik saja. Tapi kenapa dia tidak mendatangiku sejak aku operasi? Wanita itu," gerutu Aleksei mengelus perban di matanya. "Perban Anda sudah bisa dibuka. Apa Anda siap?""Tolong panggilkan aku Angel, saat mataku terbuka, aku ingin melihat dia pertama kali."Dokter Daniel terenyuh mendengar semua ucapan Aleksei. Jelas sekali dari getaran suara pria itu, Aleksei benar-benar sangat mencintai sosok Angel Gracelia. "Maaf, Tuan. Nyonya Angel belum bisa menemui Anda kemari. Tapi tidak masalah, Anda yang bisa mene
"Bagaimana keadaannya?" tanya Luna dengan wajah tegang. "Selama Anda pergi, kami sudah tiga kali menyuntikkan obat penahan rasa sakit dan antibiotik.""Suntikan cairan ini pada bahu Aleksei."Luna menyerahkan tabung itu pada dokter Daniel. Pria itu melihat benda yang di tangannya itu lamat-lamat. "Cairan apa ini? Dingin sekali sampai menembus tulang.""Penawar racun itu. Cepat suntikan sekarang, Daniel."Dokter Daniel mengangguk dan matanya menangkap keberadaan Farid yang sedang dibersihkan lukanya. Nampak luka itu jauh lebih segar, tidak bengkak lagi dan tidak hitam. Sudah seperti daging biasa. "Bagaimana itu terjadi?""Racun dan penawar itu diciptakan oleh sosok yang paling hebat. Sudah, suntikan segera dan agar kau tenang kembali bekerja."Tak menunggu lagi, dokter yang berpostur tinggi itu langsung bergegas menuju ruang perawatan Aleksei. "Siapa?! Angel, kau kah itu?" tanya Aleksei terkejut saat terdengar suara pintu terbuka. "Bukan, Tuan. Saya, Daniel. Bagaimana perasaan Anda
Helena menggeleng sembari menutup mulutnya yang sudah tertutup cadar. "Helena! Berikan sandi itu! Kasihan putraku kesakitan seperti itu. Apa pun yang kau inginkan dariku, aku akan memberikannya!"Helena terus menggeleng dan membuat Luna semakin putus asa. Gadis itu justru mundur, mundur dan berbalik arah, seperti melarikan diri. Kakinya berlari sangat kencang masuk ke dalam rumahnya. "Helena! Helena!!!" teriak Luna sekencang-kencangnya. Wanita itu sampai memukul tanah tempatnya mengesot hingga kotor pakaiannya. Berdentam tanah itu karena amukan Luna. Suara tangisan Luna menyeruak penuh ketakutan dan kemarahan. "Wanita sialan! Awas kau! Akan kumakan kau hidup-hidup!" seru Eldor sudah berdiri akan mengejar Helena tapi langkahnya tertahan melihat Farid muntah darah. Silsilia sedari tadi menahan pemuda itu agar tidak terlalu mengamuk sebab banyak juga pot bunga, dan batu di sekitar tempat itu. "Oooh demi leluhur Razoore! Aaah sial!" Eldor memukul kosong di udara. Urat-urat tangannya ti
Di dalam mobil, Karmila masih diam. Sama sekali tak bicara setelah beberapa menit berada di samping Yudha yang saat ini fokus menyetir."Luna tidak mau rujuk," ucap Yudha tiba-tiba."Oh ya? Hmm ... mungkin dia butuh lebih banyak waktu lagi," sambut Karmila salah tingkah. Sedari tadi pikirannya dipenuhi dengan banyak pertimbangan. "Entahlah. Dia bukan jenis wanita yang mudah goyah setelah mengambil keputusan," timpal Yudha mengembuskan napasnya kasar. "Jadi kau menyesal telah menceraikannya?""Ya. Aku terlalu mengikuti emosiku. Aku tidak memandang jernih setiap sisi masalah. Menyesal, aku sangat menyesal."Karmila tidak berkata apa-apa lagi. Ia pernah menyerah, lalu kembali mencoba dan sekarang hempas lagi. Suasana menjadi hening kembali. Yudha menoleh sekilas pada Karmila yang terlihat kosong. "Tadi, Farid makan buah-buahan yang kamu bawa. Dia memang suka sekali dengan anggur, sama seperti ibunya," lanjut Yudha kembali bicara mencairkan suasana. "Syukurlah. Dia memang pemuda yang b
"Nona! Nooooon!" teriak Rumayah menggedor pintu Helena. "Kenapa, Mbok?!"Helena keluar tetap menggunakan hijabnya namun kali ini, ia menggunakan cadarnya. Bekas cakaran Sofia belum bisa dihilangkan meskipun ia rutin merawatnya. "Ada ... ada banyak orang yang sedang nyari Nona! Salah satunya, pria besar yang dulu pernah ke sini!"Helena terhenyak sebentar lalu memperat simpul tali cadarnya. "Tenanglah Mbok. Yang akan terjadi, biarlah terjadi."Helena melangkah tanpa ragu. Wajahnya yang rusak adalah hal yang membuatnya tidak memiliki rasa takut lagi. Bahkan, beberapa kali ia berpikir untuk mengakhiri saja hidupnya tapi dia tahu, itu hal yang paling dibenci Allah. Setidaknya, ia tidak ingin mati bunuh diri, lebih baik dibunuh saja. Gadis itu sudah pada puncak putus asa. "Katakan pada Amang, jangan keluar, jangan ikut campur. Ini urusanku. Apa pun yang terjadi padaku, kalian jangan terlibat," ujar Helena datar. "Tapi, Non ....""Tinggallah di sini, biar aku sendiri yang menghadapi mer
Farid mendorong kursi roda yang diduduki Luna dengan sangat tergesa-gesa. "Kami sudah memindahkannya ke dalam ruangan steril, tidak bisa dimasuki kecuali tenaga medis yang berpakaian lengkap," ucap dokter Daniel sembari terus melangkah cepat. "Kau harus melakukan yang terbaik, Daniel. Aku akan membayar berapa pun jumlah yang kau butuhkan.""Jangan dipikirkan, Nyonya. Anda bisa menemuinya. Kami memberikan waktu lima menit. Sekarang, pakailah alat pelindung ini," ucap Daniel sampai di sebuah ruangan kecil. Luna memakai baju pelindung dan masker juga penutup kepala lengkap. Daniel mempersilakannya masuk dan menunjukkannya jam tangan sebagai tanda dia tidak memiliki waktu yang banyak. "Apakah mereka akan baik-baik saja?" tanya Farid mengintip dari kaca. Terlihat Luna mendekati Aleksei dengan memutar kursi rodanya dengan cepat. "Aku harap semua baik-baik saja," ujar Daniel berdebar. Untuk pertama kali dia menangani kasus sedahsyat itu. Ada bakteri jahat yang aneh dan cepat sekali berege