Kara yang sudah sampai di luar penginapan mengumpat karena ia lupa jika saat ini adalah musim dingin dan ia hanya mengenakan celana kulot dan crop top.
Dengan sebal ia kembali masuk ke dalam penginapan dan berlari ka lantai tiga.
"Saya lupa pakai mantel!" tukas Kara sambil membuka pintu, Bagas terlihat sedang menelepon seseorang di dekat jendela, tak menyadari kehadiran Kara.
"Udahlah Ma, Mama tenang aja! Aku bisa urus semua sendiri. Pokoknya sampai Indonesia aku udah punya istri."
"Gavin gak akan dapat kesempatan itu Ma. Just Relax okay? Mama cukup masukin nama aku di pencalonan CEO. Let me do the rest."
Bagas dengan gusar mematikan panggilan teleponnya dan terkejut mendapati Kara berdiri disana dengan mantel di tangannya. "Sejak kapan kamu di situ?" tanya Bagas sambil berjalan ke arah Kara. "Barusan kok. Mantel saya ketinggalan. Tadi waktu masuk saya teriak-teriak kamu gak dengar?" sahut Kara ketus, ia sudah bersiap untuk keluar kamar lagi saat Bagas menahannya.
"Saya ikut!" tukas Bagas tiba-tiba, membuat Kara ternganga. "Ngapain? Gak mau ah! Kamu rese sih gak asik!" tolak Kara, ia buru-buru berbalik badan dan mengambil ancang-ancang untuk kabur.
Bagas berjalan cepat menghalangi langkah Kara. "Kita omongin masalah nikah kontrak yang tadi saya bahas. Kamu boleh tanya apa aja," bujuk Bagas yang sudah di kejar dateline oleh Mamanya.
Mata Kara melotot,
"Lah emangnya saya udah mengiyakan?"ujar Kara setengah mencibir. Bagas menghela nafas, "Ya makanya kamu cari tau dulu benefit nya buat kamu. Jadi kamu bisa segera ambil keputusan!" Kara terdiam sejenak, berpikir. Di otaknya hanya ada CUAN CUAN CUAN. Setelah berpikir beberapa saat akhirnya ia mengijinkan Bagas untuk ikut dengannya."Satu syaratnya! NO COMPLAIN!" tukas Kara seraya memakai mantel tebal abu-abunya.
Bagas bergegas mengenakan mantel, mengambil ponsel dan dompetnya, lalu berlari mengejar Kara yang sudah lebih dulu turun.
"Jalan kaki dikit ke sloterdijk station." ujar Kara singkat.
Bagas baru akan membuka mulutnya saat Kara mengingatkannya untuk tidak komplain. Mereka berjalan bersisian sambil melihat pemandangan di sekitar penginapan, rumah-rumah dengan bangunan klasik khas Amsterdam terlihat indah karena ditutupi salju yang turun perlahan.
"Jadi saya udah boleh nanya-nanya?" Kara menoleh menatap Bagas yang berjalan disampingnya.
Telinga Bagas tampak memerah karena kedinginan. Mereka sama-sama lupa mengenakan penutup kepala ataupun penutup telinga. Bagas mengangguk singkat,
"Boleh. Hanya seputar Kontrak Pernikahan," sahutnya tanpa menoleh.Kara manggut-manggut, ia sedang menyusun pertanyaan di kepalanya saat tiba-tiba Bagas bertanya. "Jadi kamu beneran mau di jodohin bapak tua yang banyak kutilnya?"
Kara menghela nafas dan memonyongkan bibirnya, "Iya! Jadi Papa saya pernah mulai bisnis dengan pinjaman dari si bapak kutil itu. Terus Papa saya yang memang kurang kompeten kena tipu, ya terus bangkrut. Dia di ancam bakal di penjara kalau gak bayar utangnya," jelas Kara muram.
Bagas terdiam sejenak, "Yang ngusulin untuk mengadakan pernikahan siapa? Papa kamu atau bapak itu?" tanya Bagas lagi.
"Ya Bapak tua itu lah! Dia emang muka cabul gitu! Dari awal dia ketemu sama saya udah keliatan tuh gelagatnya! Amit-amit deh!" sahut Kara sambil bergidik ngeri.
Bagas hanya tersenyum sedikit, nyaris tak terlihat.
"Terus yang bikin kamu masih mikir untuk jawab tawaran dari saya apa? Kalau kamu nikah sama si Bapak itu udah pasti kamu bakal di pake! Mending sama saya, kontrak dua tahun, no sentuhan fisik at all!" papar Bagas supaya Kara segera mengiyakan tawarannya.Dalam hati Kara menyetujui semua kata-kata Bagas. Tapi dia masih ingin jual mahal, supaya Bagas tidak semena-mena dengannya.
"Yang saya pikirin adalah, saya bisa tahan gak hidup dua tahun hidup bareng sama orang macam kamu," tukas Kara dengan nada santai tanpa menatap mata Bagas.
Setelah berjalan kurang lebih 15 menit, mereka sampai di stasiun Sloterdijk, lalu melanjutkan perjalanan dengan kereta menuju Centraal Station.
Perjalanan metro dari Sloterdijk menuju Amsterdam Centraal Station hanya memakan waktu kurang lebih 10 menit.
Kara dan Bagas melangkah keluar dari Centraal Station lalu melanjutkan berjalan kaki menyusuri trotoar di Jalan Damrak yang menghubungkan Centraal Station dengan Dam Square.
Walaupun saat ini musim dingin, trotoar di Jalan Damrak tetap dipenuhi oleh wisatawan, baik asing maupun lokal.
Sepanjang Jalan Damrak dipenuhi oleh aneka toko, cafe dan restoran yang berjejer rapi dengan desain bangunan kuno khas Belanda. Kara tertawa sendiri saat melihat bangunan dengan tulisan 'Sex Museum' di bagian depannya, ia melirik Bagas dan berinisiatif untuk mengajak Bagas masuk kesana.
"Masuk kesana yuk!" tukas Kara seraya menunjuk Sex Museum yang berada tidak jauh dari mereka. Bagas yang biasanya acuh agak sedikit menahan tawa. Ia sudah berjanji tidak akan komplain, jadi ia dengan cepat mengiyakan keinginan Kara.
Setelah membayar 10 Euro untuk dua orang, mereka masuk ke dalam Sex Museum dan langsung disambut oleh Pahatan Venus telanjang seukuran manusia.
Di sepanjang lorong Museum mereka disuguhi aneka patung dan gambar aktivitas Sex dengan jelas tanpa sensor. Kara terkikik sendiri melihat beberapa gambar erotic yang menurutnya lucu. Sementara Bagas hanya berdeham salah tingkah, karena sebagai seorang pria normal, libidonya agak tergelitik melihat pemandangan yang keseluruhan nya bernuansa seksual itu.
"Pindah tempat lain Kar, betah banget disini!" omel Bagas saat Kara terlihat akan berpindah ke galeri lain di dalam Sex Museum. Wajah Kara langsung tersipu. Sial! Ia pasti terlihat seperti Sex maniac sekarang!
Setelah keluar dari Sex Museum mereka melanjutkan perjalanan menyusuri Jalan Damrak yang masih panjang, menuju Dam Square
Tak sengaja mata Kara melihat suatu Cafe yang menjual Stroopwafel dengan saus karamel khas Belanda yang kelihatannya sangat lezat. "Mampir situ dulu Gas! OMG Stroopwafel!!!" seru Kara sambil berlari kecil menuju Cafe tersebut.
Ia sengaja mengambil tempat duduk al fresco atau tempat duduk outdoor dengan payung-payung di atasnya supaya lebih leluasa melihat pemandangan orang yang berlalu lalang. Hal yang paling Kara sukai adalah melihat orang asing yang tidak sama seperti dirinya. Membuat ia jadi semakin mencintai perbedaan.
"So, kenapa laki-laki muda seperti kamu mau melakukan nikah kontrak tanpa cinta?" tanya Kara setelah mereka duduk dan menikmati dua cangkir kopi dan dua porsi Stroopwafel.
Bagas meletakkan cangkir kopi yang baru saja diseruputnya, "Tahta!" jawab Bagas singkat.
Kara menaikkan satu alisnya tanda ia belum puas dengan jawaban Bagas. Bagas menghela nafas panjang, sebaiknya ia ceritakan saja semua kepada Kara supaya Kara bisa segera mengambil keputusan.
"Perebutan posisi CEO di perusahaan Ayah saya. Saya anak pria yang sah secara hukum, satu-satunya yang akan mewarisi kekayaan Ayah saya. Tapi saya harus dalam status menikah ketika saya mendapatkan jabatan itu."
"Ayah saya yang setahun belakangan baru ketahuan memiliki seorang anak haram diluar nikah dengan perempuan lain, dan kebetulan anaknya seusia saya, sedang mempertimbangkan untuk memberikan posisi tersebut kepada si anak haram ini."
Bagas menarik nafas panjang sebelum melanjutkan ceritanya,
"Ibu saya sebagai istri Sah langsung kalang kabut, di paksalah saya untuk segera menikah! Dari beberapa bulan lalu Ibu saya udah ngasih beberapa pilihan wanita yang semuanya saya tolak, jadi kamu harusnya merasa beruntung, karena saya pilih langsung," tandas Bagas dengan nada arogan yang sudah melekat padanya.
Kara langsung tersedak kopi panasnya,
"Kamu emang ngerasa ganteng banget ya? Pede banget sih. Dih!" sahut Kara sambil memutar bola matanya.Bagas langsung diam. Kesal.
"Jadi gimana? The clock is ticking jangan lama-lama mutusin nya!" oceh Bagas mulai kehilangan kesabaran."Saya bisa ngajuin beberapa syarat?" tanya Kara sambil menggenggam kopi panas dengan kedua tangannya.
"Boleh. Apa?" Bagas balik bertanya, penasaran.
Kara bersorak dalam hati, namun wajahnya tetap terlihat datar. "Nanti saya kasih kamu list nya!" jawab Kara sok penting.
Bagas menaikkan satu alisnya, "List?" Ia membayangkan banyaknya syarat yang akan Kara ajukan. Kara mengibaskan tangannya,
"Cuma sedikit. Nanti malam saya kasih ke kamu listnya."Bagas mengangguk, lalu mengulurkan tangannya pada Kara untuk bersalaman.
"Jadi kita calon suami istri. DEAL?" tukas Bagas tegas.Kara sempat terdiam sebentar, lalu menyalami tangan Bagas dengan yakin.
"DEAL!"*****
Salju mulai berjatuhan dengan deras saat Kara dan Bagas selesai berkeliling di Rijksmuseum. Mereka berdiri di depan bangunan Rijksmuseum yang bergaya Neo Renaisans menunggu Uber Car datang menjemput. "Habis dari sini rencananya kamu mau kemana?" Tanya Bagas memecah keheningan di antara mereka. "Maksudnya setelah dari Amsterdam? Hmmm rencananya mau lanjut ke Brussel! Kamu?"Kara balik bertanya. Bagas mengalihkan pandangannya ke arah seorang anak perempuan kecil yang sedang menari-nari dibawah salju yang berjatuhan dengan anggun. "Gak ada tujuan." Jawab Bagas singkat. Saat ia memutuskan untuk traveling ke Eropa, ia memang tidak punya itinerary khusus. Bagas pergi karena muak dengan perjodohan yang tak henti-henti dilakukan oleh Mamanya yang terlalu ketakutan jika jabatan CEO akan diserahkan Ayahnya kepada Gavin, anak dari simpanan Ayahnya dulu. Jadi ia yang memang sudah punya Visa Schengen memutuskan untuk kabur sejenak ke Eropa. Menenangkan pikirannya. "Oh. Mau ikut itinerary
Pagi ini Kara dikejutkan dengan sebuah mobil mewah yang sudah di sewa oleh Bagas untuk perjalanan mereka ke Giethoorn. Ia girang bukan kepalang, karena perjalanan dengan kereta akan memakan jarak tempuh yang lebih lama. Di tambah harus transit dengan menggunakan bus untuk menuju Desa Giethoorn. "Bawa apa sih banyak amat?"tanya Bagas saat melihat Kara membawa satu kantong penuh berisi camilan dan minuman. "Cemilan, buat di jalan. Saya kalau di mobil mesti makan." jawab Kara santai sambil memasukan camilan dan bantal kecil ke mobil bagian Belakang. Bagas hanya melengos tak peduli, ia sudah siap di balik kemudinya. Sesekali ia merapatkan mantel tebalnya, karena udara di luar mencapai minus 5 derajat celcius. "Okay, beres!" seru Kara seraya menutup pintu mobil. Tanpa menyahut Bagas mulai menjalankan mobil secara perlahan. "Boleh nyalain musik?"Tanya Kara sambil melirik music player canggih yang ada di dalam mobil. Bagas menggerakan kedua alisnya satu kali dengan cepat, tanda setu
Kara terbangun setelah hampir dua jam tertidur. Dengan satu gerakan pelan ia bangkit dari tidurnya dan duduk di tepi tempat tidur yang dialasi dengan sprei linen berwarna putih tulang. Kaki kanannya terasa sakit. Ia memandang ruangan kamar dengan bingung, sebuah kamar yang tampak cukup kuno dengan beberapa foto sepasang wanita dan pria terpajang rapi di dinding. Terdapat satu kursi goyang yang menghadap ke jendela yang menyajikan pemandangan kanal yang membeku. Kata tersentak,Teringat tadi ia sempat terperosok ke dalam lubang di kanal yang beku saat sedang melakukan Ice Skating bersama Bagas. Bagas?Dimana dia? Kara menoleh ke cermin berbentuk diamond yang tepasang di dinding di sebelah tempat tidur. Astaga! Ia memakai baju siapa? Dan siapa yang menggantikan bajunya?! Dengan langkah tertatih ia berjalan keluar dari kamar, tidak ada orang. Ia mulai mengarahkan langkahnya menuju dapur, dan di sana terlihat Bagas sedang duduk dengan seorang bapak tua sambil meminum sesuatu, yang
"Kara! Kara! Bangun! We gotta go!"Bagas menarik-narik rambut Kara pelan. Kara memicingkan matanya, silau oleh cahaya matahari yang masuk dari jendela. "Apaan sih bangunin jambak-jambak rambut! Sakit tau!"gerutu Kara sambil mengusap rambut yang tadi ditarik oleh Bagas. "Yaudah bangun cepet! Kita mesti sampai Bruges sore ini juga!" gumam Bagas, tangannya sibuk merapihkan koper. Kara mendelik, "Kok jadi Bruges? Bukannya kita mau ke Brussels?!"Bagas berdecak, "Bawel deh, orang yang mau saya temui ternyata di Bruges!"Kara menghentakkan kakinya, "Kok jadi tentang kamu sih! Saya kan juga punya itinerary! Gak nanya, gak minta persetujuan! Seenaknya aja!" cerocos Kara mulai emosi. Wajahnya benar-benar sudah tak terkontrol. Bagas mendengus kesal, "Ini penting buat saya! Kamu mau ikut apa enggak?" Kara semakin kesal, "Yaudah kamu pergi sendiri aja sana! Bayar sini uang sewa 50 kali lipatnya! Saya batalin perjanjian kita! Gak sudi nikah sama orang yang suka semena-mena! Mentang-ment
Tanpa mengganti bajunya, Kara berjalan cepat mengikuti Bagas. Ia berusaha menjaga jarak dengan Bagas agar tidak ketahuan. Lagaknya benar-benar seperti seorang mata-mata yang sedang mengintai musuh. Gesit dan lihai. Ia melihat Bagas masuk ke dalam sebuah cafe dengan gambar waffle besar di depannya. Cafe tersebut terletak tidak jauh dari Hotel Dukes Palace tempat mereka menginap. Dari jarak beberapa meter Kara mengintip ke dalam Cafe yang tampak penuh. Jika ia menyelinap mungkin Bagas tidak akan melihatnya. Dengan gerakan cepat ia menyelinap masuk ke dalam Cafe, wajahnya ia tutupi dengan selebaran promo yang tadi diambilnya sembarang di lobby hotel. Seorang pelayan wanita mengantarkan Kara ke tempat duduk yang kosong untuk satu orang. Ditengah keramaian Cafe Kara mencari-cari sosok Bagas yang terlihat menonjol di tengah-tengah orang-orang Eropa. Dan ternyata Bagas hanya berjarak dua meja dari nya, ia duduk memunggungi Kara, menghadap pada seorang wanita cantik dengan wajah oriental
Hotel Dukes Palace malam hari tampak lebih indah dengan hiasan lampu-lampu temaram. Kara melangkah masuk hotel dengan wajah muram, kaki kanannya sesekali masih terasa ngilu pasca kejadian terperosok di kanal beku Desa Giethoorn. Saat hendak menggunakan lift ke lantai 5 dan memerlukan access card untuk menekan tombolnya, Kara baru tersadar ia tidak memegang access card untuk masuk ke kamar hotel. Ia berinisiatif untuk bertanya pada resepsionis barangkali mereka bisa membantunya masuk. Namun resepsionis karena alasan keamanan enggan memberikan access card dan meminta Kara menunggu sang pemesan kamar datang. Bodohnya Kara ia tidak memiliki nomor telepon Bagas! Dengan gusar Kara menghempaskan tubuhnya di sofa empuk yang terdapat di lobby hotel. Tubuhnya terasa lelah dan matanya sangat mengantuk. Tanpa terasa ia tertidur pulas dengan kepala terkulai di sandaran sofa. Saat itu jam klasik di lobby hotel menunjukkan pukul 9.00 malam. Hampir 3 jam Kara tertidur di lobby, petugas hotel yang
"Jadi kita akan kemana nona?"Tanya supir Taxi dalam bahasa Belanda. Kara terdiam sejenak, ia sama sekali tidak memiliki tujuan akan kemana malam itu. "Sebentar,"Kara membuka ponsel dan mencari hotel murah terdekat yang memiliki kamar kosong. Setelah mencari agak lama dan membuat supir taxi berjalan tak tentu arah, Kara menemukan apartemen yang cukup murah disekitaran kawasan Markt Bruges. Hanya dalam waktu 10 menit, Kara sudah tiba di depan sebuah apartemen 10 lantai yang cukup bagus, walaupun tidak mewah. Ia baru saja turun dari taxi dan sedang membetulkan letak kopernya di trotoar jalan saat tiba-tiba sebuah tangan menyentuh tangannya, membuat Kara tersentak. Ia sama sekali tidak menyadari jika Bagas mengikutinya. "Kar, gitu aja marah sih! Main kabur aja!" Tukas Bagas sambil memegang satu tangan Kara agar Kara tidak lari. Kara menyentak kan tangannya agar terlepas dari Bagas, "Gak usah sok akrab! Awas minggir!"Omel Kara sambil menerobos Bagas lalu melangkah cepat ke aparte
Cahaya matahari pagi menerobos dari tirai yang lupa ditutup rapat tadi malam. Kara memicingkan matanya, lalu membukanya perlahan,"Aaaaaaaaaaak BAGAS! NGAPAIN SIH!" Teriaknya saat mendapati Bagas sedang tertidur pulas sambil memeluk Kara seperti sebuah guling. Bagas yang terkejut dengan teriakan Kara langsung terjaga, ia juga terkejut saat melihat tangan dan kakinya memeluk Kara seperti itu."Gak sengaja! Sumpah!"tukas Bagas sambil melepaskan tangan dan kakinya dari Kara. Kara langsung bangkit dari kasur dan berdiri tegap, "Kamu gak ngapa-ngapain saya kan? Aduh Gas saya masih perawan tauuuuu!" Oceh Kara sambil menutupi dadanya dengan tangan seolah ia habis dinodai. Bagas mencibir,"Yaelah Kar, saya cuma meluk kamu, gak ngapa-ngapain! Lagian saya gak sadar, saya kira kamu guling!" Kara mendengus,"Besokan kamu tidur di sofa deh! Kalau gak kita pisah kamar! Cabul!"Omel Kara sebal.Bagas melotot, "Sembarangan kalau ngomong! Kamu aja jadi cewek gak ada seksi-seksinya! Nafsu juga
Seolah semuanya sudah diatur, Papa berpulang tepat ketika Kara berkunjung ke Indonesia. Serangan jantung karena komplikasi katanya, persis seperti penyakit Papa mertuanya. Papa Kara yang tidak pernah keluar masuk rumah sakit sama sekali, justru berpulang lebih dulu. Tak ada pesan terakhir yang terucap, namun Kara tahu, Papa hanya ingin Kara pulang, untuk menemani Papa di hari akhirnya. Semuanya terasa seperti mimpi, Kara merasa seperti melayang. Namun keberadaan Bagas dan Brie selalu bisa membuat Kara sadar bahwa hidup harus terus berlanjut. Orang yang paling terlihat terpukul adalah tante Nia, baru tiga tahun pernikahan, ia sudah harus kembali menjanda. Walau hanya tiga tahun, tapi ikatan cinta mereka seolah mengalahkan hubungan suami istri yang sudah terjalin bertahun-tahun lamanya. Tante Nia seperti kehilangan cahaya di wajahnya, ia berduka lebih dari Kara. Empat hari sudah berlalu sejak meninggalnya Papa dan ditengah rasa dukanya Kara harus hadir di pernikahan Gavin. Kara bisa
Satu Tahun Kemudian, "Itu Juan!" teriak Kara seraya menunjuk Juan yang mengangguk ke arahnya. "Apa kabar Ju?" sapa Bagas lalu menjabat tangan Juan dengan ramah. "Baik Pak, mari Pak mobilnya di sebelah sini," tukas Juan mengarahkan Bagas, Kara dan Brianna menuju mobil yang akan membawa mereka ke rumah orang tua Bagas. "Wah, tiga tahun gak pulang, ternyata cukup banyak yang berubah yaaa..." cetus Kara takjub melihat perubahan kota Jakarta. Bagas mengangguk, "Iya, kangen juga sama Jakarta! Brie ini hometown kamu nihh, Jakarta!" seru Bagas sambil mengamit tangan Brie. Brie yang sedang asik dengan mainannya tak begitu peduli. Hari ini Bagas dan Kara membawa Brie kembali ke Jakarta untuk mengunjungi keluarga mereka, sekaligus untuk menghadiri resepsi pernikahan Gavin dengan gadis pilihannya yang belum pernah dikenalkan kepada Kara ataupun Bagas. Mobil berhenti tepat di depan rumah orang tua Bagas. Papa dan Mama Bagas tampak menyambut di teras dengan wajah tak sabar. Mereka bukannya tak
Dua tahun kemudian, "Gimana menurut kamu jadinya?" tanya Bagas sambil melipat kedua tangan di depan dadanya. Kara tampak berpikir sejenak, "Yah susah juga sih Gas, dia kan ngelakuin hal kayak gitu karena tamunya kurang ajar, Kita gak bisa pecat orang hanya karena dia mempertahankan harga dirinya," tukas Kara tegas. Bagas menghela nafas panjang, "Ya saya setuju sih sama kamu, tapi kita harus siap kehilangan pelanggan dari Froil, which is mereka adalah salah satu company yang rutin kerjasama dengan restoran kita..." ujar Bagas dengan berat hati. Kara mendekat pada Bagas, memegang kedua tangan Bagas. "Whenever you stuck with this kind of situation just remember apa tujuan awal kita ngejalanin bisnis, it's never about money Gas, kita ngejalanin bisnis ini karena kita suka dan kita mau terus sama-sama, iya kan?" tukas Kara lembut. "Yeah, you're right... Ini nih kenapa kamu mesti sesekali kunjungan ke kantor, untuk ngingetin saya mana yang baik dan mana yang buruk!" seru Bagas lalu mena
"Gas! Brie kok kayak kuning gitu sih?" seru Kara saat ia sedang berjemur bersama Brie di halaman rumah. Bagas yang sedang memeriksa tanaman terkejut lalu menghampiri Kara. "Masa sih?!" tukas Bagas tak percaya, ia mengamati wajah Brie dengan seksama, "Iya sih Kar, waduh kenapa yah?" tanya Bagas dengan khawatir. "Kayaknya gara-gara bilirubin-nya tinggi deh, kita bawa ke dokter aja deh Gas!" tukas Kara merasa takut. Sebagai ibu baru, Kara masih meraba-raba bagaimana caranya menjadi ibu yang baik bagi Brianna, sehingga segala hal kecil tidak akan luput dari perhatiannya. Pagi itu setelah mandi dan sarapan, Bagas dan Kara bergegas menuju St. Pauls dan langsung mendaftar di poli anak. "Brianna Rose Mahendra!" panggil seorang perawat. Bagas dan Kara segera bangkit dan masuk ke dalam ruang periksa. Dokter mengatakan jika Brie mengalami breastfeeding jaundice yang membuatnya menjadi kuning. Dokter menyarankan Kara untuk lebih sering menyusui Brie dan makan makanan yang bergizi serta menghin
Dunia seakan runtuh bagi Bagas saat ia melihat Kara terkulai lemas. Dokter mengatakan Kara mengalami perdarahan hebat sehingga dokter perlu memberikan Kara alat bantu nafas dan transfusi darah karena HB kara yang anjlok ke angka 7.Bagas diminta untuk menunggu di luar agar ia tidak panik, sementara bayi perempuan mereka sudah di urus oleh perawat dan di masukan ke dalam inkubator karena kondisinya yang prematur. Di sela doa dan tangisnya Bagas teringat Mamanya, ia menghubungi Mamanya dan menceritakan apa yang terjadi, Mama sangat terkejut dan memberi wejangan untuk membesarkan hati Bagas. "Ma makasih ya udah lahirin aku ke dunia, selama ini aku gak tau kalau perjuangan Mama dulu mungkin juga seberat ini. Aku minta maaf kalau selama ini selalu bikin Mama kecewa, sekarang aku minta tolong sama Mama buat do'ain Kara supaya dia bisa lalui semua dengan baik..." ujar Bagas sambil sesekali menyeka air matanya. "Aku gak akan bisa hidup bahagia kalau sampai terjadi sesuatu yang buruk sama K
Dengan panik Bagas menggendong Kara ke dalam mobil. Kara merasakan sedikit mulas pada perutnya, "Okee Kara relaks atur nafas... atur nafas... everything will be alright..." Kara mencoba menenangkan diri sementara Bagas sedang sibuk mencari rumah sakit terdekat di mesin pencarian google. "Oke Kar, let's do this! Hang in there baby!" seru Bagas lalu menginjak pedal gas dan melaju menuju St. Pauls Hospitals. Baik Kara maupun Bagas sama sekali tidak mengira bahwa Kara akan mengalami pecah ketuban di usia kandungan yang baru menginjak 33 minggu. Keringat dingin mulai membasahi kening dan leher Kara, Bagas merasa sangat gugup dan panik karena ia tidak menyangka hal ini akan terjadi lebih awal. Ia hanya terus menerus mengatakan pada Kara bahwa semua akan baik-baik saja. Sampai di rumah sakit, Bagas segera menghentikan mobil di depan IGD dan meminta bantuan staf medis untuk membawa Kara ke dalam. Kara terlihat sudah sangat pasrah sambil terus menerus mencoba mengatur nafasnya. Seorang per
Bukan hal mudah untuk berbicara pada Mama dan Papa Bagas perkara keinginan Bagas dan Kara untuk pindah ke negara lain. Tapi setelah mereka mengatakan ini semua demi keselamatan dan kenyamanan hidup cucu mereka, akhirnya Papa dan Mama Bagas setuju, bahkan Papa Bagas berjanji akan membantu untuk memblokir akses Visa Thalita ke negara tersebut. "Konyol ya Gas kita..." gumam Kara seraya memandang ke sekeliling penthouse. Bagas menoleh, menatap Kara dengan tatapan penuh tanda tanya. "Selama dua tahun pernikahan, kita udah berapa kali pindah rumah, ini penthouse baru di renov terus mau kita tinggalin lagi," tukas Kara setengah tertawa. Bagas ikut mendengus tertawa, "Gak pa pa lah, ikutin insting aja, yang penting happy!" seru Bagas yang sudah merasa sangat yakin dengan keputusannya. Kara mengangguk, "Semoga di tempat yang baru kita bisa lebih bahagia ya Gas..." ucap Kara seraya merangkul leher Bagas dengan kedua tangannya. "Semoga..." sahut Bagas lalu mengecup bibir Kara lembut. *****Sa
"Gas, kamu yakin mau melanjutkan perkara ini?" tanya Kara pelan. Saat itu ia dan Bagas sedang duduk berdua di kitchen bar. Bagas melamun, menatap piring di depannya dengan tatapan kosong. "Saya takut Kar, saya takut dia akan bertindak lebih jauh..." tukas Bagas tanpa menatap Kara. "Kemaren Theo bilang Thalita bisa aja dijerat hukuman sampai lima belas tahun penjara, kamu yakin kamu gak akan merasa bersalah sama dia seumur hidup kamu?" tanya Kara dengan perasaan yang campur aduk. Bagas mendongak, "Memangnya kamu bisa memaafkan?" Bagas balik bertanya, matanya menatap Kara dalam. "Saya lebih baik memaafkan Thalita dari pada harus ngeliat kamu berkubang dalam rasa bersalah seumur hidup kamu," tukas Kara, tak ada keraguan di matanya. "Kamu yakin Kar? Dia gila Kar, dia bisa bertindak nekat!" seru Bagas, bayangan Thalita yang histeris kemarin melintas di benaknya. "Saya justru mau tanya sama kamu, kamu yakin setelah menjebloskan Thalita ke penjara lagi untuk waktu yang lama kamu bisa hi
"Nemuin Thalita?!" tanya Kara dengan wajah terkejut. Bagas mengangguk pelan. Saat itu mereka sudah berada di Penthouse yang interiornya sudah selesai dirubah menjadi lebih ramah anak. "Emang gak bahaya?" tukas Kara dengan wajah gamang. Bagas menghela nafas panjang, "Kar, dia jadi kayak gitu karena saya..." gumam Bagas sambil menunduk. Dua tahun yang lalu di positano, Bagas berjanji akan kembali ke Thalita setelah kontrak pernikahannya dengan Kara selesai. Thalita dengan segala kehidupan bebasnya mempercayakan hatinya kepada Bagas, satu-satunya pria di dunia yang pernah dicintainya, tapi Bagas mengecewakannya. Seumur hidup Thalita ia tidak pernah dicampakkan. Puluhan kali berpacaran dengan banyak pria, Thalita adalah pihak yang selalu mencampakkan. Namun Bagas merubah semuanya. Bagas menyakitinya dan meninggalkannya tepat di saat ia memilih untuk mempercayakan hidupnya pada Bagas. Tak ada lagi yang tersisa bagi Thalita, bagi Thalita hidupnya berakhir tepat saat Bagas memilih untuk