“Tes … tes … selamat pagi anak-anakku sekalian. Dalam rangka memulai semester yang baru ini, diharapkan semua siswa berkumpul dilapangan. Upacara hari senin akan segera dilaksanakan. Terima kasih."
Pengumuman itu mendorong setiap siswa-siswi SMA Panca Kusuma segera pergi ke lapangan untuk melaksanakan upacara rutin hari senin. Lapangan yang semula kosong menjadi penuh sesak dalam hitungan menit. Ratusan siswa berjejer rapi sesuai kelasnya masing-masing.
Pagi yang cerah ini, seperti biasa akan diawali dengan ramah-tamah dengan seluruh guru dan staf yang ada disekolah itu. Setelah itu, siswa-siswi akan kembali pulang kerumah masing-masing karena kegiatan belajar mengajar baru akan efektif keesokan harinya. Oleh karena itu, kumpulan siswa-siwi yang sedang berdiri saat ini terlihat sedikit kurang lengkap. Mungkin ada beberapa siswa yang berpikiran lebih baik tidak masuk pada awal sekolah karena kalau dipikir-pikir hanya membuang waktu dan uang.
Awalnya itu hanya akan dihiraukan. Toh mungkin hanya satu atau dua siswa yang tidak hadir. Hanya saja, guru BK yang sedari tadi mondar-mandir di sekitaran barisan siswa untuk mengecek kelengkapan atribut sekolah, menyadari sesuatu.
“Untuk MIPA Kelas XII!”
“Siap!” jawab siswa serempak.
“Siap-siap, Ibu akan mengabsen per-kelas.” Seketika itu, beberapa siswa kelas 3 MIPA berwajah pucat. Bahkan ada yang sampai menepuk jidat.
“XII-A!”
“Hadir!”
“XII -B!”
“Hadir!”
“XII -C!"
“Hadir!”
“XII -D!”
“Hadir!”
“XII -E!”
“Hadir!”
“XII -F!”
“…”
“XII -F!!”
“…”
“XII -F!!!”
“…”
Karena tidak ada sahutan, guru BK itu kesal. Matanya memutar jengah. Ia berkacak pinggang seraya menarik nafas. “APA KALIAN TIDAK MEMBERITAHU MEREKA KALAU HARI INI SUDAH MASUK?!”
Teriakan itu sukses membuat hampir seluruh siswa menutup telinganya.
“KELAS XII-MIPA!”
“Push Up 10 kali untuk kelalaian mengingatkan teman kalian!”
“Kok kita sih, Bu?!" protes salah satu murid. Murid lainnya menyikut yang memprotes. Dia rasa, membantah bukanlah hal yang tepat.
“Nilai kedisipilinan kalian Ibu kurangi 5 poin!”
“Gak adil dong, Bu! Kelas XII -F yang gak hadir satu kelas bukan kita. Kok tetap kita yang dihukum?” teriak salah satu siswi yang berbaris di kelas 3-A.
“Mau Ibu tambah lagi hukumannya?”
“Ibu gak bisa semena-mena gitu dong sama kita!” ucap siswi lain.
“Sekarang Ibu tanya, anak-anak dari kelas XII -F, teman kalian ‘kan?”
“BUKAN!!!!” jawab anak-anak kelas XII -MIPA dengan serempak.
Guru BK tersebut geleng-geleng kepala. “Kalian tidak peduli dengan teman kalian sendiri?” Tidak ada yang menjawab.
“Tidak ada yang mau jawab? Oke. Kalian tidak perlu dihukum. Gantinya, Mario XII -D MIPA, Julia XII -A MIPA dan Lily XII -B MIPA setelah upacara selesai temui ibu diruang BK.”
Ucapan guru BK itu, seketika membuat ketiganya pucat. Ah, seandainya mereka diam saja … Setelah guru BK itu pergi, banyak umpatan-umpatan yang keluar. Bukan untuk guru BK itu tapi untuk kelas XII -F yang sering menimbulkan masalah dan membuat teman-teman seangkatan yang lain kena imbasnya. Seperti halnya hari ini, membuat 3 anak emas SMA Panca Kusuma berurusan dengan guru BK yang terkenal galak itu.
“Emang dasar ya, kelas XII -F itu! Dia kira ini sekolah milik nenek moyangnya kali, ya?” ucap Lily dengan kesal. Kemudian beberapa temannya menenangkannya.
“Lihat saja … pas semua mereka masuk! Gue beri perhitungan juga!” sergah Mario.
“Yakin lo berani?” ucap siswa di sebelah Mario.
“Lo ngeremehin gua? Hahh … anak yang cuman tahu otot kayak si Elgan sih gampang di basmi.”
“Ngomong lo kayak yang iya aja. Dari dulu lo ngomong kayak gitu. Buktinya? Tuh anak masih anteng aja sekolah disini,” ucap Alex-sang ketua osis- yang entah darimana bisa tiba-tiba muncul dan nimbrung bersama. “Mending lo baris aja yang bener. Sebelum guru BK itu balik lagi. Upacaranya udah mau dimulai.”
“Semakin enggan ngelibatin XII - F ke acara nanti. Fiks! Gue gak akan bawa-bawa XII -F itu! Bukan temen gue!” ucap Lily pada temannya. “Catat! Jangan masukin nama-nama anak XII - F itu di daftar tamu!”
“Kalau Elgan ngapa-ngapain pesta kita gimana? Kayak waktu itu?”
“BODO AMAT!”
Kelas XII - F MIPA. Siapa yang tidak tahu biang onar ter-berandal, ter-barbar, ter-rese, ter-gila dan ter-ter lainnya. Sudah banyak kenakalan yang mereka lakukan dan tidak jarang teman seangkatan mereka yang kena imbasnya. Khususnya untuk teman-teman kelas MIPA. Seperti tadi, kelas XII - F itu kompak tidak hadir pada hari pertama masuk di tahun ketiga ini. Sungguh bar-bar emang!
Kelas XII - F MIPA. Kelas yang beda dari kelas MIPA pada umumnya. Kalau kelas MIPA itu terkenal anaknya pintar, tekun rajin, kutu buku. Kelas XII -F ini boro-boro! PR aja nyuruh guru yang ngerjain! Nilai ulangan apapun hasilnya selalu dibawah rata-rata selaras dengan kelakuan yang memang dibawah rata-rata juga.
KELAS XII - F MIPA. Kelas yang jadi sarang para berandal. Semenjak di tahun pertama, wali kelas sering gonta ganti saking tidak tahannya dengan mereka. Belum lagi guru-guru yang mengajar kebanyakan sengaja selalu menggunakkan model fast teach karena gak tahan sama anak-anak ditambah kelas yang sering kotor dan sudah seperti tempat ngumpul preman. Kalau dikelas lain itu bersih dan wangi. Di kelas XII - F? Boro-boro! Lemari tempat menyimpan penghargaan kelas, yang awalnya terbuat dari kaca, sekarang berubah jadi pintu triplek. Isinya bukan pula piala atau plakat penghargaan tetapi baju-baju yang digantung. Karena entah kenapa mereka sering sekali buka baju. Mungkin kepanasan atau karena hal lain. Padahal dua jendela sudah bolong akibat sering main bola dikelas. Tentunya, hal seperti itu sudah membuat orang normal masuk angin. Tapi mungkin mereka darahnya terlalu panas sehingga masih sering buka baju dan digantung di lemari. Ah, untuk buka baju itu khusus yang cowok aja, ceweknya enggak ‘lah.
KELAS XII - F MIPA. Asal mulanya entah bagaimana. Mungkin berawal dari sistem pemeringkatan untuk pembangian klelas sehingga kelas terakhir adalah kelas yang dibawah rata-rata. Anggotanya cuman ada 25 orang yang biasanya 30 orang. Tapi semakin meyusut sekarang tinggal 20 orang aja. Eh, pernah juga sih tuh kelas F di pecah pas kelas dua. Jadi, kelas dua itu tidak ada sistem pemeringkatan, langsung random saja. Hal ini tujuannya kelas F yang sedari orok alias kelas 10 yang bikin onar, bisa termotivasi dengan murid-murid teladan lainnya dan akhirnya taubat. Hanya saja, malah banyak murid-murid protes karena mereka yang dulu alumni kelas F malah jadi penggangu ke murid yang lain. Sehingga hanya bertahan 3 bulan di semester ganjil di tahun kedua, kelas F kembali di satukan. Sampai saat ini kelas F tetap bersatu.
Kelas XII - F MIPA. Mungkin mereka orang MIPA yang berjiwa IPS. Ah, tapi anak-anak IPS tidak ada yang seberandal mereka. Aslinya ini mah … semua guru sudah angkat tangan. Banyak yang mengeluh. Tapi hidup terus berlanjut. Katanya kalau banyak yang dikeluarkan alias D.O tidak bagus juga untuk akreditasi. Akhirnya dengan berat hati kepala sekolah harus tetap memelihara mereka. Walaupun dihatinya sering merapalkan doa agar anak-anak itu cepat keluar dari sekolahnya.
******
“Ly! Ly! Lihat! Pak Kepsek masuk ke kelas XII - F! Pasti gara-gara kemarin gak pada masuk.” Caca menepuk bahu Lily yang sedang melihat ke arah lain.
“MAMPUS! KARMA DARI GUE ITU!” Lily antusias melihat Kepsek masuk ke kelas XII - F.
“Semoga semua di D.O semua ya Allah ... aamiin.” Lanjutnya.
Caca dan Lily semakin saksama melihat ke kelas XII - F itu. Beberapa dari siswa lain pun yang melihat Kepsek masuk ke kelas XII - F itu semakin ingin mencuri dengar tentang apa yang akan terjadi. Tidak dapat dipungkiri, segala sesuatu yang menyangkut kelas XII - F ini, akan selalu seru.
Sedangkan suasana didalam kelas XII – F sendiri, tidak begitu menyeramkan. Walaupun kepala sekolah sudah berkacak pinggang. Ah, anak kelas XII - F itu teralu santai. Kelas yang didominasi kaum adam itu masih tetap rusuh. Ketika wali kelas mereka sudah berteriak, maka baru mereka diam.
Sebelum memulai ceramahnya, wali kelas XII - F itu menyadari ada siswa yang belum masuk. “Elgan dan Revan kemana?” pertanyaan itu tidak ada yang menjawab. Hanya ada lirikan beberapa siswa yang sepertinya menyuruh siswa lainnya tetap tidak bersuara.
“JAWAB!”
“…”
“KALIAN BISU?!”
“Hahahaha. Jadinya gue nyolong rok tetangga gue karena saking takutnya kakak gue ngamuk, roknya gak sengaja gue sobekin. Untungnya sama persis. Aman deh gua! Sampai saat ini kakak gue gak nyadar roknya ternyata punya tetangga.”
“Adik durhaka emang ….”
“Bukan durhaka. Itu adalah seni menyelamatkan diri. Lo harus coba.”
“Gue gak sebego itu, bang*at!”
“Hahahaha …."
Percakapan yang tak sengaja terdengar itu menjadi jawaban atas pertanyaan keberadaan Elgan dan Revan. Adegan selanjutnya, wali kelas dan kepsek sudah mode gahar tapi mangsa yang di luar masih anteng dengan lelucon garing yang unfaedah.
Saat diambang pintu, Elgan dan Revan kikuk. Sepertinya kehadiran mereka sangat ditunggu-tunggu. Seperti pemeran utama dalam sebuah film, kedatangannya ditunggu. Juga seperti lirik lagu Ridho Roma … kedatanganmu ku tunggu … (garing).
“Eh, ada ibu sama bapak,” ucap Revan seramah mungkin. Sedangkan Elgan hanya memutar kepalanya. Ekspresinya yang tadi tertawa karena gurauan receh ala Revan kini kembali berekspresi dingin.
“Darimana saja kamu?!” ucap kepala kepsek dengan sangat tidak ramah.
“Ya dari rumahlah, memangnya dari Turki? Kejauhan lah pak,” jawab Revan dengan enteng.
“Kalau begitu kenapa baru datang jam segini? Dirumah gak punya jam?"
“Ehm ... kenapa, ya?” Revan sok-sok berpikir yang membuat dua orang dewasa itu geram. Elgan menyikut, “Cabut!”
“Eh mau kemana kamu? Tidak sopan ya!”
Elgan pergi lebih dulu. Sedangkan Revan masih berdiri kikuk dengan tertawa yang direnyah-renyahkan. “Hahahahah … dia mah gitu orangnya. Assalamualaikum, saya izin pergi juga, Pak!”
Revan pergi menyusul Elgan tanpa memperdulikan kepala sekolah dan wali kelasnya yang mulai berteriak-teriak. Kepala sekolah pun tak mau diam. Ia pun langsung mengejar kedua berandal itu. Alhasil, pagi kedua ditahun ketiga itu, dihiasi aksi kejar-kajaran kepala sekolah dengan dua berandalan sekolah dari kelas XII - F MIPA.
Berlarilah dan terus tertawa
Walau dunia tak seindah surga
Bersyukurlah pada yang Kuasa
Cinta kita di dunia
Selamanya …
Tiba-tiba soundtrack film laskar pelangi itu mengiringi aksi kejar-kejaran. Siapa lagi kalau bukan kerjaan Dio si boyband kelas XII - F? Lagi-lagi XII - F yang bikin rusuh. Hal itu semakin riuh tak kala penggalan bait itu kembali dinyanyikan dan kini beberapa orang juga malah menyanyikannya. Yang pada akhirnya Elgan dan Revan sampai ke gerbang sekolah dan keluar begitu saja.
Dasar.
Diskor seminggu.Itu hukuman bagi Elgan dan Revan yang berani membuat kepala sekolah lari pagi bareng mereka. Ah, ya … ekspektasi para guru adalahdrop out. Sembari melihat momen itu sembari fantasinya mengakar ke langit bagaimana suasana sekolah yang nyaman tanpa ada biang kerok seperti Elgan dan Revan lagi. Sungguh, tidak ada yang diharapkan guru-guru ketimbang perginya Elgan dan Revan atau lebih bahagia lagi kelas XII-F ditiadakan. Entah mengapa, kini semakin terlihat bahwa kepala sekolah itu sangat melindungi para berandalan di kelas XII-F MIPA.Rasanya seperti diberi mangga busuk ketika tahu dua anak manusia itu hanya dijatuhi hukuman skors. Pasalnya, apapun hukumannya untuk mereka adalah sebuah kesenangan. Termasuk mungkindrop outpun mereka malah kesenangan. Tapi kalaudrop outkan setidaknya mereka tidak harus kembali lagi dengan segala keonaran yang akan tercipta.Lalu, seminggu k
“Aish! Dasar anak itu!” gumam Bu Asti.Bu Asti kembali berlari menyusul Elgan. Ketika melewati gerbang ia menatap garang pada pak satpam. “Kenapa malah di buka sih, Pak?”“A—nu Bu ..”“Apa?”Pak satpam hanya mengarahkan tangannya ke belakang. Bu Asti mengiktui arah itu dan tenyata kelas XII-F itu berbondong-bondong berlari di koridor kelas. Sudah dipastikan mereka akan mengikuti Elgan.“Kenapa hidupku sesulit ini ya Allah ...,” ratap Bu Asti. Ia kembali mengejar Elgan untuk dapat melerainya. Karena tidak mungkin melerai gerombolan dibelakangnya. Dia harus bisa membujuk Elgan kalau tidak ingin berurusan dengan yang lebih rumit lagi.Bu Asti mengerahkan segala kekuatannya untuk bisa berlari lebih kencang. Entah kenapa, langit yang tadinya cerah berubah menjadi mendung. Awan hitam mulai mengumpul di langit. Tapi ia tak peduli, ia harus mengejar Elgan.Didepannya Elgan terl
“Nama saya Shaina.”Siswi baru yang tidak ramah wajahnya itu memperkenalkan diri. Yang lain tidak terlalu perduli dengan sesi perkenalan ini. Karena apa? Karena terlalu sudah biasa banyak siswa baru di kelas XII-F. Paling lama bertahan juga seminggu, setelah itu—mengundurkan diri. Tapi berbeda dengan Setra yang sedari tadi antusias dengan sesi perkenalan itu.“Nama panjangnya?” tanya Bu Rita, guru yang mengajar pagi ini.“Shainaaaaaaaaaaaaaaaa....”Tentunya bukan Shaina sendiri yang menjawab seperti itu. Melainkan Setra, si anak baru yang tak sengaja bertemu Shaina tadi pagi. Ia dengan entengnya menjawab pertanyaan Bu Rita. Sontak saja siswa lain tertawa mendengar jawaban Setra. Tapi tidak dengan Shaina, ia menatap Setra dengan tatapan membunuh. Dari awal pertemuan mereka, Shaina sudah tidak bisa berdamai dengan satu siswa itu.“Sudah-sudah … lebih baik kamu duduk saja, Shai
Suasana kantin begitu ramai ketika bel istirahat dibunyikan. Meja-meja yang awalnya kosong, kini hampir penuh. Pedagang di kantin hilir-mudik mengantarkan pesanan. Riuh-rendah suara percakapan semakin mendominasi siang yang terik itu."Disini aja, Cit. Lo mau pesen apa? Biar gue yang traktir karena udah bantuin kerjain tugas," tawar Ghea sembari duduk di kursi."Em ... aku pesen susu aja.""Lo gak laper? Inget kita sekolah sampe jam 4 sore. Walaupun pelajaran terakhir gue pastiin gak masuk gurunya," ucap Ghea penuh senyuman. Tentu ia masih ingat kalau guru seni budaya masih pundung dengan kelasnya."Dasar. Guru marah aja kamu seneng.""Ya senenglah. Ga suka sama sikapnya yang jutek. Ngajar aja seni budaya tapi sikapnya gak ada seni-seninya banget," rutuk Ghea."Lo pikir kencing emang?" sahut seseorang menimpali ucapan Ghea.Citra tertawa. Ia mengikuti tatapan Ghea yang tertuju pada orang yang menyahutinya. Tatapan Ghea ganas."