Semakin hari, hati Anesya semakin resah. Kegelisahan Anesya, bukan tanpa alasan. Pesan yang terkirim pada Tuan Rivaldo hanya centang dua warna biru. Namun, tidak ada balasan. Dua bulan sudah dia meninggalkan rumah, tetapi ternyata gertakkannya tak digubris sama sekali oleh lelaki itu. Bahkan foto-foto Safiyya yang berpura-pura sakit, sama sekali tak mendapatkan respon. Dia telepon, tapi sama sekali tak diangkatnya.“Mas, kamu setega ini sama kami?” batin Anesya. Setelah semua pesan dan rengekkannya tak digubris, akhirnya Anesya memutuskan untuk pergi. Dia sedang bersiap-siap ketika terdengar jeritan Safiyya dari kamar mandi.“Apa sih, Fiyya?” Anesya mendelik kesal karena Safiyya menjerit-jerit memekakkan telinga. Safiyya yang baru keluar dari kamar mandi, memasang wajah ditekuk. Dia mendekat ke arah Anesya yang tengah memoles bibirnya dengan lipstik warna merah. Safiyya menunjukkan benda pipih dengan dua garis merah. “A—Aku beneran hamil, Ma.” Safiyya menunduk lesu. Dia menjatuhkan t
“Di dunia ini yang dipanggil Jo ‘kan banyak. Ngapain juga harus ingat sama pemuda selengehan itu, hiyyy! Bisa jadi kan nama anaknya Si Jojo, Jono, Jontor.” Sasha bergidik sendiri. Dia pun lekas menghampiri Gavin setelah merasa mendapatkan pakaian yang cocok untuk mereka. “Mas, sorry lama! Kita cobain, yuk!” tutur Sasha sambil menunjukkan beberapa pakaian yang dia pilih.“Oke.” Gavin mengangguk seraya bergegas bangun. Dia pun lekas mengekori Sasha menuju ruang ganti. “Aku cobain ini dulu, ya!” Sasha menunjukkan setumpuk gaun yang dipegangnya dan langsung melesat ke dalam kamar ganti. Lalu dia keluar dan tersenyum penuh percaya diri.“Ini gimana, Mas?” Sasha menatap Gavin dengan pandangan mata berbinar. Dia yakin, Gavin akan terpesona melihat penampilannya yang berbeda. Hanya saja, ekspresi Gavin, tak seperti yang Sasha bayangkan. Dia tampak tertegun beberapa saat, lalu menggeleng pelan, “Itu terlalu terbuka.” Bahu Sasha melorot. Dia menyingkirkan pilihan baju yang dia pilih pertama
“Hay, Ra! Kebetulan sekali! Ehm, kamu kuliah di sini?” sapa Aksa setelah jarak menyisakkan beberapa langkah. Ameera yang berjalan sambil menunduk dan fokus pada gawai, mendongak. Beberapa detik, sepasang netra mereka bersitatap. “Eh, Abang! Iya aku kuliah di sini. Abang sedang apa di sini?” Ameera tersenyum tulus. Ditatapnya wajah lelaki yang tampak terlihat tegang itu. “Habis ketemu temen! Oh ya, ini buat kamu!” Aksa mengulurkan kartu undangan yang dia pegang itu seketika. Terlalu aneh jika dibilang bertemu dengan tidak sengaja sebetulnya, tetapi Ameera tetap menerima kartu undangan itu dan membaca isinya.“Wah, selamat ya, Bang! Akhirnya diresmikan juga!” tutur Ameera. Dia melipat kembali kartu undangan itu dan memasukkan ke dalam tasnya. Sepasang netra bening itu tampak berkilat-kilat senang. Lengkung bibir yang membentuk senyuman membuat secercah rasa hangat itu seolah merambat. Aksa yang berdiri di depannya, perlahan ikut tersenyum juga. Melihat senyum itu saja sudah ada yang t
“Mari!” Suara bariton Aksa terdengar. Ameera mengangguk pelan dan melangkah mendekat ke arahnya. Tanpa dia sadar, dari balkon, ada sepasang alis yang saling bertaut memperhatikan mereka. Lelaki bertubuh tegap dengan kemeja resmi itu menghembuskan napas kasar ketika mobil yang membawa Ameera perlahan melaju meninggalkan gerbang. Hening, suasana menjadi kaku. Keduanya duduk bersisisan, tetapi kompak hanya saling terdiam. Dibiarkannya alunan musik slow rock yang Aksa putar saja yang mengisi ruang. Sesekali, Aksa mencuri-curi pandang, dari sudut matanya tampak Ameera sibuk dengan benda pipih di tangan. Ada senyum tersungging di bibir Aksa. Entah kenapa, hanya berdekatan dengan Ameera saja, ada secercah hangat mengalir dalam dada.Hanya, saja. Sebagai lelaki. Aksa merasa harus memulai percakapan. Otak Aksa pun berputar-putar tengah mencari cara bahan untuk memulai pembicaraan. Suara tang ting dari ponselnya, dia abaika. Tampak beberapa panggilan masuk, tetapi hanya Aksa biarkan. Sementar
Beberapa menit berlalu, Gavin tampak melepas gespernya dan mengambil benda tajam dari kepala gesper, pisau lipat. Meskipun senjata mereka tak berimbang, tetapi ilmu bela diri Gavin yang notabene seorang bodyguard, cukup membuat pertandingan menjadi lebih imbang. Beberapa kali, orang-orang berpakaian hitam yang menyerang mereka, terkena serangan, bahkan beberapa bagian tubuh mereka terluka oleh serangan Gavin yang membabi buta. Kondisi dua lawan empat, membuat perkelahian cukup alot. Beberapa kali salah satu dari mereka hendak menyerang langsung ke arah Ameera, tetapi Gavin maupun Aksa, berhasil menghalaunya. Kondisi jalanan sebetulnya ramai lancar, tapi sepertinya para pengendara enggan terlibat. Mereka hanya melaju lambat dan memperhatikan. Hingga akhirnya suara sirine mobil polisi membuat keempat orang yang tadi menyerang itu kelabakan. Mereka sigap melarikan diri. Namun, Gavin tak kalah cepat menangkap salah satu dari mereka. Sementara itu, Aksa yang terkena beberapa sayatan pada
Anesya yang baru saja keluar dari kamar mandi terpegun. Ruangan yang beberapa saat lalu mereka tempati untuk memadu kasih, sudah kosong. Dia berjalan mencari keberadaan Didit, lelaki yang sudah berjanji, akan membantunya menyingkirkan Ameera. Hanya saja, Anesya tak menemukannya.Anesya menautkan alisnya. Perempuan dengan rambut basah itu merasa heran, kenapa tiba-tiba lelaki itu menghilang. Awalnya, Anesya hanya mengira jika Didit mungkin sedang merokok di luar. Hanya saja, setelah setengah jam menunggu, lelaki itu tak kunjung kembali ke dalam kamar hotel murahan itu. Anesya mencoba menghubunginya. Namun, baik pesan maupun panggilan, diabaikan. Meski dengan hati kesal, Anesya pun lekas mencari mobil online dan lekas pulang ke rumah Ardi. Awalnya dia hanya hendak menggertak Tuan Rivaldo dengan menolak pemberiannya yang sedikit. Dia tahu, Tuan Rivaldo begitu sayang dengan Safiyya, tetapi sekarang, bahkan akses untuk menghubunginya pun tidak bisa. “Ck, Shit!” Anesya memijit pelipisnya
Aksa harus menjalani perawatan intensif di rumah sakit. Kondisinya masih drop setelah melewati serangkaian operasi. Karena hanya Sasha yang tak memiliki kegiatan, jadi, hampir dua puluh empat jam dia yang berjaga. Hanya sesekali saja bergantian dengan ayah, ibu maupun kakaknya.Akhir-akhir ini Ameera meminta Prita membuatkan jadwal khusus untuk menjenguk Aksa disela-sela kesibukannya yang segudang. Apalagi, minggu ini harusnya dia fokus pada acara perhelatan akbar yang akan diadakan oleh Tuan Rivaldo, Sang Papa. Siap tak siap, Ameera harus sudah siap menyandang gelar Sang Pewaris itu segera. Tuan Rivaldo tak bisa menunggu terlalu lama untuk mengumumkan kembalinya sang putri yang hilang. Entah kenapa, dia khawatir usianya tak lagi panjang. Hari ini, selepas kuliah, Ameera kembali mengunjungi Aksa. Informasi dari Sasha, abangnya itu baru saja dipindahkan ke ruang rawat inap.Langkah Ameera mengayun pasti tanpa ragu. Berhari-hari menjenguk Aksa, hanya bisa menatap dari jauh, karena tak
“Ahm, antri.” Ameera menjawab sambil tersenyum masam.“Antri? Kayak di toilet aja!” Sasha menautkan alis.“Calon kakak ipar kamu gak mau diganggu,” tukas Ameera sambil mencebik.“Dih, siapa?” Sasha memonyongkan bibirnya.“Siapa lagi, dr. Felani lah! Cocok kan nanti keluarga kamu semuanya bergelar dokter!” ejek Ameera sambil mencebik.“Ish ada yang baper, nih! Cemburu, ya!” kekeh Sasha sambil mencubit pipi Ameera. Seketika Ameera mendelik dan menepis jemari Sasha sambil menyangkal tuduhan itu. Hanya saja, semua itu dibalas kekehan saja oleh Sasha. Lekas dia mendorong daun pintu dan membuat Felani menoleh ke arah mereka.Ameera yang mengekor di belakang Sasha, terpegun beberapa detik ketika melihat tangan Felani yang menggenggam jemari Aksa. Dunia seakan menyempit. Kebisingan di kanan kiri menguar dengan sendiri. Kini seolah hanya ada dia yang terhipnotis dengan adegan yang ada di depan mata. Ada rasa yang tak bisa diartikan oleh Ameera.Hanya saja, Aksa seperti sadar tengah diperhatik
“Saya harus extra kuat sekarang, Ra. Ada dua perempuan rapuh di rumah. Beruntung Mbak Maria sudah pindah rumah, Marina juga sudah menikah dan ikut suaminya. Seenggaknya, saya dan Papa berbagi tugas untuk mengawasi dua orang itu saja.” Ameera mengangguk-angguk paham. Pantas saja, Ardi tampak jauh cepat lebih tua. Rupanya beban hidup yang dialaminya cukup membuat Ameera turut prihatin.“Salam buat keluarga, ya, Mas! Maaf gak bisa ngobrol lama, ada acara lagi setelah ini.” “Iya, Ra. Sukses terus, ya! Seenggaknya saya bangga pernah menjadi orang yang berarti dalam hidup kamu, meski itu dulu.” Ardi tersenyum kecut dan bicara lirih. Sorot matanya tetap menatap Ameera dengan pandangan yang masih sama, seperti dulu.“Ya, Mas!” Ameera tersenyum, lalu berpamitan dan meninggalkan Ardi yang mengusap rambutnya yang sudah ramai ditumbuhi uban.***Setelah kegiatan perusahaan banyak diambil alih kembali oleh Ameera. Perlahan kesibukkan Gavin mulai terbagi lagi. Kini, dia memiliki sedikit waktu lon
Tuan Rivaldo langsung terdiam ketika mendengar persyaratan yang disampaikan Arsyla. Bahunya melorot, lalu dia meminta Parjo mendorong kursi rodanya kembali ke teras menemani Ameera. Selera makannya mendadak menguap begitu saja.“Mama kamu itu, Ra. Apa gak kasihan sama Papa? Masa iya ngasih syarat diluar nalar kayak gitu.” “Hah, syarat apa, Pa?” Ameera yang baru selesai membalas email bertanya tanpa menoleh pada sang Papa. “Masa iya, dia bilang … Papa jangan pernah menemui dia lagi selama setahun kalau mau dipertimbangkan balikan lagi. Mana mungkin bisa gak ketemu, Papa ‘kan pasti ke sini tiap hari.” Ameera terkekeh, lalu dia berbisik ke telingan Tuan Rivaldo. Lelaki paruh baya itu tampak menautkan alis. Lalu setelahnya menatap Ameera sambil tersenyum sumringah.“Oke, Papa temuin mama kamu dulu! Papa sanggupin saja, ya! Kamu pinter sih, Ra. Papa ‘kan bisa temuin kamu di kantor, jadi gak akan ketemu Mama kamu, walau berat, sih! Setahun, Ra,” tutur Tuan Rivaldo dan segera beranjak ke
Kabar kehamilan Ameera diterima dengan suka cita. Arsyla memeluk haru putri semata wayangnya dengan buncah bahagia. Bahkan, demi memastikan Ameera cukup istirahat dan terjaga pola makannya. Arsyla memutuskan untuk tinggal sementara waktu di kediaman putrinya itu. Aksa merasa senang, setidaknya ditengah kesibukannya, sang istri ada yang memberi ekstra perhatian. Hanya saja, mau tak mau, Gavin yang kini menjadi tumbal. Karena kehamilan Ameera, rencana bulan madunya yang awalnya akan ke Bali dalam beberapa pekan, harus dibatalkan. Aksa meminta Tuan Rivaldo agar Ameera tak terlalu menerima beratnya beban pikiran. Alhasil, Gavin pun bisa memakluminya. Beruntung, Sasha bukan perempuan dengan tipe manja. “Gak apa, kok, Mas! Bulan madu bisa di mana saja! Di kantor juga bisa,” tukas Sasha sambil mengerling jahil. Dia sedang mengeringkan rambut basahnya. Semalam baru saja keduanya berpetualang hebat. Gavin yang baru selesai mandi, menoleh pada sang istri dengan ekor matanya. “Bulan madu? D
Tuan Rivaldo hanya tersenyum kaku. Dia seperti kehabisan kata-kata. Seorang asisten yang menggantikan Gavin, duduk juga di sampingnya. Sementara itu, kedua orang tua Gavin dan Sasha duduk membersamai pengantin di depan sana.“Arsyla … sepertinya jarak yang kamu bentangkan semakin hari, semakin lebar saja … apa tak ada kesempatan untukku menebus segalanya?” batin Tuan Rivaldo. Perempuan yang sudah melahirkan buah hatinya itu tampak begitu ceria mengobrol dengan anak menantunya. Sesekali perempuan paruh baya itu tertawa. “Bodohnya aku,Syla … bodohnya aku yang menyia-nyiakanmu dulu,” batin Tuan Rivaldo dipenuhi sesal. Seorang panitia datang dan mengantarkan pesanan makanan. “Wah, bakso, ya!” Sumringah Bu Uti ketika mencium wangi yang menguar. Rupanya Aksa tadi yang memesan. Hanya saja, Ameera tiba-tiba menutup hidung dan terlihat tak nyaman. “Duh, bau banget, sih, Bang!” rengeknya sambil menjauhkan mangkuk bakso dari depannya.Aksa mengernyit. Pasalnya, biasanya Ameera adalah orang y
Suara deheman Gavin, membuat Sasha mencubit perut Johanes. Lelaki yang dicubitnya itu mengaduh. Lalu, mau tak mau melepas pelukannya.“Masih saja galak! Kuwalat lo sama abang sendiri!” ejek Johanes. Wajahnya tampak datar lagi dan kini dia beralih menyalami Gavin. Sepasang mata elang Gavin seolah tengah melayangkan protes atas kelakuannya tadi.“Biasa aja lihatinnya, Dek! Lo sekarang adek gue juga!” kekeh Johanes tersenyum masam. Dia menepuk pundak Gavin dua kali. “Gue gak perlu nitipin dia ke elo! Gue yakin, elo bakal jagain dia jauh lebih baik dari gue!” Johanes melepas jabatan tangannya dengan Gavin. Lalu menoleh pada perempuan yang berjalan dengan pelan karena perut yang sudah membesar. “Pasti, Bang!” Gavin menjawab singkat. “Berasa tua gue dipanggil Abang,” kekeh Johanes. Tak ada sedikitpun raut bahagia di wajahnya. Dia pun meraih jemari perempuan yang sejak tadi seperti tak diacuhkannya itu. Entah perempuan mana lagi yang dihamilinya. Perut yang besar dengan high heel yang ag
Hanya saja, pesan Sasha pun tetap diabaikan juga. Karena penasaran, Sasha pun mencoba melakukan panggilan. Namun, tak ada satu pun panggilan darinya diterima Johanes.“Ngambeknya kayak anak kecil,” oceh Sasha. *** Resepsi pernikahan, akan diadakan besar-besaran. Apalagi Antoni pun tak mau ketinggalan. Dia tetap tebal muka dengan penolakan Sasha. Bahkan dia sudah mendeklarasikn kepada rekan bisnisnya tentang keberadaan putri kandungnya. Karena itu, pernikahan Sasha terbilang dirancang dengan cukup megah. Di mana ada tiga pendonor utama yaitu dokter Subarkah, Anotni dan juga Tuan Rivaldo. Waktu bergerak merangkak. Persiapan pernikahan yang dilakukan sudah hampir rampung. Johanes, belum memberikan kabar keberadaan hingga sekarang. Hanya saja, ada sedikit kemajuan. Jika Ibunya mengirim pesan, setidaknya dibalas. Dia selalu bilang, kalau sekarang dia berada di tempat yang aman. Butuh waktu untuk lelaki itu mengobati luka yang menganga cukup besar. Hanya dua orang yang pesannya dibalas.
Sasha menatap langit-langit kamar yang polos. Rasa lelah seharian, tak serta merta membuatnya bisa tidur cepat. Hari ini terlalu penuh kejutan untuknya. Malam yang mulai larut, putaran jam dinding yang terus menggulir waktu, tak bisa membuat Sasha dengan mudah memejamkan mata. Bayangan wajah Gavin yang hari ini memberi kejutan luar biasa untuknya. Terus-menerus bergelayut di kelopak mata. Sudah sejak tadi dia bolak-balik membuka sosial medianya. Beberapa postingan yang memuat kebersamaannya dengan Gavin, sudah memenuhi wall-nya. Sengaja Sasha postingkan untuk mengabadikan momen yang sangat langka dan berharga ini. Sontak banyak sekali komentar dari link pertemanan yang menyatakan kaget luar biasa. [Lo sama Jo, udahan?] [Secepat itu kamu berubah haluan, Sha?] [Wah? Dilamar? Jadi, Jo kalah gercep?] [So sweet banget, sih! Kelihatan banget dia ngasih kejutan dadakan, sampe cicinnya kebesaran.] Dan banyak lagi komentar yang menyangkut pautkannya dengan hubungan Sasha dengan Johanes
Sepasang netra Sasha kembali besinar. Dia bergegas menghampiri Bu Uti dan ikut membaca sederet tulisan lama yang menuliskan alamat Sasti. Sasha pun mengambil gambar dengan ponselnya lekas menoleh ke arah Gavin, Ameera dan Aksa.“Aku mau ke sana! Aku ingin mencari Mama!” Ketiganya mengangguk. Tak menunggu waktu, hari itu juga mereka bergerak menuju lokasi yang disebutkan. Mereka menggunakan satu mobil saja, sedangkan yang satunya dititip di panti. Setelah menempuh waktu sekitar empat jam, akhirnya mereka tiba di sebuah perkampungan. Asing, itulah yang Sasha rasakan. Setelah berputar-putar mencari nama tersebut dan di arahkan ke sana sini. Banyak yang bernama Sasti, tapi rata-rata usianya masih muda, ada juga yang masih bayi. Hingga akhirnya mereka diarahkan ke sebuah rumah, katanya dulunya milik almarhumah Bu Sasti. Hanya saja ternyata rumah itu sedang kosong. Beruntung, ada seorang perempuan berjilbab lebar yang kebetulan keluar dari rumah megah yang berseberangan menanyai mereka.“
Sasha meninggalkan rooftop rumah sakit dengan mood yang sudah membaik. Ide Ameera menelpon Gavin sepertinya adalah ide paling tepat. Kini, wajah Sasha yang tadi terlihat begitu muram, perlahan terlihat cerah. Meranti, Subarkah, Merisa dan Antoni ternyata menunggu mereka di lantai satu. Aksa sudah membocorkan kondisi Sasha. Semua turut senang, kesedihan itu tak bertahan lama.Bersamaan dengan pintu lift yang terbuka. Empat pasang mata itu menatap kedatangan dua pasang muda-mudi itu. Jemari mereka saling bertaut. Hanya saja, Sasha yang tak biasa, lekas melepas gamitan jemari Gavin ketika melihat ada empat orang tua yang tengah menunggunya. “Sha … anak kesayangan mama.” Meranti langsung memburu Sasha, memeluk erat dan menangis tersedu. Dia merasa begitu bersalah karena selalu mengulur waktu untuk memberitahu pada Sasha hal yang sebenarnya. Dia selalu merasa tak siap menghadapi reaksi Sasha. Hingga akhirnya itu hanya menjadi bom waktu yang pada hari ini harus meledak diluar kendali mer