Kara dan Bagas berjalan bersisian, Bagas mendorong troli sementara Kara sibuk memasukkan belanjaan ke dalamnya. Mereka berdebat antar harus membeli sayuran organik atau sayuran biasa. Bagas ngotot ingin sayuran organik, sementara Kara tidak mau, karena ia sering menjumpai banyak ulat di sayuran organik. Setelah selesai berbelanja, mereka mengantri di kasir. Mereka mengobrol ringan membicarakan masalah ringan mengenai apakah susu almond lebih bagus dari susu sapi segar, sama seperti pasangan suami istri lainnya. Untuk sejenak, Kara lupa bahwa tadi ia sedang agak kesal dengan Bagas. Dan Bagas bahkan lupa, jika mereka sedang berada dalam pernikahan bohongan, karena semua yang terjadi terasa nyata. Sampai di Penthouse, Kara bergegas membereskan belanjaan dan memasukannya ke dalam kulkas. Bagas yang biasanya langsung masuk ke kamar, memilih untuk membantu Kara. "Wah baru jam enam ternyata," tukas Bagas yang mengira sekarang sudah malam hari. Kara mendengus, namun tak berpaling dari kegi
Dua minggu kemudian, Kara baru saja kembali dari lari pagi saat ia berpapasan dengan Bagas yang sedang keluar kamar dengan sebuah koper ukuran sedang di tangannya. "Mau kemana?" tanya Kara terkejut, karena Bagas tidak memberitahu apa-apa. Bagas berhenti di depan Kara, "Umm saya ada kunjungan ke Bali," jawab Bagas dengan ragu-ragu. "Oh," jawab Kara sambil mengangguk, lalu ia teringat telepon dari Thalita dua minggu yang lalu, yang menanyakan pada Bagas mengenai jadi atau tidaknya Bagas pergi ke Bali. Hatinya mencelos seketika. Ia langsung memalingkan pandangannya dari Bagas. "Kamu gak pa pa kan di Penthouse sendirian?" tanya Bagas canggung. Kara menaikkan alisnya dengan cepat, "Ga masalah," sahut Kara sambil melewati Bagas menuju dapur dan mengambil sebotol San Palegrino dari kulkas lalu meneguknya cepat-cepat seperti orang kehausan, padahal ia hanya sedang merasa sangat tidak nyaman dengan perasaannya.Rasanya Kara ingin mengatakan pada Bagas kalau ia tau Bagas akan bertemu dengan
"Kamu kenapa gak jadi ke Bali?" tanya Kara setelah pulih dari keterkejutannya. Bagas tak menjawab, ia menarik tangan Kara dan mengajak Kara pergi tanpa kata-kata. Kara menahan Bagas sekuat tenaga. Bagas menatap Kara tak mengerti, "Kenapa? Kamu masih betah berduaan sama Gavin?!" bentak Bagas dingin. Kara melotot, "Bukan begitu! Tapi tas dan laptop saya masih di dalam sana!" sahut Kara seraya menunjuk ke arah Coffee Shop. "Ini Kar," tiba-tiba saja Gavin sudah muncul dengan tas tangan dan tas laptop Kara. Bagas langsung merebutnya dengan kasar. "Gak usah sok akrab! Gak cukup nyokap lo ngerebut bokap gue? Sekarang lo mau ngerebut bini gue juga?" sentak Bagas dengan nada dingin. Kara mendelik, ia tahu keributan akan segera terjadi. Dengan gerakan cepat ia menarik tangan Bagas dan mengajak Bagas menjauh dari Gavin yang menatap dengan rahang mengeras. "Lepasin tangan saya!" sentak Bagas seraya melepaskan tangannya dari Kara. Kara yang terkejut langsung diam. "Ini terakhir kali ya saya li
Kara membuka matanya di pagi hari dengan perasaan menyesal. Betapa konyolnya apa yang ia lakukan kemarin. Untuk apa ia bermain jawab cepat dan menyuruh Bagas memilih antara dirinya dan Thalita, sungguh konyol! Dengan gusar Kara memukul kepalanya sendiri, merasa sangat bodoh. Ia rasanya enggan bangkit dari tidur dan tak berniat melangkah keluar kamar, ia tak ingin bertemu Bagas. Ditambah sekarang adalah hari Sabtu, yang artinya Bagas libur dan mungkin akan berada di Penthouse seharian. Kara sudah mandi dan berganti pakaian, tapi ia belum berani beranjak keluar kamar sama sekali. Ia bisa saja bertahan di dalam selama-lamanya, tapi perutnya terasa lapar sekali. Akhirnya pada pukul dua siang Kara menyerah. Dengan sangat perlahan Kara membuka pintu kamarnya, ia mengintip, melihat ke kanan dan ke kiri, tak ada siapapun. Kara melangkah berjinjit menuju dapur, membuka kulkas dengan perlahan, rencananya ia akan mengambil beberapa makanan dari lemari dan kulkas lalu kembali menuju kamar. Na
Kara dan Bagas berjalan dengan tergesa menyusuri lorong rumah sakit yang tampak agak lengang. Sesekali Kara melirik wajah Bagas yang terlihat sangat khawatir. "Ma! Papa Gimana?!" tanya Bagas begitu bertemu dengan Mama nya. Kara berdiri di sebelah Bagas, menunggu jawaban Mama mertuanya. Mama Bagas yang terlihat seperti baru saja menangis, menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskan nya perlahan. "Papa ada di ruang ICU, sekarang kondisinya masih belum stabil," jawab Mama berusaha terdengar tabah. Setelah mengetahui suaminya pernah berselingkuh hingga memiliki seorang anak seumuran Bagas, yaitu Gavin, membuat Mama Bagas agak menjaga jarak dengan suaminya. Rasanya sulit untuk berpura-pura tidak terjadi apa-apa walaupun perselingkuhan tersebut terjadi berpuluh tahun yang lalu. Fakta yang lebih membuat Mama Bagas merasa sakit hati adalah fakta bahwa suaminya masih berhubungan dengan sangat baik dengan Ibu Gavin. "Kalian tolong jaga disini dulu ya, Mama mau pulang dulu," tukas Mama sam
Kara kembali ke depan ruang ICU dan tak mendapati Bagas, ia mencari-cari Bagas dimana-mana namun masih tak menemukannya. Dengan rasa penasaran Kara mengambil ponselnya dari dalam tas dan mencoba menghubungi Bagas, tak diangkat. Kemana Bagas? Jangan-jangan Bagas melihat Kara waktu Kara sedang mengobrol dengan Gavin di Coffee Shop? Jangan-jangan Bagas marah dengan Kara? Segala pikiran buruk melintas di kepala Kara. Entah mengapa ia merasa sangat takut jika Bagas marah dengannya. Saat ia sedang merasa cemas, Bagas muncul dari kejauhan, membuat Kara langsung berlari menghampirinya. "Kamu dari mana? Kamu gak marah kan?!" tanya Kara dengan agak terengah karena habis berlari. Bagas mengernyitkan dahi, "Marah kenapa? Saya dari toilet," jawab Bagas bingung karena wajah Kara terlihat panik. Kara menarik nafas lega, sepertinya Bagas tidak melihatnya mengobrol dengan Gavin. "Oh iya Itu kopi kamu disitu," tukas Kara sambil menunjuk ke arah kursi ruang tunggu yang berada di jarak beberapa mete
"Ya udah lo mau nginep di rumah gue dulu? Mumpung suami gue lagi dinas luar kota," usul Nadine saat Kara datang kepadanya setelah segala drama yang terjadi di rumah sakit. Kara mengaduk minumannya, berpikir. "Jangan deh Nyuk, gak wise aja gitu kayaknya kalo gue pergi ninggalin rumah waktu berantem gini, ya walaupun nikah-nikahan tapi tetep aja, kayaknya gak etis aja," tukas Kara sambil masih terus mengaduk Lychee Ice Tea yang es batunya mulai mencair. Nadine bertepuk tangan sambil tertawa, "Gilaaaaa lo udah berubah seratus persen deh Nyuk! Waaahh kalah sih gue sama lo!" ujar Nadine yang terkejut mendengar jawaban Kara yang bijak dan dewasa, seperti bukan Kara. Kara tertawa sambil melempar Nadine dengan tissue, "Sialan lo!" seru Kara malu. "Aneh banget sih Nyuk, bokapnya Bagas kok kayak gitu ya? Maksud gue, kan kasian Bagas, walaupun misalnya dia ngerasa bersalah sama Gavin, tapi kan harusnya gak ngorbanin perasaan Bagas," tukas Kara dengan tatapan menerawang. "Gak ngerti juga sih
Kara gelisah di atas tempat tidurnya, ia bolak-balik berganti posisi dari tidur menjadi duduk, ia menyesal kenapa tadi ia menjawab pertanyaan Bagas dengan begitu cepat tanpa berpikir, pasti sekarang Bagas sudah bisa membaca jika Kara mulai menyukainya! Kara merutuki kebodohannya. Kara berharap semoga Bagas tidak salah paham, entah kenapa Kara tidak mau jika Bagas mengiranya mengharapkan pernikahan ini akan berlanjut seperti pernikahan normal pada umumnya. Ia tidak mau terlihat seperti orang yang terlalu mengharapkan cinta Bagas, duh harga diri Kara mau di taruh dimana? Apalagi harus terang-terangan bersaing dengan Thalita, membayangkannya saja Kara tak mau. Karena tak bisa tidur, Kara mulai melakukan push up dan sit up agar tubuhnya segera merasa lelah dan mengantuk. Setelah perutnya keram akibat sit up sampai tiga ratus kali, Kara merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur sampai secara tak sadar ia sudah hanyut dalam mimpi panjang yang indah. *****Satu hari lagi resepsi pernikahan
Seolah semuanya sudah diatur, Papa berpulang tepat ketika Kara berkunjung ke Indonesia. Serangan jantung karena komplikasi katanya, persis seperti penyakit Papa mertuanya. Papa Kara yang tidak pernah keluar masuk rumah sakit sama sekali, justru berpulang lebih dulu. Tak ada pesan terakhir yang terucap, namun Kara tahu, Papa hanya ingin Kara pulang, untuk menemani Papa di hari akhirnya. Semuanya terasa seperti mimpi, Kara merasa seperti melayang. Namun keberadaan Bagas dan Brie selalu bisa membuat Kara sadar bahwa hidup harus terus berlanjut. Orang yang paling terlihat terpukul adalah tante Nia, baru tiga tahun pernikahan, ia sudah harus kembali menjanda. Walau hanya tiga tahun, tapi ikatan cinta mereka seolah mengalahkan hubungan suami istri yang sudah terjalin bertahun-tahun lamanya. Tante Nia seperti kehilangan cahaya di wajahnya, ia berduka lebih dari Kara. Empat hari sudah berlalu sejak meninggalnya Papa dan ditengah rasa dukanya Kara harus hadir di pernikahan Gavin. Kara bisa
Satu Tahun Kemudian, "Itu Juan!" teriak Kara seraya menunjuk Juan yang mengangguk ke arahnya. "Apa kabar Ju?" sapa Bagas lalu menjabat tangan Juan dengan ramah. "Baik Pak, mari Pak mobilnya di sebelah sini," tukas Juan mengarahkan Bagas, Kara dan Brianna menuju mobil yang akan membawa mereka ke rumah orang tua Bagas. "Wah, tiga tahun gak pulang, ternyata cukup banyak yang berubah yaaa..." cetus Kara takjub melihat perubahan kota Jakarta. Bagas mengangguk, "Iya, kangen juga sama Jakarta! Brie ini hometown kamu nihh, Jakarta!" seru Bagas sambil mengamit tangan Brie. Brie yang sedang asik dengan mainannya tak begitu peduli. Hari ini Bagas dan Kara membawa Brie kembali ke Jakarta untuk mengunjungi keluarga mereka, sekaligus untuk menghadiri resepsi pernikahan Gavin dengan gadis pilihannya yang belum pernah dikenalkan kepada Kara ataupun Bagas. Mobil berhenti tepat di depan rumah orang tua Bagas. Papa dan Mama Bagas tampak menyambut di teras dengan wajah tak sabar. Mereka bukannya tak
Dua tahun kemudian, "Gimana menurut kamu jadinya?" tanya Bagas sambil melipat kedua tangan di depan dadanya. Kara tampak berpikir sejenak, "Yah susah juga sih Gas, dia kan ngelakuin hal kayak gitu karena tamunya kurang ajar, Kita gak bisa pecat orang hanya karena dia mempertahankan harga dirinya," tukas Kara tegas. Bagas menghela nafas panjang, "Ya saya setuju sih sama kamu, tapi kita harus siap kehilangan pelanggan dari Froil, which is mereka adalah salah satu company yang rutin kerjasama dengan restoran kita..." ujar Bagas dengan berat hati. Kara mendekat pada Bagas, memegang kedua tangan Bagas. "Whenever you stuck with this kind of situation just remember apa tujuan awal kita ngejalanin bisnis, it's never about money Gas, kita ngejalanin bisnis ini karena kita suka dan kita mau terus sama-sama, iya kan?" tukas Kara lembut. "Yeah, you're right... Ini nih kenapa kamu mesti sesekali kunjungan ke kantor, untuk ngingetin saya mana yang baik dan mana yang buruk!" seru Bagas lalu mena
"Gas! Brie kok kayak kuning gitu sih?" seru Kara saat ia sedang berjemur bersama Brie di halaman rumah. Bagas yang sedang memeriksa tanaman terkejut lalu menghampiri Kara. "Masa sih?!" tukas Bagas tak percaya, ia mengamati wajah Brie dengan seksama, "Iya sih Kar, waduh kenapa yah?" tanya Bagas dengan khawatir. "Kayaknya gara-gara bilirubin-nya tinggi deh, kita bawa ke dokter aja deh Gas!" tukas Kara merasa takut. Sebagai ibu baru, Kara masih meraba-raba bagaimana caranya menjadi ibu yang baik bagi Brianna, sehingga segala hal kecil tidak akan luput dari perhatiannya. Pagi itu setelah mandi dan sarapan, Bagas dan Kara bergegas menuju St. Pauls dan langsung mendaftar di poli anak. "Brianna Rose Mahendra!" panggil seorang perawat. Bagas dan Kara segera bangkit dan masuk ke dalam ruang periksa. Dokter mengatakan jika Brie mengalami breastfeeding jaundice yang membuatnya menjadi kuning. Dokter menyarankan Kara untuk lebih sering menyusui Brie dan makan makanan yang bergizi serta menghin
Dunia seakan runtuh bagi Bagas saat ia melihat Kara terkulai lemas. Dokter mengatakan Kara mengalami perdarahan hebat sehingga dokter perlu memberikan Kara alat bantu nafas dan transfusi darah karena HB kara yang anjlok ke angka 7.Bagas diminta untuk menunggu di luar agar ia tidak panik, sementara bayi perempuan mereka sudah di urus oleh perawat dan di masukan ke dalam inkubator karena kondisinya yang prematur. Di sela doa dan tangisnya Bagas teringat Mamanya, ia menghubungi Mamanya dan menceritakan apa yang terjadi, Mama sangat terkejut dan memberi wejangan untuk membesarkan hati Bagas. "Ma makasih ya udah lahirin aku ke dunia, selama ini aku gak tau kalau perjuangan Mama dulu mungkin juga seberat ini. Aku minta maaf kalau selama ini selalu bikin Mama kecewa, sekarang aku minta tolong sama Mama buat do'ain Kara supaya dia bisa lalui semua dengan baik..." ujar Bagas sambil sesekali menyeka air matanya. "Aku gak akan bisa hidup bahagia kalau sampai terjadi sesuatu yang buruk sama K
Dengan panik Bagas menggendong Kara ke dalam mobil. Kara merasakan sedikit mulas pada perutnya, "Okee Kara relaks atur nafas... atur nafas... everything will be alright..." Kara mencoba menenangkan diri sementara Bagas sedang sibuk mencari rumah sakit terdekat di mesin pencarian google. "Oke Kar, let's do this! Hang in there baby!" seru Bagas lalu menginjak pedal gas dan melaju menuju St. Pauls Hospitals. Baik Kara maupun Bagas sama sekali tidak mengira bahwa Kara akan mengalami pecah ketuban di usia kandungan yang baru menginjak 33 minggu. Keringat dingin mulai membasahi kening dan leher Kara, Bagas merasa sangat gugup dan panik karena ia tidak menyangka hal ini akan terjadi lebih awal. Ia hanya terus menerus mengatakan pada Kara bahwa semua akan baik-baik saja. Sampai di rumah sakit, Bagas segera menghentikan mobil di depan IGD dan meminta bantuan staf medis untuk membawa Kara ke dalam. Kara terlihat sudah sangat pasrah sambil terus menerus mencoba mengatur nafasnya. Seorang per
Bukan hal mudah untuk berbicara pada Mama dan Papa Bagas perkara keinginan Bagas dan Kara untuk pindah ke negara lain. Tapi setelah mereka mengatakan ini semua demi keselamatan dan kenyamanan hidup cucu mereka, akhirnya Papa dan Mama Bagas setuju, bahkan Papa Bagas berjanji akan membantu untuk memblokir akses Visa Thalita ke negara tersebut. "Konyol ya Gas kita..." gumam Kara seraya memandang ke sekeliling penthouse. Bagas menoleh, menatap Kara dengan tatapan penuh tanda tanya. "Selama dua tahun pernikahan, kita udah berapa kali pindah rumah, ini penthouse baru di renov terus mau kita tinggalin lagi," tukas Kara setengah tertawa. Bagas ikut mendengus tertawa, "Gak pa pa lah, ikutin insting aja, yang penting happy!" seru Bagas yang sudah merasa sangat yakin dengan keputusannya. Kara mengangguk, "Semoga di tempat yang baru kita bisa lebih bahagia ya Gas..." ucap Kara seraya merangkul leher Bagas dengan kedua tangannya. "Semoga..." sahut Bagas lalu mengecup bibir Kara lembut. *****Sa
"Gas, kamu yakin mau melanjutkan perkara ini?" tanya Kara pelan. Saat itu ia dan Bagas sedang duduk berdua di kitchen bar. Bagas melamun, menatap piring di depannya dengan tatapan kosong. "Saya takut Kar, saya takut dia akan bertindak lebih jauh..." tukas Bagas tanpa menatap Kara. "Kemaren Theo bilang Thalita bisa aja dijerat hukuman sampai lima belas tahun penjara, kamu yakin kamu gak akan merasa bersalah sama dia seumur hidup kamu?" tanya Kara dengan perasaan yang campur aduk. Bagas mendongak, "Memangnya kamu bisa memaafkan?" Bagas balik bertanya, matanya menatap Kara dalam. "Saya lebih baik memaafkan Thalita dari pada harus ngeliat kamu berkubang dalam rasa bersalah seumur hidup kamu," tukas Kara, tak ada keraguan di matanya. "Kamu yakin Kar? Dia gila Kar, dia bisa bertindak nekat!" seru Bagas, bayangan Thalita yang histeris kemarin melintas di benaknya. "Saya justru mau tanya sama kamu, kamu yakin setelah menjebloskan Thalita ke penjara lagi untuk waktu yang lama kamu bisa hi
"Nemuin Thalita?!" tanya Kara dengan wajah terkejut. Bagas mengangguk pelan. Saat itu mereka sudah berada di Penthouse yang interiornya sudah selesai dirubah menjadi lebih ramah anak. "Emang gak bahaya?" tukas Kara dengan wajah gamang. Bagas menghela nafas panjang, "Kar, dia jadi kayak gitu karena saya..." gumam Bagas sambil menunduk. Dua tahun yang lalu di positano, Bagas berjanji akan kembali ke Thalita setelah kontrak pernikahannya dengan Kara selesai. Thalita dengan segala kehidupan bebasnya mempercayakan hatinya kepada Bagas, satu-satunya pria di dunia yang pernah dicintainya, tapi Bagas mengecewakannya. Seumur hidup Thalita ia tidak pernah dicampakkan. Puluhan kali berpacaran dengan banyak pria, Thalita adalah pihak yang selalu mencampakkan. Namun Bagas merubah semuanya. Bagas menyakitinya dan meninggalkannya tepat di saat ia memilih untuk mempercayakan hidupnya pada Bagas. Tak ada lagi yang tersisa bagi Thalita, bagi Thalita hidupnya berakhir tepat saat Bagas memilih untuk