“Aish! Dasar anak itu!” gumam Bu Asti.
Bu Asti kembali berlari menyusul Elgan. Ketika melewati gerbang ia menatap garang pada pak satpam. “Kenapa malah di buka sih, Pak?”
“A—nu Bu ..”
“Apa?”
Pak satpam hanya mengarahkan tangannya ke belakang. Bu Asti mengiktui arah itu dan tenyata kelas XII-F itu berbondong-bondong berlari di koridor kelas. Sudah dipastikan mereka akan mengikuti Elgan.
“Kenapa hidupku sesulit ini ya Allah ...,” ratap Bu Asti. Ia kembali mengejar Elgan untuk dapat melerainya. Karena tidak mungkin melerai gerombolan dibelakangnya. Dia harus bisa membujuk Elgan kalau tidak ingin berurusan dengan yang lebih rumit lagi.
Bu Asti mengerahkan segala kekuatannya untuk bisa berlari lebih kencang. Entah kenapa, langit yang tadinya cerah berubah menjadi mendung. Awan hitam mulai mengumpul di langit. Tapi ia tak peduli, ia harus mengejar Elgan.
Didepannya Elgan terlihat berberlok ke sebuah gang yang di seberang jalan. Ia pun segera mengikutinya. Hanya saja, saking inginnya mengejar Elgan, Bu Asti tak memperhatikan jalan yang ramai. Tanpa diduga, sebuah mobil sukses membuat tubuhnya terpental.
BRUKK!
SETTT
CKITTT
Elgan mematung mendengar benturan itu. Kemudian ia berbalik. Teman-temanya sudah mengumpul di tempat kejadian, bahkan teman-temannya sudah mengamankan pelaku yang hendak kabur. Elgan berlari kesetanan.
“Bu! Ibu! Sadar bu!!” teriak temanya.
Elgan merangsek masuk. Tubuhnya tersentak tak kala ia melihat wali kelasnya yang tergeletak tak berdaya dengan darah yang terus mengucur. Ia segera memeluk Bu Asti.
“Panggil Ambulans ban*sat!” teriaknya.
“Oke.”
“Gancang, bang*at!” (Cepat, bangsat!)
Revan yang melihat itu pun segera mencari cara lain. Akhirnya dia memberhentikan sebuah mobil dan menyuruh masuk Elgan yang menggendong Bu Asti. Tak lama mobil itu pun pergi berbarengan dengan turunnya hujan yang membasahi bumi. Semua shock dengan kejadian itu. Bahkan para siswa berbondong-bondong keluar untuk melihat apa yang terjadi.
“Ban*sat! Lo amanin tuh pelaku. Panggil polisi gue mau susul Elgan.” Teriaknya pada Dio.
Revan segera berlari ke arah gang yang berada di seberang jalan. Ia ke tempat parkir motornya. Di sepanjang jalan ia terus mengutuk pengendara yang menabrak Bu Asti. Hujan semakin deras tapi jalanan tidak kunjung sepi. Teman-teman XII-F mulai mengamankan lokasi. Polisi baru datang setelah beberapa menit kemudian dan mulai mengendalikan kondisi.
*************
Sudah seminggu sejak insiden Bu Asti, tapi pembicaraan mengenai Bu Asti dan penuntutan pada Elgan tidak ada habis-habisnya. Kuping Elgan sampai panas tiap kali tak sengaja mendengar obrolan teman-temannya yang menjelek-jelekkan dirinya sebagai penyebab tertabraknya Bu Asti. Walaupun ia tidak mengelak jika memang benar, karena dia Bu Asti jadi begini. Bahkan sampai hari ini pun, Bu Asti masih kritis.
Belum lagi, masalah tuntutan pada Elgan yang belum kelar karena orang tua anak itu tidak mau berdamai. Padahal sudah jelas tidak ada bukti sidik jari atau apapun yang terkait dengan pemukulan itu. Maklum ibunya orang berada, jadi terus-terusan menyudutkan Elgan. Sedangkan Elgan dengan segala riwayat kriminalisasinya di sekolah menjadi sumbu bakar untuk masalah ini.
Pada akhirnya disinilah Elgan dan kedua temannya, Revan dan Dio. Di gang yang minim pencahayaan dengan seorang amatir yang membuat masalah.
“Gue beri kesempatan. Kalau besok juga lo gak cabut tuntutan! Lihat aja lo abis sama gue!” ancam Elgan.
“Lagian lo takut amat sama bajingan itu, hah? Lo diancam apa hah?”
“Ma-maaf ....”
“Maaf lo bilang? Lo sadar gak perbuatan nista lo bikin susah hidup orang!” ucap Elgan penuh emosi.
“Be—besok, ada mediasi lagi dengan pengacara. Kabarnya a—da kompensasdi da—ri ayah—lo. Keliatannya ibu setuju.”
“Jadi selama ini lo mau duit, hah?" kini giliran Revan yang tersulut emosinya.
“Sampah, ban*sat lo jadi orang!” timpal Dio.
“Ma—maksud gue .. awalnya i—bu cuman mau ketemu s—sama bokap lo. Tapi bo—kap lo gak pernah datang. Ibu gue marah dan sengaja ngelama-lamain diper—sidangan. Andai aja bokap lo—”
Elgan mencengkram kerah bajunya. “Denger ya … bukan karena bokap gue yang gak datang! Tapi manusia munafik macam lo yang harus dimusnahkan!” Elgan hendak melayangkan tinju tapi sebuah teriakan membuat ketiganya urung melakukannya.
“CEMEN BANGET LO MAINNYA KEROYOKAN?”
Elgan, revan dan Dio menoleh. Tak jauh dari posisi mereka seorang perempuan bertopi dengan sombongnya berjalan mendekati mereka. Nampaknya, perempuan itu tidak takut sama sekali.
“Jangan ikut campur kalau lo mau selamat,” titah Elgan.
“Kalian yang jangan main keroyokan kalau mau selamat,” balas perempuan itu.
“Ngeyel lo ya jadi cewek!” sergah Dio.
Dio hendak mendatangi cewek itu. Tapi di tahan oleh Elgan. “Gak usah.” Ia melirik pada anak itu, “Inget ya ... besok.”
Elgan dan kedua temannya pergi. Cewek itu menghampiri dan memungut tas anak itu yang tergeletak, “Nih … lain kali jangan takut sama manusia kayak mereka. Lo harus ngelawan selama lo bener. Lagian lo tuh cowok,” ucapnya.
******
Shaina baru saja turun dari motornya. Beberapa kali ia memergoki beberapa siswa yang memandangnya. Ah, ya mungkin mereka bertanya-tanya tentang dirinya. Siapa itu? Siswa baru? Kelasnya dimana, ya? Pindahan mana? Anak nakal, bukan?
Ya, Shaina kini menjejaki sekolah barunya. Ia tidak tahu kelasnya dimana jadi harus mengunjungi ruang guru terlebih dahulu. Shaina tersentak kaget ketika bahunya dirangkul orang.
“Lo siswa baru, ya? Sama kalau gitu. Bareng ke kelas yuk!” ucapnya yang tiba-tiba. Ia tersenyum pada Shaina yang terlihat marah buka main.
Sret!! Trak!
Shaina memelinting tangan laki-laki itu.
“Yach! Sakit!”
“Jangan sembarangan rangkul-rangkul orang!”
Duk.
Shaina menambahkan dengan menendang tulang kering laki-laki itu. Sehingga ia kesakitan luar biasa. Shaina tidak perduli. Ia menghilang begitu saja. Sedangkan orang-orang yang melihat, hanya bisa tertawa melihat rintihan siswa itu yang entah siapa. Sepertinya dia pun sama berstatus sebagai siswa baru.
Dikejauhan, Elgan Revan dan Dio baru saja keluar dari kantin dan melihat sosok siswa baru yang sedang meringis itu. Mereka menghampiri siswa baru itu. Terutama Elgan, ia merasa tidak asing dengan siswa baru itu.
“Ngapain lo disini?” tanya Elgan. Ternyata benar, siswa baru itu Elgan mengenalinya.
Siswa itu tersenyum, “Sekolah lah masa iya gue kesini mau boker?”
Elgan tersenyum miring, “Wah … jadi waktu itu lo bilang mau pindah sekolah, maksudnya pindah kesekolah gue gitu?”
“Tadinya gak mau sama lo lagi, enek gue 6 tahun barengan lo. Tapi nyatanya takdir gak bisa di tebak.”
“Halah ngomong lo basi banget. Bilang aja cuman sekolah ini yang mau nerima anak bermasalah kayak lo. Okay … welcome to the jungle, Setra.” Ucap Elgan. Ia tertawa seraya merangkul bahu Setra.
“Tahu aja lo . Jungle … jungle .. lo kira gue monyet?”
“’Kan spesies lu.”
Setra berdecak. “Diam lu onta!”
“Gan …,” panggil Dio
“Apa?”
“Tuh cewek kayak pernah lihat gue.”
“Mana?”
“Itu ..”
Mereka berempat melihat ke arah cewek yang baru masuk ke ruang guru. “Cewek yang semalem?” beo Revan.
######
“Nama saya Shaina.”Siswi baru yang tidak ramah wajahnya itu memperkenalkan diri. Yang lain tidak terlalu perduli dengan sesi perkenalan ini. Karena apa? Karena terlalu sudah biasa banyak siswa baru di kelas XII-F. Paling lama bertahan juga seminggu, setelah itu—mengundurkan diri. Tapi berbeda dengan Setra yang sedari tadi antusias dengan sesi perkenalan itu.“Nama panjangnya?” tanya Bu Rita, guru yang mengajar pagi ini.“Shainaaaaaaaaaaaaaaaa....”Tentunya bukan Shaina sendiri yang menjawab seperti itu. Melainkan Setra, si anak baru yang tak sengaja bertemu Shaina tadi pagi. Ia dengan entengnya menjawab pertanyaan Bu Rita. Sontak saja siswa lain tertawa mendengar jawaban Setra. Tapi tidak dengan Shaina, ia menatap Setra dengan tatapan membunuh. Dari awal pertemuan mereka, Shaina sudah tidak bisa berdamai dengan satu siswa itu.“Sudah-sudah … lebih baik kamu duduk saja, Shai
Suasana kantin begitu ramai ketika bel istirahat dibunyikan. Meja-meja yang awalnya kosong, kini hampir penuh. Pedagang di kantin hilir-mudik mengantarkan pesanan. Riuh-rendah suara percakapan semakin mendominasi siang yang terik itu."Disini aja, Cit. Lo mau pesen apa? Biar gue yang traktir karena udah bantuin kerjain tugas," tawar Ghea sembari duduk di kursi."Em ... aku pesen susu aja.""Lo gak laper? Inget kita sekolah sampe jam 4 sore. Walaupun pelajaran terakhir gue pastiin gak masuk gurunya," ucap Ghea penuh senyuman. Tentu ia masih ingat kalau guru seni budaya masih pundung dengan kelasnya."Dasar. Guru marah aja kamu seneng.""Ya senenglah. Ga suka sama sikapnya yang jutek. Ngajar aja seni budaya tapi sikapnya gak ada seni-seninya banget," rutuk Ghea."Lo pikir kencing emang?" sahut seseorang menimpali ucapan Ghea.Citra tertawa. Ia mengikuti tatapan Ghea yang tertuju pada orang yang menyahutinya. Tatapan Ghea ganas."
“Tes … tes … selamat pagi anak-anakku sekalian. Dalam rangka memulai semester yang baru ini, diharapkan semua siswa berkumpul dilapangan. Upacara hari senin akan segera dilaksanakan. Terima kasih."Pengumuman itu mendorong setiap siswa-siswi SMA Panca Kusuma segera pergi ke lapangan untuk melaksanakan upacara rutin hari senin. Lapangan yang semula kosong menjadi penuh sesak dalam hitungan menit. Ratusan siswa berjejer rapi sesuai kelasnya masing-masing.Pagi yang cerah ini, seperti biasa akan diawali dengan ramah-tamah dengan seluruh guru dan staf yang ada disekolah itu. Setelah itu, siswa-siswi akan kembali pulang kerumah masing-masing karena kegiatan belajar mengajar baru akan efektif keesokan harinya. Oleh karena itu, kumpulan siswa-siwi yang sedang berdiri saat ini terlihat sedikit kurang lengkap. Mungkin ada beberapa siswa yang berpikiran lebih baik tidak masuk pada awal sekolah karena kalau dipikir-pikir hanya membuang waktu dan uang.A
Diskor seminggu.Itu hukuman bagi Elgan dan Revan yang berani membuat kepala sekolah lari pagi bareng mereka. Ah, ya … ekspektasi para guru adalahdrop out. Sembari melihat momen itu sembari fantasinya mengakar ke langit bagaimana suasana sekolah yang nyaman tanpa ada biang kerok seperti Elgan dan Revan lagi. Sungguh, tidak ada yang diharapkan guru-guru ketimbang perginya Elgan dan Revan atau lebih bahagia lagi kelas XII-F ditiadakan. Entah mengapa, kini semakin terlihat bahwa kepala sekolah itu sangat melindungi para berandalan di kelas XII-F MIPA.Rasanya seperti diberi mangga busuk ketika tahu dua anak manusia itu hanya dijatuhi hukuman skors. Pasalnya, apapun hukumannya untuk mereka adalah sebuah kesenangan. Termasuk mungkindrop outpun mereka malah kesenangan. Tapi kalaudrop outkan setidaknya mereka tidak harus kembali lagi dengan segala keonaran yang akan tercipta.Lalu, seminggu k