Diskor seminggu.
Itu hukuman bagi Elgan dan Revan yang berani membuat kepala sekolah lari pagi bareng mereka. Ah, ya … ekspektasi para guru adalah drop out. Sembari melihat momen itu sembari fantasinya mengakar ke langit bagaimana suasana sekolah yang nyaman tanpa ada biang kerok seperti Elgan dan Revan lagi. Sungguh, tidak ada yang diharapkan guru-guru ketimbang perginya Elgan dan Revan atau lebih bahagia lagi kelas XII-F ditiadakan. Entah mengapa, kini semakin terlihat bahwa kepala sekolah itu sangat melindungi para berandalan di kelas XII-F MIPA.
Rasanya seperti diberi mangga busuk ketika tahu dua anak manusia itu hanya dijatuhi hukuman skors. Pasalnya, apapun hukumannya untuk mereka adalah sebuah kesenangan. Termasuk mungkin drop out pun mereka malah kesenangan. Tapi kalau drop out kan setidaknya mereka tidak harus kembali lagi dengan segala keonaran yang akan tercipta.
Lalu, seminggu kemudian pun berlalu begitu saja. Ah, bersyukur saja … toh setidaknya untuk rentang waktu selama seminggu, dua manusia pembuat onar itu tidak menampakkan batang hidungnya. Setidaknya, suasana sekolah nyaman dalam seminggu.
“Semangat semuanya! Semangat Bu Yuni, hari ini sepertinya mereka mulai masuk,” ucap Bu Wily, guru kesenian kelas XII.
Hanya saja, guru yang disapa hanya tersenyum seadanya. Pikirannya lebih dulu ruwet sebelum mengajar kelas XII-F MIPA itu. Sebenarnya, sudah bayak guru yang sudah tidak sanggup mengajar di kelas itu tapi apa boleh buat apabila kepala sekolah sudah mengomel.
“Entahlah … semoga saja tidak membuat saya sakit kepala berhari-hari lagi,” ujarnya menanggapi cuitan Bu Wily.
“Aku gak ngerti aja why Kepsek gak langsung drop out mereka aja setelah diajak lari pagi kaya waktu itu,” sahut Bu Rena si guru bahasa inggris.
“Iya juga sih. Tapi di sisi lain, gak baik juga kita banyak ngeluarin siswa. Kalau mau mengeluarkan ya harus semua. Kalau cuman dua atau tiga orang tetap aja bibit-bibitnya masih numpuk di kelas XII -F.”
“Gak bisa ngebayangin jadi Bu Asti deh. Pasti tiap harinya makan hati.” Bu Rena mengambil biskuit yang berada di mejanya. Sedangkan Bu Yuni sibuk membuka beberapa buku ajarnya. Bu Wily pergi ke dapur guru mengambil segelas teh hangat lalu duduk di samping Bu Wily kembali.
“Oh iya, dua minggu lagi olimpiade itu ‘kan ya, Bu? Ah setidaknya walaupun sekolah kacau karena XII-F, masih ada siswa-siswa macam Gigi, ya? Bangga sekali deh.” Sirat bahagia Bu Rena menular ke Bu Wily yang menyuruput tehnya. Kemudian Bu Wily menaruh tehnya, “Iya … bahkan, katanya dia bakalan ngambil kuliah keluar negeri, ya?”
Bu Rena mengangguk. Ia mengambil bungkus kue, meremas lalu membuangnya ke tempat sampah kecil yang berada di sisi mejanya. Baru saja akan mengambil buku pelajaran untuk bahan mengajar hari ini, Bu Wily tersetak kaget. Pintu ruang guru yang semula tertutup, kini terbuka lebar karena seseorang membukanya dengan keras.
BRUK!!!
“DIMANA RUANG KEPALA SEKOLAH! DASAR SEKOLAH KOTOR! BISANYA MEMBUAT ANAK ORANG BABAK BELUR!”
Otomatis, Bu Rena, Bu Wily dan guru lainnya yang ada di ruang guru berdiri seketika. Diambang pintu terlihat seorang wanita dewasa yang dipastikan orang tua murid yang berada dibelakangnya. Nampaknya murid itu tidak dalam keadaan baik-baik saja.
“DIMANA RUANG KEPALA SEKOLAH HAH?!”
Tanpa mau menurunkan volume suaranya, ibu itu merangsek masuk. Beberapa guru mencoba menenangkan, termasuk Bu Rena. “Maaf Ibu, ada yang perlu di bantu? Saya kira—ibu bukan orang tua murid yang dis—”
“Kenapa?! Memang bukan orang tua murid sini! Gak boleh saya datang kesini? Kalau bukan karena murid disini juga saya ogah datang ke tempat ini! Tahu gak?” ucapnya tidak sabaran.
“Iya … mungkin lebih biak kita duduk dahulu. Silakan ….”
“Gak usah basa-basi. Saya kesini bukan untuk berdamai! Saya mau tuntut sekolah ini! Cepat katakan dimana kantor kepala sekolah! Sekalian bawa si Elgan! Enak saja main pukul-pukul anak orang!”
Elgan lagi.
Setelah berkata seperti itu, jelaslah sudah permasalahannya. Tiba-tiba saja Bu Asti sebagai wali kelas XII-F MIPA baru datang.
“Ada apa ini?” tanyanya penuh dengan kebingungan. Bu Rena mendekati Bu Asti lalu berbisik. “Elgan mukulin anak itu, Bu.”
“Kenapa kalian malah bisik-bisik? Ayo dimana kepala sekolah? Apa belum datang? Benar-benar ya ... harusnya tepat waktu dong! Digaji negara malah leha-leha!” sindirnya.
Bu Asti memijat keningnya sebentar. Ia tersenyum kepada orang tua murid itu. “Ibu akan diantar oleh Bu Rena, ya.” Ucapnya yang membuat Bu Rena melotot pada Bu Asti. “Tolong ya ...,” ucap Bu Asti lewat sorot matanya. Setelah itu ia segera keluar ruangan dan berniat mencari Elgan.
Pagi-pagi sudah panas.
Itu yang dirasakan Bu Asti. Ia tidak habis pikir dengan siswanya itu. Belum genap dua minggu menjadi wali kelasnya tapi rasanya sudah ingin pergi saja. Tanpa menungu lama, ia sampai di pintu kelas.
Tapi apa yang dilihatnya?
Kelasnya berantakan.
Siswanya main bola.
TUNG … BRUK!
Bola hampir saja mengenai dirinya.
“APA-APA AN KALIAN INI? INI TUH RUANG KELAS! BUKAN LAPANGAN!”
Yang dimarahi hanya tertawa. Kecuali Elgan yang langsung menyahuti perkataan wali kelasnya, “Jadi ibu maunya apa?”
“Kamu bilang Ibu maunya apa? Ibu maunya kamu gak buat onar lagi, Elgan!”
“Sekarang coba bilang kenapa kamu mukulin anak sekolah lain? Mau jadi apa kamu kalau hidup kamu terus-terusan kayak gini?” lanjutnya. Elgan mengernyitkan dahi begitupun dengan teman-teman lain. Mereka masih kurang paham dengan ocehan wali kelasnya pagi ini. Pasalnya, selama seminggu ini Elgan dan teman-temannya tidak berulah.
Ketika Bu Asti masih menunggu jawaban dari Elgan, di sebelah kiri Kayla menyuruh semua siswi keluar. “Berhenti!” teriak Bu Asti yang menyadari hal itu. “Jangan ada yang keluar dari kelas ini. Termasuk yang cewek-cewek juga! Walaupun kalian tidak membuat kerusuhan tapi kalian juga sering ikut-ikutan bikin tambah buruk kelas saya!”
Revan maju kedepan. Ia berniat menenangkan wali kelasnya yang mengamuk ini, “Begini … Ibu ‘kan tahu kemarin kita di skor? Kita gak ngapa-ngapain, lho ....”
“GAK NGAPA-NGAPAIN PALA KAMU GUNDUL?! SEKARANG ANAK ITU ADA DI RUANG KEPALA SEKOLAH DAN MAU TUNTUT KAMU!”
“Maksud Ibu?” beo Revan. Sedangkan Elgan tertawa hambar, “Ban*sat!”
“Bilang apa kamu barusan, Elgan?” sergahnya. Tapi Elgan tak perduli. Ia hanya pergi begitu saja.
“Elgan mau kemana kamu?” teriak Bu Asti seraya berjalan cepat untuk menyusul Elgan. Tidak ada jawaban dari Elgan. Sehingga Bu Asti terus saja mengikuti Elgan. Setelah kepergian Bu Asti dan Elgan, kelas XII-F itu kembali rusuh.
Kayla sibuk mengumpati Elgan karena terus membuat masalah. Yang cowok sibuk ingin mengikuti Elgan karena mereka tahu, untuk peristiwa kali ini bukan Elgan biang keroknya. Yaps, untuk para siswa laki-laki di XII-F ini sangat solid. Kalau yang cewek mah ikut-ikutan saja bilamana sekelas sepakat untuk tidak masuk kelas.
“Kalian tunggu aja dikelas. Biar gue sama Dio yang ke ruang kepala sekolah. Nanti gue kabari gimana perkembangannya. Feeling gue sih, kita bakalan olah otot bareng lagi. Siapin aja mental kalian.” Ucap Revan pada temannya. Dia menatap Dio agar segera keluar dari kelas.
******
Elgan membuka ruang kepala sekolah. Ia menyisir seluruh ruangan dan matanya terpaku pada anak yang babak belur. Asing. Itulah yang dirasakannya. Elgan merasa tidak pernah bertemu dengan anak itu. Lalu kenapa ia yang jadi kambing hitamnya?
“Duduk Elgan,” ucap Pak Guntur yang tak lain adalah kepala sekolah.
“Jadi ini yang namanya Elgan? Kamu ngapain anak saya, hah? Berani-beraninya kamu mukul anak saya? Dasar berandal!” ucapnya. Tangannya Ibu itu berusaha melukai Elgan. Untungnya, Bu Asti yang berada di belakang Elgan bisa melerainya.
“Bukan gue, bang*at!”
Mendengar ucapan itu, orang tua murid itu semakin panas. Tangannya meraih-raih badan Elgan yang terhalang Bu Asti.
“Jangan begini, Bu! Kita bisa bicarakan ini baik-baik.” Lerai Bu Asti.
“Jangan ngelak kamu berandal!”
“Tolong Ibu duduk dulu. Kita bicarakan baik-baik.”
“Saya datang bukan untuk berdamai! Saya bakalan tuntut sekolah ini dan anak berandal itu!”
“Duduk dulu, Bu!” ucapan Pak Guntur sukses membuat ibu itu berhenti menyerang Elgan.
Bu Asti meraih tangan Elgan. Ia membuat Elgan duduk tepat berhadapan dengan anak yang babak belur itu. Elgan masih memilih diam.
“Pak, ini bukan kali pertama anak saya dipukulin. Bukan hanya dipukulin tapi uang anak saya sering diambil! Anak ini sudah keterlaluan dan pantas untuk dipenjarakan, Pak!”
Elgan menghembuskan napas kasar. Ia melotot pada anak yang babak belur sehingga anak itu beringsut karena takut. “Disuruh siapa lo bikin drama receh kayak gini?” tanya Elgan. Perkataan Elgan barusan semakin membuat orang-orang di ruang kepala itu tidak habis pikir pada Elgan.
“Jangan ngelak, berandal! Diajarin apa kamu sama orang tua kamu sampai perilaku kamu gak beradab! Jelas-jelas salah tapi kamu malah mengelak terus!”
BRAK.
Elgan menggebrak meja. “Dengar ya! Saya gak pernah mukulin anak Ibu apalagi ngambil uang! Bahkan saya gak kenal sama anak Ibu!”
“Halah! Jangan bohong kamu! Kalau salah ya salah aja! Saya tuntut kamu!”
“Silakan!”
“Oh ... kamu nantangin saya? Oke, saya telpon pengacara saya hari ini juga. Biar tahu rasa kamu!” Ibu itu sibuk mencari ponselnya dalam tas lalu menekan beberapa nomor.
“Jangan dulu, Bu! Kita bisa selesaikan ini dengan cara kekeluargaan ....”
Pak Guntur sibuk menenangkan orang tua murid itu. Sedangkan Bu Asti sibuk memarahi Elgan yang tidak bisa di atur. Untuk beberapa saat, Bu Asti dan Pak Guntur sibuk dengan urusan masing-masing.
“Mendingan lo ngaku! Lo ngaku sekarang gue ampunin!” teriaknya pada siswa itu.
“Elgan kamu ini apa-apaan? Bisa gak kamu itu ngaku aja! Biar urusannya selesai!”
“Saya gak salah, Bu!”
“Gak salah gimana? Buktinya ini anak babak belur!”
Elgan tidak tahu harus berkata apa lagi. Sungguh, dia tidak melakukan apa yang dituduhkan kepadanya. Kenal saja enggak. Tapi tunggu, sepertinya …
“Angga yang nyuruh lo 'kan?” celetuk Elgan. Namun, tidak ada jawaban dari siswa itu. Hanya sorot ketakutan saat tatapan Elgan begitu intens kepadanya. Segera siswa itu menunduk lalu meraih tangan ibunya yang sibuk menelpon pengacara.
“Pulang … Ma …,” lirihnya.
“Apa sih, Zal! Tunggu bentar, kasus kamu harus pakai hukum! Biar gak ada lagi yang semena-mena sama kamu! Belum tahu aja kalau Mamah sanggup menghancurkan hidup orang!” sergahnya.
Elgan kembali menatap siswa itu. Bu Asti menyentil kepala Elgan.
“Aws! Apa sih, Bu?”
“Ngaku, gak?”
“Saya gak salah!” Ia melirik pada siswa itu, “Lo di suruh Angga, ‘kan?” tanyanya lagi. Tapi tetap, anak itu tidak menjawab. Alhasil Elganlah yang menyimpulkan jawabannya sendiri.
“Ban*sat lo jadi orang!”
“Elgan! Mau kemana kamu?” Bu Asti menghalangi Elgan yang akan pergi. Tapi apalah daya, Elgan terlau kuat. Ia membuka pintu dan ternyata ada Revan dan Dio di luar yang sedang menungguinya.
“Gimana, Gan?” tanya Dio.
“Kabari anak-anak, kita serang si Angga detik ini juga!”
“Jadi si Angga yang bikin ribut?” Revan tak habis pikir dengan musuh yang satu itu. Ada aja ide untuk nyari gara-gara dengan dia dan teman-temannya.
“Gue tunggu kalian di luar.”
“Oke,” ucap Revan sedangkan Dio hanya mengangguk.
Setelah kepergian dua temannya itu, Elgan semakin mempercepat langkah kakinya. Amarahnya sudah membumbung dan ingin cepat ia muntahkan di wajah musuhnya itu. Awalnya ia juga kaget kenapa orang tak dikenal tiba-tiba menyalahkan dia. Setelah dipkir-pikir dia pernah bertemu dengan orang itu saat tak sengaja memergoki Angga yang sedang memalak uang anak itu.
“Ban*sat lo, Angga!” umpatnya.
“ELGAN!”
“ELGAN!”
“MAU KEMANA KAMU?”
Dibelakang, terlihat Bu Asti yang masih mengejar Elgan. Tapi ia tak menghiraukannya. Ia tidak terima dituduh seperti ini, apalagi dengan cara receh seperti ini. Rasa-rasanya ingin sekali menenggelamkannya ke dasar laut.
Saat sampai di dekat gerbang sekolah, teriakan itu muncul lagi.
“ELGAN BERHENTI!”
Elgan tetap tak menghiraukannya. Bu Asti pun tetap tak menyerah. Ia terus saja mengikuti Elgan. Ia tak menyadari jika kelas XII-F bubar begitu saja. Siswa-siswa turun kebawah sehingga menjadi sorotan bagi kelas-kelas yang terlewatinya.
“Wah ... kelas XII-F tuh!”
“Gila! Mereka mau mabal rame-rame lagi?”
“Anjir … wanian pisan XII-F euy!”
Elgan berlari. Teman-temannya yang melihat Elgan berlari, jadi berlari juga. Bu Asti berhenti di tengah-tengah lapang karena dadanya yang semakin sesak. Maklum karena faktor usia dia tak sekuat ketika masih muda. Elgan yang sudah jauh didepannya kini mulai mendekati gerbang sekolah.
Gerbang sekolah yang tertutup itu jadi terbuka karena penjaga sekolah pun takut. Ah bagaimana tidak takut kalau Elgan dan teman-temannya mulai merangsek untuk keluar?
“Aish! Dasar anak itu!” gumam Bu Asti.
######
“Aish! Dasar anak itu!” gumam Bu Asti.Bu Asti kembali berlari menyusul Elgan. Ketika melewati gerbang ia menatap garang pada pak satpam. “Kenapa malah di buka sih, Pak?”“A—nu Bu ..”“Apa?”Pak satpam hanya mengarahkan tangannya ke belakang. Bu Asti mengiktui arah itu dan tenyata kelas XII-F itu berbondong-bondong berlari di koridor kelas. Sudah dipastikan mereka akan mengikuti Elgan.“Kenapa hidupku sesulit ini ya Allah ...,” ratap Bu Asti. Ia kembali mengejar Elgan untuk dapat melerainya. Karena tidak mungkin melerai gerombolan dibelakangnya. Dia harus bisa membujuk Elgan kalau tidak ingin berurusan dengan yang lebih rumit lagi.Bu Asti mengerahkan segala kekuatannya untuk bisa berlari lebih kencang. Entah kenapa, langit yang tadinya cerah berubah menjadi mendung. Awan hitam mulai mengumpul di langit. Tapi ia tak peduli, ia harus mengejar Elgan.Didepannya Elgan terl
“Nama saya Shaina.”Siswi baru yang tidak ramah wajahnya itu memperkenalkan diri. Yang lain tidak terlalu perduli dengan sesi perkenalan ini. Karena apa? Karena terlalu sudah biasa banyak siswa baru di kelas XII-F. Paling lama bertahan juga seminggu, setelah itu—mengundurkan diri. Tapi berbeda dengan Setra yang sedari tadi antusias dengan sesi perkenalan itu.“Nama panjangnya?” tanya Bu Rita, guru yang mengajar pagi ini.“Shainaaaaaaaaaaaaaaaa....”Tentunya bukan Shaina sendiri yang menjawab seperti itu. Melainkan Setra, si anak baru yang tak sengaja bertemu Shaina tadi pagi. Ia dengan entengnya menjawab pertanyaan Bu Rita. Sontak saja siswa lain tertawa mendengar jawaban Setra. Tapi tidak dengan Shaina, ia menatap Setra dengan tatapan membunuh. Dari awal pertemuan mereka, Shaina sudah tidak bisa berdamai dengan satu siswa itu.“Sudah-sudah … lebih baik kamu duduk saja, Shai
Suasana kantin begitu ramai ketika bel istirahat dibunyikan. Meja-meja yang awalnya kosong, kini hampir penuh. Pedagang di kantin hilir-mudik mengantarkan pesanan. Riuh-rendah suara percakapan semakin mendominasi siang yang terik itu."Disini aja, Cit. Lo mau pesen apa? Biar gue yang traktir karena udah bantuin kerjain tugas," tawar Ghea sembari duduk di kursi."Em ... aku pesen susu aja.""Lo gak laper? Inget kita sekolah sampe jam 4 sore. Walaupun pelajaran terakhir gue pastiin gak masuk gurunya," ucap Ghea penuh senyuman. Tentu ia masih ingat kalau guru seni budaya masih pundung dengan kelasnya."Dasar. Guru marah aja kamu seneng.""Ya senenglah. Ga suka sama sikapnya yang jutek. Ngajar aja seni budaya tapi sikapnya gak ada seni-seninya banget," rutuk Ghea."Lo pikir kencing emang?" sahut seseorang menimpali ucapan Ghea.Citra tertawa. Ia mengikuti tatapan Ghea yang tertuju pada orang yang menyahutinya. Tatapan Ghea ganas."
“Tes … tes … selamat pagi anak-anakku sekalian. Dalam rangka memulai semester yang baru ini, diharapkan semua siswa berkumpul dilapangan. Upacara hari senin akan segera dilaksanakan. Terima kasih."Pengumuman itu mendorong setiap siswa-siswi SMA Panca Kusuma segera pergi ke lapangan untuk melaksanakan upacara rutin hari senin. Lapangan yang semula kosong menjadi penuh sesak dalam hitungan menit. Ratusan siswa berjejer rapi sesuai kelasnya masing-masing.Pagi yang cerah ini, seperti biasa akan diawali dengan ramah-tamah dengan seluruh guru dan staf yang ada disekolah itu. Setelah itu, siswa-siswi akan kembali pulang kerumah masing-masing karena kegiatan belajar mengajar baru akan efektif keesokan harinya. Oleh karena itu, kumpulan siswa-siwi yang sedang berdiri saat ini terlihat sedikit kurang lengkap. Mungkin ada beberapa siswa yang berpikiran lebih baik tidak masuk pada awal sekolah karena kalau dipikir-pikir hanya membuang waktu dan uang.A