ISTRI BARU MANTAN SUAMIKU (27B)
"Nikah dulu, atau gathering dulu?" Tanya Yuri."Nikah dulu dong Ri, biar saya gak kayak obat nyamuk ngeliat kalian datang sekeluarga. Belum lagi si Dina dan Andi tuh. Pengantin baru, bikin sirik aja."Kami berdua tertawa mendengar kata kata Adrian. Seisi kantor sudah tahu hubunganku dengan Adrian karena beliau sendiri yang mengumumkannya saat briefing pagi. Seisi kantor seketika riuh. Ada semangat baru yang menjalar dan menulari semua orang sehingga suasana terasa menyenangkan."Oke, bagaimana dengan bonus tiga bulan gaji khusus untuk saya." Yuri menyipitkan matanya."Memangnya Vivian menerima proposalku atas nasihatmu ya?" Adrian menatapku, meminta kepastian.Aku meringis. Aku tak butuh nasihat dari siapapun Pak. Karena hatiku sendirilah yang memilihmu. Kata kata itu tentu saja hanya kuucapkan di dalam hati."Oh, tentu saja. Vivian selalu minta pendapatku, dan apa yang kukaISTRI BARU MANTAN SUAMIKU (28)Aku mengeluarkan setumpuk berkas yang kusiapkan dari kantor, juga menaruh laptop di atas meja. Bersiap untuk menerangkan banyak hal yang mungkin dia butuhkan. Meski jika dilihat dari penampilannya, Meisya datang bukan karena ingin membahas masalah pekerjaan seperti yang dia katakan.Wajah cantik itu berubah ketika semua berkas itu sudah selesai kuletakkan. Dia menatap benda-benda itu, lalu mengalihkan pandangannya padaku."Untuk apa ini?" Tanyanya."Bukankah kau ingin konsultasi? Ini semua berkas pembangunan perumahan subsidi seperti yang kau inginkan. Kemana saja jalur yang harus kau lalui untuk mendapat perizinan." Terangku.Raut cantik itu tampak mengeras. Tak lama, wajahnya mengendur. Dia tersenyum tipis. Kuakui dia begitu pandai menguasai diri. Berbeda denganku yang selalu bertindak spontan dan meledak-ledak."Maaf Mbak. Simpan lagi semua itu. Mood-ku sedang tidak bagus untuk membahas
ISTRI BARU MANTAN SUAMIKU (28B)"Jadi kau hanya tinggal bertiga dengan anak dan ART-mu Nak?"Aku mengangguk. Mama Bianca, Ibu Adrian menatapku lekat lekat."Aku anak tunggal Ma. Kedua orangtuaku pun anak tunggal. Mami meninggal ketika aku masih kecil, sekitar usia dua belas tahun. Sementara Papi meninggal tujuh tahun lalu." Jelasku.Mata teduh itu tampak berkaca-kaca."Dan kau melewati semua ini sendiri. Mendidik anakmu sendiri, hidup mandiri dan melakukan semuanya tanpa bantuan siapapun." Ujar Mama seperti sedang bicara dengan dirinya sendiri.Aku menundukkan kepala. Saat seperti ini, aku sungguh merasa kecil dihadapan mereka. Bukan karena harta, tapi karena aku yang tak punya siapa siapa. Dulu Mas Nabil masih sempat melamarku pada Papi. Tapi kini, aku harus menghadapi keluarga besar Adrian sendirian.Mama Bianca menatap Tiara yang duduk di karpet tebal bersama Attariz dan si kembar Agnes dan Anyelir. Entah ap
ISTRI BARU MANTAN SUAMIKU (29A)Aku terbelalak menatap foto-foto yang dikirim Mbak Anik melalui pesan WA. Bunga mawar putih itu nyaris memenuhi ruang tamu dan ruang tengah. Itupun masih belum semuanya dimasukkan. Bunga bunga itu masih ada tangkainya dan terlihat segar. (Yang diluar malah tanaman mawar hidup dalam pot Non, banyak banget! Asyik Mbak Anik tinggal nyirem.)Astaga Adrian. Aku menutup ponsel dan berjalan ke ruangannya. Tapi ruangan Adrian terlihat kosong. Aku berlari ke meja milik Yuri yang berada di depan ruang Adrian. Dia sejak tadi memperhatikanku."Adrian kemana RI?" Tanyaku."Keluar dari tadi Vi. Emang gak bilang sama kamu?"Aku menunjukkan ponselku."Kamu buka toko bunga?" Tanya Yuri.Aku memutar bola mata, "Ini kerjaan Adrian."Yuri menekap mulutnya. "Astaga, si Bos ternyata romantis sekali." Dia tersenyum senyum sendiri. Aku kembali ke ruanganku, mencoba menghubunginya mela
ISTRI BARU MANTAN SUAMIKU (29B)Aku bangun agak kesiangan keesokan harinya karena semalaman tak bisa tidur. Tak ada ucapan selamat malam dan semoga mimpi indah darinya yang beberapa bulan ini tak pernah absen masuk ke dalam kotak pesanku. Ponselnya masih belum bisa kuhubungi. Sempat terlintas untuk menghubungi Mama Bianca, tapi aku takut dibilang lancang dan terlalu memburu lelaki. Baru saja kakiku turun ke lantai ketika ponselku tiba tiba berdering. Aku bergegas meraihnya dan hatiku berseru melihat Adrian yang menghubungiku."Halo?""Sayang." Suaranya terdengar jauh."Kamu dimana Mas? Kenapa ponselmu tidak aktif?" Pertanyaanku bertubi-tubi menyerbunya."Aku baik-baik saja. Kau ingat apa yang kubilang padamu tadi pagi Vi?""Apa?" Suaraku bergetar. Semua ini terasa misterius dan menyesakkan dada sehingga aku tak mampu mengingat apapun."Percayalah padaku maka semuanya akan baik-baik saja."
ISTRI BARU MANTAN SUAMIKU (30)"Non, jangan melamun terus. Mbak jadi sedih lihat Non murung. Padahal besok Non akan menikah."Mbak Anik mengusap-usap leherku dengan minyak aroma therapy, lalu memijat pundakku dengan lembut. Kepalaku terasa pusing sekali karena beberapa hari kurang tidur. Wajah Adrian terus terbayang beserta mistery yang mengikutinya. setiap malam menjelang tidur dia akan mengirim pesan romantis, tapi lalu ponsel nya tak pernah lagi aktif. Bahkan teleponku ditolaknya. Ada apakah semua ini? otakku terus berpikir keras menganalisa semuanya. Aku bahkan sama sekali tak memikirkan pernikahan. "Jangan sampai calon pengantin priamu tidak datang."Kata-kata Meisya waktu itu terus terngiang-ngiang. Apakah Meisya tahu sesuatu? Tapi aku tak mungkin bertanya padanya. Rumah lengang, Tiara sudah berangkat ke sekolah. Yuri baru saja memutuskan sambungan telepon dengan sejuta nasihat agar aku percaya pada kata-kata Adrian. Aku
ISTRI BARU MANTAN SUAMIKU (30B)Aku berpikir sebentar lalu masuk ke dalam kamar. Kuraih sehelai kerudung berwarna hitam dan kupakai dengan bantuan jarum pentul. Setelah itu aku melapisi kaos dan celana jeans yang kupakai dengan jaket panjang selutut yang juga berwarna hitam. Tak lupa juga kacamata hitam kutenteng serta, barangkali diperlukan.Adrian terpana menatapku turun dari tangga. Dia langsung berdiri menyambut di anak tangga paling bawah."Kau cantik sekali. Aku jadi tak sabar menunggu besok malam." Ujarnya sambil menggenggam tanganku.Kurasakan wajahku memanas mendengar kata-katanya. Adrian memakai kembali jaket hodie sampai seluruh wajahnya tertutup, juga kacamata hitam."Ayo kita pergi. Aku juga tak sabar menunggu penjelasanmu."Adrian tertawa kecil. "Aku suka perempuan yang tidak sabaran." Dia masih menggodaku."Vi, apakah rumahmu ini ada pintu belakangnya?"Aku mengangguk. Ada pintu kec
ISTRI BARU MANTAN SUAMIKU (31A)Aku menyerahkan ponselku pada Yuri, mengabaikan pesan Meisya dan bertekad hanya akan fokus pada acara ini. Tak akan kubiarkan hatiku goyah karena provokasinya.Kami tiba di hotel tempat akad nikah dan resepsi tiga puluh menit kemudian. Sebetulnya Mama Bianca meminta acara dipindahkan ke rumah saja, tapi menurut Adrian itu hal yang tidak perlu karena tak mungkin baginya mengalihkan tempat acara sementara undangan sudah disebar. Orang-orang akan curiga dan justru akan membuat si pelaku bertindak ekstrem. Kami sebisa mungkin harus bersikap tenang dan biasa saja, karena semua ini baru dugaan."Pelaku yang sudah ditangkap itu? Apakah tidak membuka mulut siapa bos mereka?" Tanyaku kemarin.Adrian menggeleng."Di kalangan para penjahat, ada yang namanya loyalitas. Mereka lebih rela ditembak mati atau minum racun daripada membuka mulut. Terutama jika si bos memegang kartu AS."Aku merinding.
ISTRI BARU MANTAN SUAMIKU (31B)Selamat Vi. Semoga kamu bahagia."Suara Mas Nabil terdengar tulus. Aku mengangguk, tersenyum padanya. Dia salah satu lelaki baik dan tulus yang pernah kukenal. Hanya karena kesombongankulah maka pernikahan kami harus berakhir. Aku menatapnya sekilas, merasa sedikit sedih akan takdirnya memiliki istri seperti Meisya. Tapi bukankah, semua orang bisa berubah? Kemungkinan itu bisa saja terjadi. Aku masih berharap Meisya tidak terlibat tindakan kriminal yang menimpa Alfian karena itu bukan hanya menghancurkan dirinya sendiri, tapi juga Mama dan Mas Nabil.Mama, yang kini bertindak sebagai orangtuaku dan duduk di kursi pelaminan bersama Tiara. Ini mungkin adalah kombinasi yang paling aneh. Tapi bukankah aku tak punya siapa siapa lagi yang lebih berharga dari mereka? Untungnya Mama Bianca dan seluruh keluarga Adrian sama sekali tak keberatan. Bagi mereka, kebahagiaan anaknya adalah yang utama. Sebuah prinsi
DIA BUKAN IBUKU 30 (ENDING)Aku menatap tubuh beku Om Gilang untuk terakhir kalinya sebelum dibawa dengan ambulans. Nenek memutuskan memakamkan Om Gilang di tanah makam keluarga. Bagaimanapun dia telah dianggap anak oleh Nenek. Sungguh miris, sementara makan Mama Meisya berada jauh di pemakaman umum."Kita akan memindahkan makam Mamamu kesini." Ujar Nenek setelah pemakaman Om Gilang selesai. Tak ada yang hadir, hanya kami, pelayan dan satpam yang mengenal Om Gilang. Baru kali inilah aku menyaksikan pemakaman tanpa air mata dan sedu sedan.Aku menggeleng."Tidak Nek, jangan. Makam Mama dan Papa berdampingan. Mereka sudah bahagia di alam sana, biarkan saja seperti itu. Aku telah meminta penjaga untuk merawat makam Mama dan Papa secara khusus."Nenek mengangguk sambil memegang tanganku."Baiklah jika itu keinginanmu Naura. Nenek akan mengikuti semua saranmu. Kau telah dewasa. Zaman Nenek tinggal dan dibesarkan tentu jauh berbeda dengan zaman ini."Aku tersenyum dan menuntun Nenek meningg
DIA BUKAN IBUKU 29PoV GILANG"Gi, apa kau sudah gila? Naura itu anakku!"Wajah Meisya terlihat sedih. Aku tercenung menatapnya. Dia tampak tak bahagia mengetahui semua yang kulakukan untuknya."Tapi dia mengkhianatimu Mei. Dia hidup bersama musuhmu, Vivian. Dia bahkan terlihat sangat mencintai perempuan itu."Meisya menggeleng."Kau tak mengerti Gi. Aku memang menitipkan Naura pada Vivian. Hanya Vivian yang mau dan bisa merawat Naura, mencintainya dengan tulus seperti anaknya sendiri.""Aku tak percaya itu keinginanmu.""Gi, tolong terima saja kenyataan, bahwa kita sudah berpisah. Bukan hanya jarak, tapi juga ruang dan waktu. Hati kita bahkan telah terpisah lama. Lupakan aku dan hiduplah dengan baik."Aku menggeleng. "Aku ingin bersamamu Mei."Meisya tersenyum. Dua dekikan dalam di pipinya terlihat dengan jelas dan aku tak pernah tak terpesona melihatnya."Aku menyayangimu sebagai sahabat dan saudara. Tak lebih. Kuharap kau berhenti menyakiti Naura dan juga Mama."Meisya berbalik, k
DIA BUKAN IBUKU 28Ibu Ismi, Ibunya Lisa akhirnya dibawa ke rumah sakit setelah diberi pertolongan pertama. Nenek berpesan kepada dokter Inka untuk melakukan apa saja yang sekiranya bisa menyelamatkan nyawa tanpa perlu memikirkan biaya. Arsen dan Adit yang mengantar ke rumah sakit sekaligus menyelesaikan administrasi. Mama melarangku ikut ke rumah sakit. Saat ini keselamatanku adalah prioritas bagi semua orang."Jenazah Lisa baru selesai diotopsi. Dia jelas mati karena cekikan sehingga tak ada oksigen yang masuk." Jelas Om Alfian. Aku terdiam, membiarkan Mama menggenggam tanganku yang terasa dingin. Mengapa setelah bertemu Nenek hidupku berubah bak sinetron? Kulihat Nenek terpekur di kursinya. Beliau sudah pulih dan mulai bisa berjalan meski masih terlihat sulit. Menurut dokter, Nenek selama bertahun-tahun minum obat yang melemahkan syaraf dan otot kakinya. Obat itu diberikan oleh Lisa atas perintah Om Gilang agar mudah mengendalikan Nenek. Sungguh, mereka benar-benar manusia biad*b.
DIA BUKAN IBUKU 27POV GILANGLisa terjatuh kembali ke atas kasur akibat kerasnya tamparanku. Ada darah mengalir dari sudut bibirnya yang pecah. Suaranya yang merengek dan berisik itu sungguh-sungguh membuatku kesal."Tuan, anda jahat sekali." Ujarnya sambil menyeka bibirnya. "Berhenti bicara jika kusuruh berhenti. Suaramu membuatku tak bisa berpikir.""Aku hanya mengkhawatirkan Ibuku.""Naura tidak mungkin mencelakainya. Dia anak yang baik.""Jangan terlalu yakin Tuan. Bukankah dia anak Meisya? Dia punya sifat kejam yang sama dengan Meisya. Aku yakin."Aku terkejut mendengar kata-katanya. Di satu sisi, aku mengakui bahwa apa yang Lisa katakan benar. Tapi di sisi lain, ada rasa tak terima mendengar orang lain mengatakan hal buruk tentang orang yang kucintai."Meisya, si jal*ng itu, yang suka mengobral tubuhnya pada lelaki lain hingga tertular HIV. Bukankah dia terlibat banyak kejahatan sebelum mati? Dia juga tega melaporkan Sofyan ke…"PLAK!"Jangan lancang Lisa! Berhenti mengatakan
DIA BUKAN IBUKU 26Kamarku tak berubah, tetap rapi dan bersih seperti biasa saat aku masih tinggal di sini. Puluhan buku koleksiku berjajar rapi di rak kecil yang terbuat dari kayu dan menempel di dinding. Itu adalah buku-buku favorite yang kujaga sepenuh hati sementara buku lainnya bergabung di perpustakaan keluarga yang berada di sudut lantai atas ini. Aku merebahkan diri di atas kasur, memandang seisi kamar. Seandainya tidak ingat bahwa Om Gilang dan Lisa sedang mengincarku, tentu aku akan merasakan hidupku kembali normal disini. Tapi kenyataan itu pupus begitu aku ingat, Nenek dan Ibu Lisa berada di kamar lain, menanti kepastian untuk kembali.Aku mendesah, rasanya nyaman sekali tidur bergelung di kamarku sendiri. Kamar yang sudah kutempati selama lebih dari dua puluh tahun. Aku ingin terus berada disini. "Naura?"Mama melongokkan kepala dari celah pintu yang sedikit terbuka. Aku menoleh, dan bangun dari kasur. Mama, di usianya yang sudah melewati lima puluh tahun, tetap energik
DIA BUKAN IBUKU 25Aku tiba di rumah sakit dan terkejut mendapati banyak orang berkumpul di ruang rawat Nenek. Mama, Tante Ria, si kembar Adit dan Arsen, juga Alesha. Langkah kakiku terhenti melihat mereka semua menatapku. Yang pertama kali berlari menghampiriku adalah Alesha, yang langsung menubruk tubuhku sambil menangis."Kakak…"Aku tertegun, mataku langsung terasa panas menatap orang-orang terkasih yang selama ini kurindukan setengah mati. Padahal belum sebulan aku berada di rumah Nenek, rasanya sudah seabad lamanya aku tak bertemu dengan mereka.Perlahan, kuangkat tanganku, balas memeluk adik bungsuku yang mungil itu. Isaknya makin keras. Dipeluknya aku erat-erat."Maafkan aku Kak. Tolong maafkan aku."Aku mengusap kepalanya yang tertutup jilbab merah muda. Bagaimana mungkin aku tak memaafkannya? Setelah agak lama, isakannya terhenti. Kuurai pelukan Alesha, menatap mata bening yang terlihat sembab itu."Jangan minta maaf terus. Kau tidak salah apa-apa."Alesha justru terisak lag
DIA BUKAN IBUKU 24"Nauraaaa!"Jantungku langsung terasa merosot ke dasar perut. Aku nyaris berlari menuruni tangga, lalu teringat bahwa di bawah ada Lisa yang bisa melakukan apa saja untuk mencelakaiku. Rasanya aku tak bisa lagi membiarkan dua ular ini untuk tinggal di sini lebih lama. Aku akan cepat kena serangan jantung karena mereka. Jadi aku menuruni tangga dengan hati-hati meski rasanya tak sabar untuk segera tiba di kamar nenek."Hati-hati Naura." Janeeta berjalan lebih cepat mendahuluiku. Dia tiba di kamar Nenek lebih dulu, dan ketika tiba disana, aku terkejut melihat pemandangan itu. Nenek jatuh telentang di atas lantai, kepala bagian belakangnya sepertinya membentur lantai dengan keras. Sementara itu, kamar Nenek seperti habis terkena badai. Lemari dan laci laci terbuka dan isinya berhamburan di lantai."Ya Allah Nenek!"Aku memburu tubuh Nenek dan mencoba mengangkatnya. "Jangan Naura. Biarkan dulu. Aku khawatir Nenek kena stroke. Kita tak boleh merubah posisinya sampai per
DIA BUKAN IBUKU#23Aku menerima surat alih adopsi itu dengan hati perih. Terbayang Mama menangis sambil menandatanganinya. Tentu mereka akan menilaiku sebagai anak yang tak tahu diri. Aku tumbuh sehat hingga sebesar ini berkat air susu Mama. Dan betapa rajinnya Mama membawaku check up, memastikan aku minum obat dan vitamin setiap hari. Aku mendesah. Biarlah, suatu saat, mereka akan tahu bahwa aku melakukan ini semua untuk mereka. Jika aku masih tinggal bersama mereka, Om Gilang akan melakukan berbagai cara agar aku datang dengan sukarela. Tidak. Itu tak boleh terjadi. Cukup Papa saja yang hingga kini belum sepenuhnya pulih."Mamamu berpesan, meski secara hukum kau bukan lagi anaknya, kau tetap anak dan keluarga yang mereka kasihi. Kau bisa pulang kapan saja Naura."Aku mengangkat kepalaku yang sejak tadi tertunduk, menyembunyikan air mata yang nyaris meluncur dari Om Alfian."Terimakasih Om. Aku titip Papa, Mama dan adik adikku." Aku tak dapat menahan suaraku yang bergetar.Om Alfian
DIA BUKAN IBUKU 22"Pagi Nona Naura."Sapa Janeeta di meja makan. Aku tersenyum, menarik kursi makan di depanku. Pagi ini aku mengumpulkan pelayan di rumah Nenek di ruang makan merangkap dapur yang amat luas ini. Sementara Nenek ditemani Om Gilang dan seorang sopir serta pelayan sedang check up ke rumah sakit. Nenek melarangku ikut karena katanya tak boleh meninggalkan rumah tanpa seorangpun pemilik rumah. Agak aneh sebetulnya mengingat selama ini Nenek sendirian, hanya dikelilingi orang-orang asing yang tak punya hubungan dengannya."Pagi Jani, pagi semuanya."Mereka menyahut serempak. Dari sudut mata kulihat Janeeta mengedip mendengarku memanggilnya Jani."Saya hendak menyampaikan apa yang telah disepakati oleh saya dan Nenek. Karena Nenek sakit dan saya adalah satu satunya ahli waris, mulai hari ini, saya yang akan memegang kendali atas rumah ini."Gumaman terdengar dari mulut mereka. Aku menatap Lisa melalui sudut mata, mendapati wajahnya yang tampak tak enak dipandang."Pertama,