Kara sedang duduk di ruang TV saat Bagas masuk ke dalam Penthouse dengan wajah muram, Bagas melirik Kara sekejap lalu melanjutkan langkahnya menuju ke dalam, sebelum Bagas sempat masuk ke dalam kamar, Kara berjalan cepat mengejarnya. "Tadi saya sama mama ketemu Thalita di salon!" seru Kara sambil memblokir langkah Bagas. Bagas terlihat terkejut, namun ia berusaha menyembunyikannya, "Terus kenapa?" sahut Bagas datar. "Terus kenapa? Thalita ngomong sesuatu seolah-olah dia mau ngebocorin rahasia kita! Ya saya sih gak rugi ya kalau sampe ini bocor, toh utang Papa saya udah kamu bayar, tapi kamu? Posisi CEO kamu? Ya good luck deh with that!" seru Kara kesal. Bagas bergeming, wajahnya tampak kaku. Sebelum masuk ke dalam kamar, Kara berbalik badan lagi, "Oh ya, kamu tadi di sana juga kan? We saw your car," tukas Kara lalu masuk ke dalam kamar dan menutup pintu rapat-rapat, entah mengapa ia merasa sangat amat kesal dengan Bagas. Bagas masih terdiam di tempatnya berdiri, ia tak menyangka b
Dua minggu sudah berlalu sejak resepsi pernikahan Kara dan Bagas digelar. Semenjak itu mereka tidak saling berbicara mengenai segala kejadian yang terjadi selama acara tersebut. Baik kejadian saat Thalita mengancam Bagas maupun kejadian saat Kara memutuskan untuk mencium bibir Bagas di depan seluruh tamu undangan. Segalanya berjalan seperti biasa, hanya saja Kara merasa Bagas mulai sangat menjaga jarak dengannya. Bagas lebih sering menghabiskan waktunya di kantor atau di kamar dan jarang duduk bersama dengan Kara. Kara mulai berasumsi jika sikap Bagas terjadi karena Thalita mengancamnya. Karena Kara dapat mendengar dengan jelas ancaman Thalita waktu itu. Atau bisa jadi Bagas menjauh karena Bagas merasa tidak nyaman dengan sikap Kara yang mulai terasa berbeda, maksudnya mungkin Bagas tidak suka jika Kara mulai jatuh hati padanya. Kara menanggapi semuanya dengan acuh ia berusaha memfokuskan diri dengan bisnis fashionnya yang akan segera ia mulai. Segala urusan legalisasi perijinan u
Kara menunggu jawaban Gavin dengan gelisah, apa yang kira-kira Gavin ketahui? Gavin menarik nafas dalam, lalu menatap Kara tepat di mata. "Saya tau semuanya," satu kalimat yang keluar dari mulut Gavin mampu membuat Kara lemas seketika. Kara membeku di tempatnya duduk, ia masih berharap dugaannya salah. Gavin menunduk sejenak, lalu mendongak menatap Kara lagi, "Saya tau tentang pernikahan kontrak kalian." DEG! Jantung Kara benar-benar seperti copot dari tempatnya, ia menatap Gavin dengan mata terbelalak, ponsel di tangannya sampai jatuh ke karpet saking terkejutnya Kara. Bahkan Kara tak menyahut dan mengatakan apa-apa, ia masih sulit untuk mencerna kenyataan ini. Gavin mengambil ponsel Kara yang jatuh, lalu meletakkannya di atas meja. Ia menarik nafas, sedikit merasa bersalah karena melihat reaksi Kara yang benar-benar shock. "Kamu baik-baik aja Kar?" tanya Gavin sambil menatap dengan tatapan khawatir. Kara merasa sangat ingin menangis sekarang, apakah sekarang semuanya benar-ben
Matahari mengintip dari jendela kamar Kara, Kara menyipitkan matanya karena merasa silau. Dengan malas Kara meregangkan tubuhnya, rasanya ia tak ingin beranjak dari tempat tidurnya. Tiba-tiba Kara teringat pesan Thalita kepada Bagas yang ia baca tadi malam. Astaga! Kalau Kara harus mengganti uang seratus milyar kepada keluarga Bagas, ia harus mencarinya kemana? Bagas pasti membayar hutang Papa Kara dengan uang keluarganya, mana mungkin Bagas memiliki uang seratus milyar sementara ia baru saja naik menjadi CEO. Kara merasa sangat frustasi, ia beranjak duduk, menatap kamarnya yang luas dengan segala fasilitas mewah yang sekarang seolah tak ada artinya lagi. Ia penasaran apa yang Bagas katakan pada Papa atau Mamanya sampai ia bisa mencairkan uang seratus milyar, alasan apa yang kira-kira ia gunakan? Kara mulai tak berminat melanjutkan bisnis fashionnya, kalau pernikahannya dengan Bagas berakhir, bisnis fashionnya juga akan berakhir, karena uang yang ia gunakan semua adalah uang Bagas.
"Kar, saya udah nemu tempat yang lebih tepat buat butik kamu," tukas Bagas tiba-tiba, saat itu Kara sedang sibuk menyedot debu di karpet dengan vacum cleaner. Kara mendongak terkejut, "Maksudnya? Kan interior butik saya udah hampir seratus persen jadi di gedung kantor kamu?" tanya Kara tak mengerti. Bagas menghampiri Kara, mematikan tombol vacum cleaner yang berdengung berisik, lalu berdiri tepat di depan Kara. "Kita harus pastikan kalo butik itu jadi sepenuhnya milik kamu, jadi kalau kontrak nikah kita selesai, butik itu gak akan ikut berakhir," tukas Bagas kali ini sambil menatap kedua mata Kara. Kara membeku di tempatnya berdiri, "Kamu bener-bener mikirin kata-kata Nadine?" tanya Kara terkejut. Bagas mengangkat bahu, "Ya emang gitu kan seharusnya," sahut Bagas seraya berlalu dari hadapan Kara, membuat Kara tersenyum sendiri. Kara langsung berhenti tersenyum ketika tiba-tiba saja Bagas menoleh lagi ke arahnya. "Abis ini kita survei ke sana, mandi gih!" seru Bagas sambil menahan
Tiga bulan kemudian. Kara sedang sibuk untuk mempersiapkan pembukaan butik barunya, ia bekerjasama dengan beberapa media untuk meliput acara pembukaan butik yang di beri nama By Kara. Selama tiga bulan belakangan baik Kara maupun Bagas sibuk dengan urusan masing-masing. Bagas sangat jarang terlihat di Penthouse, setiap pulang kerja ia selalu pergi ke tempat lain. Kara pernah bertanya, namun Bagas hanya menjawab ia sedang mengerjakan suatu proyek lain diluar perusahaan. Hubungan Kara dan Bagas tidak ada kemajuan sama sekali, Bagas belum membuat pergerakan yang berarti, begitu juga Kara yang terang saja tidak mau menyatakan apapun karena Bagas masih sering menemui Thalita. Terlepas dari itu adalah sebuah keharusan karena mereka tak mau jika Thalita buka mulut, tetap saja Kara merasa cemburu. "Udah ready semua Nyuk?" tanya Kara pada Nadine yang terlihat sedang memeriksa semua satu persatu. Nadine mengangguk, "Aman!" sahut Nadine yakin. Hari itu mereka mengadakan acara di sebuah Mall
Kara sedang membuat sarapan di dapur saat Bagas keluar dari kamar dengan pakaian kerjanya. Rasanya Kara ingin mengkonfrontasi Bagas dan menanyakan langsung padanya mengenai kebenaran kata-kata Thalita. Tapi entah mengapa nyali Kara menjadi agak ciut, iya tidak siap jika jawaban Bagas ternyata sesuai dengan apa yang Thalita katakan. Kara juga merasa sangat marah karena Bagas tidak datang ke acara fashion show perdananya kemarin. Ia memilih diam dan tak menanyakan pada Bagas, mungkin memang Kara tidak sepenting itu di mata Bagas! Tapi kan Bagas sendiri yang memotivasi Kara untuk bisa mandiri dan memiliki bisnis sendiri, kenapa dia tidak datang untuk mendukung! "Masak apa Kar?" tanya Bagas sambil memasang dasi di kemeja biru mudanya. "Nasi goreng," sahut Kara singkat, padat dan jelas. "Hari ini ngantor?" tanya Bagas lagi. "Iya," jawab Kara ketus. "Oh, ya udah saya berangkat," tukas Bagas seraya berbalik badan. Kara merasakan darahnya mendidih saking kesalnya. "WOI BAGASKARA MAHENDRA!
Beberapa waktu belakangan Gavin semakin gencar mendekati Kara. Ia selalu datang ke butik dan mengajak Kara keluar untuk makan siang. Jika malam tiba, Gavin akan mengirimkan makan malam untuk Kara, itu semua berlangsung selama beberapa bulan hingga membuat Kara merasa tidak nyaman. Namun entah mengapa ia merasa agak takut bersikap kasar pada Gavin, ia takut Gavin akan membocorkan rahasia pernikahan kontraknya. Karena bagaimanapun Ia harus melindungi Bagas. Lima bulan sudah berlalu sejak butik By Kara diresmikan. Semakin hari By Kara semakin dikenal oleh masyarakat luas karena desainnya yang simpel tapi bagus dan harganya yang cukup terjangkau di kalangan menengah ke atas. Kara menjual produknya secara online dengan website dan media sosial yang dengan sangat cepat dapat menjaring masyarakat usia produktif. Tak terasa juga pernikahan Kara dan Bagas sudah berjalan selama satu tahun. Selama itu pula mereka menahan perasaan satu sama lain tanpa pernah saling mengungkapkan. Bagas masih sa
Seolah semuanya sudah diatur, Papa berpulang tepat ketika Kara berkunjung ke Indonesia. Serangan jantung karena komplikasi katanya, persis seperti penyakit Papa mertuanya. Papa Kara yang tidak pernah keluar masuk rumah sakit sama sekali, justru berpulang lebih dulu. Tak ada pesan terakhir yang terucap, namun Kara tahu, Papa hanya ingin Kara pulang, untuk menemani Papa di hari akhirnya. Semuanya terasa seperti mimpi, Kara merasa seperti melayang. Namun keberadaan Bagas dan Brie selalu bisa membuat Kara sadar bahwa hidup harus terus berlanjut. Orang yang paling terlihat terpukul adalah tante Nia, baru tiga tahun pernikahan, ia sudah harus kembali menjanda. Walau hanya tiga tahun, tapi ikatan cinta mereka seolah mengalahkan hubungan suami istri yang sudah terjalin bertahun-tahun lamanya. Tante Nia seperti kehilangan cahaya di wajahnya, ia berduka lebih dari Kara. Empat hari sudah berlalu sejak meninggalnya Papa dan ditengah rasa dukanya Kara harus hadir di pernikahan Gavin. Kara bisa
Satu Tahun Kemudian, "Itu Juan!" teriak Kara seraya menunjuk Juan yang mengangguk ke arahnya. "Apa kabar Ju?" sapa Bagas lalu menjabat tangan Juan dengan ramah. "Baik Pak, mari Pak mobilnya di sebelah sini," tukas Juan mengarahkan Bagas, Kara dan Brianna menuju mobil yang akan membawa mereka ke rumah orang tua Bagas. "Wah, tiga tahun gak pulang, ternyata cukup banyak yang berubah yaaa..." cetus Kara takjub melihat perubahan kota Jakarta. Bagas mengangguk, "Iya, kangen juga sama Jakarta! Brie ini hometown kamu nihh, Jakarta!" seru Bagas sambil mengamit tangan Brie. Brie yang sedang asik dengan mainannya tak begitu peduli. Hari ini Bagas dan Kara membawa Brie kembali ke Jakarta untuk mengunjungi keluarga mereka, sekaligus untuk menghadiri resepsi pernikahan Gavin dengan gadis pilihannya yang belum pernah dikenalkan kepada Kara ataupun Bagas. Mobil berhenti tepat di depan rumah orang tua Bagas. Papa dan Mama Bagas tampak menyambut di teras dengan wajah tak sabar. Mereka bukannya tak
Dua tahun kemudian, "Gimana menurut kamu jadinya?" tanya Bagas sambil melipat kedua tangan di depan dadanya. Kara tampak berpikir sejenak, "Yah susah juga sih Gas, dia kan ngelakuin hal kayak gitu karena tamunya kurang ajar, Kita gak bisa pecat orang hanya karena dia mempertahankan harga dirinya," tukas Kara tegas. Bagas menghela nafas panjang, "Ya saya setuju sih sama kamu, tapi kita harus siap kehilangan pelanggan dari Froil, which is mereka adalah salah satu company yang rutin kerjasama dengan restoran kita..." ujar Bagas dengan berat hati. Kara mendekat pada Bagas, memegang kedua tangan Bagas. "Whenever you stuck with this kind of situation just remember apa tujuan awal kita ngejalanin bisnis, it's never about money Gas, kita ngejalanin bisnis ini karena kita suka dan kita mau terus sama-sama, iya kan?" tukas Kara lembut. "Yeah, you're right... Ini nih kenapa kamu mesti sesekali kunjungan ke kantor, untuk ngingetin saya mana yang baik dan mana yang buruk!" seru Bagas lalu mena
"Gas! Brie kok kayak kuning gitu sih?" seru Kara saat ia sedang berjemur bersama Brie di halaman rumah. Bagas yang sedang memeriksa tanaman terkejut lalu menghampiri Kara. "Masa sih?!" tukas Bagas tak percaya, ia mengamati wajah Brie dengan seksama, "Iya sih Kar, waduh kenapa yah?" tanya Bagas dengan khawatir. "Kayaknya gara-gara bilirubin-nya tinggi deh, kita bawa ke dokter aja deh Gas!" tukas Kara merasa takut. Sebagai ibu baru, Kara masih meraba-raba bagaimana caranya menjadi ibu yang baik bagi Brianna, sehingga segala hal kecil tidak akan luput dari perhatiannya. Pagi itu setelah mandi dan sarapan, Bagas dan Kara bergegas menuju St. Pauls dan langsung mendaftar di poli anak. "Brianna Rose Mahendra!" panggil seorang perawat. Bagas dan Kara segera bangkit dan masuk ke dalam ruang periksa. Dokter mengatakan jika Brie mengalami breastfeeding jaundice yang membuatnya menjadi kuning. Dokter menyarankan Kara untuk lebih sering menyusui Brie dan makan makanan yang bergizi serta menghin
Dunia seakan runtuh bagi Bagas saat ia melihat Kara terkulai lemas. Dokter mengatakan Kara mengalami perdarahan hebat sehingga dokter perlu memberikan Kara alat bantu nafas dan transfusi darah karena HB kara yang anjlok ke angka 7.Bagas diminta untuk menunggu di luar agar ia tidak panik, sementara bayi perempuan mereka sudah di urus oleh perawat dan di masukan ke dalam inkubator karena kondisinya yang prematur. Di sela doa dan tangisnya Bagas teringat Mamanya, ia menghubungi Mamanya dan menceritakan apa yang terjadi, Mama sangat terkejut dan memberi wejangan untuk membesarkan hati Bagas. "Ma makasih ya udah lahirin aku ke dunia, selama ini aku gak tau kalau perjuangan Mama dulu mungkin juga seberat ini. Aku minta maaf kalau selama ini selalu bikin Mama kecewa, sekarang aku minta tolong sama Mama buat do'ain Kara supaya dia bisa lalui semua dengan baik..." ujar Bagas sambil sesekali menyeka air matanya. "Aku gak akan bisa hidup bahagia kalau sampai terjadi sesuatu yang buruk sama K
Dengan panik Bagas menggendong Kara ke dalam mobil. Kara merasakan sedikit mulas pada perutnya, "Okee Kara relaks atur nafas... atur nafas... everything will be alright..." Kara mencoba menenangkan diri sementara Bagas sedang sibuk mencari rumah sakit terdekat di mesin pencarian google. "Oke Kar, let's do this! Hang in there baby!" seru Bagas lalu menginjak pedal gas dan melaju menuju St. Pauls Hospitals. Baik Kara maupun Bagas sama sekali tidak mengira bahwa Kara akan mengalami pecah ketuban di usia kandungan yang baru menginjak 33 minggu. Keringat dingin mulai membasahi kening dan leher Kara, Bagas merasa sangat gugup dan panik karena ia tidak menyangka hal ini akan terjadi lebih awal. Ia hanya terus menerus mengatakan pada Kara bahwa semua akan baik-baik saja. Sampai di rumah sakit, Bagas segera menghentikan mobil di depan IGD dan meminta bantuan staf medis untuk membawa Kara ke dalam. Kara terlihat sudah sangat pasrah sambil terus menerus mencoba mengatur nafasnya. Seorang per
Bukan hal mudah untuk berbicara pada Mama dan Papa Bagas perkara keinginan Bagas dan Kara untuk pindah ke negara lain. Tapi setelah mereka mengatakan ini semua demi keselamatan dan kenyamanan hidup cucu mereka, akhirnya Papa dan Mama Bagas setuju, bahkan Papa Bagas berjanji akan membantu untuk memblokir akses Visa Thalita ke negara tersebut. "Konyol ya Gas kita..." gumam Kara seraya memandang ke sekeliling penthouse. Bagas menoleh, menatap Kara dengan tatapan penuh tanda tanya. "Selama dua tahun pernikahan, kita udah berapa kali pindah rumah, ini penthouse baru di renov terus mau kita tinggalin lagi," tukas Kara setengah tertawa. Bagas ikut mendengus tertawa, "Gak pa pa lah, ikutin insting aja, yang penting happy!" seru Bagas yang sudah merasa sangat yakin dengan keputusannya. Kara mengangguk, "Semoga di tempat yang baru kita bisa lebih bahagia ya Gas..." ucap Kara seraya merangkul leher Bagas dengan kedua tangannya. "Semoga..." sahut Bagas lalu mengecup bibir Kara lembut. *****Sa
"Gas, kamu yakin mau melanjutkan perkara ini?" tanya Kara pelan. Saat itu ia dan Bagas sedang duduk berdua di kitchen bar. Bagas melamun, menatap piring di depannya dengan tatapan kosong. "Saya takut Kar, saya takut dia akan bertindak lebih jauh..." tukas Bagas tanpa menatap Kara. "Kemaren Theo bilang Thalita bisa aja dijerat hukuman sampai lima belas tahun penjara, kamu yakin kamu gak akan merasa bersalah sama dia seumur hidup kamu?" tanya Kara dengan perasaan yang campur aduk. Bagas mendongak, "Memangnya kamu bisa memaafkan?" Bagas balik bertanya, matanya menatap Kara dalam. "Saya lebih baik memaafkan Thalita dari pada harus ngeliat kamu berkubang dalam rasa bersalah seumur hidup kamu," tukas Kara, tak ada keraguan di matanya. "Kamu yakin Kar? Dia gila Kar, dia bisa bertindak nekat!" seru Bagas, bayangan Thalita yang histeris kemarin melintas di benaknya. "Saya justru mau tanya sama kamu, kamu yakin setelah menjebloskan Thalita ke penjara lagi untuk waktu yang lama kamu bisa hi
"Nemuin Thalita?!" tanya Kara dengan wajah terkejut. Bagas mengangguk pelan. Saat itu mereka sudah berada di Penthouse yang interiornya sudah selesai dirubah menjadi lebih ramah anak. "Emang gak bahaya?" tukas Kara dengan wajah gamang. Bagas menghela nafas panjang, "Kar, dia jadi kayak gitu karena saya..." gumam Bagas sambil menunduk. Dua tahun yang lalu di positano, Bagas berjanji akan kembali ke Thalita setelah kontrak pernikahannya dengan Kara selesai. Thalita dengan segala kehidupan bebasnya mempercayakan hatinya kepada Bagas, satu-satunya pria di dunia yang pernah dicintainya, tapi Bagas mengecewakannya. Seumur hidup Thalita ia tidak pernah dicampakkan. Puluhan kali berpacaran dengan banyak pria, Thalita adalah pihak yang selalu mencampakkan. Namun Bagas merubah semuanya. Bagas menyakitinya dan meninggalkannya tepat di saat ia memilih untuk mempercayakan hidupnya pada Bagas. Tak ada lagi yang tersisa bagi Thalita, bagi Thalita hidupnya berakhir tepat saat Bagas memilih untuk