ISTRI BARU MANTAN SUAMIKU (39)
Adrian menatapku yang sedang sibuk menata meja makan dengan tatapan heran. Berkali-kali dia melirik meja makan setiap kali aku atau Mbak Anik meletakkan hidangan makan malam di atas meja. Ketika mangkuk terakhir berisi sayur asam selesai kuletakkan di sana, barulah aku menyadari tatapannya yang aneh."Kenapa?" Ujarku sambil duduk di sebelahnya. Sementara Tiara sudah duduk di hadapanku bersama Mbak Anik di sebelahnya. Mereka, sama seperti Adrian, diam saja sambil menatap hidangan di atas meja."Apakah kau tak menyadari selera makanmu jadi agak sedikit aneh akhir-akhir ini?"Aku menatap hidangan di atas meja. Pindang Iga, daging gepuk, ayam, tahu dan tempe goreng, sambal terasi, dan sayur asam Jakarta yang berisi potongan tulang iga gondrong yang begitu menerbitkan selera."Aneh dimananya?""Setahuku, kau lebih suka seafood. Tapi akhir-akhir ini aku selalu menemukan hidangan serba daging diISTRI BARU MANTAN SUAMIKU (39B)"Hai Mei, apa kabar?"Dia tersenyum manis seperti biasa."Aku baik-baik saja. Hanya yaa, kau tahu sendiri bagaimana kehamilan kadang membuat kita tak berdaya. Oh ya, apakah kau tak mau memberi ucapan selamat padaku? Aku sedang hamil adik Tiara."Aku menatapnya, raut wajah cantik penuh senyum palsu itu tampak sedikit pucat. Dia menutupi semua yang terjadi dengannya dan berusaha tampil baik baik saja di depanku."Oh ya, selamat kalau begitu." Ujarku sambil membalas senyumnya."Kau sendiri bagaimana? Kelihatannya kau belum hamil ya. Berapa usiamu? Tiga puluh tahun? Oh, mungkin kau sudah terlalu tua untuk hamil lagi."Aku tertawa kecil mendengar kata-katanya yang menghina tapi diucapkan dengan lembut dan penuh senyum. Dia belum berubah."Aku hanya berusaha pasrah pada apapun yang digariskan Tuhan. Pasrah, menerima dan berusaha memperbaiki diri. Mungkin saja Tuhan mau me
ISTRI BARU MANTAN SUAMIKU (40)"Vi…"Pintu ruanganku terbuka. Yuri masuk dengan gesture tubuh gelisah. Dia langsung duduk di depanku sambil menaruh selembar map. Aku menatapnya dalam-dalam. Melihat ekspresinya kali ini, aku tahu pasti ada sesuatu yang tidak beres. "Ada apa Ri?""Proposal pengajuan kerjasama kita dengan Bank Permata, BNNI, BRII semua ditolak."Aku meletakkan ballpoint di atas meja. Kabar ini sangat mendadak dan juga mengherankan. Karena dari pertemuan kemarin, kemungkinan kerjasama sangat besar. Perusahaanku punya reputasi yang sangat bagus, tidak ada alasan untuk menolaknya."Kalau kita tidak punya bank rekanan, tidak mungkin KPR bisa berjalan. Padahal sudah ada beberapa space yang dibooking."Tentu saja, perumahan subsidi dibantu oleh pemerintah melalui Bank, baik Bank pemerintah maupun Bank swasta. Meski bisa saja unit dibeli dengan cara cash tempo, tetap saja, pembayaran akan melalui Bank karena
ISTRI BARU MANTAN SUAMIKU (40B)Aku berjalan meninggalkan gedung besar kantor PT. Unggul Pratama yang kini sedang ditinggal ratunya. Entah bagaimana nasib Mas Nabil jika Meisya tahu dia menghabiskan banyak uang untuk menyuap tiga Bank dan akhirnya sia-sia. Kenapa Mas Nabil bisa sebodoh itu? Astaga."Mantan suamimu itu bukan orang bisnis. Caranya berpikir masih terlalu sederhana." Ujar Yuri sambil menghidupkan mesin. Dia memang kusuruh menunggu di mobil saja.Aku menggedikkan bahu. Mungkin Meisya belum membimbingnya sampai kesana, atau dia terburu nafsu untuk menjatuhkanku dan menunjukkan bahwa dia punya kekuatan karena kini posisinya seorang direktur. Sebuah pembuktian diri yang sia-sia."Biar sajalah. Urusan kita sudah selesai. Dua Bank lagi besok kuserahkan padamu. Kasusnya pasti serupa.""Siap Buk Bos."Aku tertawa. " Kita ke Mas Yanto Lamongan Ri. Aku lapar. Rasanya aku bisa menghabiskan seekor ayam goreng dan dua m
ISTRI BARU MANTAN SUAMIKU (41)Aku nyaris berlari menyusuri lorong rumah sakit jika Adrian tak terus menahan langkahku. Digenggamnya tanganku erat-erat demi menyadari aku tak sabar melihat lorong rumah sakit yang seolah tak ada ujungnya. Dari kejauhan, dapat kulihat Bik Rum duduk seorang diri di depan ruang ICU. Melihatku, dia langsung tergopoh menghampiri."Ada apa Bik? Bagaimana Mama bisa sampai kena serangan jantung? Bagaimana keadaanya sekarang?"Adrian menahan bahuku, menyuruhku tenang."Vi, satu satu nanyanya. Kasihan Bik Rum kebingungan."Aku tersadar. Kuraih tangan Bik Rum, membawanya ke kursi tunggu tak jauh dari pintu ICU."Bagaimana keadaan Mama?"Itu adalah pertanyaan yang sangat kubutuhkan jawabannya saat ini. Sejak subuh tadi, wajah Mama yang sendu, yang terakhir kali kulihat melalui video call terus terbayang. Sudah cukup lama aku tak bertemu Mama demi menjaga hatiku sendiri. Karena setiap kali m
ISTRI BARU MANTAN SUAMIKU (42)"Lupakan semuanya sayang. Tuhan lebih sayang pada Mama. Dia tak ingin Mama merasakan kesedihan mendalam jika beliau tahu semuanya."Adrian mengusap-usap kepalaku dengan lembut. Aku baru saja kembali dari kamar Tiara, memastikan dia tertidur dengan pulas meski ada sisa air mata menggenang di kelopaknya. Bik Rum dan Mbak Anik juga sudah beristirahat di kamar mereka. Kini, aku berbaring di kamarku, dengan kepalaku berada di atas lengan kokoh Adrian."Mama belum pernah merasa bahagia kecuali saat Tiara lahir.""Itu sudah cukup baginya. Bukankah segala sesuatu yang berlebihan itu tidak baik?"Aku terdiam, berusaha mengumpulkan ingatan akan saat-saat bahagia bersama Mama. Jalan-jalan, belanja, belajar masak yang tak berhasil dan selalu berujung Mamalah yang masak semuanya. Aku bertekad akan mengingat semua hal yang indah saja. "Lusa kita akan berangkat gathering. Kamu tidak boleh seperti ini, a
ISTRI BARU MANTAN SUAMIKU (43)Aku menatap foto-foto yang diunggah Vivian di akun Instagramnya. Foto yang sama yang telah kulihat ratusan kali sejak seminggu lalu. Mereka tengah berlibur bersama seluruh karyawan kantor di sebuah pantai indah di pesisir Lampung. Sebuah tempat yang dulu juga menjadi saksi kebahagiaanku dengan Vivian. Kami pernah menghabiskan waktu di sana saat awal awal menjadi pengantin baru, mereguk nikmatnya cinta. Aku mendesah, menscroll layar ponsel dan merasakan hatiku ikut bahagia melihatnya, seakan-akan aku ada disana, menjadi bagian dari mereka. Beberapa moment yang dia abadikan membuatku semakin menyesali semua kebodohan yang sudah kulakukan. Vivian tampak begitu bahagia. Adrian memperlakukannya bak ratu, dia juga terlihat sangat menyayangi Tiara. Hatiku menghangat menatap itu semua. Melihat Vivian dan Tiara bahagia ternyata menularkan rasa yang sama di hatiku. Mungkin inilah yang sebenarnya disebut cinta."Kau masih saja melihat
ISTRI BARU MANTAN SUAMIKU (44)Aku tak lagi bisa berpikir jernih, terbayang foto Tiara yang dikirimkan Meisya pada seseorang entah siapa. Kutarik kerah kaos lelaki itu, tak peduli tatapan orang disekelilingku yang menatap kami dengan raut heran."Kau mau menculik anakku?"Lelaki itu terkejut. Dia lekas menangkap tinjuku yang nyaris saja bersarang di wajahnya. Gerakannya tangkas dan terlatih. Setelah tinju kananku masuk dalam genggaman tangannya, dia memelintir lenganku dan menguncinya ke belakang."Sorry, Bro. Tapi saya bukan mau menculik Tiara.""Siapa kamu?!" Geramku."Aku Om-nya Tiara. Dia keponakanku."Otakku mulai bekerja. Sepintas tadi wajah lelaki itu sepertinya kukenal. Dia mirip dengan seseorang. Astaga, tentu saja. "Apakah kau adiknya Adrian?""Benar. Oke kalau kau sudah tahu siapa aku, tentu kau tak perlu menyerangku bukan? Aku akan melepaskanmu. Aku tahu kau Ayah Tiara."
ISTRI BARU MANTAN SUAMIKU (45)"Assalamualaikum, sayang."Adrian, seperti biasa langsung duduk berlutut usai mengecup keningku dengan lembut. Diletakkannya sebentar tangannya di atas perutku, mencari gerakan kecil bayi di dalamnya. Lalu, ditempelkannya hidung dan bibirnya di sana, menyapa si kembar."Apakah anak Papa banyak bergerak hari ini?" Ujarnya lembut.Bayi di dalam kandunganku bereaksi. Terasa sundulan dan geliatan kecil dari dalam, lalu tampak di permukaan perutku yang tertutup home dress polos berwarna kuning. Adrian ternganga."Wow, dia mendengar suaraku." Ujarnya takjub."Tentu saja." Aku mengusap rambut suamiku. "Suara Ayahnya adalah suara paling indah di muka bumi ini. Eemmm, tapi tentu saja, setelah suaraku."Adrian tertawa. "Vivian memang tidak akan berubah soal itu." Dia lalu mencium lagi perutku dan duduk di sebelahku."Apakah Bik Rum betah tinggal di sini? Tidak minta pulang kampung kan?""Bik Rum hanya merasa tidak enak karena merasa merepotkanku. Tapi aku sudah me
DIA BUKAN IBUKU 30 (ENDING)Aku menatap tubuh beku Om Gilang untuk terakhir kalinya sebelum dibawa dengan ambulans. Nenek memutuskan memakamkan Om Gilang di tanah makam keluarga. Bagaimanapun dia telah dianggap anak oleh Nenek. Sungguh miris, sementara makan Mama Meisya berada jauh di pemakaman umum."Kita akan memindahkan makam Mamamu kesini." Ujar Nenek setelah pemakaman Om Gilang selesai. Tak ada yang hadir, hanya kami, pelayan dan satpam yang mengenal Om Gilang. Baru kali inilah aku menyaksikan pemakaman tanpa air mata dan sedu sedan.Aku menggeleng."Tidak Nek, jangan. Makam Mama dan Papa berdampingan. Mereka sudah bahagia di alam sana, biarkan saja seperti itu. Aku telah meminta penjaga untuk merawat makam Mama dan Papa secara khusus."Nenek mengangguk sambil memegang tanganku."Baiklah jika itu keinginanmu Naura. Nenek akan mengikuti semua saranmu. Kau telah dewasa. Zaman Nenek tinggal dan dibesarkan tentu jauh berbeda dengan zaman ini."Aku tersenyum dan menuntun Nenek meningg
DIA BUKAN IBUKU 29PoV GILANG"Gi, apa kau sudah gila? Naura itu anakku!"Wajah Meisya terlihat sedih. Aku tercenung menatapnya. Dia tampak tak bahagia mengetahui semua yang kulakukan untuknya."Tapi dia mengkhianatimu Mei. Dia hidup bersama musuhmu, Vivian. Dia bahkan terlihat sangat mencintai perempuan itu."Meisya menggeleng."Kau tak mengerti Gi. Aku memang menitipkan Naura pada Vivian. Hanya Vivian yang mau dan bisa merawat Naura, mencintainya dengan tulus seperti anaknya sendiri.""Aku tak percaya itu keinginanmu.""Gi, tolong terima saja kenyataan, bahwa kita sudah berpisah. Bukan hanya jarak, tapi juga ruang dan waktu. Hati kita bahkan telah terpisah lama. Lupakan aku dan hiduplah dengan baik."Aku menggeleng. "Aku ingin bersamamu Mei."Meisya tersenyum. Dua dekikan dalam di pipinya terlihat dengan jelas dan aku tak pernah tak terpesona melihatnya."Aku menyayangimu sebagai sahabat dan saudara. Tak lebih. Kuharap kau berhenti menyakiti Naura dan juga Mama."Meisya berbalik, k
DIA BUKAN IBUKU 28Ibu Ismi, Ibunya Lisa akhirnya dibawa ke rumah sakit setelah diberi pertolongan pertama. Nenek berpesan kepada dokter Inka untuk melakukan apa saja yang sekiranya bisa menyelamatkan nyawa tanpa perlu memikirkan biaya. Arsen dan Adit yang mengantar ke rumah sakit sekaligus menyelesaikan administrasi. Mama melarangku ikut ke rumah sakit. Saat ini keselamatanku adalah prioritas bagi semua orang."Jenazah Lisa baru selesai diotopsi. Dia jelas mati karena cekikan sehingga tak ada oksigen yang masuk." Jelas Om Alfian. Aku terdiam, membiarkan Mama menggenggam tanganku yang terasa dingin. Mengapa setelah bertemu Nenek hidupku berubah bak sinetron? Kulihat Nenek terpekur di kursinya. Beliau sudah pulih dan mulai bisa berjalan meski masih terlihat sulit. Menurut dokter, Nenek selama bertahun-tahun minum obat yang melemahkan syaraf dan otot kakinya. Obat itu diberikan oleh Lisa atas perintah Om Gilang agar mudah mengendalikan Nenek. Sungguh, mereka benar-benar manusia biad*b.
DIA BUKAN IBUKU 27POV GILANGLisa terjatuh kembali ke atas kasur akibat kerasnya tamparanku. Ada darah mengalir dari sudut bibirnya yang pecah. Suaranya yang merengek dan berisik itu sungguh-sungguh membuatku kesal."Tuan, anda jahat sekali." Ujarnya sambil menyeka bibirnya. "Berhenti bicara jika kusuruh berhenti. Suaramu membuatku tak bisa berpikir.""Aku hanya mengkhawatirkan Ibuku.""Naura tidak mungkin mencelakainya. Dia anak yang baik.""Jangan terlalu yakin Tuan. Bukankah dia anak Meisya? Dia punya sifat kejam yang sama dengan Meisya. Aku yakin."Aku terkejut mendengar kata-katanya. Di satu sisi, aku mengakui bahwa apa yang Lisa katakan benar. Tapi di sisi lain, ada rasa tak terima mendengar orang lain mengatakan hal buruk tentang orang yang kucintai."Meisya, si jal*ng itu, yang suka mengobral tubuhnya pada lelaki lain hingga tertular HIV. Bukankah dia terlibat banyak kejahatan sebelum mati? Dia juga tega melaporkan Sofyan ke…"PLAK!"Jangan lancang Lisa! Berhenti mengatakan
DIA BUKAN IBUKU 26Kamarku tak berubah, tetap rapi dan bersih seperti biasa saat aku masih tinggal di sini. Puluhan buku koleksiku berjajar rapi di rak kecil yang terbuat dari kayu dan menempel di dinding. Itu adalah buku-buku favorite yang kujaga sepenuh hati sementara buku lainnya bergabung di perpustakaan keluarga yang berada di sudut lantai atas ini. Aku merebahkan diri di atas kasur, memandang seisi kamar. Seandainya tidak ingat bahwa Om Gilang dan Lisa sedang mengincarku, tentu aku akan merasakan hidupku kembali normal disini. Tapi kenyataan itu pupus begitu aku ingat, Nenek dan Ibu Lisa berada di kamar lain, menanti kepastian untuk kembali.Aku mendesah, rasanya nyaman sekali tidur bergelung di kamarku sendiri. Kamar yang sudah kutempati selama lebih dari dua puluh tahun. Aku ingin terus berada disini. "Naura?"Mama melongokkan kepala dari celah pintu yang sedikit terbuka. Aku menoleh, dan bangun dari kasur. Mama, di usianya yang sudah melewati lima puluh tahun, tetap energik
DIA BUKAN IBUKU 25Aku tiba di rumah sakit dan terkejut mendapati banyak orang berkumpul di ruang rawat Nenek. Mama, Tante Ria, si kembar Adit dan Arsen, juga Alesha. Langkah kakiku terhenti melihat mereka semua menatapku. Yang pertama kali berlari menghampiriku adalah Alesha, yang langsung menubruk tubuhku sambil menangis."Kakak…"Aku tertegun, mataku langsung terasa panas menatap orang-orang terkasih yang selama ini kurindukan setengah mati. Padahal belum sebulan aku berada di rumah Nenek, rasanya sudah seabad lamanya aku tak bertemu dengan mereka.Perlahan, kuangkat tanganku, balas memeluk adik bungsuku yang mungil itu. Isaknya makin keras. Dipeluknya aku erat-erat."Maafkan aku Kak. Tolong maafkan aku."Aku mengusap kepalanya yang tertutup jilbab merah muda. Bagaimana mungkin aku tak memaafkannya? Setelah agak lama, isakannya terhenti. Kuurai pelukan Alesha, menatap mata bening yang terlihat sembab itu."Jangan minta maaf terus. Kau tidak salah apa-apa."Alesha justru terisak lag
DIA BUKAN IBUKU 24"Nauraaaa!"Jantungku langsung terasa merosot ke dasar perut. Aku nyaris berlari menuruni tangga, lalu teringat bahwa di bawah ada Lisa yang bisa melakukan apa saja untuk mencelakaiku. Rasanya aku tak bisa lagi membiarkan dua ular ini untuk tinggal di sini lebih lama. Aku akan cepat kena serangan jantung karena mereka. Jadi aku menuruni tangga dengan hati-hati meski rasanya tak sabar untuk segera tiba di kamar nenek."Hati-hati Naura." Janeeta berjalan lebih cepat mendahuluiku. Dia tiba di kamar Nenek lebih dulu, dan ketika tiba disana, aku terkejut melihat pemandangan itu. Nenek jatuh telentang di atas lantai, kepala bagian belakangnya sepertinya membentur lantai dengan keras. Sementara itu, kamar Nenek seperti habis terkena badai. Lemari dan laci laci terbuka dan isinya berhamburan di lantai."Ya Allah Nenek!"Aku memburu tubuh Nenek dan mencoba mengangkatnya. "Jangan Naura. Biarkan dulu. Aku khawatir Nenek kena stroke. Kita tak boleh merubah posisinya sampai per
DIA BUKAN IBUKU#23Aku menerima surat alih adopsi itu dengan hati perih. Terbayang Mama menangis sambil menandatanganinya. Tentu mereka akan menilaiku sebagai anak yang tak tahu diri. Aku tumbuh sehat hingga sebesar ini berkat air susu Mama. Dan betapa rajinnya Mama membawaku check up, memastikan aku minum obat dan vitamin setiap hari. Aku mendesah. Biarlah, suatu saat, mereka akan tahu bahwa aku melakukan ini semua untuk mereka. Jika aku masih tinggal bersama mereka, Om Gilang akan melakukan berbagai cara agar aku datang dengan sukarela. Tidak. Itu tak boleh terjadi. Cukup Papa saja yang hingga kini belum sepenuhnya pulih."Mamamu berpesan, meski secara hukum kau bukan lagi anaknya, kau tetap anak dan keluarga yang mereka kasihi. Kau bisa pulang kapan saja Naura."Aku mengangkat kepalaku yang sejak tadi tertunduk, menyembunyikan air mata yang nyaris meluncur dari Om Alfian."Terimakasih Om. Aku titip Papa, Mama dan adik adikku." Aku tak dapat menahan suaraku yang bergetar.Om Alfian
DIA BUKAN IBUKU 22"Pagi Nona Naura."Sapa Janeeta di meja makan. Aku tersenyum, menarik kursi makan di depanku. Pagi ini aku mengumpulkan pelayan di rumah Nenek di ruang makan merangkap dapur yang amat luas ini. Sementara Nenek ditemani Om Gilang dan seorang sopir serta pelayan sedang check up ke rumah sakit. Nenek melarangku ikut karena katanya tak boleh meninggalkan rumah tanpa seorangpun pemilik rumah. Agak aneh sebetulnya mengingat selama ini Nenek sendirian, hanya dikelilingi orang-orang asing yang tak punya hubungan dengannya."Pagi Jani, pagi semuanya."Mereka menyahut serempak. Dari sudut mata kulihat Janeeta mengedip mendengarku memanggilnya Jani."Saya hendak menyampaikan apa yang telah disepakati oleh saya dan Nenek. Karena Nenek sakit dan saya adalah satu satunya ahli waris, mulai hari ini, saya yang akan memegang kendali atas rumah ini."Gumaman terdengar dari mulut mereka. Aku menatap Lisa melalui sudut mata, mendapati wajahnya yang tampak tak enak dipandang."Pertama,