Mala terbangun dari tidurnya karena dering ponsel yang memekakkan telinga. Dilihatnya jam pada alarm sudah menunjukkan pukul empat dini hari. Dia ingat, hari ini ada perjalanan untuk mengikuti Bimtek keluar kota bersama teman-temannya dibagikan keuangan. Karena kemaren telat makan, menyebabkan maag nya kambuh yang mengharuskan menahan sakit semalaman. Akibatnya, sekarang saat terbangun, dirasa kepalanya sangat pusing.
Mencoba mengabaikan rasa pusing itu, segera ia bangkit dari tempat tidur. Melangkah buru-buru kekamar mandi, berwudhu dan segera menunaikan shalat dua rakaat. Biasanya setelah shalat, dia akan menyempatkan diri untuk melanjutkan hafalan Al-qurannya -belakangan ini dia mulai rajin menghafal Al-Quran-. Berhubung hari ini dia harus berangkat agak pagi, maka kegiatan menghafalnya harus ditunda dulu.
Setelah mempacking pakaian kedalam koper, disempatkan nya dulu memanaskan air untuk membuat secangkir teh panas. Jika biasanya menu sarapannya adalah
'' Kalian tega banget ninggalin aku, hingga harus terjebak berduaan dengan pak Radit sepanjang perjalanan. Kalian nggak bakal ngerti berapa nggak nyamannya diposisiku." gerutu Mala begitu sampai di hotel tempat acara yang akan diikutinya."Jangan salahkan kami, Mala! Apalah daya kami pegawai rendahan ini. Tak bisa menolak apa yang diperintahkan atasan. Pak manajer tampan itu memerintahkan kami duluan, katanya dia juga mau kesini tanpa sopir, dan perlu teman untuk menemaninya." jelas salah satu temannya tanpa rasa bersalah."Sebenarnya jika ada tawaran untuk kami pastilah kami juga tidak bisa menolak. Atau jika salah satu diantara kami dipilih pasti akan disambut dengan suka cita. Tapi karena yang dipilih itu adalah dirimu, kami juga tak bisa melakukan apa-apa. Kami tahu, akhirnya akan begini, kami yang dikira tidak setia kawan." Lanjut rekannya yang satu lagi. Mala hanya menggeleng tidak bisa menerima alasan teman-temannya."Lagian, bukannya bagus kamu bisa berduaan dengan pak Radit?
Hari ini, Bian mendapat tugas dari dekan fakultas tempatnya mengajar untuk mengikuti rapat kerja nasional yang dilaksanakan tidak jauh dari kampus. Disamping sebagai peserta, dia juga diminta mengisi acara berupa pembacaan ayat suci Al-Quran. Wajar saja dia yang diminta, kemampuan baca Al-Qur’annya membuat semua orang dikampus, baik dosen maupun mahasiswa merasa sangat kagum. Sehingga, tidak jarang dia diminta melantunkan kalam suci itu jika ada acara-acara besar dikampus. Termasuk untuk acara hari ini, dekannya sengaja merekomendasikan nama Bian ke panitia untuk membacakan ayat suci Al-Qur’an.Dan hari ini, entah mengapa, ingin sekali rasanya membawakan ayat yang dulu pernah dibacanya saat ia mengikuti lomba bersama gadis itu. Gadis yang semenjak pertemuan terakhir mereka, dirumah sakit, dengan kondisi yang tidak baik-baik saja, tidak pernah lagi dijumpai. Tak terasa sudah hampir 2 tahun ia tak pernah lagi bertemu gadis itu.Entah sihir apa yang dipakai, sampai sekarang hatinya mas
Bian membuka matanya dan mengedarkan pandangan sekeliling kamar. Tempat tidurnya sudah kembali ditata dengan rapi, lalu ada selimut yang menutupi tubuhnya. Di atas meja rias disebelahnya, ada secarik kertas yang tertinggal. Diraihnya kertas itu dan dibaca.[Bian, terimakasih.Lagi-lagi kamu menyelamatkan aku.Aku tidak tahu harus membalasmu dengan apa.Oiya, tidurmu nyenyak sekali. Aku tak tega membangunkan, jadinya aku pergi tanpa pamit.Sekali lagi, terimakasih, Bian] - NirmalaBian beranjak dari tempatnya. Dilihatnya pada layar ponsel, masih pukul 03.00 dini hari. Sepertinya akibat kelelahan, sehingga tidurnya benar-benar pulas. Sampai dia tidak tahu bahwa Mala telah meninggalkan kamarnya.Rasa cemas dan khawatir menghigapi hatinya. Tadi itu, kondisi Mala sangat buruk, dan dia malah kembali ke kamar sendirian. Tapi tadi dilihatnya pada kartu, nomor kamar gadis itu tak jauh dari kamarnya sehingga membuatnya agak tenang. Mungkin nanti saat sudah pagi bisa ditanya kesana, memastikan k
Bian tersenyum menatap wajah yang terus terusan menunduk didepannya. Selalu saja setiap kali mereka bertemu, gadis itu menghindari bertemu pandang dengannya. Kecuali saat mereka bertemu di lift tadi malam, baru itulah kali pertama gadis itu berani menatapnya lama-lama.“Jika kamu terus menunduk seperti ini, lebih baik aku pergi saja! Sepertinya aku tidak diinginkan disini, mungkin memang, karena seharusnya ada orang lain yang duduk disini?”“Jangan asal bicara!” Mala menegakkan kepala dan menatap Bian tajam. Semburat merah dipipinya membuat wanita itu semakin cantik, membuat lelaki didepannya harus mati-matian menyembunyikan rasa kagumnya.“Aku sangat senang bisa bertemu denganmu lagi. Tapi aku merasa sangat malu, karena semalam…”cepat-cepat ditutup mulutnya. Tidak ingin keceplosan didepan lelaki yang juga sahabat lamanya itu.“Ooooo…. Mengenai kejadian semalam, aku juga ingin minta maaf!” potong Bian cepat. “Aku terpaksa membuka kaos kakimu dan juga jilbabmu. Tapi percaya padaku, se
Waktu tiga hari ternyata berjalan sangat cepat. Sore itu kegiatan ditutup dengan acara foto bersama. Setelahnya para peserta dibubarkan guna kembali ke perusahaan masing-masing.Selama mengikuti kegiatan, Mala berusaha agar fokus dan tak terganggu oleh hal apa pun. Gangguan terbesarnya adalah Bian. Semua tentang lelaki itu kembali tersusun bagaikan kepingan-kepingan puzzle dikepalanya. Semenjak pertemuan mereka di restoran pagi kemaren, dia berusaha menjaga agar tak berhadapan dengannya lagi. Sulit bagi hatinya untuk tak memperlihatkan rasa senang yang meluap. Walau ia harus berjuang, menahan gelora rindu yang tiba-tiba serasa membakar hatinya.Membayangkan bahwa lelaki itu milik wanita lain, membuat hatinya tak rela. Namun apa yang bisa diperbuatnya. Dia hanya bisa menerima semua takdir itu dengan lapang dada. Meski pun hatinya tak bisa menghapus rasa cinta yang terus menguasai hatinya, namun ia takkan pernah merampas apa yang tidak ditakdirkan menjadi miliknya.Mungkin dengan belaja
Mobilnya berbelok memasuki parkiran sebuah hotel berbintang lima. Gedung tinggi menjulang itu berdiri dengan gagahnya dan menghadap ke pantai. Jika disiang hari pasti akan sangat indah memandangi pantai dari hotel ini, namun karena sekarang sudah malam, tak ada lagi pemandangan indah itu. Hanya kegelapan yang membuat hati wanita yang duduk disampingnya ketakutan."Kenapa kita ke hotel lagi?" akhirnya Mala buka suara setelah dari tadi diam meredam kekesalannya."Bukankah sudah kubilang, ada makan malam spesial." jawab Radit sambil memarkir mobilnya.Mala semakin was-was dan merasa ada yang janggal dengan semua ini. Kalau untuk sekedar makan malam, mengapa harus ke hotel?"Hanya makan malam, mengapa harus di sini? Bukankah masih banyak tempat lain yang bisa di pilih?" Protes Mala. Namun sepertinya percuma, Radit tetap memarkir mobilnya dan segera turun."Turunlah, Mala!"Lelaki itu membuka pintu sebelah Mala dan mengulurkan tangannya. Mala menolak. Dia masih tetap ditempat duduknya. Ad
Bian berlari cepat menuju lift guna turun dari lantai delapan hotel itu. Ternyata perasaan tidak enak yang sedari tadi dirasa penyebabnya adalah ini. Wanita yang dicintainya dalam bahaya. Untung saja tadi dia tidak menolak ajakan dosennya untuk mengantarkan laporan malam ini ke kamarnya yang ada di lantai delapan. Sehingga dia bisa menemukan wanita itu yang ternyata dalam bahaya.Setahunya, acara yang diikuti Mala telah berakhir sore tadi, dan semua peserta juga sudah pulang. Dia juga melihat dengan mata kepalanya, kalau sore tadi Mala telah bersiap pulang dengan menaiki mobil lelaki yang barusan ingin melecehkannya. Namun, mengapa sekarang mereka kembali kehotel?Apa jangan-jangan lelaki itu memang sengaja ingin menjebaknya?Tak ingin menerka-nerka, Bian segera keluar dari lift saat telah sampai di lantai dasar. Ia harus segera menemukan Mala. Ia harus segera memastikan wanita itu selamat.Hatinya mulai cemas saat tak melihat Mala disekitar hotel. Dia berjalan untuk memeriksa seluruh
Mala membuka matanya perlahan, rasa kantuknya belum hilang. Ia kembali menarik selimut dan memeluk guling yang ada disampingnya. Namun, saat mata itu hampir terpejam, ia teringat sesuatu. Ini bukan tempat tidurnya. Ini bukan wangi pakaian maupun selimut dikamarnya. lalu dimana dia sekarang?Melawan rasa kantuk ia segera bangkit dari tempat tidur. Tempat ini begitu asing baginya. Dekorasi kamar yang sangat elegan, tak ada sedikit pun warna yang menunjukkan bahwa kamar ini kamar wanita. Sepreinya dan selimutnya juga, warnanya natural dan biasa-biasa saja. Tapi semua yang ada dikamar itu tertata dengan rapi. Dilihat dari kondisi kamar ini, pastilah milik seorang yang sangat rapi dan telaten. Atau mungkin juga ini adalah sebuah penginapan yang sudah dicarikan Bian untuknya. Bukankah semalam ia bersama Bian berencana mencari penginapan? Tapi ia malah tertidur, dan saat terbangun sudah berada di kamar ini.Matanya menemukan jam dinding, lalu kedua bola mata nan indah itu terbelalak saat di
"Mala..."Mala menoleh dan mendapati seorang lelaki tampan sedang menatapnya sendu. Bian yang juga berdiri disampingnya mengenggam erat tangan Mala. Dia masih mengenali orang itu. Kalau tidak salah ingat lelaki itu dulu pernah dekat dengan istrinya. Bukankah mereka dulu pernah bertemu saat masih kuliah? Rahang Bian mengeras."A...Alif..." ujar Mala pelan."Ternyata kamu masih mengenaliku." Lelaki yang ternyata adalah Alif itu tersenyum pahit. "Selamat atas pernikahanmu, Mala. Semoga bahagia. Apa kita bisa bicara sebentar, hanya berdua." pinta Alif menatap Mala harap.“Jika ada yang ingin dibicarakan, maka bicara disini saja, Lif.” Jawab Mala halus.Alif menatap Mala memohon, lalu ditatapnya Bian yang masih mengenggam erat tangan Mala."Mala adalah istriku. Jadi apapun masalahnya, juga masalahku. Tidak ada rahasia diantara kami." potong Bian cepat. Genggamannya pun semakin erat. Mala tersenyum dan menatap Bian hangat."Suamiku benar, Lif. Jadi, apa yang ingin kamu bicarakan?” ucap Ma
Mala bersenandung riang sambil melangkah kesana kemari di dapur. Seperti biasanya, setelah sepuluh hari lebih mereka menikah, ia selalu membuatkan sarapan untuk suaminya. Namun, pagi ini ada yang tak biasa, karena dari tadi tak henti hentinya bibirnya tersenyum lalu senandung cinta tak berhenti mengalun dari mulut itu. Menggambarkan suasana hatinya yang sedang berbunga-bunga.Akhirnya, setelah 10 hari menikah, semalam ia berhasil melaksanakan tugas sepenuhnya sebagai seorang istri. Melawan segala trauma yang selalu menghantuinya.Masakannya hampir selesai, saat deru suara motor terdengar di halaman depan. Itu adalah suaminya pulang dari masjid. Bahkan disaat beratnya godaan untuk kembali memeluk istrinya, lelaki itu tetap bangkit dan beranjak ke kamar mandi. Lalu setelah menunaikan shalat sunat sebelum shubuh dua raka'at ia pamit untuk menunaikan shalat Shubuh berjamaah ke masjid. Mala yang saat itu masih uring-uringan, merasa sangat malu pada suaminya itu. Hingga walau dengan sedikit
Bian menghela nafas lega setelah mobilnya sampai di rumah, setelah menempuh perjalanan lebih kurang 3 jam dari kota B. Disamping nya Mala tertidur dengan pulas. Diputarnya tubuh dan menatap sang istri yang tengah tertidur. Tangannya perlahan mengelus pipi halus itu dan merapikan anak rambut yang dengan nakal mengintip dari balik jilbabnya."Sungguh, kehadiranmu adalah anugerah terindah dalam hidupku. Aku janji akan menjaga anugerah itu dengan sebaiknya. Aku tak bisa menjanjikan bahwa kamu akan selalu bahagia denganku, tapi aku usahakan bahwa dalam kondisi apapun aku akan selalu ada untukmu."Tak tahan hanya memandang, Bian akhirnya tergoda untuk mengecup singkat pipi itu. Dan untuk beberapa saat dibiarkan bibirnya menempel pada pipi halus yang terasa dingin, mungkin karena suhu dalam mobil sehingga membuat istrinya kedinginan.Mala mengeliat karena merasa tidur nyenyaknya terusik. Perlahan dibukanya mata, dan hal pertama yang dilihatnya adalah wajah tampan suami yang berada tepat dide
Bian menghela nafas lega setelah mobilnya sampai di rumah, setelah menempuh perjalanan lebih kurang 3 jam dari kota B. Disamping nya Mala tertidur dengan pulas. Diputarnya tubuh dan menatap sang istri yang tengah tertidur. Tangannya perlahan mengelus pipi halus itu dan merapikan anak rambut yang dengan nakal mengintip dari balik jilbabnya."Sungguh, kehadiranmu adalah anugerah terindah dalam hidupku. Aku janji akan menjaga anugerah itu dengan sebaiknya. Aku tak bisa menjanjikan bahwa kamu akan selalu bahagia denganku, tapi aku usahakan bahwa dalam kondisi apapun aku akan selalu ada untukmu."Tak tahan hanya memandang, Bian akhirnya tergoda untuk mengecup singkat pipi itu. Dan untuk beberapa saat dibiarkan bibirnya menempel pada pipi halus yang terasa dingin, mungkin karena suhu dalam mobil sehingga membuat istrinya kedinginan.Mala mengeliat karena merasa tidur nyenyaknya terusik. Perlahan dibukanya mata, dan hal pertama yang dilihatnya adalah wajah tampan suami yang berada tepat dide
Bian melangkah pelan mengikuti rombongan pejabat perusahaan menuju ruang pimpinan. Kepalanya masih celingukan ke belakang menunggu istri tercinta yang masih belum juga tampak. Tadi, mereka terpaksa berpisah karena Mala yang mendadak dihampiri oleh puluhan karyawan yang hendak minta maaf sekaligus mengucapkan salam perpisahan padanya. Sebenarnya ingin sekali menemani, takut jika terjadi hal diluar dugaan lagi, namun tarikan halus di ditangannya mengurungkan niatnya."Sudahlah! Kupastikan dia aman sekarang. Tak akan ada yang berani mengganggunya lagi. Disamping kebenaran yang telah terungkap, semua orang tahu bahwa Mala adalah isteri salah satu pemegang saham di sini, mana ada yang berani usil lagi padanya. Termasuk si Raditya itu" ujar Donny yang membuat Bian tersenyum.Tetap saja dia mencemaskan istrinya."Tetap saja hatiku tak tenang, Bang. Dia masih trauma. Abang tak merasakan bagaimana nelangsanya adikmu ini, walau sudah menjadi istri sah pun, aku sama sekali tak bisa berbuat banya
“Saya memiliki semua rekaman cctv kejadian itu, karena kebetulan saat kejadian itu saya berada di hotel yang sama dengan Pak Raditya. Saya bisa saja memutar semua cctv itu di sini, tapi karena permintaan dari istri saya, opss…” Bian pura-pura keceplosan, lalu tersenyum manis pada Mala, “Karena permintaan dari Nirmala, agar rekaman cctv itu tidak diputar karena bisa menyebarkan aib orang lain, makanya saya tidak memperlihatkan cctv itu.”Bian melangkah tanpa canggung dan berjalan didepan semua yang hadir, layaknya seorang dosen yang sedang memberikan kuliah pada semua mahasiswanya. Langkahnya berakhir tetap di depan dua orang wanita yang tadi tidak mempercayai pengakuan Raditya.“Hei, Nona berdua. Mungkin anda adalah penggemar pak Radit, jadi sah-sah saja jika anda tak akan percaya apapun kesalahan yang dilakukan oleh idola anda. Its okey. Tapi coba anda lihat sebagai sisi wanita, saat ini Nirmala, wanita yang sedang anda hujat itu sedang mengalami trauma berat. Trauma atas kejadian na
Mala duduk dengan gelisah didepan puluhan mata yang memandangnya dengan tatapan yang beragam. Di sebelahnya Radit tak kalah gelisah, semua ini sungguh diluar dugaannya. Dikiranya pertemuan di aula siang ini akan menjadi saksi keberhasilannya mendapatkan hati dan cinta dari wanita yang disukai, namun kenyataan berkata lain. Apalagi saat sesekali ekor matanya menatap lelaki yang duduk dengan tenang disampingnya pimpinan perusahaannya. Entah apa hubungan lelaki itu dengan orang nomor satu diperusahaan itu? Yang jelas kehadirannya membuat keberaniannya nyaris hilang, karena bagaimana pun, lelaki itu mengetahui semua kejahatan yang dilakukannya pada Mala.Belum lagi, mengingat bagaimana reaksi Mala saat lelaki itu muncul. Mala berlari dan menghambur kepelukan lelaki itu dan mendekapnya erat. Membuat hati Radit bagai ditusuk belati karena sakit membayangkannya. Dengannya, jangankan memeluk, dipegang tangan sedikit saja gadis itu sudah tak ubahnya macan betina.Kebingungan itu sebenarnya jug
Mala duduk termenung di kursi kerjanya, tak menghiraukan rekan kerja yang sedari tadi saling pandang satu sama lain, tak ada yang berani bicara. Sekembalinya dari HRD Mala menjadi diam seribu bahasa. Hanya termenung tanpa melakukan apa-apa.Setelah merasa hatinya agak tenang, diangkatnya kepala lalu memandang semua yang ada di ruangan itu sendu. Kurang lebih dua tahun bekerja disana, sekarang harus pergi dengan hati yang terluka. Dikiranya ia akan bisa pamit dengan hati tenang, dan melupakan masalah dengan Radit. Tapi kenyataan memang tak seindah bayangan. Apalagi, sebentar lagi akan diadakan pertemuan di aula, dan semua orang akan mengadilinya. Tatapan sinis dari puluhan pasang mata akan menghujaninya. Diusapnya wajah kasar, lalu untuk menghibur diri di coba menghubungi seseorang yang beberapa hari ini mampu memberi ketenangan dan kekuatan saat masalah datang padanya.Hanya menyapa, itu yang bisa dilakukannya, karena takut akan merusak konsentrasi lelaki itu disana. Namun diluar per
Bian menyesap secangkir teh panas yang dihidangkan padanya oleh asisten dari lelaki yang kini sedang duduk di depannya. Lelaki yang berusia 35 tahun itu tampak sangat gagah dan tampan dengan gayanya yang kasual.Setelah melepas Mala masuk ke kantor, hatinya tetap tak tenang, sehingga diputuskan untuk menghubungi salah satu mahasiswa yang kuliah hari ini denganya, minta maaf karena tak bisa masuk dan minta ganti perkuliahan di hari lain. Awalnya, ia ragu juga ingin ikut campur, tapi saat tanpa sengaja mendengar percakapan miring tentang Mala oleh dua orang karyawan yang baru datang, dan sempat numpang berkaca dimobilnya, hati lelaki itu menjadi panas. Bayangan betapa hancur hati istrinya mendengar berita itu sungguh membuatnya tak tenang.Mungkin nasib baik memang sedang memihaknya, atau mungkin begitu cara Allah memudahkan langkahnya. Kantor tempat Mala bekerja ternyata adalah milik salah seorang seniornya saat ikut organisasi dulu. Bahkan atas tawaran dari seniornya itu, dia juga m