Bismillah
"Ibuku Ternyata Hantu"
#part_4
#by:Ratna Dewi Lestari
"Dek -- jangan nangis dong, kita cari Ibu ya!" ucapku sembari menggendong Nina menuju warung. Berharap Ibu ada di warung.
"Kak -- itu Ibu ada disitu! lagi nemenin Nina Kak!" berontak Nina. "Nina mau turun ... huhuhuhu," tangisnya.
Dengan sedikit kesal kuturunkan Nina. Ia berhambur dan kembali duduk ditempatnya semula. Ada yang aneh kulihat dari sikapnya Nina. Ia bicara sendiri tanpa ada yang menemani selain aku.
"Kakak -- kata Ibu, nanti malam Nina bobo dikamar Ibu, tapi kakak ga boleh ikut," ucapnya tanpa melihatku.
" Ya, kan bu?" Nina kembali berbicara sendiri.
"Hah, Nina kamu ngomong sama siapa? disini cuma ada kita berdua, Nina, sadar Dek!" Aku mulai gerah dengan tingkah laku Nina yang semakin aneh.
"Kakak -- kakak Widya tantik, ini Ibu di depan kita Kak," ucap Nina menunjuk ke depan wajahnya.
Aku semakin merinding. Seperti ada yang tidak beres. Hawa di rumah ini mendadak dingin dan mencekam.
Kubawa dengan paksa Nina menuju ke warung. Walaupun Nina berontak dan menangis tetap kubawa pergi keluar dari dalam rumah. Serasa ada yang mengikuti dari belakang, aku tak berani menoleh. Walaupun matahari bersinar terang tapi tetap aku ketakutan. Entah karena apa.
*
Ku lihat warung masih terkunci rapat. Nina kuletakkan di kursi teras. Kubuka warung dengan perlahan. Masih kosong, tak nampak Ibu memasuki warung. Lagian warung pun masih terkunci, tak mungkin Ibu bisa memasuki.
Nina kembali anteng. Aku pun tak berani memasuki rumah seorang diri. Duduk di warung bersama Nina yang asik bermain. Meladeni tetangga yang datang berbelanja sedikit menghibur diriku yang dirundung rasa takut.
"Wid, kok tumben kamu yang jualan. Libur ya?" tanya yuk Siti sembari memilih sayuran.
"Ibu Marni mana?" lanjutnya.
"Iya Yuk, lagi libur, Ibu juga lagi ada perlu katanya," jawabku berbohong.
"Oia Wid, Ibumu kalau belanja sering malam kan Wid, hati-hati bilang Ibumu! banyak begal yang keliaran jam segitu!" ujar Yuk Siti.
Deg
Jantungku seolah terhenti. Aku terpaku mendengar ucapan Yuk Siti. Ketakutan kembali menggerogoti diri. Bagaimana jika sesuatu terjadi kepada Ibu?
"Ah, tadi subuh Ibu sudah pulang kok Yuk, tapi entah kemana dia dari pagi ga nampak," ucapku berusaha tenang, sedangkan dadaku rasanya bergemuruh.
"Iya, alhamdulillah kalau begitu, Yayuk cuma sekedar ngingetin Nduk," senyum Yuk Siti sebelum ia pamit pergi.
Kurenungi ucapan Yuk Siti. Rasa khawatir kembali menyergap di hati. "Ibu -- Ibu dimana?" batinku lirih.
**
Brakkkkkkkk
Aku terkesiap begitu mendengar bunyi pintu yang seperti didobrak. Lamunanku buyar. Aku seketika ingat Nina yang sejak tadi kutinggalkan bermain sendiri di teras. Segera bangkit dan mencari Nina.
"Nina -- Nina! dimana kamu Dek!" Aku seketika lemas mendapati Adikku Nina yang tak ada di teras.
"Nina -- Nina!" berulang kali kupanggil namanya, namun tak jua ada sahutan dari bibir kecilnya.
Kucari Nina ke segala penjuru rumah. Dapur, kamar mandi. Kamar ku dan kamar adik - adikku yang lain. Tak ada. Nina tak kutemukan.
Sembari menangis terisak kucari Nina tiada henti. Tapi Nina seolah lenyap di telan bumi. Aku merasa bodoh. Mengapa bisa kutinggalkan Nina sendiri.
Kini tibalah aku di satu-satunya tempat yang belum ku periksa. Kamar Ibu. Tapi teringat ucapan Ibu tadi subuh. " Dilarang masuk kamar Ibu ketika pagi, siang dan sore hari. Malam baru boleh!"
Nyaliku mulai ciut. Dengan gemetar kubuka pintu Ibu, jantungku berdebar kencang.
Krietttttttttttt
"Ninaaaaa ...."
Deg
Ketakutan kembali menyergap diriku. Kamar Ibu ... kamar Ibu nampak sangat gelap. Tak ada sinar sedikitpun.
Ceklak!ceklek !
Kucoba menghidupkan lampu. Namun nihil lampu tak juga hidup.
Bulu kudukku merinding begitu memasuki kamar Ibu yang gelap gulita.
"Nina ...?"
Kulihat samar-samar sesosok tubuh sedang berbaring di ranjang Ibu. Kudekati perlahan dengan kaki yang gemetar hebat.
"Nina ...?"
Ku sentuh tubuh itu perlahan. Sosok itu menggeliat. Ia menoleh dengan perlahan.
" Kakak ...,"
"Nina ! sedang apa kamu disini Dek," ucapku seraya memeluk Nina erat. Aku menangis kencang.
"Pergi ... pergi!"
Ku dengar suara lirih menyuruhku pergi dari kamar Ibu. Dengan tangan gemetar ku gendong Nina yang masih memelukku.Mataku seketika membesar begitu melihat bayangan hitam melesat di depan mataku. Dengan secepat kilat kubawa Nina pergi keluar dari kamar Ibu.
Brakkkkkk
Bersambung...
Bismillah "Ibuku Ternyata Hantu"#part_5#by: Ratna Dewi Lestari Brakkkkkkk Pintu tertutup sendiri ketika aku dan Nina berhasil keluar dari kamar Ibu. Jantungku dag-dig-dug tak menentu. Keringat dingin mengucur. Seumur hidup baru kutemui sosok mengerikan seperti itu. Dan itu di kamar Ibu. Apakah itu Ibu? Tapi kenapa begitu menyeramkan sosok Ibu? "Kakak -- kakak kenapa?" suara Nina membuyarkan lamunanku. Aku terduduk menatap mata Nina. Kuhela napas dalam-dalam. Kulepas dengan perlahan. "Adek -- Adek kenapa bobo di kamar Ibu?" tanyaku hati-hati. "Adek kan bobo sama Ibu, Kak? Kakak yang kenapa banguni Adek?" Nina balik bertanya. "Adek, Ibu ga ada di rumah Dek, lain kali kalau mau kemana-mana ajak Kakak, ya!" ucapnya serius. "Ada Ibu, Kak! Nina ga boong. Kalau
Bismillah "Ibuku Ternyata Hantu"#part_6#by:Ratna Dewi Lestari "Wid--Widya!" suara Ayah terdengar nyaring ditelingaku di sertai pukulan lembut di pipiku. Aku terhenyak bangun. Badan terasa pegal semua. Kuedarkan pandangan kesegala penjuru. Dimana aku? "Widya!" ayah mengulangi panggilan nya kepadaku. Ayah menatap heran ke arahku. "Eh--iya, Yah," jawabku terbata. "Kamu kenapa tidur di sini?mana bau pesing lagi!" seru Ayah dengan menutup hidungnya. Teringat kejadian mengerikan tadi malam membuatku bergidik ngeri. Ingin kuungkapkan kepada Ayah, tapi takut Ayah ga percaya. "Ibu mana Yah?" tanyaku mengalihkan ucapan Ayah. "Ibumu sudah pergi sedari subuh. Sepertinya ada perlu," jawab Ayah sekenanya dan berlalu pergi menuju dapur. "Ayah!" pang
Bismillah "Ibuku Ternyata Hantu"#part_7# by: Ratna Dewi Lestari. "Sim, apaan itu Sim?" tanya Tejo dengan menunjuk lembaran baju yang terkoyak di antara rerumputan. "Itu kayaknya baju perempuan, yok kita tengok!" ajak Kosim. Teman-temannya yang lain mengangguk serentak. Perlahan tapi pasti, Bapak-bapak itu melangkah menuju baju yang letaknya tak jauh dari tempat mereka berdiri. Srek-srek-srek! Kaki-kaki mereka menginjak ranting dan rerumputan sekitar. Golok mereka arahkan kesana-kesini untuk menerbas rumput ilalang yang menutupi penglihatan. Kosim mengangkat baju itu dengan sebuah ranting. Matanya memperhatikan dengan seksama. "Jo, ada darah nya, Jo!" pekiknya. "Waduh, yang punya kemana?" sahut Tejo. "Tejo, Kosim, ada celana juga di sini!" sahut Diman seraya me
Bismillah "Ibuku Ternyata Hantu"#part_8#by:Ratna Dewi Lestari "Man ... itu apaan Man?" ucap Warjo dengan kaki gemetar. Peluh membasahi wajah. "War ... kuntilanak itu War ...," tanpa sadar celana Maman basah. Ia ngompol di celana. "Maman ... Warjo ... kemari ... temani aku malam ini ...," suara wanita itu lirih tapi terdengar jelas di telinga Maman dan Warjo. Wanita itu berjalan lambat menuju ke arah mereka. Angin yang semilir kadang menyibak gaun panjangnya yang putih namun banyak noda darah. Nampak dalam keremangan malam kaki wanita itu melayang dengan warna putih pucat. Warjo dan Maman menggigil ketakutan. "Man! cepat hidupi motornya, Man! bisa-bisa nyawa kita melayang, Man!" seru Warjo dengan tepukan keras di punggung Maman. "Iya, sabar! ini juga lagi ak
Bismillah "Ibuku Ternyata Hantu"#part_9#by:Ratna Dewi Lestari "Nina! Nina!" panggil Ayah berulang kali. Aku pun terus berlari bersama Ayah mengikuti Nina yang terus berjalan cepat. Ia seperti tak mendengar teriakan kami. Nina terus berjalan menelusuri kebun. Dalam keremangan malam tak sadar samar-samar kulihat asap mengelilingi Nina. Jantung berdegub kencang. Nina, ada yang tidak beres dengan Nina. Ayah semakin kencang berlari walaupun terkadang terdengar bunyi napasnya yang ngos-ngosan. Nina kini berada di ujung kebun dan masuk kedalam semak belukar. Ranting pohon, tanaman berduri serta ilalang menusuk kaki ku yang polos. "Akh, sakit," terkadang aku berteriak kesakitan. Tapi, terus mengejar Nina. "Nina!" Ayah berhasil meraih tangan Nina dan memeluk Nina erat. &
Bismillah "Ibuku Ternyata Hantu"#part_10#by:Ratna Dewi Lestari. Brummmmm! Ckiiiiiittttt! Mobil Polisi berhenti di Rumah Sakit Umum Daerah. Dengan langkah gontai Ayah melangkah megikuti ketiga polisi yang berjalan tergesa menuju kamar mayat. Jantung berdebar ketika kaki memasuki kamar mayat. Hawa dingin menelusup hingga relung hati. Salah satu polisi membuka salah satu brankas mayat. Tampaklah sekilas kaki putih yang sudah kaku. "Mari Pak, kemari!" salah seorang Polisi melambai ke arah Ayah. Ayah mengangguk pelan dan melangkah mendekati. "Astagfirullah," ucap Ayah. Ia menutup mulutnya menahan kengerian sosok yang dilihatnya. Walaupun sudah dibersihkan, nampak mayat itu sudah penuh dengan lubang bekas tusukan, daging sudah tak utuh, hampir terlihat tulang putih. Pada bagian mata
Bismillah "Ibuku Ternyata Hantu"#part 11#by:Ratna Dewi Lestari. Pagi yang sepi tanpa Ibu. Semenjak kami tahu Ibu sudah meninggal, tak ada lagi sosok Ibu yang memasak di dapur sebelum subuh. Aku menjadi lesu. Walaupun kutahu Ibu ternyata hantu, tetapi tak sedikitpun membuatku takut. Aku malah rindu. Rindu melihat sosok Ibu. Kini aku berdiri di jendela dapur, memandang pepohonan singkong dan kebun mawar kecil kesayangan Ibu. Aroma mawar terkadang menggoda indra penciumanku. Terbang di bawa angin semilir ke arahku. Kuhirup wangi pagi sekuat yang aku bisa. Ku lepas dengan hati tertekan. Sedih, pilu menelusup relung hatiku. "Ibu ... di mana Engkau Ibu? aku rindu!" bisikku lirih. Angin dingin menyentuh pipiku. Entah kenapa rasa sejuknya menentramkan jiwaku. Seperti sentuhan halus tangan Ibu. Apakah ini memang Ibu? kupej
Bismillah "Ibuku Ternyata Hantu"#part_12#by:Ratna Dewi Lestari "Aaaaaaa ....," Mata Warjo terbelalak. Napasnya ngos-ngosan memburu. Keringat dingin mengucur sebesar biji jagung menetes di keningnya yang lebar. Jantungnya berdebar kencang. Tok-tok-tok! "Bang! Bang Warjo! kenapa kamu, Bang!" suara istri Warjo di luar membuat Warjo tersadar dari mimpi buruknya. Ia bergidik ngeri mengingat mimpinya barusan. Dengan gemetar Warjo melangkah mendekati pintu. Membukanya dan ia tampak sangat pucat melihat wanita dihadapannya. Wajah Marni, wanita malang yang ia bunuh malam itu tersenyum manis menatap ke arahnya. Matanya yang bulat memancarkan kebencian yang mendalam. Masih teringat jelas di ingatannya saat Marni memohon kepadanya. Bias rasa bersalah itu terekam jelas di wajah Warjo saat itu. "Maafkan aku ... Ibu ... aku tak tau nam
Bismillah "Ibuku Ternyata Hantu"#part_15#Tamat#by:Ratna Dewi Lestari. "Abang! Abang ...." Brakkkkkk ! Istri Maman ambruk begitu melihat keadaan Maman yang sangat mengenaskan. Para tetangga berdatangan mendengar teriakan. Mereka memandang ngeri jasad Maman. Jasad yang mengenaskan. Mata nya hampir copot, sekujur tubuh penuh lubang, dari telinga, hidung dan mulutnya keluar binatang-binatang kecil berbisa. Kelabang, kalajengking dan lintah merayap keluar bersamaan. Mereka bergidik ngeri melihat Maman yang sudah terbujur kaku dan berlumuran darah. Entah apa dosa Maman sehingga ia bisa mengalami hal yang sangat mengenaskan seperti ini. Para tetangga berbisik dan bertanya-tanya satu sama lain. Istri Maman di bawa ke dalam kamar lain. Setelah sadar mereka lalu segera mengebumikan Maman hari itu juga. Derai airm
Bismillah "Ibuku Ternyata Hantu"#part_15#Tamat#by:Ratna Dewi Lestari. "Abang! Abang ...." Brakkkkkk ! Istri Maman ambruk begitu melihat keadaan Maman yang sangat mengenaskan. Para tetangga berdatangan mendengar teriakan. Mereka memandang ngeri jasad Maman. Jasad yang mengenaskan. Mata nya hampir copot, sekujur tubuh penuh lubang, dari telinga, hidung dan mulutnya keluar binatang-binatang kecil berbisa. Kelabang, kalajengking dan lintah merayap keluar bersamaan. Mereka bergidik ngeri melihat Maman yang sudah terbujur kaku dan berlumuran darah. Entah apa dosa Maman sehingga ia bisa mengalami hal yang sangat mengenaskan seperti ini. Para tetangga berbisik dan bertanya-tanya satu sama lain. Istri Maman di bawa ke dalam kamar lain. Setelah sadar mereka lalu segera mengebumikan Maman hari itu juga. Derai airm
Bismillah "Ibuku Ternyata Hantu"#part_14#by:Ratna Dewi Lestari Warjo bergegas menuju kantor Polisi. Ia melangkah seorang diri tanpa Maman ataupun istrinya. Hatinya sudah mantap untuk mengakui semua kesalahannya. Ia tak ingin dibayang-bayangi rasa bersalah dan kematian. Ia ingin damai dan tenang. Di kantor Polisi, Warjo mengungkapkan semua dengan lugas. Namun, ia tak membawa Maman dalam kesaksiannya. Ia mengakui semua perbuatan kejinya. Polisi tak menunggu lama untuk membawa Warjo masuk ke dalam sel. Sidang akan segera menyusul. Warjo tak gentar. Ia malah merasa lega. Dalam hati terselip rasa sesal yang teramat. Ia tahu karena perbuatannya, ia telah memisahkan wanita itu dari orang-orang yang di cinta. Ia ingin mengucap maaf. Walau hanya mampu dalam hati ia ucapkan. Dinding dingin dalam sel dan lantai keras semen tak membuat nyali Warj
Bismillah "Ibuku Ternyata Hantu"#part_12#by:Ratna Dewi Lestari "Aaaaaaa ....," Mata Warjo terbelalak. Napasnya ngos-ngosan memburu. Keringat dingin mengucur sebesar biji jagung menetes di keningnya yang lebar. Jantungnya berdebar kencang. Tok-tok-tok! "Bang! Bang Warjo! kenapa kamu, Bang!" suara istri Warjo di luar membuat Warjo tersadar dari mimpi buruknya. Ia bergidik ngeri mengingat mimpinya barusan. Dengan gemetar Warjo melangkah mendekati pintu. Membukanya dan ia tampak sangat pucat melihat wanita dihadapannya. Wajah Marni, wanita malang yang ia bunuh malam itu tersenyum manis menatap ke arahnya. Matanya yang bulat memancarkan kebencian yang mendalam. Masih teringat jelas di ingatannya saat Marni memohon kepadanya. Bias rasa bersalah itu terekam jelas di wajah Warjo saat itu. "Maafkan aku ... Ibu ... aku tak tau nam
Bismillah "Ibuku Ternyata Hantu"#part 11#by:Ratna Dewi Lestari. Pagi yang sepi tanpa Ibu. Semenjak kami tahu Ibu sudah meninggal, tak ada lagi sosok Ibu yang memasak di dapur sebelum subuh. Aku menjadi lesu. Walaupun kutahu Ibu ternyata hantu, tetapi tak sedikitpun membuatku takut. Aku malah rindu. Rindu melihat sosok Ibu. Kini aku berdiri di jendela dapur, memandang pepohonan singkong dan kebun mawar kecil kesayangan Ibu. Aroma mawar terkadang menggoda indra penciumanku. Terbang di bawa angin semilir ke arahku. Kuhirup wangi pagi sekuat yang aku bisa. Ku lepas dengan hati tertekan. Sedih, pilu menelusup relung hatiku. "Ibu ... di mana Engkau Ibu? aku rindu!" bisikku lirih. Angin dingin menyentuh pipiku. Entah kenapa rasa sejuknya menentramkan jiwaku. Seperti sentuhan halus tangan Ibu. Apakah ini memang Ibu? kupej
Bismillah "Ibuku Ternyata Hantu"#part_10#by:Ratna Dewi Lestari. Brummmmm! Ckiiiiiittttt! Mobil Polisi berhenti di Rumah Sakit Umum Daerah. Dengan langkah gontai Ayah melangkah megikuti ketiga polisi yang berjalan tergesa menuju kamar mayat. Jantung berdebar ketika kaki memasuki kamar mayat. Hawa dingin menelusup hingga relung hati. Salah satu polisi membuka salah satu brankas mayat. Tampaklah sekilas kaki putih yang sudah kaku. "Mari Pak, kemari!" salah seorang Polisi melambai ke arah Ayah. Ayah mengangguk pelan dan melangkah mendekati. "Astagfirullah," ucap Ayah. Ia menutup mulutnya menahan kengerian sosok yang dilihatnya. Walaupun sudah dibersihkan, nampak mayat itu sudah penuh dengan lubang bekas tusukan, daging sudah tak utuh, hampir terlihat tulang putih. Pada bagian mata
Bismillah "Ibuku Ternyata Hantu"#part_9#by:Ratna Dewi Lestari "Nina! Nina!" panggil Ayah berulang kali. Aku pun terus berlari bersama Ayah mengikuti Nina yang terus berjalan cepat. Ia seperti tak mendengar teriakan kami. Nina terus berjalan menelusuri kebun. Dalam keremangan malam tak sadar samar-samar kulihat asap mengelilingi Nina. Jantung berdegub kencang. Nina, ada yang tidak beres dengan Nina. Ayah semakin kencang berlari walaupun terkadang terdengar bunyi napasnya yang ngos-ngosan. Nina kini berada di ujung kebun dan masuk kedalam semak belukar. Ranting pohon, tanaman berduri serta ilalang menusuk kaki ku yang polos. "Akh, sakit," terkadang aku berteriak kesakitan. Tapi, terus mengejar Nina. "Nina!" Ayah berhasil meraih tangan Nina dan memeluk Nina erat. &
Bismillah "Ibuku Ternyata Hantu"#part_8#by:Ratna Dewi Lestari "Man ... itu apaan Man?" ucap Warjo dengan kaki gemetar. Peluh membasahi wajah. "War ... kuntilanak itu War ...," tanpa sadar celana Maman basah. Ia ngompol di celana. "Maman ... Warjo ... kemari ... temani aku malam ini ...," suara wanita itu lirih tapi terdengar jelas di telinga Maman dan Warjo. Wanita itu berjalan lambat menuju ke arah mereka. Angin yang semilir kadang menyibak gaun panjangnya yang putih namun banyak noda darah. Nampak dalam keremangan malam kaki wanita itu melayang dengan warna putih pucat. Warjo dan Maman menggigil ketakutan. "Man! cepat hidupi motornya, Man! bisa-bisa nyawa kita melayang, Man!" seru Warjo dengan tepukan keras di punggung Maman. "Iya, sabar! ini juga lagi ak
Bismillah "Ibuku Ternyata Hantu"#part_7# by: Ratna Dewi Lestari. "Sim, apaan itu Sim?" tanya Tejo dengan menunjuk lembaran baju yang terkoyak di antara rerumputan. "Itu kayaknya baju perempuan, yok kita tengok!" ajak Kosim. Teman-temannya yang lain mengangguk serentak. Perlahan tapi pasti, Bapak-bapak itu melangkah menuju baju yang letaknya tak jauh dari tempat mereka berdiri. Srek-srek-srek! Kaki-kaki mereka menginjak ranting dan rerumputan sekitar. Golok mereka arahkan kesana-kesini untuk menerbas rumput ilalang yang menutupi penglihatan. Kosim mengangkat baju itu dengan sebuah ranting. Matanya memperhatikan dengan seksama. "Jo, ada darah nya, Jo!" pekiknya. "Waduh, yang punya kemana?" sahut Tejo. "Tejo, Kosim, ada celana juga di sini!" sahut Diman seraya me