Share

BAB 2 Memilih Gadis Bercadar

“Zahira, kamu ingin menikahi  Zahira, adikku!” pekik Amanda.

Alan tidak menghiraukan Amanda, ia segera memberi kode untuk segera melaksanakan ijab qobul.

Amanda menarik tangan Alan, seakan tidak terima dengan keputusan pria berusia 28 tahun itu.

“Apa maksudmu Alan, aku tak terima kamu permalukan seperti ini!” Amanda membentak Alan.

“Apa perlu aku ungkap perselingkuhanmu di sini, aku punya bukti Amanda, bagaimana kamu bertukar lidah dengan seorang lelaki,” bisik Alan.

Amanda terkejut mendengar penuturan Alan. Ia melepas genggaman tangan Alan  dan membiarkan pria itu melakukan ijab qobul.

Lain halnya dengan gadis bercadar, jantungnya seketika berdegup kencang, mendengar penuturan pria yang kemarin berbicara singkat dengannya.

Tiba-tiba sebuah tangan menariknya.

“Alan menginginkan menikahimu Zahira, Ayah rasa lebih baik kamu terima pinangang Alan, untuk menutupi rasa malu keluarga ini, dan untuk kelangsungan bisnis ayah,” ucap Wijaya yang merupakan ayah kandung dari Amanda dan Zahira.

Zahira menitikan air mata, seraya mengangguk pelan, “Aku tidak punya pilihan lain, Ayah, jika ini yang terbaik untuk semuanya, Zahira bersedia,” sahut Zahira lalu Wijaya memeluk putrinya itu.

Kini Alan menatap Zahira, gadis bercadar yang masih menunduk, entah takut atau malu.  Proses ijab qobul terlaksana, kini resmi Zahira  dinikahi Alan Wirasatya. Sepasang mempelai itu langsung pergi, Alan menggandeng Zahira meninggalkan semuanya yang hadir.

Amanda tampak histeris, menangis di dalam kamarnya, pernikahan yang di impikannya selama satu tahun ini kandas.

***

Alan membawa Zahira ke sebuah rumah minimalis yang merupakan rumah pribadi milik Alan. Rumah berlantai dua itu terlihat rapi. Lantai dasar hanya ada ruang tamu yang menyatu  dengan ruang tengah, lalu dapur menyatu dengan ruang makan, di halaman  belakang ada taman kecil dan sebelahnya loundry room.

Alan menatap gadis yang mengenakan khimar dan cadar dan berdiri di depan pintu, masih menunduk entah malu seakan ragu memasuki rumah, Alan tak bisa melihat ekspresi wajahnya saat ini. Di tatapnya gadis itu dari ujung kepala sampai ujung kaki, hanya iris mata yang terlihat olehnya.

“Hahhh...  aku mungkin sudah gila, gara-gara perselingkuhan Amanda, aku jadi menikahi gadis sepertimu, jauh dari impianku, bahkan membayangkan saja aku tidak pernah,” gerutu Alan, seraya duduk di sofa  dan mengacak rambutnya kasar, membuka jas taxedo dan melemparkan begitu saja, lalu membuka dua kancing kemejanya yang terasa mencekram lehernya, serta mengelinting lengan kemejanya sampai siku. Lalu kembali menatap gadis yang masih berdiri membeku seakan menunggu perintah.

“Dengar Zahira, aku memang menikahimu, tapi hanya untuk membalas sakit hatiku pada Amanda, biar dia tahu, dirinya tidak lebih beharga dari seorang wanita sepertimu!”

Gadis itu masih terdiam, tidak protes sedikit pun, walau perkataan Alan juga terdengar menghinanya.

“Kesalahanmu adalah, kenapa waktu itu kamu ingin menghentikan aku masuk ke kamar Amanda. Kenapa kamu melakukannya? Kamu ingin melindungi perbuatannya?” cecar Alan dengan geram, hingga membuat Zahira mundur satu langkah.

“Maaf, Mas Alan, bukan seperti itu maksud saya.”

“Cukup, tidak usah bicara, dengarkan lagi, setelah aku bosan dengan pernikahan ini, dan puas melihat Amanda kupermalukan,  aku akan menceraikanmu!” tegasnya lagi.

Zahira hanya terdiam, sesekali matanya mengerjab tanda menerima dan pasrah akan keputusan Alan.

“Satu hal lagi, jangan kamu buka cadarmu di depanku, aku tak minat melihat wajahmu, apalagi menyentuhmu!” perintahnya lagi.

“Iya Mas..,” jawab Zahira, lagi-lagi  pasrah dengan keputusan Alan.

“Kamarmu di atas sebelah kiri, ingat kita memang suami istri, tapi kita fokus pada urusan kita masing-masing, lakukan apa yang kamu inginkan tidak usah meminta izin padaku!” perintah Alan lagi.

Zahira hanya mengangguk setuju. Lalu gadis itu membawa tas menaiki lantai atas,  memasuki kamar yang ditunjuk Alan tadi,  masuk lalu menutup pintu kembali.

Di dalam kamar, Zahira membuka cadarnya, air mata yang ditahannya sejak tadi, ketika mendengar pernyataan Alan, tumpah seketika, sungguh tak menyangka terjebak dalam pernikahan di dasari rasa sakit hati, Zahira merasa ia berada di tempat yang salah saat ini.

Alan membuka sepatunya, lalu pergi masuk ke dalam kamarnya, merebahkan tubuhnya sejenak di tempat tidur, kepalanya terasa berdeyut pening, memikirkan apa yang telah dilakukannya, demi mempermalukan Amanda, ia nekat menikahi gadis bercadar dari desa dan merupakan adik satu ayah dengan Amanda.

Hari sudah gelap, Alan terbangun,  ketika mendengar suara merdu melantunkan ayat suci.  Alan bangkit dan keluar kamar. Tidak lama kemudian, Zahira juga keluar kamar, sesuai perintah Alan, Zahira  keluar kamar mengenakan gamis dan kerudung lebar dan panjang serta cadar.

“Maaf Mas, apa perlu Hira siapkan makan malam?”

“Tidak perlu, aku bisa sakit perut memakan masakanmu, pasti kamu jorok ‘kan,” ejek Alan, tapi itu tidak membuat Zahira marah, dengan langkah kecil, Zahira menuruni tangga dan memasuki dapur, setelahnya membuka lemari pendingin, mengambil botol yang berisi air mineral, menuangkan dalam gelas dan kemudian meminumnya, dengan memasukan gelas di balik cadar, hingga mengeluarkan gelas lagi dalam keadaan kosong. Diam-diam Alan memperhatikan cara Zahira minum, tanpa membuka cadarnya.

Zahira juga mengeluarkan beberapa sayuran dan daging, lalu mengolahnya menjadi menu makanan, ia sengaja membuat satu porsi saja untuk dirinya, toh Alan sudah tegas tidak mau memakan masakannya.

Sedangkan Alan, sudah memesan delivery order dari restoran langganannya, ia menatap Zahira yang sedang melahap makanan tanpa menawarinya.

Tidak lama kemudian yang ditunggu Alan datang, seorang kurir berseragam mengantarkan pesanannya.

Lalu Alan menuju meja makan, di mana Zahira masih melahap menu di piringnya. Alan memindahkan menu di piring dan mulai mengisi mulutnya dengan menu kesukaannya.

“Berapa umurmu?” tanya Alan tanpa menatap Zahira dan sibuk menyuap menu.

“Tiga hari lagi 20  tahun,” balas Zahira.

Huhuk... Alan terkejut, hampir ia memutahkan makanannya yang ada di mulutnya, lalu ia meraih gelas dan minum.

“Dua puluh tahun!  Ya Tuhan, jadi aku menikah dengan bocah, yang baru tamat SMA,” gerutunya.

Zahira hanya mengerjab, dan mengangguk.

“Haah dasar bocah kecil, mana paham urusan hubungan suami istri,” gerutu Alan lagi sambil membuang muka.

Kembali mata Alan menatap Zahira yang masih sibuk  memasukan suap demi suap di balik cadarnya, tampaknya Zahira tidak perduli dengan perkataan Alan.

“Kamu adik satu ayah dengan Amanda ‘kan, kenapa aku baru melihatmu?”

“Selama ini saya tinggal di kampung bersama ibu,” jelas Zahira.

“Tapi aku  melihatmu sedang membersihkan halaman waktu itu.”

“Saya hanya membantu pekerjaan rumah, selama tinggal di rumah  ayah Wijaya,” jawab Zahira.

“Hihh anak sendiri dijadikan pembantu,” gerutu Alan.

“Tapi aku tidak keberatan.”

“Tetap saja aneh, anak sendiri dijadikan pembantu, sedangkan Amanda seperti tuan putri yang di manja,” balas Alan.

Selesai makan malam, Alan kembali ke kamarnya, membuka laptopnya dan mencermati beberapa email yang masuk, seharian tidak masuk kantor, banyak sekali email yang di dapat, dan laporan dari berbagai devisi. Hingga larut malam, barulah Alan merebahkan diri tempat tidur.

Alarm berbunyi nyaring membangunkan Alan, hari ini ada meeting jam 8 pagi,  setelah membuka matanya, Alan bangkit dari tidurnya dan berjalan menuju kamar mandi, setelahnya memakai kemeja dan celana kain, lalu beranjak keluar, aroma wangi ruangan terasa berbeda, rumah pun terlihat lebih rapi, dan harumnya begitu menguar ke seluruh ruangan, segar dan harum, membuat pilikran adem, jendela sudah di buka lebar, angin pagi dan matahari memasuki ruangan, membuat udara di dalam rumah begitu segar alami

“Lumayanlah, nggak usah pakai jasa room service, tampaknya bocah itu sudah mahir dalam urusan bersih-bersih. Apalagi coba keahlian gadis kampung, jika bukan bersih-bersih dan memasak, tapi kemana dia?” mata Alan menatap ke berbagai sudut ruangan, bukan Zahira yang ia temui, tapi menu di meja makan, Alan mendekat ke arah meja makan, sudah tersaji menu dari restoran langganannya, menu sarapan pagi seperti yang diinginkan.

“Siapa yang memesan ini,” gumam Alan.

“Aku Mas, kebetulan aku melihat seragam kurir restoran tadi malam, karena Mas Alan tidak mau masakanku, jadi aku pesankan saja.” Tiba-tiba suara Zahira terdengar dari arah punggung Alan.

“Nah gitu cepat tanggap,” balas Alan.

“Mas, aku pergi dulu,” pamit Zahira sambil mengulurkan tangannya

“Pergi saja, nggak usah izin,” sahut Alan sambil menarik kursi makan tanpa menghiraukan uluran tangan Zahira.

Zahira hanya mengerjabkan matanya, dan berbalik lalu melangkah menuju pintu keluar.

“Hai... memangnya mau ke mana?” Akhirnya Alan penasaran juga.

Pertanyaan Alan menghentikan langkah Zahira.

“Hira mau kuliah Mas.”

“Kamu kuliah.” Alan tersenyum sinis tak percaya  dengan ucapan Zahira.

Lagi-lagi Zahira hanya  mengangguk, ia tahu jika saat ini pria yang berstatus suaminya tidak percaya pada perkataannya, tapi Zahira tidak peduli, kedatangannya ke Jakarta adalah untuk mengambil beasiswa dari kampus ternama di Jakarta, dan yang pasti ia akan terus menuntut ilmu dan mencapai cita-citanya, walau banyak orang yang meragukan kemampuannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status