Bismillah
"Ibuku Ternyata Hantu"
#part_6
#by:Ratna Dewi Lestari
"Wid--Widya!" suara Ayah terdengar nyaring ditelingaku di sertai pukulan lembut di pipiku. Aku terhenyak bangun. Badan terasa pegal semua. Kuedarkan pandangan kesegala penjuru. Dimana aku?
"Widya!" ayah mengulangi panggilan nya kepadaku. Ayah menatap heran ke arahku.
"Eh--iya, Yah," jawabku terbata.
"Kamu kenapa tidur di sini?mana bau pesing lagi!" seru Ayah dengan menutup hidungnya.
Teringat kejadian mengerikan tadi malam membuatku bergidik ngeri. Ingin kuungkapkan kepada Ayah, tapi takut Ayah ga percaya.
"Ibu mana Yah?" tanyaku mengalihkan ucapan Ayah.
"Ibumu sudah pergi sedari subuh. Sepertinya ada perlu," jawab Ayah sekenanya dan berlalu pergi menuju dapur.
"Ayah!" panggilku.
"Apa?" ayah menghentikan langkahnya dan menolehku .
"Apa ada yang aneh terhadap Ibu, Yah?" tanyaku penuh selidik.
"Ga ada, cuma Ibumu sangat wangi dan menjadi pendiam," seloroh Ayah.
"Nah, kan. Aku yakin sekali ada yang tidak beres dengan Ibu. Apa Ibu selingkuh?" batinku.
Prangggggg
Tiba-tiba terdengar suara piring pecah. Aku dan Ayah saling berpandangan."Bukan Ayah!" ucap Ayah cepat.
"Lantas siapa, Yah?" tanyaku.
"Mungkin tikus," jawab Ayah cuek.
"Ya udah kamu mandi Wid, kamu dan Adik-adikmu mau sekolah, kan?" titah Ayah.
"Nggak Yah, Widya ga sekolah lagi," aku menggeleng pelan.
"Nah, kenapa? Kamu ada masalah di sekolah?" selidik Ayah dengan tatapan marah.
"Nggak Yah, Ibu yang menyuruh Widya berhenti sekolah dan menjaga Adik-adik serta warung di rumah," aku membela diri.
"Memangnya Ibumu kemana? kan selama ini Ibu yang menjaga Adik-adikmu, Wid!" ucap Ayah dengan kesal.
"Entahlah, Yah, Ibu kalau siang sampai sore ga kelihatan, malam baru pulang. Widya ga tahu Ibu kemana," aku menjawab dengan menunduk.
"Baiklah, nanti malam kita bicarakan! sekarang Ayah mau pergi kerja dulu! jaga Adik-adikmu, Wid!" perintah Ayah sambil berlalu.
Aku hanya mengangguk pelan. Berdiri dengan sakit sekujur tubuh, berjalan menuju kamar mandi. Benar kata Ayah, diriku bau pesing .
*
Selesai mandi, kulihat Nina asyik bermain di sudut rumah yang masih terbilang kuno ini. Bangunannya seperti bangunan masa penjajahan. Lantainya pun masih memakai keramik kasar yang jika berbaring diatasnya terasa sangat dingin walaupun suasana sedang panas.
Rumah ini adalah rumah peninggalan orangtua Ibu yang telah tiada. Jadi, bisa dibayangkan betapa tuanya bangunan ini, tetapi bangunan ini masih sangat terawat.
Biasanya aku tak pernah takut tinggal walaupun sendiri di rumah ini. Namun, berbeda dengan dua hari belakangan ini. Rumah tampak sangat mencekam.
Kudekati Nina yang masih asik bermain. Nina seperti hari kemarin, berbicara sendiri.
"Bu, ayok kita bobok Bu, Nina ngantuk ni," seloroh Nina menatap kedepannya seolah ada Ibu di situ.
"Nina--Nina ngomong sama siapa, Nin? ga ada siapa-siapa disini selain kita, Dek!" ucapku mulai takut.
"Kak Widya, ini Nina ngomong sama Ibu, Kak," sahutnya tanpa melihat ke arahku. Ia asyik memainkan bonekanya, sesekali ia menguap.
"Dek, ga ada siapa-siapa disini selain kamu dan kakak," aku bertambah gusar melihat tingkah Nina.
"Ibu dimana? kenapa setiap hari terang Ibu selalu hilang? apa yang sebenarnya Ibu sembunyikan?" pertanyaan-pertanyaan itu kini terngiang-ngiang dikepala.
"Kak! Nina mo bobok sama Ibu! Kakak jangan ganggu! Ngerti!" bentakan Nina membuyarkan lamunanku. Ia berjalan sendiri ke kamar Ibu. Tangannya seperti sedang menggandeng sesuatu.
"Nina ...." panggilku begitu ia sudah berada tepat didepan kamar Ibu.
Kriettttttttt
Pintu terbuka lebar. Nina tak menyahutiku . Ia melangkah masuk ke kamar Ibu.
"Nina ...."
BrakkkkkPintu itu tertutup dengan sendirinya. Untuk beberapa detik aku terpaku, segera sadar begitu Nina masuk ke kamar Ibu.
"Nina--Nina!"
Tok! Tok! Tok!
Ku ketuk pintu kamar Ibu berkali-kali tapi tak ada jawaban sedikitpun. Pintu terkunci dari dalam.
"Nina--Nina! jawab Dek! kamu baik-baik saja kan!" raungku. Bulir-bulir bening itu mulai jatuh. Aku takut Nina kenapa-napa.
"Ibu--Ibu dimana! tolong aku, Bu!" tangisku semakin pecah.
"Gerrrrrrrrrrrrrrrr," kudengar raungan dari kamar Ibu. Aku beringsut mundur. Berbalik dan berlari menuju kamarku. Kakiku gemetar. Ingin rasanya mendobrak pintu kamar Ibu, tapi aku teringat perkataan Ibu, aku tak boleh masuk kesana. Untuk sementara kutenangkan diri terlebih dahulu. Menguasai rasa takutku . Ibu, nanti malam aku akan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan Ibu.
*
Dua jam aku menunggu Nina, akhirnya Nina keluar kamar dalam keadaan baik-baik saja. Ia nampak sangat ceria. Aku sangat bersyukur Nina tidak kenapa-napa. Ia berceloteh riang seperti biasa, bermain bersama kakak-kakaknya.
Magrib menjelang, seperti biasa Ibu sudah tampak di belakang. Ia memasak begitu Azan sudah selesai berkumandang. Kami makan bersama. Tak ada yang aneh, hanya wajah Ibu tampak sangat pucat.
Kami bersenda gurau bersama. Ibu sesekali hanya melempar senyum tipis. Tak banyak bicara.
Gelap malam mulai menyelimuti. Rasa kantuk tak dapat ditahan lagi. Kami pun bersiap-siap ke peraduan masing-masing .
Tapi tidak dengan aku. Walaupun mata sangat mengantuk, kupaksa tetap terjaga. Aku berencana akan mengintai Ibu malam ini.
Begitu semua sudah terlelap, aku mengendap-endap keluar kamar dan bersembunyi di balik almari kecil di sudut ruang. Lampu temaram hingga membuatku dengan mudah mengintai kegiatan Ibu.
Krietttttttttt
Srek! Srek! Srek!
Ku dengar pintu kamar Ibu terbuka. Dalam kegelapan kulihat Ibu keluar kamar dengan menyeret kakinya. Ibu memakai pakaian Gaun putih panjang persis seperti malam kemarin saat aku pingsan. Rambut Ibu awut-awutan. Tapi, tak nampak noda darah disana.
"Kenapa Ibu menyeret kakinya? apa Ibu sakit?" batinku .
Ibu menuju dapur. Kudengar Ibu mencuci baju. Tak lama kembali suara piring yang beradu.
"Jam segini ngapain Ibu beres-beres?" aku semakin heran karena waktu baru menunjukkan pukul 02.00 dini hari.
Kulangkahkan kaki menuju dapur. Semua sudah bersih dan tertata rapi. Tapi, kemana Ibu? Ibu tak nampak sama sekali. Yang tertinggal hanya wangi melati.
***
Di suatu pagi yang cerah, lima orang bapak-bapak berniat memancing bersama. Mereka memarkir motor di dalam semak di pinggir jalan. Saat itu udara sedikit mendung hingga mereka merapatkan jaket karena dingin ya cukup menyiksa.
Mereka dengan semangat masuk kedalam semak, karena sungai yang mereka tuju berada cukup jauh dan itu harus melewati semak belukar di sepanjang perjalanan.
Setelah berjalan kurang lebih sepuluh menit, indra penciuman mereka dikejutkan dengan bau bangkai yang amat sangat. Awalnya mereka mengira itu adalah bau tikus yang kebetulan sudah menjadi buntang.
Namun semua itu terbantahkan ketika salah satu dari bapak-bapak yang bernama Kosim itu melihat baju wanita yang sudah terkoyak-koyak tak jauh dari mereka. Mereka pun saling berpandangan .
Merasa ada yang tidak beres, mereka lalu ...
Bismillah "Ibuku Ternyata Hantu"#part_7# by: Ratna Dewi Lestari. "Sim, apaan itu Sim?" tanya Tejo dengan menunjuk lembaran baju yang terkoyak di antara rerumputan. "Itu kayaknya baju perempuan, yok kita tengok!" ajak Kosim. Teman-temannya yang lain mengangguk serentak. Perlahan tapi pasti, Bapak-bapak itu melangkah menuju baju yang letaknya tak jauh dari tempat mereka berdiri. Srek-srek-srek! Kaki-kaki mereka menginjak ranting dan rerumputan sekitar. Golok mereka arahkan kesana-kesini untuk menerbas rumput ilalang yang menutupi penglihatan. Kosim mengangkat baju itu dengan sebuah ranting. Matanya memperhatikan dengan seksama. "Jo, ada darah nya, Jo!" pekiknya. "Waduh, yang punya kemana?" sahut Tejo. "Tejo, Kosim, ada celana juga di sini!" sahut Diman seraya me
Bismillah "Ibuku Ternyata Hantu"#part_8#by:Ratna Dewi Lestari "Man ... itu apaan Man?" ucap Warjo dengan kaki gemetar. Peluh membasahi wajah. "War ... kuntilanak itu War ...," tanpa sadar celana Maman basah. Ia ngompol di celana. "Maman ... Warjo ... kemari ... temani aku malam ini ...," suara wanita itu lirih tapi terdengar jelas di telinga Maman dan Warjo. Wanita itu berjalan lambat menuju ke arah mereka. Angin yang semilir kadang menyibak gaun panjangnya yang putih namun banyak noda darah. Nampak dalam keremangan malam kaki wanita itu melayang dengan warna putih pucat. Warjo dan Maman menggigil ketakutan. "Man! cepat hidupi motornya, Man! bisa-bisa nyawa kita melayang, Man!" seru Warjo dengan tepukan keras di punggung Maman. "Iya, sabar! ini juga lagi ak
Bismillah "Ibuku Ternyata Hantu"#part_9#by:Ratna Dewi Lestari "Nina! Nina!" panggil Ayah berulang kali. Aku pun terus berlari bersama Ayah mengikuti Nina yang terus berjalan cepat. Ia seperti tak mendengar teriakan kami. Nina terus berjalan menelusuri kebun. Dalam keremangan malam tak sadar samar-samar kulihat asap mengelilingi Nina. Jantung berdegub kencang. Nina, ada yang tidak beres dengan Nina. Ayah semakin kencang berlari walaupun terkadang terdengar bunyi napasnya yang ngos-ngosan. Nina kini berada di ujung kebun dan masuk kedalam semak belukar. Ranting pohon, tanaman berduri serta ilalang menusuk kaki ku yang polos. "Akh, sakit," terkadang aku berteriak kesakitan. Tapi, terus mengejar Nina. "Nina!" Ayah berhasil meraih tangan Nina dan memeluk Nina erat. &
Bismillah "Ibuku Ternyata Hantu"#part_10#by:Ratna Dewi Lestari. Brummmmm! Ckiiiiiittttt! Mobil Polisi berhenti di Rumah Sakit Umum Daerah. Dengan langkah gontai Ayah melangkah megikuti ketiga polisi yang berjalan tergesa menuju kamar mayat. Jantung berdebar ketika kaki memasuki kamar mayat. Hawa dingin menelusup hingga relung hati. Salah satu polisi membuka salah satu brankas mayat. Tampaklah sekilas kaki putih yang sudah kaku. "Mari Pak, kemari!" salah seorang Polisi melambai ke arah Ayah. Ayah mengangguk pelan dan melangkah mendekati. "Astagfirullah," ucap Ayah. Ia menutup mulutnya menahan kengerian sosok yang dilihatnya. Walaupun sudah dibersihkan, nampak mayat itu sudah penuh dengan lubang bekas tusukan, daging sudah tak utuh, hampir terlihat tulang putih. Pada bagian mata
Bismillah "Ibuku Ternyata Hantu"#part 11#by:Ratna Dewi Lestari. Pagi yang sepi tanpa Ibu. Semenjak kami tahu Ibu sudah meninggal, tak ada lagi sosok Ibu yang memasak di dapur sebelum subuh. Aku menjadi lesu. Walaupun kutahu Ibu ternyata hantu, tetapi tak sedikitpun membuatku takut. Aku malah rindu. Rindu melihat sosok Ibu. Kini aku berdiri di jendela dapur, memandang pepohonan singkong dan kebun mawar kecil kesayangan Ibu. Aroma mawar terkadang menggoda indra penciumanku. Terbang di bawa angin semilir ke arahku. Kuhirup wangi pagi sekuat yang aku bisa. Ku lepas dengan hati tertekan. Sedih, pilu menelusup relung hatiku. "Ibu ... di mana Engkau Ibu? aku rindu!" bisikku lirih. Angin dingin menyentuh pipiku. Entah kenapa rasa sejuknya menentramkan jiwaku. Seperti sentuhan halus tangan Ibu. Apakah ini memang Ibu? kupej
Bismillah "Ibuku Ternyata Hantu"#part_12#by:Ratna Dewi Lestari "Aaaaaaa ....," Mata Warjo terbelalak. Napasnya ngos-ngosan memburu. Keringat dingin mengucur sebesar biji jagung menetes di keningnya yang lebar. Jantungnya berdebar kencang. Tok-tok-tok! "Bang! Bang Warjo! kenapa kamu, Bang!" suara istri Warjo di luar membuat Warjo tersadar dari mimpi buruknya. Ia bergidik ngeri mengingat mimpinya barusan. Dengan gemetar Warjo melangkah mendekati pintu. Membukanya dan ia tampak sangat pucat melihat wanita dihadapannya. Wajah Marni, wanita malang yang ia bunuh malam itu tersenyum manis menatap ke arahnya. Matanya yang bulat memancarkan kebencian yang mendalam. Masih teringat jelas di ingatannya saat Marni memohon kepadanya. Bias rasa bersalah itu terekam jelas di wajah Warjo saat itu. "Maafkan aku ... Ibu ... aku tak tau nam
Bismillah "Ibuku Ternyata Hantu"#part_14#by:Ratna Dewi Lestari Warjo bergegas menuju kantor Polisi. Ia melangkah seorang diri tanpa Maman ataupun istrinya. Hatinya sudah mantap untuk mengakui semua kesalahannya. Ia tak ingin dibayang-bayangi rasa bersalah dan kematian. Ia ingin damai dan tenang. Di kantor Polisi, Warjo mengungkapkan semua dengan lugas. Namun, ia tak membawa Maman dalam kesaksiannya. Ia mengakui semua perbuatan kejinya. Polisi tak menunggu lama untuk membawa Warjo masuk ke dalam sel. Sidang akan segera menyusul. Warjo tak gentar. Ia malah merasa lega. Dalam hati terselip rasa sesal yang teramat. Ia tahu karena perbuatannya, ia telah memisahkan wanita itu dari orang-orang yang di cinta. Ia ingin mengucap maaf. Walau hanya mampu dalam hati ia ucapkan. Dinding dingin dalam sel dan lantai keras semen tak membuat nyali Warj
Bismillah "Ibuku Ternyata Hantu"#part_15#Tamat#by:Ratna Dewi Lestari. "Abang! Abang ...." Brakkkkkk ! Istri Maman ambruk begitu melihat keadaan Maman yang sangat mengenaskan. Para tetangga berdatangan mendengar teriakan. Mereka memandang ngeri jasad Maman. Jasad yang mengenaskan. Mata nya hampir copot, sekujur tubuh penuh lubang, dari telinga, hidung dan mulutnya keluar binatang-binatang kecil berbisa. Kelabang, kalajengking dan lintah merayap keluar bersamaan. Mereka bergidik ngeri melihat Maman yang sudah terbujur kaku dan berlumuran darah. Entah apa dosa Maman sehingga ia bisa mengalami hal yang sangat mengenaskan seperti ini. Para tetangga berbisik dan bertanya-tanya satu sama lain. Istri Maman di bawa ke dalam kamar lain. Setelah sadar mereka lalu segera mengebumikan Maman hari itu juga. Derai airm
Bismillah "Ibuku Ternyata Hantu"#part_15#Tamat#by:Ratna Dewi Lestari. "Abang! Abang ...." Brakkkkkk ! Istri Maman ambruk begitu melihat keadaan Maman yang sangat mengenaskan. Para tetangga berdatangan mendengar teriakan. Mereka memandang ngeri jasad Maman. Jasad yang mengenaskan. Mata nya hampir copot, sekujur tubuh penuh lubang, dari telinga, hidung dan mulutnya keluar binatang-binatang kecil berbisa. Kelabang, kalajengking dan lintah merayap keluar bersamaan. Mereka bergidik ngeri melihat Maman yang sudah terbujur kaku dan berlumuran darah. Entah apa dosa Maman sehingga ia bisa mengalami hal yang sangat mengenaskan seperti ini. Para tetangga berbisik dan bertanya-tanya satu sama lain. Istri Maman di bawa ke dalam kamar lain. Setelah sadar mereka lalu segera mengebumikan Maman hari itu juga. Derai airm
Bismillah "Ibuku Ternyata Hantu"#part_15#Tamat#by:Ratna Dewi Lestari. "Abang! Abang ...." Brakkkkkk ! Istri Maman ambruk begitu melihat keadaan Maman yang sangat mengenaskan. Para tetangga berdatangan mendengar teriakan. Mereka memandang ngeri jasad Maman. Jasad yang mengenaskan. Mata nya hampir copot, sekujur tubuh penuh lubang, dari telinga, hidung dan mulutnya keluar binatang-binatang kecil berbisa. Kelabang, kalajengking dan lintah merayap keluar bersamaan. Mereka bergidik ngeri melihat Maman yang sudah terbujur kaku dan berlumuran darah. Entah apa dosa Maman sehingga ia bisa mengalami hal yang sangat mengenaskan seperti ini. Para tetangga berbisik dan bertanya-tanya satu sama lain. Istri Maman di bawa ke dalam kamar lain. Setelah sadar mereka lalu segera mengebumikan Maman hari itu juga. Derai airm
Bismillah "Ibuku Ternyata Hantu"#part_14#by:Ratna Dewi Lestari Warjo bergegas menuju kantor Polisi. Ia melangkah seorang diri tanpa Maman ataupun istrinya. Hatinya sudah mantap untuk mengakui semua kesalahannya. Ia tak ingin dibayang-bayangi rasa bersalah dan kematian. Ia ingin damai dan tenang. Di kantor Polisi, Warjo mengungkapkan semua dengan lugas. Namun, ia tak membawa Maman dalam kesaksiannya. Ia mengakui semua perbuatan kejinya. Polisi tak menunggu lama untuk membawa Warjo masuk ke dalam sel. Sidang akan segera menyusul. Warjo tak gentar. Ia malah merasa lega. Dalam hati terselip rasa sesal yang teramat. Ia tahu karena perbuatannya, ia telah memisahkan wanita itu dari orang-orang yang di cinta. Ia ingin mengucap maaf. Walau hanya mampu dalam hati ia ucapkan. Dinding dingin dalam sel dan lantai keras semen tak membuat nyali Warj
Bismillah "Ibuku Ternyata Hantu"#part_12#by:Ratna Dewi Lestari "Aaaaaaa ....," Mata Warjo terbelalak. Napasnya ngos-ngosan memburu. Keringat dingin mengucur sebesar biji jagung menetes di keningnya yang lebar. Jantungnya berdebar kencang. Tok-tok-tok! "Bang! Bang Warjo! kenapa kamu, Bang!" suara istri Warjo di luar membuat Warjo tersadar dari mimpi buruknya. Ia bergidik ngeri mengingat mimpinya barusan. Dengan gemetar Warjo melangkah mendekati pintu. Membukanya dan ia tampak sangat pucat melihat wanita dihadapannya. Wajah Marni, wanita malang yang ia bunuh malam itu tersenyum manis menatap ke arahnya. Matanya yang bulat memancarkan kebencian yang mendalam. Masih teringat jelas di ingatannya saat Marni memohon kepadanya. Bias rasa bersalah itu terekam jelas di wajah Warjo saat itu. "Maafkan aku ... Ibu ... aku tak tau nam
Bismillah "Ibuku Ternyata Hantu"#part 11#by:Ratna Dewi Lestari. Pagi yang sepi tanpa Ibu. Semenjak kami tahu Ibu sudah meninggal, tak ada lagi sosok Ibu yang memasak di dapur sebelum subuh. Aku menjadi lesu. Walaupun kutahu Ibu ternyata hantu, tetapi tak sedikitpun membuatku takut. Aku malah rindu. Rindu melihat sosok Ibu. Kini aku berdiri di jendela dapur, memandang pepohonan singkong dan kebun mawar kecil kesayangan Ibu. Aroma mawar terkadang menggoda indra penciumanku. Terbang di bawa angin semilir ke arahku. Kuhirup wangi pagi sekuat yang aku bisa. Ku lepas dengan hati tertekan. Sedih, pilu menelusup relung hatiku. "Ibu ... di mana Engkau Ibu? aku rindu!" bisikku lirih. Angin dingin menyentuh pipiku. Entah kenapa rasa sejuknya menentramkan jiwaku. Seperti sentuhan halus tangan Ibu. Apakah ini memang Ibu? kupej
Bismillah "Ibuku Ternyata Hantu"#part_10#by:Ratna Dewi Lestari. Brummmmm! Ckiiiiiittttt! Mobil Polisi berhenti di Rumah Sakit Umum Daerah. Dengan langkah gontai Ayah melangkah megikuti ketiga polisi yang berjalan tergesa menuju kamar mayat. Jantung berdebar ketika kaki memasuki kamar mayat. Hawa dingin menelusup hingga relung hati. Salah satu polisi membuka salah satu brankas mayat. Tampaklah sekilas kaki putih yang sudah kaku. "Mari Pak, kemari!" salah seorang Polisi melambai ke arah Ayah. Ayah mengangguk pelan dan melangkah mendekati. "Astagfirullah," ucap Ayah. Ia menutup mulutnya menahan kengerian sosok yang dilihatnya. Walaupun sudah dibersihkan, nampak mayat itu sudah penuh dengan lubang bekas tusukan, daging sudah tak utuh, hampir terlihat tulang putih. Pada bagian mata
Bismillah "Ibuku Ternyata Hantu"#part_9#by:Ratna Dewi Lestari "Nina! Nina!" panggil Ayah berulang kali. Aku pun terus berlari bersama Ayah mengikuti Nina yang terus berjalan cepat. Ia seperti tak mendengar teriakan kami. Nina terus berjalan menelusuri kebun. Dalam keremangan malam tak sadar samar-samar kulihat asap mengelilingi Nina. Jantung berdegub kencang. Nina, ada yang tidak beres dengan Nina. Ayah semakin kencang berlari walaupun terkadang terdengar bunyi napasnya yang ngos-ngosan. Nina kini berada di ujung kebun dan masuk kedalam semak belukar. Ranting pohon, tanaman berduri serta ilalang menusuk kaki ku yang polos. "Akh, sakit," terkadang aku berteriak kesakitan. Tapi, terus mengejar Nina. "Nina!" Ayah berhasil meraih tangan Nina dan memeluk Nina erat. &
Bismillah "Ibuku Ternyata Hantu"#part_8#by:Ratna Dewi Lestari "Man ... itu apaan Man?" ucap Warjo dengan kaki gemetar. Peluh membasahi wajah. "War ... kuntilanak itu War ...," tanpa sadar celana Maman basah. Ia ngompol di celana. "Maman ... Warjo ... kemari ... temani aku malam ini ...," suara wanita itu lirih tapi terdengar jelas di telinga Maman dan Warjo. Wanita itu berjalan lambat menuju ke arah mereka. Angin yang semilir kadang menyibak gaun panjangnya yang putih namun banyak noda darah. Nampak dalam keremangan malam kaki wanita itu melayang dengan warna putih pucat. Warjo dan Maman menggigil ketakutan. "Man! cepat hidupi motornya, Man! bisa-bisa nyawa kita melayang, Man!" seru Warjo dengan tepukan keras di punggung Maman. "Iya, sabar! ini juga lagi ak
Bismillah "Ibuku Ternyata Hantu"#part_7# by: Ratna Dewi Lestari. "Sim, apaan itu Sim?" tanya Tejo dengan menunjuk lembaran baju yang terkoyak di antara rerumputan. "Itu kayaknya baju perempuan, yok kita tengok!" ajak Kosim. Teman-temannya yang lain mengangguk serentak. Perlahan tapi pasti, Bapak-bapak itu melangkah menuju baju yang letaknya tak jauh dari tempat mereka berdiri. Srek-srek-srek! Kaki-kaki mereka menginjak ranting dan rerumputan sekitar. Golok mereka arahkan kesana-kesini untuk menerbas rumput ilalang yang menutupi penglihatan. Kosim mengangkat baju itu dengan sebuah ranting. Matanya memperhatikan dengan seksama. "Jo, ada darah nya, Jo!" pekiknya. "Waduh, yang punya kemana?" sahut Tejo. "Tejo, Kosim, ada celana juga di sini!" sahut Diman seraya me