Belfry of Bruges, tujuan pertama Kara dan Bagas adalah sebuah menara lonceng abad pertengahan yang terletak di pusat kota Bruges. Menara setinggi 83 meter ini merupakan salah satu simbol kota Bruges yang sering didatangi oleh para turis. Terdapat 366 anak tangga yang akan membawa para pengunjung sampai di puncak menara. Setelah membeli tiket seharga 24 Euro untuk dua orang, Kara dan Bagas melangkah masuk ke dalam Belfry of Bruges. Lantai satu dari bangunan ini tampak dipenuhi dengan koleksi bel sementara di lantai dua terdapat mesin pemutar musik yang memainkan lagu klasik setiap 15 menit sekali. Setelah melewati 366 anak tangga, Kara dan Bagas sampai di puncak menara. "Wahhhhh Wahhhhh KEREN BANGET!"tukas Kara sambil membentangkan tangannya lebar-lebar. Bagas yang sudah berkali-kali ke Bruges bahkan belum pernah meluangkan waktu untuk naik sampai ke puncak Belfry of Bruges. Matanya berbinar terpesona oleh keindahan pemandangan Kota Bruges yang terlihat jelas dari puncak menara.
Taxi menepi di depan Hotel Dukes Palace, Bagas membuka pintu taxi dan menggendong Kara masuk ke dalam hotel. Entah karena apes atau apa, lagi-lagi ia bertemu Thalita yang juga baru akan masuk ke dalam hotel dengan pria Spanyol yang tadi pagi ia lihat di lobby bersama Thalita. Bagas menatap Thalita dengan tatapan yang tajam. Ia memang tahu jika Thalita sering bergonta-ganti pria, tapi ia tak pernah menyaksikan secara langsung yang ternyata rasa sakitnya beratus kali lipat. Wajah Thalita nampak terperangah melihat Bagas menggendong Kara dipunggung nya. Ada perasaan tak terima di hatinya, ia tidak ingin Bagas menyukai orang lain selain dirinya. Saat Thalita ingin membuka mulut mengatakan sesuatu, Bagas sudah mendahuluinya. "Aku udah dapat jawabannya, kamu gak perlu jelasin lagi. Ini terakhir Ta, aku gak akan pernah temuin kamu lagi,"tukas Bagas lalu berlalu menuju lift yang membawanya kembali ke suite nya di lantai lima. Bagas menidurkan Kara di atas tempat tidur, lalu membuka sepa
Paris, Perancis. Seperti kebanyakan orang bilang, adalah kota yang sangat romantis. Bangunan-bangunan kota yang artistik berpadu dengan keindahan sungai Seine membuat siapapun akan betah berlama-lama di sana. Sayang Kara hanya memiliki waktu 24 jam untuk menikmati keindahan Paris. Bagas mengarahkan mobilnya ke sebuah hotel bintang lima yang tidak jauh jaraknya dari Eiffel Tower, Hotel Plaza Athenee. Hotel Plaza Athenee, adalah sebuah hotel bersejarah yang sudah mulai dibangun sejak tahun 1911 dengan gaya arsitektur Parissian Haussmann. Mereka mulai merestorasi design hotel menjadi agak sedikit kontemporer dengan jasa arsitektur yang terkenal Jean-Jacques Ory. Kara terperangah melihat kemewahan hotel yang didominasi oleh dinding berwarna krem dan kanopi-kanopi berwarna merah di hampir setiap jendela dan pintu. "Ayo masuk! Bengong aja!" Bagas menarik ujung baju Kara setelah menyerahkan kunci mobil pada petugas Valet. Kara mengikuti Bagas menarik kopernya masuk ke dalam hotel.Setel
Entah siapa yang memulai, namun tiba-tiba beberapa pengunjung dan staf restoran mulai ikut terbawa euforia saat melihat Bagas berlutut di depan Kara. Mareka ramai-ramai berkata, "Say Yes! Say Yes! Say Yes!" membuat wajah Kara menjadi merah muda saking malunya. Ini benar-benar terasa seperti nyata. Siapa yang akan mengira kalau mereka hanya pasangan pura-pura. "Kar, lutut saya udah mulai pegel nih, kamu tinggal jawab yes aja lama banget," desis Bagas sambil tetap tersenyum, membuat Kara langsung tersadar kalau ini bukan proposal sungguhan. "Yes I will," jawab Kara sambil tersenyum manis karena seluruh mata menatapnya menunggu jawaban. Dengan lembut Bagas menyematkan cincin di jari manis Kara, dan mereka nyaris meledak tertawa saat mendapati cincin itu terlalu longgar untuk Kara. Hal yang wajar, karena Bagas sama sekali tak tahu ukuran lingkar jari manis Kara. Mereka berusaha terlihat seromantis mungkin agar pengunjung yang sedang ikut menonton tidak kecewa. Tanpa diminta seorang fo
'Congrats Kara, wah keren banget sih kalian!''Ya ampun lo kapan pacarannya sih kok tau-tau udah di lamar aja, anw congrats ya!''Demi apa siiii calon suami lo ganteng banget Kar! Selamat yaaa so happy for you!''Kar, lo mesti ceritain ke gue semuanya GAK MAU TAU!''KARA TELEPON PAPA SEGERA, KAMU APA-APAAN?'Dan masih banyak lagi pesan lainnya yang masuk ke ponsel Kara setelah ia memposting foto wedding proposal Bagas tadi malam. Ia baru saja bangun dari tidur dan mendapati Bagas masih tertidur pulas di sampingnya. Kara bangun dari tempat tidur lalu berjalan malas ke kamar mandi, setelah sempat tertidur sebentar di bathtub, Kara membereskan barang-barangnya, seingatnya mereka akan check out pagi ini dan langsung menuju London. Ia menelepon room service, meminta sarapannya dan Bagas untuk di antarkan ke kamar. Tak lama seorang pelayan datang, membawa meja dorong penuh dengan makanan lezat. Tanpa menunggu Bagas bangun, Kara menyikat makanan tersebut dengan lahap. Setelah itu Kara ya
Setelah menempuh perjalanan hampir enam jam lamanya, Kara dan Bagas sampai di Mandarin Oriental Hotel di London - UK. Dengan lelah, Kara mengikuti bell boy yang mengantarkannya dan Bagas menuju suite room yang sudah di pesan Bagas. Suite mereka menghadap langsung ke Hyde Park, membuat Kara betah lama-lama melihat ke Jendela. "Tumben Gas, pilih yang kamarnya ada dua, udah waras yah kamu?" ledek Kara saat mendapati ada dua kamar di suite mewah tersebut. Bagas yang sedang duduk di sofa terdiam, sebenarnya ia sengaja memesan suite besar dengan dua kamar karena menghindari dirinya yang mungkin akan semakin tak terkendali jika tidur berdua dengan Kara. Beberapa kali Bagas mendapati dirinya terdorong untuk mencium bibir Kara, ia takut selanjutnya akan ada dorongan lain yang membuatnya melakukan hal yang lebih jauh kepada Kara. Tubuhnya seperti selalu meminta untuk mendekat pada Kara, padahal Bagas sangat yakin ia benar-benar tidak punya perasaan 'lain' pada Kara. "Di ajak ngomong diem a
Setelah tragedi mencengangkan di Dinner By Heston Blumenthal, Kara dan Bagas kembali ke hotel untuk beristirahat. Mereka tidur di kamar masing-masing dan berjanjian untuk bangun pada pukul 7.00 malam untuk jalan-jalan dan makan malam bersama. "Kara bangun!" Bagas menepuk pipi Kara pelan, membuat Kara langsung membuka mata seketika. "Jadi mau keluar gak?" tanya Bagas acuh. Kara mengucek matanya, lalu menguap lebar. Ia bangkit dari tidurnya menuju kamar mandi tanpa menoleh pada Bagas yang sedang mengawasinya. Lima belas menit kemudian Kara sudah siap untuk berangkat, "Ayok!" tukas Kara sambil merapatkan mantel dinginnya.Bagas tak menyahut, hanya berbalik badan dan segera berjalan keluar dari ruangan suite yang mereka tempati. "Kamu mau kemana?" tanya Bagas saat mereka sedang berada di elevator turun. Kara langsung tersenyum, ia senang jika membahas tentang jalan-jalan. "Ke Westminster Bridge, London Eye, Southbank, eh sama ke situ yuk nyebrang dulu ke Hyde Park! Kan ada Winter W
Paginya Kara terbangun dengan kepala terasa sakit, ia mengernyit dan terkejut saat mendapati Bagas tertidur sambil memeluknya, ia nyaris berteriak namun segera tersadar kalau tadi malam ia yang meminta Bagas untuk memeluknya karena ia sangat kedinginan. Luka di pelipisnya terasa berdenyut-denyut, efek obat biusnya sudah hilang. Dengan segenap tenaga Kara melepaskan tangan Bagas yang masih memeluk tubuhnya, lalu ia bangkit dari tempat tidur dan berjalan pelan-pelan menuju kamar mandi. "Tunggu, saya anterin!" suara Bagas yang tiba-tiba terdengar, mengejutkan Kara. Ia menoleh dan mendapati Bagas sedang duduk sambil mengucek matanya. Setelah merasa cukup terjaga, Bagas beranjak menghampiri Kara dan memegang lengan Kara. "Baek-baek ntar pingsan!" gumam Bagas, Kara tak menyahut dan tak menolak karena kepalanya masih terasa sakit. Sampai di kamar mandi, "Ya udah sana keluar, saya mau pipis," tukas Kara saat ia sudah di depan kloset. Bagas melirik Kara sambil mengantuk, lalu berbalik ba
Seolah semuanya sudah diatur, Papa berpulang tepat ketika Kara berkunjung ke Indonesia. Serangan jantung karena komplikasi katanya, persis seperti penyakit Papa mertuanya. Papa Kara yang tidak pernah keluar masuk rumah sakit sama sekali, justru berpulang lebih dulu. Tak ada pesan terakhir yang terucap, namun Kara tahu, Papa hanya ingin Kara pulang, untuk menemani Papa di hari akhirnya. Semuanya terasa seperti mimpi, Kara merasa seperti melayang. Namun keberadaan Bagas dan Brie selalu bisa membuat Kara sadar bahwa hidup harus terus berlanjut. Orang yang paling terlihat terpukul adalah tante Nia, baru tiga tahun pernikahan, ia sudah harus kembali menjanda. Walau hanya tiga tahun, tapi ikatan cinta mereka seolah mengalahkan hubungan suami istri yang sudah terjalin bertahun-tahun lamanya. Tante Nia seperti kehilangan cahaya di wajahnya, ia berduka lebih dari Kara. Empat hari sudah berlalu sejak meninggalnya Papa dan ditengah rasa dukanya Kara harus hadir di pernikahan Gavin. Kara bisa
Satu Tahun Kemudian, "Itu Juan!" teriak Kara seraya menunjuk Juan yang mengangguk ke arahnya. "Apa kabar Ju?" sapa Bagas lalu menjabat tangan Juan dengan ramah. "Baik Pak, mari Pak mobilnya di sebelah sini," tukas Juan mengarahkan Bagas, Kara dan Brianna menuju mobil yang akan membawa mereka ke rumah orang tua Bagas. "Wah, tiga tahun gak pulang, ternyata cukup banyak yang berubah yaaa..." cetus Kara takjub melihat perubahan kota Jakarta. Bagas mengangguk, "Iya, kangen juga sama Jakarta! Brie ini hometown kamu nihh, Jakarta!" seru Bagas sambil mengamit tangan Brie. Brie yang sedang asik dengan mainannya tak begitu peduli. Hari ini Bagas dan Kara membawa Brie kembali ke Jakarta untuk mengunjungi keluarga mereka, sekaligus untuk menghadiri resepsi pernikahan Gavin dengan gadis pilihannya yang belum pernah dikenalkan kepada Kara ataupun Bagas. Mobil berhenti tepat di depan rumah orang tua Bagas. Papa dan Mama Bagas tampak menyambut di teras dengan wajah tak sabar. Mereka bukannya tak
Dua tahun kemudian, "Gimana menurut kamu jadinya?" tanya Bagas sambil melipat kedua tangan di depan dadanya. Kara tampak berpikir sejenak, "Yah susah juga sih Gas, dia kan ngelakuin hal kayak gitu karena tamunya kurang ajar, Kita gak bisa pecat orang hanya karena dia mempertahankan harga dirinya," tukas Kara tegas. Bagas menghela nafas panjang, "Ya saya setuju sih sama kamu, tapi kita harus siap kehilangan pelanggan dari Froil, which is mereka adalah salah satu company yang rutin kerjasama dengan restoran kita..." ujar Bagas dengan berat hati. Kara mendekat pada Bagas, memegang kedua tangan Bagas. "Whenever you stuck with this kind of situation just remember apa tujuan awal kita ngejalanin bisnis, it's never about money Gas, kita ngejalanin bisnis ini karena kita suka dan kita mau terus sama-sama, iya kan?" tukas Kara lembut. "Yeah, you're right... Ini nih kenapa kamu mesti sesekali kunjungan ke kantor, untuk ngingetin saya mana yang baik dan mana yang buruk!" seru Bagas lalu mena
"Gas! Brie kok kayak kuning gitu sih?" seru Kara saat ia sedang berjemur bersama Brie di halaman rumah. Bagas yang sedang memeriksa tanaman terkejut lalu menghampiri Kara. "Masa sih?!" tukas Bagas tak percaya, ia mengamati wajah Brie dengan seksama, "Iya sih Kar, waduh kenapa yah?" tanya Bagas dengan khawatir. "Kayaknya gara-gara bilirubin-nya tinggi deh, kita bawa ke dokter aja deh Gas!" tukas Kara merasa takut. Sebagai ibu baru, Kara masih meraba-raba bagaimana caranya menjadi ibu yang baik bagi Brianna, sehingga segala hal kecil tidak akan luput dari perhatiannya. Pagi itu setelah mandi dan sarapan, Bagas dan Kara bergegas menuju St. Pauls dan langsung mendaftar di poli anak. "Brianna Rose Mahendra!" panggil seorang perawat. Bagas dan Kara segera bangkit dan masuk ke dalam ruang periksa. Dokter mengatakan jika Brie mengalami breastfeeding jaundice yang membuatnya menjadi kuning. Dokter menyarankan Kara untuk lebih sering menyusui Brie dan makan makanan yang bergizi serta menghin
Dunia seakan runtuh bagi Bagas saat ia melihat Kara terkulai lemas. Dokter mengatakan Kara mengalami perdarahan hebat sehingga dokter perlu memberikan Kara alat bantu nafas dan transfusi darah karena HB kara yang anjlok ke angka 7.Bagas diminta untuk menunggu di luar agar ia tidak panik, sementara bayi perempuan mereka sudah di urus oleh perawat dan di masukan ke dalam inkubator karena kondisinya yang prematur. Di sela doa dan tangisnya Bagas teringat Mamanya, ia menghubungi Mamanya dan menceritakan apa yang terjadi, Mama sangat terkejut dan memberi wejangan untuk membesarkan hati Bagas. "Ma makasih ya udah lahirin aku ke dunia, selama ini aku gak tau kalau perjuangan Mama dulu mungkin juga seberat ini. Aku minta maaf kalau selama ini selalu bikin Mama kecewa, sekarang aku minta tolong sama Mama buat do'ain Kara supaya dia bisa lalui semua dengan baik..." ujar Bagas sambil sesekali menyeka air matanya. "Aku gak akan bisa hidup bahagia kalau sampai terjadi sesuatu yang buruk sama K
Dengan panik Bagas menggendong Kara ke dalam mobil. Kara merasakan sedikit mulas pada perutnya, "Okee Kara relaks atur nafas... atur nafas... everything will be alright..." Kara mencoba menenangkan diri sementara Bagas sedang sibuk mencari rumah sakit terdekat di mesin pencarian google. "Oke Kar, let's do this! Hang in there baby!" seru Bagas lalu menginjak pedal gas dan melaju menuju St. Pauls Hospitals. Baik Kara maupun Bagas sama sekali tidak mengira bahwa Kara akan mengalami pecah ketuban di usia kandungan yang baru menginjak 33 minggu. Keringat dingin mulai membasahi kening dan leher Kara, Bagas merasa sangat gugup dan panik karena ia tidak menyangka hal ini akan terjadi lebih awal. Ia hanya terus menerus mengatakan pada Kara bahwa semua akan baik-baik saja. Sampai di rumah sakit, Bagas segera menghentikan mobil di depan IGD dan meminta bantuan staf medis untuk membawa Kara ke dalam. Kara terlihat sudah sangat pasrah sambil terus menerus mencoba mengatur nafasnya. Seorang per
Bukan hal mudah untuk berbicara pada Mama dan Papa Bagas perkara keinginan Bagas dan Kara untuk pindah ke negara lain. Tapi setelah mereka mengatakan ini semua demi keselamatan dan kenyamanan hidup cucu mereka, akhirnya Papa dan Mama Bagas setuju, bahkan Papa Bagas berjanji akan membantu untuk memblokir akses Visa Thalita ke negara tersebut. "Konyol ya Gas kita..." gumam Kara seraya memandang ke sekeliling penthouse. Bagas menoleh, menatap Kara dengan tatapan penuh tanda tanya. "Selama dua tahun pernikahan, kita udah berapa kali pindah rumah, ini penthouse baru di renov terus mau kita tinggalin lagi," tukas Kara setengah tertawa. Bagas ikut mendengus tertawa, "Gak pa pa lah, ikutin insting aja, yang penting happy!" seru Bagas yang sudah merasa sangat yakin dengan keputusannya. Kara mengangguk, "Semoga di tempat yang baru kita bisa lebih bahagia ya Gas..." ucap Kara seraya merangkul leher Bagas dengan kedua tangannya. "Semoga..." sahut Bagas lalu mengecup bibir Kara lembut. *****Sa
"Gas, kamu yakin mau melanjutkan perkara ini?" tanya Kara pelan. Saat itu ia dan Bagas sedang duduk berdua di kitchen bar. Bagas melamun, menatap piring di depannya dengan tatapan kosong. "Saya takut Kar, saya takut dia akan bertindak lebih jauh..." tukas Bagas tanpa menatap Kara. "Kemaren Theo bilang Thalita bisa aja dijerat hukuman sampai lima belas tahun penjara, kamu yakin kamu gak akan merasa bersalah sama dia seumur hidup kamu?" tanya Kara dengan perasaan yang campur aduk. Bagas mendongak, "Memangnya kamu bisa memaafkan?" Bagas balik bertanya, matanya menatap Kara dalam. "Saya lebih baik memaafkan Thalita dari pada harus ngeliat kamu berkubang dalam rasa bersalah seumur hidup kamu," tukas Kara, tak ada keraguan di matanya. "Kamu yakin Kar? Dia gila Kar, dia bisa bertindak nekat!" seru Bagas, bayangan Thalita yang histeris kemarin melintas di benaknya. "Saya justru mau tanya sama kamu, kamu yakin setelah menjebloskan Thalita ke penjara lagi untuk waktu yang lama kamu bisa hi
"Nemuin Thalita?!" tanya Kara dengan wajah terkejut. Bagas mengangguk pelan. Saat itu mereka sudah berada di Penthouse yang interiornya sudah selesai dirubah menjadi lebih ramah anak. "Emang gak bahaya?" tukas Kara dengan wajah gamang. Bagas menghela nafas panjang, "Kar, dia jadi kayak gitu karena saya..." gumam Bagas sambil menunduk. Dua tahun yang lalu di positano, Bagas berjanji akan kembali ke Thalita setelah kontrak pernikahannya dengan Kara selesai. Thalita dengan segala kehidupan bebasnya mempercayakan hatinya kepada Bagas, satu-satunya pria di dunia yang pernah dicintainya, tapi Bagas mengecewakannya. Seumur hidup Thalita ia tidak pernah dicampakkan. Puluhan kali berpacaran dengan banyak pria, Thalita adalah pihak yang selalu mencampakkan. Namun Bagas merubah semuanya. Bagas menyakitinya dan meninggalkannya tepat di saat ia memilih untuk mempercayakan hidupnya pada Bagas. Tak ada lagi yang tersisa bagi Thalita, bagi Thalita hidupnya berakhir tepat saat Bagas memilih untuk