“Zahira, kamu ingin menikahi Zahira, adikku!” pekik Amanda.
Alan tidak menghiraukan Amanda, ia segera memberi kode untuk segera melaksanakan ijab qobul.
Amanda menarik tangan Alan, seakan tidak terima dengan keputusan pria berusia 28 tahun itu.
“Apa maksudmu Alan, aku tak terima kamu permalukan seperti ini!” Amanda membentak Alan.
“Apa perlu aku ungkap perselingkuhanmu di sini, aku punya bukti Amanda, bagaimana kamu bertukar lidah dengan seorang lelaki,” bisik Alan.
Amanda terkejut mendengar penuturan Alan. Ia melepas genggaman tangan Alan dan membiarkan pria itu melakukan ijab qobul.
Lain halnya dengan gadis bercadar, jantungnya seketika berdegup kencang, mendengar penuturan pria yang kemarin berbicara singkat dengannya.
Tiba-tiba sebuah tangan menariknya.
“Alan menginginkan menikahimu Zahira, Ayah rasa lebih baik kamu terima pinangang Alan, untuk menutupi rasa malu keluarga ini, dan untuk kelangsungan bisnis ayah,” ucap Wijaya yang merupakan ayah kandung dari Amanda dan Zahira.
Zahira menitikan air mata, seraya mengangguk pelan, “Aku tidak punya pilihan lain, Ayah, jika ini yang terbaik untuk semuanya, Zahira bersedia,” sahut Zahira lalu Wijaya memeluk putrinya itu.
Kini Alan menatap Zahira, gadis bercadar yang masih menunduk, entah takut atau malu. Proses ijab qobul terlaksana, kini resmi Zahira dinikahi Alan Wirasatya. Sepasang mempelai itu langsung pergi, Alan menggandeng Zahira meninggalkan semuanya yang hadir.
Amanda tampak histeris, menangis di dalam kamarnya, pernikahan yang di impikannya selama satu tahun ini kandas.
***
Alan membawa Zahira ke sebuah rumah minimalis yang merupakan rumah pribadi milik Alan. Rumah berlantai dua itu terlihat rapi. Lantai dasar hanya ada ruang tamu yang menyatu dengan ruang tengah, lalu dapur menyatu dengan ruang makan, di halaman belakang ada taman kecil dan sebelahnya loundry room.
Alan menatap gadis yang mengenakan khimar dan cadar dan berdiri di depan pintu, masih menunduk entah malu seakan ragu memasuki rumah, Alan tak bisa melihat ekspresi wajahnya saat ini. Di tatapnya gadis itu dari ujung kepala sampai ujung kaki, hanya iris mata yang terlihat olehnya.
“Hahhh... aku mungkin sudah gila, gara-gara perselingkuhan Amanda, aku jadi menikahi gadis sepertimu, jauh dari impianku, bahkan membayangkan saja aku tidak pernah,” gerutu Alan, seraya duduk di sofa dan mengacak rambutnya kasar, membuka jas taxedo dan melemparkan begitu saja, lalu membuka dua kancing kemejanya yang terasa mencekram lehernya, serta mengelinting lengan kemejanya sampai siku. Lalu kembali menatap gadis yang masih berdiri membeku seakan menunggu perintah.
“Dengar Zahira, aku memang menikahimu, tapi hanya untuk membalas sakit hatiku pada Amanda, biar dia tahu, dirinya tidak lebih beharga dari seorang wanita sepertimu!”
Gadis itu masih terdiam, tidak protes sedikit pun, walau perkataan Alan juga terdengar menghinanya.
“Kesalahanmu adalah, kenapa waktu itu kamu ingin menghentikan aku masuk ke kamar Amanda. Kenapa kamu melakukannya? Kamu ingin melindungi perbuatannya?” cecar Alan dengan geram, hingga membuat Zahira mundur satu langkah.
“Maaf, Mas Alan, bukan seperti itu maksud saya.”
“Cukup, tidak usah bicara, dengarkan lagi, setelah aku bosan dengan pernikahan ini, dan puas melihat Amanda kupermalukan, aku akan menceraikanmu!” tegasnya lagi.
Zahira hanya terdiam, sesekali matanya mengerjab tanda menerima dan pasrah akan keputusan Alan.
“Satu hal lagi, jangan kamu buka cadarmu di depanku, aku tak minat melihat wajahmu, apalagi menyentuhmu!” perintahnya lagi.
“Iya Mas..,” jawab Zahira, lagi-lagi pasrah dengan keputusan Alan.
“Kamarmu di atas sebelah kiri, ingat kita memang suami istri, tapi kita fokus pada urusan kita masing-masing, lakukan apa yang kamu inginkan tidak usah meminta izin padaku!” perintah Alan lagi.
Zahira hanya mengangguk setuju. Lalu gadis itu membawa tas menaiki lantai atas, memasuki kamar yang ditunjuk Alan tadi, masuk lalu menutup pintu kembali.
Di dalam kamar, Zahira membuka cadarnya, air mata yang ditahannya sejak tadi, ketika mendengar pernyataan Alan, tumpah seketika, sungguh tak menyangka terjebak dalam pernikahan di dasari rasa sakit hati, Zahira merasa ia berada di tempat yang salah saat ini.
Alan membuka sepatunya, lalu pergi masuk ke dalam kamarnya, merebahkan tubuhnya sejenak di tempat tidur, kepalanya terasa berdeyut pening, memikirkan apa yang telah dilakukannya, demi mempermalukan Amanda, ia nekat menikahi gadis bercadar dari desa dan merupakan adik satu ayah dengan Amanda.
Hari sudah gelap, Alan terbangun, ketika mendengar suara merdu melantunkan ayat suci. Alan bangkit dan keluar kamar. Tidak lama kemudian, Zahira juga keluar kamar, sesuai perintah Alan, Zahira keluar kamar mengenakan gamis dan kerudung lebar dan panjang serta cadar.
“Maaf Mas, apa perlu Hira siapkan makan malam?”
“Tidak perlu, aku bisa sakit perut memakan masakanmu, pasti kamu jorok ‘kan,” ejek Alan, tapi itu tidak membuat Zahira marah, dengan langkah kecil, Zahira menuruni tangga dan memasuki dapur, setelahnya membuka lemari pendingin, mengambil botol yang berisi air mineral, menuangkan dalam gelas dan kemudian meminumnya, dengan memasukan gelas di balik cadar, hingga mengeluarkan gelas lagi dalam keadaan kosong. Diam-diam Alan memperhatikan cara Zahira minum, tanpa membuka cadarnya.
Zahira juga mengeluarkan beberapa sayuran dan daging, lalu mengolahnya menjadi menu makanan, ia sengaja membuat satu porsi saja untuk dirinya, toh Alan sudah tegas tidak mau memakan masakannya.
Sedangkan Alan, sudah memesan delivery order dari restoran langganannya, ia menatap Zahira yang sedang melahap makanan tanpa menawarinya.
Tidak lama kemudian yang ditunggu Alan datang, seorang kurir berseragam mengantarkan pesanannya.
Lalu Alan menuju meja makan, di mana Zahira masih melahap menu di piringnya. Alan memindahkan menu di piring dan mulai mengisi mulutnya dengan menu kesukaannya.
“Berapa umurmu?” tanya Alan tanpa menatap Zahira dan sibuk menyuap menu.
“Tiga hari lagi 20 tahun,” balas Zahira.
Huhuk... Alan terkejut, hampir ia memutahkan makanannya yang ada di mulutnya, lalu ia meraih gelas dan minum.
“Dua puluh tahun! Ya Tuhan, jadi aku menikah dengan bocah, yang baru tamat SMA,” gerutunya.
Zahira hanya mengerjab, dan mengangguk.
“Haah dasar bocah kecil, mana paham urusan hubungan suami istri,” gerutu Alan lagi sambil membuang muka.
Kembali mata Alan menatap Zahira yang masih sibuk memasukan suap demi suap di balik cadarnya, tampaknya Zahira tidak perduli dengan perkataan Alan.
“Kamu adik satu ayah dengan Amanda ‘kan, kenapa aku baru melihatmu?”
“Selama ini saya tinggal di kampung bersama ibu,” jelas Zahira.
“Tapi aku melihatmu sedang membersihkan halaman waktu itu.”
“Saya hanya membantu pekerjaan rumah, selama tinggal di rumah ayah Wijaya,” jawab Zahira.
“Hihh anak sendiri dijadikan pembantu,” gerutu Alan.
“Tapi aku tidak keberatan.”
“Tetap saja aneh, anak sendiri dijadikan pembantu, sedangkan Amanda seperti tuan putri yang di manja,” balas Alan.
Selesai makan malam, Alan kembali ke kamarnya, membuka laptopnya dan mencermati beberapa email yang masuk, seharian tidak masuk kantor, banyak sekali email yang di dapat, dan laporan dari berbagai devisi. Hingga larut malam, barulah Alan merebahkan diri tempat tidur.
Alarm berbunyi nyaring membangunkan Alan, hari ini ada meeting jam 8 pagi, setelah membuka matanya, Alan bangkit dari tidurnya dan berjalan menuju kamar mandi, setelahnya memakai kemeja dan celana kain, lalu beranjak keluar, aroma wangi ruangan terasa berbeda, rumah pun terlihat lebih rapi, dan harumnya begitu menguar ke seluruh ruangan, segar dan harum, membuat pilikran adem, jendela sudah di buka lebar, angin pagi dan matahari memasuki ruangan, membuat udara di dalam rumah begitu segar alami
“Lumayanlah, nggak usah pakai jasa room service, tampaknya bocah itu sudah mahir dalam urusan bersih-bersih. Apalagi coba keahlian gadis kampung, jika bukan bersih-bersih dan memasak, tapi kemana dia?” mata Alan menatap ke berbagai sudut ruangan, bukan Zahira yang ia temui, tapi menu di meja makan, Alan mendekat ke arah meja makan, sudah tersaji menu dari restoran langganannya, menu sarapan pagi seperti yang diinginkan.
“Siapa yang memesan ini,” gumam Alan.
“Aku Mas, kebetulan aku melihat seragam kurir restoran tadi malam, karena Mas Alan tidak mau masakanku, jadi aku pesankan saja.” Tiba-tiba suara Zahira terdengar dari arah punggung Alan.
“Nah gitu cepat tanggap,” balas Alan.
“Mas, aku pergi dulu,” pamit Zahira sambil mengulurkan tangannya
“Pergi saja, nggak usah izin,” sahut Alan sambil menarik kursi makan tanpa menghiraukan uluran tangan Zahira.
Zahira hanya mengerjabkan matanya, dan berbalik lalu melangkah menuju pintu keluar.
“Hai... memangnya mau ke mana?” Akhirnya Alan penasaran juga.
Pertanyaan Alan menghentikan langkah Zahira.
“Hira mau kuliah Mas.”
“Kamu kuliah.” Alan tersenyum sinis tak percaya dengan ucapan Zahira.
Lagi-lagi Zahira hanya mengangguk, ia tahu jika saat ini pria yang berstatus suaminya tidak percaya pada perkataannya, tapi Zahira tidak peduli, kedatangannya ke Jakarta adalah untuk mengambil beasiswa dari kampus ternama di Jakarta, dan yang pasti ia akan terus menuntut ilmu dan mencapai cita-citanya, walau banyak orang yang meragukan kemampuannya.
Alan berangkat ke kantor, sebuah kantor yang berada di gedung pencangkar langit, lebih tepatnya lantai 10. Begitu membuka lift, Alan berjalan angkuh melewati para pegawai yang otomatis menundukkan kepala sebagai rasa hormatnya pada putra pemilik perusahaan yang saat ini menjabat sebagai kepala manager.Alan kembali menatap laptop di atas meja kerja, sibuk mengamati laporan dan jadwal pertemuan dengan kliennya. Hingga dering ponsel, mengganggu konsentrasinya, nama Mama Risma tertera di layar ponsel.”“Hello, Ma.”“Alan, kamu sudah tak waras hah, siapa yang kamu nikahi,” suara melengking dengan nada penuh amarah memekakan telinga Alan.“Zahira, namanya,” sahut Alan datar.“Alan, siapa itu Zahira?” suara wanita kembali terdengar kesal.“Adik, Amanda.““What! Ini tidak benarkan, Mama cuma mimpi ’kan! Kenapa kamu menikahi anak itu, dia itu cuma anak dari wanita pelakor, Mamah pernah dengar tentang anak kedua Pak Wijaya, anak dari wanita simpanannya!” gertaknya lagi masih bernada keras
Kembali suara ponsel berdering nyaring, ibu Alan yaitu Risma sedang menelepon.“Hello, Ma, ada apa?”“Besok malam, bawa istrimu ke rumah, Papah dan Oma, mau melihat istrimu, dan bersiaplah menceraikan dia, aku yakin, ia tidak sesuai dengan kriteria Omamu!” perintah Risma dengan sangat tegas.“Soal cerai Mamah tidak usah khawatir, pasti aku akan ceraikan Zahira, gadis kampung itu pasti tidak akan berontak,” jawab Alan pelan, takut jika Zahira mendengar.Bukannya takut sih, karena selama ini Alan tidak pernah takut pada siapapun, kecuali sang Oma, ia bergitu hormat dan patuh pada sang Oma. Alan cuma tidak mau menyingung perasaan Zahira, walau perasaan gadis itu sebenarnya tidak penting, tapi Alan juga punya etika dan strategi, bersikap manis pada lawannya adalah suatu strategi dalam bisnis, menurut Alan. Eh lawan? Apa benar yang mau di lawan Zahira, bukankah lawan sebenarnya adalah Amanda, dan gadis polos bercadar itu hanyalah tumbal, dari kekesalannya, setidaknya itu yang ada dalam p
Sementara itu di kediaman orang tua Alan, terjadi ketegangan seorang pria dengan rambut halus memenuhi wajahnya, tampak bersitegang dengan seorang pria paruh baya.“Untuk apa kamu datang ke rumah ini?” Ridwan berucap sambil menatap sinis pria yang masih berdiri“Apa aku sudah tak punya hak untuk datang ke rumah ini Pah,” sahut ketus pria berusia 30 tahun sambil duduk menyilangkan kaki di sofa.“Kenapa kamu belum berubah, Abram, menjadi liar dan tidak bisa mengurus dirimu sendiri,” tukas Risma.“Ahhh.. sudahlah Mah, jangan bicara itu lagi, toh aku tidak menyusahkan kalian.” Pria yang bernama Abram itu, meraih sebungkus rokok di saku kemejanya, lalu menyulutnya dengan pemantik.”Aku datang ke rumah ini, karena aku dengar Alan sudah menikah, kenapa kalian tidak mengundangku?”“Kami sendiri tidak tahu, jika Alan menikah, anak itu juga lama–kelamaan sama denganmu, gara-gara seorang wanita bisa menghancurkan masa depannya sendiri,” celoteh Risma kesal.“Kenapa, bukankah Amanda calon menant
“Jangan mengada-ngada Oma, wajah tertutup seperti itu, bagaimana jika teman-teman sosialita Mamah tanya, cantik apa nggak mantunya? Mamah harus bilang apa, mau bilang cantik, tapi wajahnya tertutup seperti itu,” gerutu Risma kesal.“Cantik kok, Zahira sangat cantik, bukan hanya cantik wajah, tapi hatinya juga cantik.” Oma Sinta menjawab keraguan Risma.“Sudah, kita makan dulu,” ajak Ridwan Wira Atmaja suami Risma.Semuanya yang duduk di kursi makan, mulai menyuap menu di depan piring, seperti biasa, Zahira memakan dengan cadar masih terpakai, ia memasukan sendok ke dalam cadarnya . Risma dan Ridwan hanya memperhatikan cara makan Zahira.“Alan, menginaplah di sini beberapa hari, Oma mau belajar ngaji pada Zahira,” titah sang Oma.“Tidak, Oma, aku tidak mau menginap di sini,” sahut Alan, tampak khawatir, jika menginap di rumah orang tuanya, itu berarti dia satu kamar dengan Zahira, pasti akan mempersulit aktivitasnya, jika satu kamar dengan Zahira.“Kenapa keberatan, Oma disini hanya
Setelah makan pagi selesai, Alan dan Ridwan berangkat ke kantor. Kesempatan ini, dipakai Risma untuk mengerjai menantunya.“Zahira, kamu bereskan semua perabot kotor ini, soalnya Bi Darni, aku suruh ke pasar!” perintah Risma.“Baik, Mah.”“Apa asisten rumah tengga paruh waktu tidak datang, kenapa harus Zahira yang melakukannya,” tukas Oma Sinta, keberatan jika Zahira yang membersihkan semua piring kotor.“Halah Oma, ‘kan nggak selamanya kok, lagi pula Zahira sudah biasa mengerjakannya, iya ‘kan Zahira, kamu tidak keberatan ‘kan?”Zahira tersenyum, iris matanya terlihat ia tulus. ”Tidak apa–apa Oma, saya akan membersihkannya,” jawab Zahira, lalu tanpa berkata lagi ia menaruh piring–piring, lalu dibawanya ke wastefel dapur dan mulai mencuci piring dan perabot lainnya.Sesekali Zahira menatap jam di dinding dapur, hari ini ada jadwal kuliah, setelah menyelesaikan tugas yang diberikan Risma, gadis yang bercadar itu bergegas menuju kamar, meraih tas dan pergi.“Mamah, Oma, Hira berangk
Wijaya, Anita dan Amanda sudah meninggalkan rumah mewah Ridwan. Sementara Alan, langsung naik ke lantai atas masuk ke dalam kamar, sikap acuh terlihat kembali. Oma yang badannya ringkihpun langsung memasuki kamar dan merebahkan tubuhnya di ranjang, sementara Risma masih ingin membuat Zahira tidak betah menjadi menantunya.“Zahira, kamu tahu ‘kan tugasmu,” suruh Risma.“Baik Mah.”Zahira langsung menuju meja makan yang penuh dengan piring kotor, ia meraih piring kotor dan mencucinya di wastafel, jam menunjukkan pukul sebelas malam, ketika Zahira selesai mengerjakan tugas dari ibu mertuanya.Semantara itu, Alan sudah berbaring di tempat tidur, matanya tertutup tapi pikirannya masih terjaga, ia teringat akan bola mata Zahira, yang hitam, bagai anggur liar, begitu pekat, tapi berkilau, dan hidung yang menempel di pipinya, ia merasakan jika hidung Zahira mancung.Ahh sial, kenapa aku jadi membayangkan wajah bocah itu, batin Alan, menutup kepalanya dengan selimut.Ceklek!... Pintu kamar ter
Amanda melangkahkan kakinya menuju lorong sebuah kantor, tepat di pintu yang bertuliskan Kepala Manger, Wira Company, ia berhenti, sejenak terdiam, lalu membuka dua kancing kemejanya, sedikit memperlihat indah dadanya yang membusung, terkesan menggoda. Wajah cantik, dengan kulit putih yang bersih, kecantikannya setera dengan artis ibukota, mungkin itu sebabnya Alan jatuh cinta pada Amanda, kecantikannya begitu terkesima, selain itu wanita yang telah menyelesaikan pendidikannya di universitas bergengsi di Kota Jakarta dengan nilai cumulade, juga tidak diragukan kecerdasannya, tawaran untuk menduduki jabatan penting di beberapa perusahaan nasional, tetapi Amanda lebih memilih untuk menjalin kerja sama dengan Wira Company.Tok! tok! Pintu pun diketuk, hingga sebuah suara menyuruhnya masuk.Pintu dibuka pelan, dan Amanda melangkah masuk, setelah menutup pintu, ia tak ingin pembicaraannya dan juga moment berdua bersama Alan terlihat oleh karyawan lain.Alan masih sibuk membubuhkan tanda ta
Mobil sedan hitam melaju kencang di jalan tol, dengan kecepatan tinggi menuju kota Bandung, setelah itu menuju sebuah perbukitan, di sepanjang jalan disuguhi pemandangan yang memanjakan mata, sangat indah dan sejuk, perkebunan teh yang hijau dengan lembah dan gunung yang memukau, ditambah lagi kebun strawbery yang tampak indah. Setelah melewati semua keindahan perkebunan, sampailah mobil Alan, menuju kepemukiman penduduk, jarak rumah yang satu dengan yang lainnya, berjauhan, hingga Zahira menyuruh Alan untuk berhenti, di sebuah rumah mungil bercat dinding dan putih, rumah kecil dengan halaman rumah yang luas, dengan pohon besar mengelilinginya, dan juga taman bunga mawar yang tengah bermekaran. Walau pun tampak kecil, tapi tampak asri dan teduh.“Ini rumah ibumu?” tanya Alan dengan membuka kaca jandela mobil dan menatap rumah, yang menurutnya sangat kontras dengan kediaman Pak Wijaya yang mewah.“Iya, Mas. mau turun, bertemu ibu?” tanya Zahira dengan sangat hati-hati.“Nggak, aku suda