“A journey of a thousand miles begins with a single step”
Dengan gusar Kara memasukan baju-bajunya ke dalam koper. Ia benar-benar sudah tidak mengerti dengan Papanya yang kali ini sudah kelewat batas.
Yang benar saja! Masa Kara yang berusia 28 tahun, akan dijodohkan dengan seorang pengusaha batu bara tua bangka yang punya banyak kutil di wajahnya!
Hutang sih hutang, tapi kenapa mesti ia yang dikorbankan?
Jika ia ingin menghentikan perjodohan itu paling tidak ia harus memiliki uang 100 milyar untuk membayar hutang Papa ke si tua bangka."Ra, kamu gak ada niatan kabur kan?" tanya Papa dengan wajah memelas.
Kara menghentikan aktivitas packingnya, lalu mendongak menatap Papanya dengan emosi yang tak terkira.
"Pa, aku tuh udah ngerencanain solo traveling ini dari enam bulan yang lalu! Kabur kabur! enak aja kalau ngomong," sahut Kara ketus saking sebalnya.
Papa menghembuskan nafas lega, sejatinya ia tak tega menjodohkan anak gadis semata wayangnya dengan Broto Asmoro si tua bangka. Tapi dirinya terancam dipenjara, sehingga mau tidak mau ia harus tega.
"Maafin Papa ya Ra. Kalau ada jalan lain pasti Papa gak akan maksa kamu. Sekali ini aja Ra tolongin Papa ya,"
Kalau saja ada Mama saat ini, pasti ia akan membela Kara habis-habisan. Tapi Mama Kara sudah berpulang ke haribaan yang Kuasa sejak Kara baru saja menginjak bangku SMA. Jadi mau tidak mau, suka tidak suka, ia harus menuruti kemauan Papa.
"Pokoknya nikah aja ya Pa! Abis nikah Kara mau kabur, bodo amat! Perjanjiannya nikah utang lunas kan?!" omel Kara masih dengan emosi yang memenuhi dadanya.
Papa menunduk,
"Iya kayaknya Ra, yang penting kamu nikah dulu lah ya. Pulang dari traveling ya nak. Papa nanti bilang sama Pak Broto."Begitulah Kara mengawali paginya sebelum berangkat ke bandara soekarno-hatta. Tak peduli seberapa keras Papanya mencegahnya untuk berangkat, Kara tetap maju tak gentar.
Solo traveling ini sudah ia rencanakan sejak enam bulan yang lalu. Ia dengan susah payah menabung honornya sebagai seorang penulis platform online yang jumlahnya kadang naik kadang surut. Tiga bulan sebelumnya ia sudah mendaftar Visa Schengen, dan hari ini ia sudah siap melalangbuana keliling Eropa. Diam-diam dalam hati ia berniat tak usah kembali saja ke Indonesia. Jika bisa.
Ia tertidur pulas sejak pesawat transit di Doha Qatar sampai pesawat tiba di Bandara Schiphol Amsterdam. Ia mengernyit silau melihat lampu pesawat yang sudah dinyalakan.
Dengan mata yang tiba-tiba menjadi segar karena semangat, ia menarik koper hitamnya menuju sebuah Coffee Shop untuk membeli kopi panas karena cuaca ternyata sangat dingin hingga mencapai 0 derajat celcius.
Ia merapatkan long john dan mantelnya sambil menunggu kopi panasnya selesai dibuat. Di sudut sofa yang tak jauh darinya, ia melihat seorang pria muda yang wajahnya terlihat sangat tampan ala Asia. "Ganteng sih, tapi judes bener mukanya," gumamnya dalam hati sambil terus menilai penampilan si pria muda yang kelihatannya kaya raya.
Pria muda itu balas melihat Kara, dengan kecepatan kilat Kara langsung mengalihkan pandangan ke arah barista yang sedang membuat kopinya. Tiba-tiba pria itu berjalan ke arahnya, membuat Kara menjadi salah tingkah. Jangan-jangan dia mau dilabrak karena terang-terangan menatap si pria muda sejak tadi.
Kara pura-pura tak peduli sambil terus menatap ke arah barista, tak lama kemudian, "Indonesia ya?" tanya si pria dengan suara super datarnya.
Hah dia tau gue dari Indonesia? Gue gak tau kalau gue seterkenal itu? Emang muka gue Indonesia banget ya? Astaga apa dia cenayang! Kara terus menerus menebak-nebak dalam hatinya tanpa menjawab si pria yang berdiri menjulang di hadapannya.
Seolah mengerti isi hati Kara, Pria itu menunjuk koper Kara yang terdapat tag di kopernya dengan tulisan CGK, yang artinya adalah Bandara Soekarno-Hatta yang terletak di Cengkareng Tangerang Banten Indonesia.
Kara langsung berdeham karena malu diri, ia mengambil pesanan kopinya di barista lalu berdiri menghadap si pria judes tersebut.
"Ya? Kenapa ya?" tanya Kara dengan suara sok penting.
"Saya mau tanya beberapa hal, bisa duduk sebentar di sofa sana?" tanya pria tersebut, sudah berusaha bersikap sopan tapi entah mengapa tetap saja kedengarannya seperti sedang menyuruh.
Kara mengernyit,
"Tau dari mana saya kalau anda bukan orang jahat?" Ia mulai waspada dan menggenggam erat kopi panasnya."Satu, kita di tempat ramai dan aman. Dua, kamu bisa teriak kalau saya berbuat jahat. Tiga, saya gak ngeliat ada yang berharga yang bisa saya ambil dari kamu," sahut si Pria dengan nada datar-datar saja berlawanan dengan perasaan Kara yang mulai kesal tak karuan.
Sambil melirik si Pria dengan sinis, Kara menyeret kopernya ke sofa tempat si pria duduk, lalu menghempaskan tubuhnya di sana. Tak lama kemudian si Pria yang mengenakan celana chino berwarna krem dan long coat Burberry duduk di depannya.
"Cepetan! ada apa?" tanya Kara sambil menatap si Pria dengan tatapan menilai. 'Boleh juga nih orang, jam nya Rolex! Tajir kayaknya!' pekik Kara dalam hati.
"Jadi saya dadakan ke sini. Belum sempat booking hotel dan ternyata semua hotel udah full. Bahkan hotel bintang 5 juga, semua full!"
Si Pria diam sebentar memberi jeda. Belum sempat si Pria melanjutkan, Kara sudah menyela, "Terussssss? Saya harus sharing hotel gitu sama kamu?!"Si Pria terkejut dengan pemikiran Kara,
"Bukan sharing sih, gak berminat juga saya tidur sama anda. Saya mau bayar hotel yang udah anda booking dengan harga 10 kali lipat!" tukas Pria tersebut sambil mengambil kopinya lalu menyeruput nya dengan perlahan, mempelajari reaksi wanita di hadapannya.APA 10 KALI LIPAT?
Kara sempat tergoda, lumayan juga uangnya untuk tambahan uang saku! Tapi nanti ia tidur dimana?"No Thanks, musim dingin begini yang ada saya jadi terlantar. Sudah ya saya mesti kejar kereta!" Kara berdiri bersiap untuk menarik kopernya.
"30 kali lipat!" teriak si Pria tiba-tiba.
Langkah Kara terhenti, wah lumayan juga! Satu pikiran melintas di benak Kara. Ia menatap si Pria lama, lalu berkata. "50 kali lipat dan kita sharing kamar."
Si Pria melotot tak percaya, seolah merasa di nodai harga dirinya. "Sharing kamar? No! Never!" sahutnya sambil mencibir dengan wajah tampannya yang menyebalkan.
Kara mengangkat bahu seolah tak peduli, lalu berbalik badan bersiap pergi. Ia menghitung dalam hatinya, entah kenapa ia begitu yakin bisa mendapatkan uang extra untuk bekal traveling nya kali ini. "Oke! Oke! Saya ikut!" teriak si Pria pasrah pada akhirnya.
Jadilah dua insan yang tak saling kenal berjalan bersisian di Areal Plaza Schiphol, berdebat antara ingin naik Taxi atau naik Kereta.
"Saya mau coba naik metro! Kalau gak mau ikut ya udah!" tukas Kara seraya melangkah menuju eskalator turun yang mengarah ke Schiphol Railway Station. Enggan berdebat, si Pria menurut, mengikuti Kara di belakang. Sambil menunggu metro datang, Kara menoleh menatap si Pria dengan tatapan yang ia buat segalak mungkin.
"Saya mau liat ID kamu! Yah buat jaga-jaga aja, siapa tau kamu orang aneh atau jahat atau gila," tukas Kara mulai agak ngawur.
Si Pria dengan kesal mengeluarkan paspornya dan memberikannya pada Kara.
BAGASKARA MAHENDARA, oh dia 31 tahun, walahhhh kok belakangnya sama kayak nama aku?' pekik Kara dalam hati.
Ia berdeham sedikit, mengambil foto paspor Bagas lalu mengembalikannya lagi. "Okay Bagas, mari berkenalan dengan resmi. Nama saya Kara Adriana Hadinata. Panggil saja Kara. Mulai sekarang sampai kamu checkout nanti, kamu harus mengikuti peraturan saya okay?" ujar Kara sambil tersenyum manis, ia sudah membayangkan akan mendapat pembayaran 50 kali lipat dari biaya sewa kamar nya!
Bagas mendengus sinis, lalu memasukan paspornya kembali ke dalam saku mantelnya.
"Nama kamu beneran Kara? Atau cuma ngepasin aja sama nama saya?" tanya Bagas datar.Dengan kesal Kara mengeluarkan paspornya, lalu menunjukkan lekat-lekat ke wajah Bagas.
"BACA NIH! KARA ADRIANA HADINATA! PEDE BANGET SIH JADI ORANG!" omelnya kesal.Tadinya ia ingin melanjutkan omelannya, tapi Bagas diselamatkan oleh metro yang datang, yang akan mengantarkan mereka sampai ke Sloterdijk Station. Metro malam itu tidak begitu penuh, hanya ada beberapa orang saja dalam satu gerbong. Kara dan Bagas duduk bersebelahan namun saling memalingkan wajah.
Dalam hati Bagas merutuki kesialannya karena lupa memesan hotel dan harus berurusan dengan makhluk ngawur seperti Kara yang dari tampang nya saja kelihatannya mata duitan. Sementara itu Kara malah sibuk mengalikan jumlah uang yang akan ia dapat, bahkan ia mulai merencanakan itinerary tambahan untuk agenda solo travelingnya.
Sampai di Sloterdijk Station, Kara menarik kopernya menuju pintu keluar stasiun. Kebetulan penginapan yang di rekomendasikan sahabatnya tidak jauh dari sana.
"Jalan kaki?" tanya Bagas saat melihat Kara mulai melangkah di trotoar. "Udah ikut aja, bawel bener," sahut Kara tanpa menoleh.
'Di peta tadi 100 meter dari stasiun kan ya?' ia bergumam dalam hati.
Ia gengsi untuk melihat peta sehingga memutuskan untuk terus berjalan mengikuti instingnya. Setelah berjalan agak jauh Bagas mulai mengomel, "Jauh banget gak sampe - sampe!"
"Cuma 100 meter kok!"
kelit Kara sambil mengeluarkan ponselnya, lalu membuka ulang catatan perjalanannya.Ia terdiam, melirik Bagas dengan wajah tertangkap basah. "Kenapa?!" bentak Bagas kesal. Kara menggigit bibirnya, lalu menunjukkan catatan di ponselnya. "1000 meter?!"
teriak Bagas tepat di telinga Kara.*****
Jam sudah menunjukkan pukul 21.30 saat Kara dan Bagas sampai di penginapan yang sudah Kara sewa sejak jauh-jauh hari. Penginapan tersebut merupakan rekomendasi dari sahabat Kara yang bernama Nadine. Bangunan penginapannya terlihat agak kuno, namun masih kokoh. Dindingnya terlihat seperti baru saja di cat ulang, Kara dapat menebak dari aroma khas cat dinding yang memenuhi rongga hidungnya. Di belakangnya Bagas berdiri dengan wajah yang sama sekali tidak menyenangkan. Kara menekan bel yang terpasang di dinding sebelah pintu satu kali, lalu mundur satu langkah menunggu pintu dibuka. Beberapa saat kemudian seorang wanita tua dengan rambut yang agak kelabu muncul, ia merapatkan kardigan wol cokelat tuanya saat pintu penginapan dibuka lebar. "Sudah ada reservasi?" tanyanya langsung saja tanpa basa-basi karena malas berlama-lama berada di udara terbuka. Kara menunjukkan bukti pemesanan yang tersimpan di email yang ada di ponselnya, Wanita itu mengangguk sambil tersenyum. "Ahhh Indonesia
Bagas menutup wajahnya yang sangat kesakitan, ia berlari ke kamar mandi dan membasuh wajahnya dengan air yang mengalir. Kara yang bingung mulai mencari cara menangani orang yang terkena semprotan merica di mesin pencarian google. Ya ampun! Efek peradangan menyebabkan mata tertutup, menghilangkan penglihatan untuk sementara, perasaan terbakar di paru-paru dan sesak nafas. Pertolongan pertama : Basuh dengan air, air garam atau kompres dengan susu. Kara bergegas berlari mengambil tiga kotak susu uht di kopernya, lalu menuangkannya pada sebuah wadah yang ada di kamar mandi. Saat itu Bagas sedang meringis kesakitan tanpa bisa membuka mata. "Sini biar saya kompres pake susu. Kata google bisa bantu ngurangin efek peradangan," tukas Kara panik. Bagas yang ingin marah-marah memilih untuk menyimpan amarahnya untuk nanti saja. Dan membiarkan Kara mengompres wajah dan lehernya dengan handuk yang sudah di rendam susu uht. "Maaf ya, saya benar-benar lupa kalau ada kamu di kamar ini. Jadi sa
Kara yang sudah sampai di luar penginapan mengumpat karena ia lupa jika saat ini adalah musim dingin dan ia hanya mengenakan celana kulot dan crop top. Dengan sebal ia kembali masuk ke dalam penginapan dan berlari ka lantai tiga. "Saya lupa pakai mantel!" tukas Kara sambil membuka pintu, Bagas terlihat sedang menelepon seseorang di dekat jendela, tak menyadari kehadiran Kara. "Udahlah Ma, Mama tenang aja! Aku bisa urus semua sendiri. Pokoknya sampai Indonesia aku udah punya istri.""Gavin gak akan dapat kesempatan itu Ma. Just Relax okay? Mama cukup masukin nama aku di pencalonan CEO. Let me do the rest."Bagas dengan gusar mematikan panggilan teleponnya dan terkejut mendapati Kara berdiri disana dengan mantel di tangannya. "Sejak kapan kamu di situ?" tanya Bagas sambil berjalan ke arah Kara. "Barusan kok. Mantel saya ketinggalan. Tadi waktu masuk saya teriak-teriak kamu gak dengar?" sahut Kara ketus, ia sudah bersiap untuk keluar kamar lagi saat Bagas menahannya. "Saya ikut!" tuk
Salju mulai berjatuhan dengan deras saat Kara dan Bagas selesai berkeliling di Rijksmuseum. Mereka berdiri di depan bangunan Rijksmuseum yang bergaya Neo Renaisans menunggu Uber Car datang menjemput. "Habis dari sini rencananya kamu mau kemana?" Tanya Bagas memecah keheningan di antara mereka. "Maksudnya setelah dari Amsterdam? Hmmm rencananya mau lanjut ke Brussel! Kamu?"Kara balik bertanya. Bagas mengalihkan pandangannya ke arah seorang anak perempuan kecil yang sedang menari-nari dibawah salju yang berjatuhan dengan anggun. "Gak ada tujuan." Jawab Bagas singkat. Saat ia memutuskan untuk traveling ke Eropa, ia memang tidak punya itinerary khusus. Bagas pergi karena muak dengan perjodohan yang tak henti-henti dilakukan oleh Mamanya yang terlalu ketakutan jika jabatan CEO akan diserahkan Ayahnya kepada Gavin, anak dari simpanan Ayahnya dulu. Jadi ia yang memang sudah punya Visa Schengen memutuskan untuk kabur sejenak ke Eropa. Menenangkan pikirannya. "Oh. Mau ikut itinerary
Pagi ini Kara dikejutkan dengan sebuah mobil mewah yang sudah di sewa oleh Bagas untuk perjalanan mereka ke Giethoorn. Ia girang bukan kepalang, karena perjalanan dengan kereta akan memakan jarak tempuh yang lebih lama. Di tambah harus transit dengan menggunakan bus untuk menuju Desa Giethoorn. "Bawa apa sih banyak amat?"tanya Bagas saat melihat Kara membawa satu kantong penuh berisi camilan dan minuman. "Cemilan, buat di jalan. Saya kalau di mobil mesti makan." jawab Kara santai sambil memasukan camilan dan bantal kecil ke mobil bagian Belakang. Bagas hanya melengos tak peduli, ia sudah siap di balik kemudinya. Sesekali ia merapatkan mantel tebalnya, karena udara di luar mencapai minus 5 derajat celcius. "Okay, beres!" seru Kara seraya menutup pintu mobil. Tanpa menyahut Bagas mulai menjalankan mobil secara perlahan. "Boleh nyalain musik?"Tanya Kara sambil melirik music player canggih yang ada di dalam mobil. Bagas menggerakan kedua alisnya satu kali dengan cepat, tanda setu
Kara terbangun setelah hampir dua jam tertidur. Dengan satu gerakan pelan ia bangkit dari tidurnya dan duduk di tepi tempat tidur yang dialasi dengan sprei linen berwarna putih tulang. Kaki kanannya terasa sakit. Ia memandang ruangan kamar dengan bingung, sebuah kamar yang tampak cukup kuno dengan beberapa foto sepasang wanita dan pria terpajang rapi di dinding. Terdapat satu kursi goyang yang menghadap ke jendela yang menyajikan pemandangan kanal yang membeku. Kata tersentak,Teringat tadi ia sempat terperosok ke dalam lubang di kanal yang beku saat sedang melakukan Ice Skating bersama Bagas. Bagas?Dimana dia? Kara menoleh ke cermin berbentuk diamond yang tepasang di dinding di sebelah tempat tidur. Astaga! Ia memakai baju siapa? Dan siapa yang menggantikan bajunya?! Dengan langkah tertatih ia berjalan keluar dari kamar, tidak ada orang. Ia mulai mengarahkan langkahnya menuju dapur, dan di sana terlihat Bagas sedang duduk dengan seorang bapak tua sambil meminum sesuatu, yang
"Kara! Kara! Bangun! We gotta go!"Bagas menarik-narik rambut Kara pelan. Kara memicingkan matanya, silau oleh cahaya matahari yang masuk dari jendela. "Apaan sih bangunin jambak-jambak rambut! Sakit tau!"gerutu Kara sambil mengusap rambut yang tadi ditarik oleh Bagas. "Yaudah bangun cepet! Kita mesti sampai Bruges sore ini juga!" gumam Bagas, tangannya sibuk merapihkan koper. Kara mendelik, "Kok jadi Bruges? Bukannya kita mau ke Brussels?!"Bagas berdecak, "Bawel deh, orang yang mau saya temui ternyata di Bruges!"Kara menghentakkan kakinya, "Kok jadi tentang kamu sih! Saya kan juga punya itinerary! Gak nanya, gak minta persetujuan! Seenaknya aja!" cerocos Kara mulai emosi. Wajahnya benar-benar sudah tak terkontrol. Bagas mendengus kesal, "Ini penting buat saya! Kamu mau ikut apa enggak?" Kara semakin kesal, "Yaudah kamu pergi sendiri aja sana! Bayar sini uang sewa 50 kali lipatnya! Saya batalin perjanjian kita! Gak sudi nikah sama orang yang suka semena-mena! Mentang-ment
Tanpa mengganti bajunya, Kara berjalan cepat mengikuti Bagas. Ia berusaha menjaga jarak dengan Bagas agar tidak ketahuan. Lagaknya benar-benar seperti seorang mata-mata yang sedang mengintai musuh. Gesit dan lihai. Ia melihat Bagas masuk ke dalam sebuah cafe dengan gambar waffle besar di depannya. Cafe tersebut terletak tidak jauh dari Hotel Dukes Palace tempat mereka menginap. Dari jarak beberapa meter Kara mengintip ke dalam Cafe yang tampak penuh. Jika ia menyelinap mungkin Bagas tidak akan melihatnya. Dengan gerakan cepat ia menyelinap masuk ke dalam Cafe, wajahnya ia tutupi dengan selebaran promo yang tadi diambilnya sembarang di lobby hotel. Seorang pelayan wanita mengantarkan Kara ke tempat duduk yang kosong untuk satu orang. Ditengah keramaian Cafe Kara mencari-cari sosok Bagas yang terlihat menonjol di tengah-tengah orang-orang Eropa. Dan ternyata Bagas hanya berjarak dua meja dari nya, ia duduk memunggungi Kara, menghadap pada seorang wanita cantik dengan wajah oriental
Seolah semuanya sudah diatur, Papa berpulang tepat ketika Kara berkunjung ke Indonesia. Serangan jantung karena komplikasi katanya, persis seperti penyakit Papa mertuanya. Papa Kara yang tidak pernah keluar masuk rumah sakit sama sekali, justru berpulang lebih dulu. Tak ada pesan terakhir yang terucap, namun Kara tahu, Papa hanya ingin Kara pulang, untuk menemani Papa di hari akhirnya. Semuanya terasa seperti mimpi, Kara merasa seperti melayang. Namun keberadaan Bagas dan Brie selalu bisa membuat Kara sadar bahwa hidup harus terus berlanjut. Orang yang paling terlihat terpukul adalah tante Nia, baru tiga tahun pernikahan, ia sudah harus kembali menjanda. Walau hanya tiga tahun, tapi ikatan cinta mereka seolah mengalahkan hubungan suami istri yang sudah terjalin bertahun-tahun lamanya. Tante Nia seperti kehilangan cahaya di wajahnya, ia berduka lebih dari Kara. Empat hari sudah berlalu sejak meninggalnya Papa dan ditengah rasa dukanya Kara harus hadir di pernikahan Gavin. Kara bisa
Satu Tahun Kemudian, "Itu Juan!" teriak Kara seraya menunjuk Juan yang mengangguk ke arahnya. "Apa kabar Ju?" sapa Bagas lalu menjabat tangan Juan dengan ramah. "Baik Pak, mari Pak mobilnya di sebelah sini," tukas Juan mengarahkan Bagas, Kara dan Brianna menuju mobil yang akan membawa mereka ke rumah orang tua Bagas. "Wah, tiga tahun gak pulang, ternyata cukup banyak yang berubah yaaa..." cetus Kara takjub melihat perubahan kota Jakarta. Bagas mengangguk, "Iya, kangen juga sama Jakarta! Brie ini hometown kamu nihh, Jakarta!" seru Bagas sambil mengamit tangan Brie. Brie yang sedang asik dengan mainannya tak begitu peduli. Hari ini Bagas dan Kara membawa Brie kembali ke Jakarta untuk mengunjungi keluarga mereka, sekaligus untuk menghadiri resepsi pernikahan Gavin dengan gadis pilihannya yang belum pernah dikenalkan kepada Kara ataupun Bagas. Mobil berhenti tepat di depan rumah orang tua Bagas. Papa dan Mama Bagas tampak menyambut di teras dengan wajah tak sabar. Mereka bukannya tak
Dua tahun kemudian, "Gimana menurut kamu jadinya?" tanya Bagas sambil melipat kedua tangan di depan dadanya. Kara tampak berpikir sejenak, "Yah susah juga sih Gas, dia kan ngelakuin hal kayak gitu karena tamunya kurang ajar, Kita gak bisa pecat orang hanya karena dia mempertahankan harga dirinya," tukas Kara tegas. Bagas menghela nafas panjang, "Ya saya setuju sih sama kamu, tapi kita harus siap kehilangan pelanggan dari Froil, which is mereka adalah salah satu company yang rutin kerjasama dengan restoran kita..." ujar Bagas dengan berat hati. Kara mendekat pada Bagas, memegang kedua tangan Bagas. "Whenever you stuck with this kind of situation just remember apa tujuan awal kita ngejalanin bisnis, it's never about money Gas, kita ngejalanin bisnis ini karena kita suka dan kita mau terus sama-sama, iya kan?" tukas Kara lembut. "Yeah, you're right... Ini nih kenapa kamu mesti sesekali kunjungan ke kantor, untuk ngingetin saya mana yang baik dan mana yang buruk!" seru Bagas lalu mena
"Gas! Brie kok kayak kuning gitu sih?" seru Kara saat ia sedang berjemur bersama Brie di halaman rumah. Bagas yang sedang memeriksa tanaman terkejut lalu menghampiri Kara. "Masa sih?!" tukas Bagas tak percaya, ia mengamati wajah Brie dengan seksama, "Iya sih Kar, waduh kenapa yah?" tanya Bagas dengan khawatir. "Kayaknya gara-gara bilirubin-nya tinggi deh, kita bawa ke dokter aja deh Gas!" tukas Kara merasa takut. Sebagai ibu baru, Kara masih meraba-raba bagaimana caranya menjadi ibu yang baik bagi Brianna, sehingga segala hal kecil tidak akan luput dari perhatiannya. Pagi itu setelah mandi dan sarapan, Bagas dan Kara bergegas menuju St. Pauls dan langsung mendaftar di poli anak. "Brianna Rose Mahendra!" panggil seorang perawat. Bagas dan Kara segera bangkit dan masuk ke dalam ruang periksa. Dokter mengatakan jika Brie mengalami breastfeeding jaundice yang membuatnya menjadi kuning. Dokter menyarankan Kara untuk lebih sering menyusui Brie dan makan makanan yang bergizi serta menghin
Dunia seakan runtuh bagi Bagas saat ia melihat Kara terkulai lemas. Dokter mengatakan Kara mengalami perdarahan hebat sehingga dokter perlu memberikan Kara alat bantu nafas dan transfusi darah karena HB kara yang anjlok ke angka 7.Bagas diminta untuk menunggu di luar agar ia tidak panik, sementara bayi perempuan mereka sudah di urus oleh perawat dan di masukan ke dalam inkubator karena kondisinya yang prematur. Di sela doa dan tangisnya Bagas teringat Mamanya, ia menghubungi Mamanya dan menceritakan apa yang terjadi, Mama sangat terkejut dan memberi wejangan untuk membesarkan hati Bagas. "Ma makasih ya udah lahirin aku ke dunia, selama ini aku gak tau kalau perjuangan Mama dulu mungkin juga seberat ini. Aku minta maaf kalau selama ini selalu bikin Mama kecewa, sekarang aku minta tolong sama Mama buat do'ain Kara supaya dia bisa lalui semua dengan baik..." ujar Bagas sambil sesekali menyeka air matanya. "Aku gak akan bisa hidup bahagia kalau sampai terjadi sesuatu yang buruk sama K
Dengan panik Bagas menggendong Kara ke dalam mobil. Kara merasakan sedikit mulas pada perutnya, "Okee Kara relaks atur nafas... atur nafas... everything will be alright..." Kara mencoba menenangkan diri sementara Bagas sedang sibuk mencari rumah sakit terdekat di mesin pencarian google. "Oke Kar, let's do this! Hang in there baby!" seru Bagas lalu menginjak pedal gas dan melaju menuju St. Pauls Hospitals. Baik Kara maupun Bagas sama sekali tidak mengira bahwa Kara akan mengalami pecah ketuban di usia kandungan yang baru menginjak 33 minggu. Keringat dingin mulai membasahi kening dan leher Kara, Bagas merasa sangat gugup dan panik karena ia tidak menyangka hal ini akan terjadi lebih awal. Ia hanya terus menerus mengatakan pada Kara bahwa semua akan baik-baik saja. Sampai di rumah sakit, Bagas segera menghentikan mobil di depan IGD dan meminta bantuan staf medis untuk membawa Kara ke dalam. Kara terlihat sudah sangat pasrah sambil terus menerus mencoba mengatur nafasnya. Seorang per
Bukan hal mudah untuk berbicara pada Mama dan Papa Bagas perkara keinginan Bagas dan Kara untuk pindah ke negara lain. Tapi setelah mereka mengatakan ini semua demi keselamatan dan kenyamanan hidup cucu mereka, akhirnya Papa dan Mama Bagas setuju, bahkan Papa Bagas berjanji akan membantu untuk memblokir akses Visa Thalita ke negara tersebut. "Konyol ya Gas kita..." gumam Kara seraya memandang ke sekeliling penthouse. Bagas menoleh, menatap Kara dengan tatapan penuh tanda tanya. "Selama dua tahun pernikahan, kita udah berapa kali pindah rumah, ini penthouse baru di renov terus mau kita tinggalin lagi," tukas Kara setengah tertawa. Bagas ikut mendengus tertawa, "Gak pa pa lah, ikutin insting aja, yang penting happy!" seru Bagas yang sudah merasa sangat yakin dengan keputusannya. Kara mengangguk, "Semoga di tempat yang baru kita bisa lebih bahagia ya Gas..." ucap Kara seraya merangkul leher Bagas dengan kedua tangannya. "Semoga..." sahut Bagas lalu mengecup bibir Kara lembut. *****Sa
"Gas, kamu yakin mau melanjutkan perkara ini?" tanya Kara pelan. Saat itu ia dan Bagas sedang duduk berdua di kitchen bar. Bagas melamun, menatap piring di depannya dengan tatapan kosong. "Saya takut Kar, saya takut dia akan bertindak lebih jauh..." tukas Bagas tanpa menatap Kara. "Kemaren Theo bilang Thalita bisa aja dijerat hukuman sampai lima belas tahun penjara, kamu yakin kamu gak akan merasa bersalah sama dia seumur hidup kamu?" tanya Kara dengan perasaan yang campur aduk. Bagas mendongak, "Memangnya kamu bisa memaafkan?" Bagas balik bertanya, matanya menatap Kara dalam. "Saya lebih baik memaafkan Thalita dari pada harus ngeliat kamu berkubang dalam rasa bersalah seumur hidup kamu," tukas Kara, tak ada keraguan di matanya. "Kamu yakin Kar? Dia gila Kar, dia bisa bertindak nekat!" seru Bagas, bayangan Thalita yang histeris kemarin melintas di benaknya. "Saya justru mau tanya sama kamu, kamu yakin setelah menjebloskan Thalita ke penjara lagi untuk waktu yang lama kamu bisa hi
"Nemuin Thalita?!" tanya Kara dengan wajah terkejut. Bagas mengangguk pelan. Saat itu mereka sudah berada di Penthouse yang interiornya sudah selesai dirubah menjadi lebih ramah anak. "Emang gak bahaya?" tukas Kara dengan wajah gamang. Bagas menghela nafas panjang, "Kar, dia jadi kayak gitu karena saya..." gumam Bagas sambil menunduk. Dua tahun yang lalu di positano, Bagas berjanji akan kembali ke Thalita setelah kontrak pernikahannya dengan Kara selesai. Thalita dengan segala kehidupan bebasnya mempercayakan hatinya kepada Bagas, satu-satunya pria di dunia yang pernah dicintainya, tapi Bagas mengecewakannya. Seumur hidup Thalita ia tidak pernah dicampakkan. Puluhan kali berpacaran dengan banyak pria, Thalita adalah pihak yang selalu mencampakkan. Namun Bagas merubah semuanya. Bagas menyakitinya dan meninggalkannya tepat di saat ia memilih untuk mempercayakan hidupnya pada Bagas. Tak ada lagi yang tersisa bagi Thalita, bagi Thalita hidupnya berakhir tepat saat Bagas memilih untuk